Pagi itu, setelah malam penuh haru dan cinta, rumah sederhana mereka dipenuhi cahaya matahari yang hangat. Aisyah berjalan ke dapur dengan rambut masih tergerai, mengenakan gaun rumah sederhana berwarna putih. Ia menyalakan kompor, menyiapkan sarapan sederhana: roti hangat, teh manis, dan sedikit buah yang ia simpan sejak kemarin. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena lelah, melainkan karena perasaan baru yang begitu asing namun membahagiakan—ini pertama kalinya ia benar-benar merasa seperti seorang istri yang menyiapkan sarapan untuk suami yang dicintainya.
Arga muncul dari kamar, masih mengenakan kemeja tipis yang semalam ia pakai. Wajahnya terlihat lebih segar, tapi sorot matanya penuh kehangatan. Ia berdiri di pintu dapur, memperhatikan Aisyah yang sibuk dengan panci kecil di atas api. “Kau bahkan lebih indah dari mimpi ketika berdiri di dapur seperti ini,” ucapnya dengan suara rendah.Aisyah terkejut, hampir menjatuhkan sendok di tangannya. Ia menoleh, wajahPagi itu, aroma kopi hangat menyebar ke seluruh rumah. Aisyah terbangun lebih dulu, menyiapkan sarapan dengan hati riang. Namun, ketika ia kembali ke ruang depan, ia menemukan pemandangan yang membuatnya tertegun. Arga sudah berada di halaman, mengenakan baju sederhana, tangannya sibuk membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar pagar.Aisyah berdiri di pintu dengan cangkir di tangannya, tersenyum melihat sosok itu. Selama ini hanya ia sendiri yang merawat rumah, tapi kini ada tangan lain yang ikut menjaga. “Kau tidak perlu melakukan semua itu sekarang, Arga. Kau baru saja kembali, kau harus banyak istirahat.”Arga menoleh, keringat tipis membasahi dahinya, tapi senyum kecil menghiasi wajahnya. “Justru aku ingin melakukannya. Aku ingin rumah ini terasa lebih hidup, dan aku ingin membantumu. Selama ini kau menanggung semuanya sendirian, sekarang biarkan aku mengambil bagian.”Aisyah mendekat, menyerahkan cangkir kopi. “Kalau begitu, istirahat sebentar.
Pagi itu, setelah malam penuh haru dan cinta, rumah sederhana mereka dipenuhi cahaya matahari yang hangat. Aisyah berjalan ke dapur dengan rambut masih tergerai, mengenakan gaun rumah sederhana berwarna putih. Ia menyalakan kompor, menyiapkan sarapan sederhana: roti hangat, teh manis, dan sedikit buah yang ia simpan sejak kemarin. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena lelah, melainkan karena perasaan baru yang begitu asing namun membahagiakan—ini pertama kalinya ia benar-benar merasa seperti seorang istri yang menyiapkan sarapan untuk suami yang dicintainya.Arga muncul dari kamar, masih mengenakan kemeja tipis yang semalam ia pakai. Wajahnya terlihat lebih segar, tapi sorot matanya penuh kehangatan. Ia berdiri di pintu dapur, memperhatikan Aisyah yang sibuk dengan panci kecil di atas api. “Kau bahkan lebih indah dari mimpi ketika berdiri di dapur seperti ini,” ucapnya dengan suara rendah.Aisyah terkejut, hampir menjatuhkan sendok di tangannya. Ia menoleh, wajah
Rumah sederhana itu kini tak lagi terasa dingin. Setelah sekian lama hanya dihuni oleh Aisyah dan sepi, malam itu akhirnya ada langkah lain yang menyusul masuk. Arga berdiri di ambang pintu, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang dulu hanya ia lewati sekilas sebelum segala musibah terjadi. Dindingnya masih sama, ranjangnya masih sederhana, aroma kain dan kayu masih menguar, tapi kehadiran Aisyah di dalamnya membuat segalanya terasa baru.Aisyah berjalan pelan, kerudungnya sudah ia lepaskan, rambutnya yang tergerai lembut jatuh di bahunya. Jemarinya menyentuh meja kecil, merapikan map yang kini sudah tidak lagi berfungsi sebagai pengikat nasib, melainkan saksi kebebasan. Ia menoleh, menatap Arga dengan mata berbinar penuh air mata. “Kau benar-benar di sini… di rumah ini… bersamaku.”Arga menutup pintu perlahan, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Aku sudah berjanji, Aisyah. Tidak ada lagi yang akan memisahkan kita.”Malam turun dengan hening yang berb
Malam itu langit tampak berbeda. Bintang-bintang bertaburan lebih banyak dari biasanya, seakan ikut merayakan kabar besar yang baru saja mengguncang hati ribuan orang. Angin malam berhembus lembut melewati jendela kamar Aisyah, membawa aroma tanah basah dan harum melati yang tadi siang ia terima dari rakyat.Aisyah duduk di tepi ranjang, map coklat berisi surat pembebasan Arga ia letakkan di pangkuannya. Matanya tak lepas dari map itu, seakan takut kabar itu hanya mimpi dan akan lenyap jika ia berhenti menatapnya. Di meja, surat yang ditulis dengan tangan gemetar masih terselip rapi, bersama bunga melati yang kini mulai sedikit layu, tapi tetap harum.Ia menarik napas panjang, lalu menatap cincin di jarinya. Cincin yang dulu hanya menjadi simbol dingin sebuah kontrak, kini terasa berdenyut hangat, seolah menjadi janji baru antara dirinya dan Arga. Jemarinya mengelus permukaan logam itu, bibirnya bergetar. “Besok… aku akan melihatmu, Arga. Aku akan berdiri di gerban
Malam itu terasa panjang, terlalu panjang bagi seorang Aisyah yang duduk sendiri di kursi kayu reyot di ruang tamu rumah kontrakan kecilnya. Dindingnya kusam, catnya terkelupas, langit-langitnya berderit ketika angin malam menyusup masuk lewat celah jendela. Lampu bohlam redup menggantung di tengah ruangan, memberi cahaya kekuningan yang lelah. Di meja di hadapannya, sebuah lilin padam berdiri dalam tatakan gelas bekas. Lilin itu sudah lama tidak ia nyalakan, sumbunya hitam terbakar, lilinnya meleleh sampai membeku di tepi gelas. Namun bagi Aisyah, lilin itu bukan sekadar lilin—itu adalah simbol. Simbol dari dirinya sendiri, dari perjuangan yang ia jalani, dari cinta yang masih ia jaga. Padam di luar, tapi menyala di dalam. Aisyah menatap lilin itu lama sekali, seakan menatap wajah seseorang di sana. Air matanya menetes perlahan, membasahi pipi pucatnya yang sudah kurus karena terlalu sering lupa makan. Rambutnya tergerai berantakan, matanya cekung dengan lingkar hita
Sejak pagi, kota sudah dipenuhi tanda-tanda bahwa sesuatu besar akan terjadi. Matahari terbit dengan sinar pucat, seakan ikut menahan napas menghadapi malam yang dijanjikan bayangan. Jalanan dipenuhi rakyat yang tidak pulang sejak semalam. Mereka saling berbagi makanan, obat, dan pakaian hangat. Anak-anak kecil digendong di bahu ayah mereka, sementara para ibu duduk di tikar seadanya, menyanyikan lagu pelan agar tidak ada yang putus asa.Aisyah berjalan di antara kerumunan, wajahnya lelah namun tetap menebar senyum. Ia berhenti di setiap sudut, menyalami orang, menatap mata mereka satu per satu. “Kalian luar biasa. Kalian cahaya yang sesungguhnya,” katanya pelan, membuat banyak orang menangis haru. Ia tahu rakyat sedang cemas, tapi ia juga tahu, senyum sekecil apa pun darinya bisa menjadi penguat.Di markas, Reyhan duduk dengan wajah tegang, menatap peta kota yang penuh tanda merah. “Mereka akan datang malam ini. Kode itu jelas. Mereka tidak sekadar ingin menakut-n