Mag-log inHujan turun lebih awal malam itu. Rintiknya menyapa kaca jendela seperti mengetuk-ngetuk kesabaran Hanna yang sejak tadi hanya duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya. Pesan dari nomor tak dikenal itu masih di sana —menggoda rasa ingin tahunya sekaligus menyalakan ketakutan yang samar.Ia memandangi jam dinding. Hampir pukul sembilan. Rafael belum juga pulang.Di luar kamar, rumah terasa sunyi. Rudi mungkin sudah di ruang belakang. Pelayan lain sudah beristirahat. Kesempatan seperti ini jarang ada. Dan entah mengapa, hatinya berbisik lirih, kalau bukan malam ini, mungkin kebenaran itu akan tetap terkubur.Dengan langkah hati-hati, Hanna membuka laci, mengambil foto yang sejak pagi tak bisa ia lupakan. Ia memasukannya ke dalam tas kecil, lalu mengenakan mantel panjang dan payung hitam.Sebelum keluar kamar, ia sempat menatap pantulan dirinya di cermin.“Aku hanya ingin tahu, bukan melawan siapa pun,” bisiknya. Tapi bahkan suaranya sendiri terdengar rapuh.Sementara itu, di ruang
Hanna menelan ludah, mencoba tersenyum tipis di hadapan Rudi.“Tidak, hanya kiriman biasa,” katanya berbohong, suaranya terdengar nyaris bergetar.Ia buru-buru menutup kotak itu dan berdiri. “Aku akan mau kembali ke kamar saja.”Rudi menatapnya sejenak, lalu mengangguk sopan. “Baik, Nona.”Begitu pria itu pergi, langkah Hanna berubah cepat. Ia naik ke lantai atas, masuk ke kamar, lalu mengunci pintu.Begitu punggungnya menyentuh pintu, napasnya langsung terengah —seolah baru saja lari dari sesuatu yang tak terlihat.Ia menatap lagi foto itu.Tatapan pria yang dilingkari merah di sudut gambar terasa menembus matanya, dingin dan penuh misteri.Hanna memutar foto itu, berulang kali memperhatikan tulisan di belakangnya.“Semua ini belum selesai.”Dan semakin ia membaca, semakin muncul satu pertanyaan di kepalanya, 'apa yang sebenarnya disembunyikan Rafael dariku?'Ponselnya bergetar.Pesan masuk. Dari Rafael.“Aku akan pulang agak malam. Jangan keluar rumah.”Ia menatap layar itu lama. Ta
Pagi menjelang siang. Jalanan menuju kantor pusat Bachtiar Grup masih basah sisa hujan. Mobil Rafael melaju cepat, sementara pikirannya penuh dengan potongan-potongan laporan yang ia terima sejak pagi.Setibanya di lantai atas, di mana ruang kerjanya terasa lebih sunyi dari biasanya, Reno sudah menunggunya bersama Raka. Keduanya tampak tegang dengan berkas-berkas di tangan.“Bagaimana kondisinya?” Rafael langsung bertanya tanpa basa-basi.Reno menyerahkan sebuah map. “Sistem keamanan di gudang cabang dijebol lewat jalur internal, Pak. Tidak ada tanda-tanda perlawanan dari penjaga. Semuanya berlangsung bersih dan cepat.”“Internal?” alis Rafael berkerut. “Maksudmu—orang dalam?”Raka menimpali, “Kemungkinan besar. Kami sudah periksa akses log. Yang dipakai untuk membuka pintu elektronik itu … memakai kode identitas milik Andre.”Rafael menatap Raka tajam. “Andre sudah mati tiga tahun lalu.”“Ya, itu yang membuat semuanya aneh, Pak.” Reno menunduk, suaranya rendah. “Tapi, sistem membaca
Pagi menyapa dengan cahaya lembut yang menyelinap di sela tirai. Hujan semalam menyisakan udara segar, dan aroma tanah basah masih samar tercium dari jendela yang sedikit terbuka.Hanna terbangun lebih dulu. Tubuhnya terasa ringan namun juga aneh —seperti baru melewati sesuatu yang indah tapi tak sepenuhnya bisa ia percaya.Ia menoleh pelan. Rafael masih terlelap di sisinya, wajahnya terlihat tenang, jauh dari bayang-bayang keras yang biasanya menyelimuti pria itu.Untuk sesaat, Hanna hanya diam. Ia menatap pria itu lama, dan dalam diamnya ada pertanyaan yang tak mampu terucap, apakah semua ini sungguh nyata, atau hanya jeda sebelum semuanya kembali seperti semula?Tangan Hanna tergerak untuk menyentuh rambut Rafael, tapi ia urungkan.Ia pun memilih bangkit perlahan, mengenakan kimono tipis yang tergantung di kursi, lalu berjalan ke jendela, menyibak tirai sedikit lebih lebar. Langit cerah. Burung-burung terdengar dari kejauhan. Tapi entah mengapa, di dalam dadanya, udara terasa bera
Hanna menunggu. Tapi, Rafael tak kunjung berkata. Membuatnya kemudian menunduk pelan. Jemarinya menggenggam ujung kaus yang dikenakannya, gugup, sementara Rafael hanya menatap dalam diam.Ada banyak hal yang ingin ia katakan — tentang penyesalan, tentang rasa bersalah, tentang perasaan yang ia sendiri tak sanggup akui. Tapi, semua kata itu terasa tak berarti ketika ia melihat getaran di dalam mata Hanna.Ia semakin mendekatkan diri. Satu tangan Rafael menyentuh pipi Hanna, menelusur hingga ke lehernya yang bergetar halus. Hanna memejamkan mata, menarik napas panjang, seolah berusaha mengingat seperti apa rasanya disentuh dengan penuh kelembutan. Sudah terlalu lama ia melupakan itu.“Rafael…”Namanya keluar lirih, lebih seperti embusan napas daripada panggilan.Pria itu tidak menjawab. Ia hanya memeluk Hanna — perlahan, hati-hati, seakan takut perempuan itu akan hancur jika dipeluk terlalu erat.Pelukan itu lama. Hangat. Tak ada yang berkata apa-apa, tapi di dada mereka yang saling men
Suara hujan makin deras, mengetuk kaca jendela kamar dengan irama yang hampir seperti bisikan rahasia. Lampu kamar yang temaram membuat bayangan mereka berdua menari di dinding —dua siluet yang sama-sama berdiri dalam jarak yang tidak lagi aman.Rafael masih menatap Hanna, lama. Tatapan yang penuh pergulatan. Di satu sisi, ia tahu dirinya tak seharusnya terlalu dekat. Di sisi lain, hatinya menolak menjauh.“Kenapa kamu selalu membuatku seperti ini, Hanna?” gumamnya, lebih seperti bicara pada diri sendiri.Hanna tak menjawab. Ia hanya memandang lelaki itu —dingin dalam tutur, tapi hangat dalam sikap. Seolah setiap kali ia bicara dengan nada tegas, tubuhnya justru membantah.Rafael menarik napas dalam. “Aku pernah berpikir, kita bisa menjalani pernikahan ini dengan batas yang jelas. Tapi entah kenapa, batas itu perlahan kabur.”Ia mendekat setapak. Suaranya merendah. “Dan aku tidak tahu apakah aku harus menghentikannya atau membiarkannya terjadi.”Hanna menunduk, bibirnya bergetar pelan







