Tergesa-gesa Raina kembali ke rumah mantan mertuanya dan memburu Erina dengan beberapa pertanyaan.
"Untuk apa kamu menanyakan hal seperti itu?" Tanya Erina bingung kenapa tiba-tiba Raina harus bertanya hal seperti itu.Raina ikut duduk bersama Erina di ruang keluarga. Si kecil Amara sedang diayunkan dalam ayunan elektriknya."Raina hanya ingin tahu, ma.." jawab Raina getir."Biaya pengobatan Raina pastilah tidak sedikit..""Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, nak. Yang penting kamu sudah sehat. Itu saja.""Hutang budi Raina begitu banyak, ma!" Kata Raina tak enak hati.Erina menoleh ke arah Raina."Hutang budi apa yang kamu maksud, nak? Kamu itu bagian dari keluarga ini! Jelas, apapun akan kami lakukan demi kamu.. Sudah-sudah! Jangan kamu pikirkan masalah ini! Yang penting kamu sudah sehat sekarang!" Sanggah Erina.Wanita paruh baya itu lalu menyuruh Raina untuk membBukan sekali, dua kali ini Amar harus menerima keluhan dari pelanggannya. Ini untuk kesekian kalinya.Amar memijat keningnya yang mulai berkerut. Kali ini keluhan datang dari penyebab yang sama.Parkir liar dan premanisme.Sudah tak terhitung berapa kali Amar menegur lelaki bertubuh besar dan memiliki tatoo itu, tapi hening hanya sebentar. Selanjutnya dia melakukan aksinya lagi.Meminta sekaligus memaksa pengunjung resto untuk memberikan uang parkir. Tak segan kadang mengancam.Dia juga beberapa kali merusak motor atau mengempeskan ban pengunjung sampai restoran yang didirikan oleh Wijaya ini sempat sepi beberapa bulan."Pak Taufik!!" Panggil Amar.Lelaki bertubuh tambun itu nampak berdiri di depan restoran miliknya."Yoho.. pak Amar..." balasnya ramah."Sudah berapa kali saya ingatkan untuk tidak mengancam pengunjung restoran! Tapi kenapa tidak pernah diindahkan??" Ucap Amar hampir kehil
Tergesa-gesa Raina kembali ke rumah mantan mertuanya dan memburu Erina dengan beberapa pertanyaan."Untuk apa kamu menanyakan hal seperti itu?" Tanya Erina bingung kenapa tiba-tiba Raina harus bertanya hal seperti itu. Raina ikut duduk bersama Erina di ruang keluarga. Si kecil Amara sedang diayunkan dalam ayunan elektriknya."Raina hanya ingin tahu, ma.." jawab Raina getir."Biaya pengobatan Raina pastilah tidak sedikit..""Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, nak. Yang penting kamu sudah sehat. Itu saja.""Hutang budi Raina begitu banyak, ma!" Kata Raina tak enak hati.Erina menoleh ke arah Raina."Hutang budi apa yang kamu maksud, nak? Kamu itu bagian dari keluarga ini! Jelas, apapun akan kami lakukan demi kamu.. Sudah-sudah! Jangan kamu pikirkan masalah ini! Yang penting kamu sudah sehat sekarang!" Sanggah Erina.Wanita paruh baya itu lalu menyuruh Raina untuk memb
Amar mengalah. Iya. Dia memilih pergi dari rumah untuk menenangkan suasana. Ia tak mau melihat Raina membawa Amara pergi dari rumah ini dan kembali hidup sendirian di luar sana.Amar tak tega.Oleh karena itu, dia memilih pergi dari rumah.Walaupun awalnya Raina sempat berkeras untuk pergi dari rumah mantan mertuanya, tapi hatinya masih tak egois. Setidaknya saat ini, Ia tak lagi tinggal satu atap dengan mantan suaminya.Raina juga masih dalam tahap penyembuhan.Ia bertekad setelah ia sembuh total, ia akan membawa Amara keluar dari rumah ini. Tak ingin berhutang budi pada keluarga mantan suaminya.Berat hati Amar meninggalkan putri mungilnya, tapi untuk keselamatan Amara dan ketenangan hati Raina, ia harus rela berpisah. Sementara Amar juga akan tinggal di restoran saja.Untungnya disana memiliki dua kamar tidur, satu kamar tidur untuk penjaga dan satu lagi kamar yang cukup besar yang sering dipakai d
"Raina.." ucap Amar tak percaya.Wanita dihadapannya memandang dengan tatapan kebencian yang luar biasa. Begitu dingin dan menusuk."Ada apa?""Jangan mendekat!!!!!" Teriak Raina menunjuk Amar agar menghentikan langkahnya untuk masuk ke kamar."Aku sudah mengingat semuanya! Mengingat perbuatan jahatmu kepadaku!"Deg!Amar merasa kepalanya sedang diguyur es batu."Raina, aku.." kata Amar mencoba menjelaskan tapi segera dipotong oleh Raina."Jahat kamu, mas!!" Pekik Raina. Wanita itu terhuyung mundur. Air mata mengalir deras di wajahnya. Dia sudah mengingat semua kejahatan Amar yang dulu diberikan kepadanya."Aku bisa menjelaskan semuanya, Raina. Aku mohon tenangkanlah dirimu dulu.." pinta Amar cemas melihat Raina yang seperti hilang kendali. Ditambah Amara yang semakin menangis di peraduannya."Tidak!! Kamu tega menyakitiku dan selingkuh di hadapanku!! Kamu juga sudah kejam mengambil kehormatanku hingga aku harus mengandung anak ini!! Kamu jahat mas! Kamu bukan manusia! Kamu iblis!!"
Raina masih termagu memandang wanita yang ada di sebrangnya.Kekasih? Maksudnya, dia kekasih Amar?Raina masih belum mengerti.Ditha terkekeh mendengar ucapannya sendiri."Hmm.. sebetulnya mantan. Mantan kekasih. Karena kami berpisah tak lama dari kalian juga bercerai.." ucap Ditha mengoreksi ucapannya.Raina menaikkan salah satu alisnya.'Apa maksud dari wanita ini? Mereka berpisah tak lama dariku bercerai? Apa maksudnya mereka pernah berhubungan ketika kami masih menikah?'"Kamu memang berhati luas, Raina.. aku kagum padamu.." cetus Ditha lagi."Maksud kamu apa?" Tanya Raina akhirnya."Iya. Jika aku jadi kamu, aku pasti sudah merasakan trauma seumur hidupku.."Raina menatap intens wanita yang ada disebrangnya itu. Entah bom jenis apa yang ingin dijatuhkannya."Kamu sudah disakiti begitu banyak oleh Amar. Bahkan dia berselingkuh secara
Amar secara jujur menjelaskan siapa dirinya kepada Raina. Awal pertemuan mereka, hubungan baik yang dijalin antar almarhumah ibunya juga orang tuanya serta kisah cinta mereka berdua.Amar juga gamblang menyebutkan jika mereka memang sudah berpisah. Tentu saja alasan perpisahan tak disebutkan oleh Amar.Raina mencoba mengingat semua kenangan yang dirajutnya dengan keluarga Amar. Tapi, tak ada satupun potongan memori itu yang hinggap dikepalanya."Apa kamu ingin melihat anak kita?" Tawar Amar setelah selesai menceritakan semuanya.Raina mengangguk pelan. Walaupun dia ragu apakah benar dia sudah melahirkan. Namun, luka goresan di perutnya sudah meyakinkannya bahwa memang benar ia sudah menjalani operasi untuk melahirkan bayinya.Dituntun Amar menggunakan kursi roda, Raina masuk ke sebuah ruang pembatas yang terbuat dari kaca."Itu, anak kita.." tunjuk Amar ke salah satu inkubator.Terdapat bayi mung