Pagi berikutnya hadir bukan dengan cahaya yang menenangkan, melainkan dengan awan kelabu yang menggantung rendah, seolah langit ikut menekan dada semua orang yang tinggal di rumah besar keluarga Arga, udara dingin menusuk masuk lewat celah jendela meski tirai sudah ditutup rapat, dan di ruang tamu, Aisyah duduk dengan wajah letih, matanya sembab karena semalaman tak bisa benar-benar tidur, setiap kali ia memejamkan mata, bayangan tiga orang penyusup yang menerobos masuk terus muncul, suara kaca pecah, percikan peluru, dan darah yang mengalir di lantai dapur kembali terulang, membuat tubuhnya bergetar meski Arga selalu berada di sampingnya; Arga sendiri sejak fajar sudah sibuk, ia berbicara di telepon dengan nada tegas, memberi instruksi pada bawahannya untuk meningkatkan pengamanan, menghubungi kenalannya di kepolisian untuk memastikan laporan perampokan ditindaklanjuti tanpa terlalu banyak membuka aib rumah tangga, lalu menutup telepon dengan wajah kaku, rahangnya tegang, karena ia
Benturan pintu terdengar lagi, lebih keras dari sebelumnya, kayu bergetar, baut hampir copot. Suara teriakan pria-pria bertopeng di luar bercampur dengan gemuruh ribuan massa yang berusaha menghalangi. Di udara, ketegangan menebal seperti kabut; semua orang tahu benteng terakhir ini akan jebol kapan saja. Aisyah berdiri tegak di tengah ruangan, tubuhnya gemetar namun matanya menyala, tidak ada lagi ruang untuk ragu. Ia tahu bukti sudah keluar, kebenaran sudah menyebar, tapi tubuhnya tetap menjadi sasaran utama. Reyhan berdiri di sampingnya, pistol kecil di tangan, wajahnya penuh keringat dingin, sementara para relawan lain menggenggam benda seadanya—tongkat, kursi, bahkan botol kosong—semua siap jadi senjata darurat.“Kalau mereka berhasil masuk, jangan biarkan Aisyah disentuh!” teriak Reyhan keras. Beberapa relawan langsung membuat barikade kecil di depan pintu. Suara benturan terdengar lagi, pintu makin retak, serpihan kayu beterbangan. Di luar, massa berteriak histeris,
Hujan deras masih mengguyur Jakarta sepanjang malam, tapi semangat massa tidak surut. Di jalan utama, ribuan lilin menyala meski air berusaha memadamkan, tangan-tangan yang menggenggamnya bergetar tapi tidak melepas. Lagu perjuangan terus terdengar, nyanyian bercampur dengan isak tangis, seolah kota berubah jadi lautan harapan yang tak bisa dipadamkan. Kamera-kamera media internasional merekam setiap detik, menyiarkan langsung ke seluruh dunia, dan headline besar terpampang: “Perempuan yang Mengguncang Negeri”.Di markas, suasana penuh ketegangan. Layar-layar besar menampilkan berbagai sudut kota, grafik dukungan publik meningkat tajam, tapi laporan ancaman juga masuk tanpa henti. Reyhan menatap peta yang penuh dengan tanda merah, suaranya tegas tapi berat. “Aisyah, musuh tidak lagi bermain dengan fitnah. Mereka menyiapkan langkah terakhir, serangan langsung. Kita dapat laporan ada tim bayaran yang sudah menyusup ke kota. Mereka tidak main-main, targetnya jelas: kau.”
Malam setelah wawancara internasional itu, Jakarta tidak tidur. Jalanan penuh dengan konvoi demonstran yang membawa spanduk berisi wajah Aisyah, beberapa menyalakan lilin di depan gedung-gedung pemerintahan, suara mereka bergema, “Bebaskan Arga! Tangkap penjahat sesungguhnya!” Media sosial meledak, tagar tentang Aisyah menempati puncak trending dunia, berita utama di seluruh stasiun televisi internasional membahas keberaniannya. Tetapi di balik semua sorak dukungan itu, bahaya semakin nyata, karena musuh tidak tinggal diam.Di markas, suasana lebih sibuk daripada biasanya. Relawan begadang, sebagian masih menyalin rekaman wawancara untuk disebarkan, sebagian lagi menyiapkan laporan tambahan. Reyhan berdiri di depan papan strategi, menandai dengan spidol merah lokasi-lokasi di kota yang berpotensi rawan serangan balasan. “Aisyah, setelah tadi malam, mereka tidak akan tinggal diam. Kita harus bersiap, karena mulai saat ini kita bukan hanya simbol perlawanan, tapi target utama
Pagi itu Jakarta tidak lagi sama. Dari layar televisi di ruang-ruang rapat hingga siaran radio di kendaraan umum, nama Aisyah terus disebut, laporan investigasi yang ia keluarkan semalam menjadi pusat perhatian nasional maupun internasional. Media asing memuat wajahnya di halaman depan, menyebutnya sebagai “Simbol Perlawanan Baru”, sementara media lokal terbelah antara yang mendukung dan yang mencoba menjelekkan namanya. Namun satu hal pasti: seluruh negeri kini bicara tentang Aisyah.Di markas kecil itu, suasana tidak kalah sibuk. Telepon berdering tanpa henti, laptop-laptop terbuka menampilkan siaran langsung dari berbagai media, dan para relawan tampak bekerja tanpa istirahat. Beberapa menyiapkan dokumen, beberapa lagi membalas pesan dari media luar negeri. Di papan besar, grafik dukungan publik menunjukkan lonjakan tajam. Angka yang semalam hanya ribuan kini sudah jutaan.Reyhan masuk ke ruangan dengan wajah serius, membawa setumpuk laporan. “Aisyah, kita dapat
Langit pagi tampak cerah, namun bagi Aisyah dan timnya, suasana justru semakin mencekam. Dukungan publik memang semakin menggunung, tetapi ancaman pun berlipat ganda. Telepon Reyhan berdering tanpa henti, laporan baru berdatangan tiap menit: saksi yang dibuntuti, relawan yang diteror, hingga kantor media independen yang mendadak diserang hacker.Aisyah menatap papan strategi dengan penuh konsentrasi. Ia tahu musuh sedang kalang kabut, tapi justru karena itulah serangan mereka semakin berbahaya. “Kita harus lebih dulu bergerak,” ucapnya tegas, suaranya menusuk ruangan yang penuh kelelahan. “Hari ini, kita keluarkan laporan investigasi tahap pertama. Semua bukti finansial yang kita kumpulkan, semua jaringan gelap mereka. Kita sebarkan ke media internasional.”Tim sempat terdiam, sadar bahwa langkah itu akan menjadi pukulan paling telak. Reyhan menoleh, wajahnya serius. “Kalau ini kita lakukan, Aisyah, mereka tidak akan tinggal diam. Mereka bisa menyerangmu secara fis
Hari itu udara Jakarta terasa berat, seolah langit menahan hujan yang tak kunjung jatuh. Di ruang kerjanya yang penuh dengan berkas, papan strategi, dan layar laptop yang menampilkan berita terbaru, Aisyah duduk dengan wajah tegang namun tatapannya tetap lurus. Pidatonya kemarin menjadi headline utama di berbagai negara, tetapi bersamaan dengan itu, serangan balasan datang tanpa henti. Fitnah baru muncul setiap jam, akun bot menyerang setiap unggahannya, bahkan ada email anonim yang mengancam akan membuka "rahasia" pribadinya. Reyhan menghampiri dengan wajah muram, menaruh setumpuk kertas di meja. “Ini dokumen terbaru, Aisyah. Mereka menyebarkan laporan palsu tentang rekening pribadimu. Nominalnya fantastis, seolah-olah ada aliran dana asing.” Aisyah menatap kertas itu sebentar, lalu tersenyum miring. “Semakin besar kebohongan, semakin mudah untuk dipecahkan. Siapkan tim audit independen, minta mereka publikasikan laporan keuangan bersihku. Biarkan dunia tahu siapa yang sebenarnya m