Sudah tiga hari Galih tidak mendapat kabar dari gadis kecil itu. Masuk sekolah saja tidak. Menurut kabar, Amara masuk rumah sakit karena maagnya kambuh. Walau sebenarnya berita itu setengah benar setengah bohong.Amara benar sakit tapi bukan karena maagnya.Galih jadi gelisah. Apa mungkin Amara tidak meminum obat yang diberikan dokter itu? Sampai dia malah sakitnya yang lain."Sudah diminum tapi nggak keluar apa-apa."Galih berdecak membaca balasan pesan dari Amara. Apa jangan-jangan dokter itu salah memberikan resep."Nanti kita ke klinik itu lagi aja. Mungkin dia kekecilan ngasih dosis obat."Galih masih tetap pada pendiriannya. Kandungan Amara harus digugurkan. Apa kata dunia kalau mereka sampai tahu skandal yang dibuat Galih dan Amara? Galih baru mau merintis karirnya. Tidak mau dia menikah dini. Belum siap!Sementara tangan Amara masih bergetar setelah membalas pesan dari Galih. Ditambah lelaki paruh baya ini menatapnya dengan tajam."Sudah? Apa katanya?" Amar menatap tajam."Di
Tepat pukul 2 malam, Amara dilarikan ke rumah sakit akibat perdarahan yang ia alami. Pas sekali saat gadis itu keluar dan meminta pertolongan ada Sierra yang menangkap tubuhnya yang nyaris pingsan. Hingga akhirnya terbaringlah Amara di ranjang rumah sakit."Bapak dan Ibu orangtuanya?" Tanya seorang perawat kepada Raina dan Amar yang masih melihat Amara melakukan pemeriksaan."Ya. Kami orangtuanya." Jawab Raina."Ikut kami sebentar."Keduanya lalu mengikuti petugas medis dan bertemu dengan dokter yang tadi sudah memeriksa Amara."Bagaimana kondisi anak saya dok?" Tanya Amar."Anak bapak.. mengalami keguguran." Dokter pria itu mengatakan dengan nada yang berat."Apa???" Raina dan Amar sungguh terkejut.Raina sampai menutup mulutnya."Berdasarkan hasil pemeriksaan, Nona mengalami perdarahan akibat mengonsumsi obat peluruh kandungan. Untuk pastinya kami akan melakukan pemeriksaan USG." Jelas dokter tersebut.Amar menyetujui. Mungkin saja hasil pemeriksaan dokter yang sepertinya umurnya ma
Rasa penasaran ini harus dituntaskan, begitu kata Amara. Dia membeli alat tes kehamilan di minimarket dekat rumah. Lengkap menggunakan hoodie yang menutupi kepalanya dan juga maskee yang menutupi wajahnya. Itu sebab Amara takut jika wajahnya sampai diketahui, apalagi dia membeli alat tes kehamilan.Setelah membeli, Amara pulang ke rumah dan masuk lewat pintu samping sambil mengendap-ngendap.Pintu samping yang menjadi penghubung antara garasi dan ruang tengah. Tepat sekali kamar Amara berada di sisinya.Baru saja ingin membuka pintu, tubuh Amara terdorong ke belakang."Aduh!" Amara jatuh terdorong. Belanjannya terlepas dan berserakan."Mbak Amara!!" Seru Sierrra.Sierra tak menyangka jika ada orang yang dibalik pintu. Dia langsung mendorong handle saja tadi."Mbak gapapa?"Sierra segera membantu Amara yang terjatuh dan membereskan belanjaan yang keluar dari plastik."Apa ini?" Tanya
"Kamu merasa sikap Amara berubah?" Tanya Raina memandang suaminya lekat malam ini."Berubah bagaimana?""Lebih pendiam. Kelihatan tidak bersemangat." Ucap Raina.Amar tampak berpikir. Dia juga merasakan perubahan sikap anaknya."Sepertinya ada yg dia sembunyikan." Sambung Raina.Amar mengerti. Raina selalu punya feeling yang tajam pada anak-anaknya."Ada apa sebenarnya?"Mendengar pertanyaan Amar. Mau tak mau, Raina menjelaskan semua kecurigaannya. Di mulai dari kebohongan Amara saat dia mengatakan pergi bersama Anita. Lalu di pulang dalam keadaan hujan deras pada hari itu."Maksudmu dia punya pacar?" Tanya Amar curiga.Raina hanya mengedikkan bahu. "Mungkin cuma firasatku saja.""Aku akan bicara padanya."Amar bangkit dari posisinya."Jangan terlalu keras." Raina mengingatkan.Amar ini begitu lembut kepada anak-anaknya. Tapi sekalinya marah sungguh menyeramkan. Dan Raina pernah merasakannya dulu.Amar yang mencoba menegur anaknya menghentikan niatnya ketika lampu kamar Amara sudah ma
"Amara sudah pulang?" Tanya Erina.Dari tadi oma Amara memperhatikan Raina yang terus mondar mandir di ruang tamu.Raina menggeleng. "Belum, ma.""Sudah kamu hubungi?" Nah, sekarang Erina ikut cemas."Sudah tapi gak diangkat. Kayaknya kejebak hujan." Ucap Raina cemas."Duh, anak ini!""Apa Raina susul aja, ya? Katanya dia pergi sama Anita beli kado. Mungkin mereka kehujanan di jalan."Erina mengangguk setuju. Ia pun sama khawatirnya."Ya pergilah. Hati-hati menyetirnya. Jalanan licin."Raina pergi ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil tapi Erina keburu memanggilnya."Amara sudah pulang!"Sontak Raina berlari lagi ke ruang tamu dan mendapati Amara sedang melepas jas hujannya."Mama baru aja mau cari kamu.." Raina lega karena anak sulungnya sudah pulang."Sama siapa pulangnya, nak?" Tanya Raina."Sama temen.""Kamu nerabas hujan?" Dahi Erina mengernyit. "Iya. Tadi Anita bawa motor.""Nekat sekali kalian ini!" Erina mulai mengomel."Ya sudah. Kamu masuk dan mandi dulu. Nanti masuk ang
Raina meletakan satu nampan berisi dua porsi nasi dan ayam goreng lengkap dengan cola dan kentang goreng. Tak lupa eskrim coklat dengan taburan kacang sebagai makanan penutup untuk Sierra."Ma.." "Ya, sayang?"Sierra terlihat ragu. Perlukah dia mengatakan apa yang ia lihat tadi."Ada apa?" Tanya Raina tahu jika anaknya ingin mengatakan sesuatu."Nggak apa-apa." Jawab Sierra. Remaja ini mengambil makanannya. "Cuma sedih karena mbak Amara gak ikut kita makan siang disini."Mendengar itu Raina jadi tersenyum. "Mbakmu lagi sibuk persiapan olimpiade, sayang. Jangan kecil hati."Sierra hanya mengangguk.Raina mengambil ponselnya. Dia jadi ingat tentang Amara yang tak jadi ia jemput. Raina menelpon Amara. Pada panggilan kedua barulah terdengar suara di sebrang sana."Sudah dimana? Sudah sampai rumah?" Tanya Raina langsung. Dia tahu karena Amara tadi bilang pulang dengan ojek online."Lagi di jalan, ma."Terdengar suara bising juga klakson."Hati-hati, sayang.. sampai ketemu di rumah.""Iy