Pagi menyelinap perlahan, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar besar itu, sinarnya jatuh ke wajah Aisyah yang masih tertidur lelap, tubuhnya terbalut sprei, rambut panjangnya terurai acak namun justru membuatnya terlihat mempesona, bibirnya sedikit terbuka, napasnya tenang, dan di sampingnya Arga berbaring dengan mata terbuka, menatap perempuan itu lama sekali seolah ingin memastikan bahwa malam yang baru saja mereka lalui bukan sekadar mimpi, melainkan nyata; tubuhnya masih merasakan hangat yang tertinggal, hatinya dipenuhi rasa yang sulit ia ungkapkan, perasaan yang selama ini ia tekan kini pecah, menjadi cinta yang tak bisa lagi ia sembunyikan, dan ia tahu, sejak detik itu, hidupnya sudah tidak lagi sama.
Arga mengulurkan tangan, menyibakkan helai rambut dari wajah Aisyah, lalu mengecup keningnya lembut, gerakan kecil itu membuat Aisyah bergeliat pelan, matanya terbuka setengah, menatap Arga dengan pandangan masih setengah sadar, lalu tersenyum tipis, senyum yang bRumah sederhana itu kini tak lagi terasa dingin. Setelah sekian lama hanya dihuni oleh Aisyah dan sepi, malam itu akhirnya ada langkah lain yang menyusul masuk. Arga berdiri di ambang pintu, matanya menyapu setiap sudut ruangan yang dulu hanya ia lewati sekilas sebelum segala musibah terjadi. Dindingnya masih sama, ranjangnya masih sederhana, aroma kain dan kayu masih menguar, tapi kehadiran Aisyah di dalamnya membuat segalanya terasa baru.Aisyah berjalan pelan, kerudungnya sudah ia lepaskan, rambutnya yang tergerai lembut jatuh di bahunya. Jemarinya menyentuh meja kecil, merapikan map yang kini sudah tidak lagi berfungsi sebagai pengikat nasib, melainkan saksi kebebasan. Ia menoleh, menatap Arga dengan mata berbinar penuh air mata. “Kau benar-benar di sini… di rumah ini… bersamaku.”Arga menutup pintu perlahan, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Aku sudah berjanji, Aisyah. Tidak ada lagi yang akan memisahkan kita.”Malam turun dengan hening yang berb
Malam itu langit tampak berbeda. Bintang-bintang bertaburan lebih banyak dari biasanya, seakan ikut merayakan kabar besar yang baru saja mengguncang hati ribuan orang. Angin malam berhembus lembut melewati jendela kamar Aisyah, membawa aroma tanah basah dan harum melati yang tadi siang ia terima dari rakyat.Aisyah duduk di tepi ranjang, map coklat berisi surat pembebasan Arga ia letakkan di pangkuannya. Matanya tak lepas dari map itu, seakan takut kabar itu hanya mimpi dan akan lenyap jika ia berhenti menatapnya. Di meja, surat yang ditulis dengan tangan gemetar masih terselip rapi, bersama bunga melati yang kini mulai sedikit layu, tapi tetap harum.Ia menarik napas panjang, lalu menatap cincin di jarinya. Cincin yang dulu hanya menjadi simbol dingin sebuah kontrak, kini terasa berdenyut hangat, seolah menjadi janji baru antara dirinya dan Arga. Jemarinya mengelus permukaan logam itu, bibirnya bergetar. “Besok… aku akan melihatmu, Arga. Aku akan berdiri di gerban
Malam itu terasa panjang, terlalu panjang bagi seorang Aisyah yang duduk sendiri di kursi kayu reyot di ruang tamu rumah kontrakan kecilnya. Dindingnya kusam, catnya terkelupas, langit-langitnya berderit ketika angin malam menyusup masuk lewat celah jendela. Lampu bohlam redup menggantung di tengah ruangan, memberi cahaya kekuningan yang lelah. Di meja di hadapannya, sebuah lilin padam berdiri dalam tatakan gelas bekas. Lilin itu sudah lama tidak ia nyalakan, sumbunya hitam terbakar, lilinnya meleleh sampai membeku di tepi gelas. Namun bagi Aisyah, lilin itu bukan sekadar lilin—itu adalah simbol. Simbol dari dirinya sendiri, dari perjuangan yang ia jalani, dari cinta yang masih ia jaga. Padam di luar, tapi menyala di dalam. Aisyah menatap lilin itu lama sekali, seakan menatap wajah seseorang di sana. Air matanya menetes perlahan, membasahi pipi pucatnya yang sudah kurus karena terlalu sering lupa makan. Rambutnya tergerai berantakan, matanya cekung dengan lingkar hita
Sejak pagi, kota sudah dipenuhi tanda-tanda bahwa sesuatu besar akan terjadi. Matahari terbit dengan sinar pucat, seakan ikut menahan napas menghadapi malam yang dijanjikan bayangan. Jalanan dipenuhi rakyat yang tidak pulang sejak semalam. Mereka saling berbagi makanan, obat, dan pakaian hangat. Anak-anak kecil digendong di bahu ayah mereka, sementara para ibu duduk di tikar seadanya, menyanyikan lagu pelan agar tidak ada yang putus asa.Aisyah berjalan di antara kerumunan, wajahnya lelah namun tetap menebar senyum. Ia berhenti di setiap sudut, menyalami orang, menatap mata mereka satu per satu. “Kalian luar biasa. Kalian cahaya yang sesungguhnya,” katanya pelan, membuat banyak orang menangis haru. Ia tahu rakyat sedang cemas, tapi ia juga tahu, senyum sekecil apa pun darinya bisa menjadi penguat.Di markas, Reyhan duduk dengan wajah tegang, menatap peta kota yang penuh tanda merah. “Mereka akan datang malam ini. Kode itu jelas. Mereka tidak sekadar ingin menakut-n
Fajar baru saja terbit, namun udara masih penuh ketegangan. Rakyat yang semalaman berjaga mulai bergantian beristirahat, sebagian duduk di trotoar dengan mata lelah namun tetap memegang lilin yang tinggal sumbu, sebagian lain masih berdiri menjaga pagar manusia di depan markas. Dari kejauhan, suara azan subuh terdengar, melayang-layang di udara dingin, membuat suasana semakin syahdu sekaligus mencekam.Di dalam markas, Aisyah duduk di kursi kayu, tubuhnya lemas, namun matanya tak bisa terpejam. Reyhan menatapnya dengan wajah cemas. “Kau harus tidur sebentar, Aisyah. Semalaman kau tidak berhenti bicara, tidak berhenti berdiri.” Aisyah menggeleng pelan, suaranya serak. “Aku tidak bisa, Reyhan. Aku merasakan sesuatu… bayangan itu belum pergi. Mereka ada di sini, di antara kita, menunggu celah.”Seakan membenarkan ucapannya, seorang relawan masuk terburu-buru, wajahnya pucat. “Aisyah! Kami menemukan dua orang mencurigakan di barisan belakang. Mereka tidak membawa ident
Pagi itu kota masih penuh dengan sisa semangat malam sebelumnya. Jalanan dipenuhi lilin yang sudah padam, poster-poster dukungan, dan coretan di dinding yang menuliskan kata-kata penuh keberanian. Namun meski suasana tampak tenang, ada rasa was-was yang menggantung di udara, seolah semua orang tahu bahwa kemenangan semalam hanyalah permulaan dari ujian yang lebih besar.Aisyah duduk di ruang kecil markas, matanya sayu karena kurang tidur. Rambutnya yang acak-acakan tergerai di bahu, tangannya gemetar saat meraih secangkir teh hangat yang diberikan salah satu relawan. Reyhan duduk di dekatnya dengan lengan masih dibalut perban, wajahnya pucat tapi tatapannya penuh tekad. “Aisyah, semalam kau menyalakan api yang tak akan mudah dipadamkan. Tapi justru karena itu, musuhmu akan datang dengan cara yang lebih kejam. Kau harus bersiap.”Aisyah menghela napas panjang, menatap secangkir teh itu seolah mencari kekuatan. “Aku tahu, Reyhan. Aku bisa merasakannya. Rania tidak ak