Aku tidak mengira jika aku bisa mengatakan hal itu. Dia tertegun beberapa saat menatapku. Aku yakin, dia tidak akan bisa meninggalkan wanita itu. Entahlah.Kenapa? Kalian mau bilang aku egois? Tidak masalah, sih. Jika dia memang bisa mengabulkan permintaanku itu bagus, bukan? Setidaknya cap pelakor yang pernah disematkan Bu Kinan untukku tidak sia-sia. Dia cukup lama terdiam, pegangan di tanganku sempat mengendur. "Kenapa? Pak Kaivan nggak bisa, 'kan? Saya tahu, Pak Kaivan tidak akan bisa melakukan itu. Makanya sejak awal saya tahu diri, Pak. Saya nggak mau mengubah panggilan saya ke Pak Kaivan karena tidak mau mendorong diri saya untuk berharap lebih dari pernikahan ini. Sejak awal yang saya pikirkan hanya masa depan anak saya. Saya hanya tidak ingin dia tidak memiliki status. Sejak saat saya tahu dia tumbuh di dalam rahim saya, saya melupakan semua keinginan dan mimpi saya. Tidak, bukan kehadirannya yang saya anggap menghancurkan mimpi saya, tapi ...." Aku tak mampu melanjutkan uca
"Apa yang sudah dilakukan Kinan sama kamu, Al?" Aku menggeleng. Menahan perasaan yang tak kusuka kembali hadir. Aku benci mengingat bayangan buruk yang terjadi di masa lalu. Namun, aku memang harus jujur, 'kan? "Saya enggak yakin Pak Kaivan akan percaya kalau saya jujur?" ucapku akhirnya. "Alya, kamu ...." Mama bersuara membuat mataku beralih dari Pak Kaivan. Dia setengah tertawa dan menatapku tak percaya. Sementara aku masih menunggu dia melanjutkan ucapannya. "Kamu masih panggil Kaivan 'Pak'?" Wanita paruh baya itu melanjutkan. Kehabisan kata, meski aku sedikit bersyukur karena tidak perlu menceritakan tentang Bu Kinan untuk sekarang. Aku mengalihkan pandangan pada pria di dekatku. Dia hanya mengulum senyum sambil menaikkan alisnya. Sepertinya dia sengaja tidak ingin membantuku. Aku beralih pada Mama. "Mama, 'kan tahu gimana pernikahan ini terjadi dan terjalani, Ma. Jadi–" "Alya," seru mereka bersamaan. Kedua ibu dan anak itu menatapku dengan pandangan yang tak kume
PoV Kaivan Aku nyaris tidak percaya jika dia berada di hadapanku sekarang. Setelah sekian lama aku mencari dan nyaris membuatku frustrasi. Namun bagaimana bisa dia di sini? Di rumah Mama. Tak bisa dipungkiri jika selama ini aku memang kehilangan dirinya. Aku juga merindukannya. Tak melihat dan tak tahu keberadaannya selama dua bulan saja rasanya bikin hatiku remuk. Kekhawatiranku bukan hanya pada putraku saja, tetapi juga pada ibunya, Alya. Ingin rasa memeluk tubuhnya saat ini juga, tetapi aku tak yakin dia tidak keberatan. Lagi pula dia masih memangku putra kami. Rasanya aku seperti terbang menjelma menjadi capung saat mendengar dia bersedia untuk terus bersamaku. Aku tidak tahu pasti sejak kapan menginginkan dirinya, tetapi perasaan ini tidak dapat kututupi. Namun, sikapnya sedikit aneh. Dia yang awalnya seperti menghayati dan menikmati perlakuanku. Mendadak dia mendorongku sekuat tenaga. Apa yang terjadi? Aku belum sempat bertanya kenapa dia seperti itu. Fakta tentan
PoV KaivanMalam ini aku memilih tidur di sofa yang berada di salah satu sudut kamar. Aku terlalu takut untuk mengganggu dan mendekati Alya lagi. Rasa bersalah ini juga cukup susah untuk dihilangkan dan membuatku susah tidur. Jadi, aku masih bisa mendengar saat ada yang mengendap-endap melangkah mendekatiku. Alya. Dari cahaya remang lampu tidur aku bisa menangkap bayangannya yang terus mendekat. Aku segera menutup mata saat jaraknya tinggal satu meter lagi. Tak bisa dipungkiri, ritme jantung bertambah cepat saat dia menyentuh selimut yang memang hanya kupakai sebatas pinggang, kemudian menaikkannya hingga ke dada. Duh, rasanya aku seperti kembali menjadi remaja yang baru saja jatuh cinta. Dag dig dug.Dan, akhirnya aku tak bisa lagi terus berpura-pura terpejam saat tangan jari halusnya terasa menyentuh pelipisku. Entah apa yang sebenarnya dia lakukan. Jarinya mungil, tetapi cukup membuat tubuhku seperti tersengat listrik. "Belum tidur, Al?" tanyaku pelan dan berusaha netral, tetapi
"Alya, udah." Aku mencoba meraih ponsel itu dari tangannya. "Tapi saya mau lihat. Buka, dong." Dia mulai mendesak dan aku pun mulai terdesak saat dia meraih jemariku. Mengarahkan jariku ke touch pad. Satu persatu. "Ck sssh," decakku lirih karena dia sedikit keras kepala kali ini. Aku mengambil ponsel itu, kemudian mengikuti keinginannya. Setelah mendapatkan apa yang dimau dia menjauh dan berjalan menuju sofa di sudut ruangan. Perlahan aku mengikutinya. Dia menatapku yang baru saja duduk di sisinya kini. "Bapak, emm ... maksudnya ... Mas udah hapus videonya waktu itu kan?" tanyanya pelan, ia menatap penuh selidik. Ia sudah meletakkan ponselku di meja. Kulihat jelas garis kecewa di sana. Aku mengangguk. Ragu sebenarnya. "Terus, kenapa ini mereka pada ngomongin video?" tanyanya penuh selidik. Matanya berkaca-kaca. Jelas ada yang mengembun di sana. Aku bergeming. Tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku pun masih bingung, bagaimana video rekaman itu masih ada. "Ya ampun ..., in
"Sudah puas kamu sekarang, Ki?"Akhirnya aku menemukan Kinan di rumah. Dia sedang asyik dengan ponselnya saat aku masuk ke kamar. Dia menoleh. Menatap datar, tanpa ekspresi. Namun, setelah membuang tatapan dariku dia tersenyum mengejek. Dia berdiri setelah meletakkan ponsel di atas springbed."Akhirnya kita ketemu juga, Mas. Setelah sekian lama, ya." Dia berucap lembut. Seolah tidak terjadi apa-apa di antara kita. Ah, bisa-bisanya. Setelah apa yang dia lakukan dia dan semuanya terjadi dia bisa bersikap normal. Menyebalkan, bukan? "Kenapa kamu lakuin ini, Ki? Segitu dendamnya kamu sama aku sampe tega menghancurkan sesuatu yang aku bangun bertahun-tahun?" Aku mulai naik pitam meski masih belum dengan nada tinggi. Hanya memberi tekanan yang lebih pada suara."Aku?" Dia mengerutkan dahi. Tangannya bersedekap, matanya menatap lekat padaku meski bukan dengan tatapan ta jam. Namun, lebih pada tatapan yang mengandung sarkas untukku. Miris. Ini wanita yang kucinta dan damba selama bertahun-
Aku melirik ponsel yang sejak tadi sunyi. Belum ada tanda-tanda jika Pak Kaivan ... ah, maksudku Mas Kaivan menghubungi. Ah, kenapa susah sekali mengubah panggilan itu. Jika boleh jujur, aku lebih nyaman memanggilnya dengan sebutan Pak. Terserah orang mau bilang apa. Namun, jika yang disematkan panggilan itu keberatan, sepertinya aku memang harus mulai membiasakan diri. Pria itu terakhir menghubungiku sejak tiga hari yang lalu. Saat dia mengabari baru sampai di kota metropolis itu. Iya, aku tahu dia sibuk menyelesaikan masalahnya.Aku terkesiap saat bahuku terasa disentuh. Saking terkejutnya, bayi Rayyan yang kudekap dan sandarkan di depan dada nyaris terlepas jika Mama tak segera menangkapnya. "Alya!" Suara Mama refleks menegurku.Aku gelagapan. Rasa bersalah mendadak menyergap. "Kamu melamun? Mikirin apa sih?" tanya Mama. Rayyan sudah berpindah dalam dekapannya. Dia menepuk-nepuk punggung Rayya pelan. Ternyata bayiku sudah tertidur, entah sejak kapan. "Maaf, Ma," ucapku pelan.
Aku meletakkan Rayyan yang baru selesai menyusu di box-nya, dengan hati-hati membenahi selimut kecil yang melilit tubuh mungilnya. Namun, aku berjingkat saat ada tangan lain ikut menyentuh selimut. Saking terkejutnya, aku memegang da da, memastikan jantung masih aman berada di tempatnya. Detik berikutnya, aroma maskulin yang sama dan tak asing menyapa indera penciuman. Aku menoleh. Seulas senyum yang beberapa hari ini kurindukan terukir di sana. Namun, wajahnya sedikit kusam dengan lingkaran hitam yang sedikit samar di kelopak matanya. "Pak?"Dia mengerutkan dahi, ekspresinya sedikit berubah, membuatku menyadari sebuah kesalahan."Ehm, Mas ...." Dia lalu meraih bahuku, merangkul, kemudian membawa kepalaku ke dada bidangnya. Membuatku lebih leluasa menghirup aroma parfumnya."Katanya pulang besok?" tanyaku. Karena di video call kemarin dia bilang lusa pulang. Berarti seharusnya besok. Apa aku yang salah hitung hari?"Nggak sabar nunggu besok." Dia menjawab. Aku bergeming sesaat, ke
Malam ini rumah sudah terasa lebih sunyi. Terasa dingin dan tenang karena hujan baru saja mengguyur bumi. Rayyan sudah tidur nyenyak di boxnya. Setelah dokter menyatakan aku tidak perlu bedrest lagi, Mas Kaivan mengizinkan Mbak Rani untuk cuti. Kesempatan ini kugunakan untuk bisa lebih dekat lagi dengan Rayyan. Masa bedrest kemarin intensitas waktuku bersamanya sangat jarang sekali. Aku masih duduk di ujung ranjang, punggung menyandar di sandaran kepala tempat tidur. Mas Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus abu-abu ketak mencetak dada dada bidangnyabdan celana pendek santai. Rambutnya masih basah, menetes sedikit, tetapi matanya langsung mencari-cari mataku.Aku mengalihkan pandang.Dia diam sebentar, lalu menghampiri meja rias dan mengambil sisir. Dengan gerakan tenang, ia duduk di belakangku di ranjang. “Boleh aku bantu sisirin rambut kamu?”Aku mengangguk pelan, tetap tak berkata apa-apa.Dengan lembut, sisir bergeser melalui rambutku yang panjang. Ia melaku
Mataku terpaku pada layar laptop di hadapanku. Judul dokumen itu menampar kesadaran seperti angin dingin di pagi hari:Hasil Pemeriksaan DNA – Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa.Tanganku gemetar ketika kursor mouse bergerak perlahan membuka file PDF yang dikirimkan via email. Di sebelahku, Mas Kaivan duduk tegak. Wajahnya kaku, nyaris tak menunjukkan emosi apa pun. Namun, aku tahu, dia sama tegangnya denganku.Lembar pertama hanya berisi data teknis. Nama laboratorium, tanggal pengambilan sampel, dan identitas subjek.Lembar kedua—itulah jawabannya.> Hasil: Kecocokan genetik menunjukkan bahwa kemungkinan hubungan biologis antara Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa adalah 99.98%.Aku menutup mulut. Tubuhku limbung, seolah semua udara dalam paru-paru menguap seketika.Mas Kaivan mengusap punggungku pelan. “Sayang … kamu gak apa-apa?”Aku tak bisa langsung menjawab. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang ... entah kenapa tetap terasa menyakitkan meski aku sudah mempersiapka
[Untuk Alya,Dari wanita yang suaminya telah kau ambil.]Tidak. Baris kedua itu tidak ada. Hanya khayalanku saja. Aku duduk di pinggir ranjang, membuka perlahan.> Alya ....Aku tahu mungkin menurutmu aku tidak berhak menulis surat ini. Tapi tolong, baca sampai akhir. Aku… sudah kalah. Sudah jatuh. Tapi setiap malam aku dihantui oleh tatapan sedihmu dan darah di baju Kaivan. Aku minta maaf.Aku gak minta dibebaskan. Aku gak pantas minta itu. Tapi aku mohon, kalau nanti terbukti anakku anak Kaivan … tolong jangan jauhi dia. Jangan benci dia. Dia gak minta dilahirkan dari ibu sepertiku.Kamu boleh tetap membenciku. Tapi tolong… jangan teruskan kebencian itu pada bayi ini. Namanya Haura.Aku gak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Tapi aku tahu, kamu jauh lebih kuat dari yang aku kira.—Kinan.Aku menatap lembaran itu lama sekali. Hatiku campur aduk. Tanganku bergetar saat meletakkan kertas itu di meja samping tempat tidur."Sayang?" Kaivan duduk di sebelahku, matanya menatap waja
"Mas, apa tuntutan kita ke Bu Kinan tidak bisa ditarik?" tanyaku pelan, membuat semua mata tertuju padaku.Mas Kaivan mengernyit menatap padaku sesaat kemudian ganti menoleh pada sahabatnya yang menghela napas panjang."Itu … udah masuk tahap akhir, Alya. Pelaporan dan penyelidikan awal memang kita yang dorong, tapi sekarang kasusnya udah jadi milik negara. Penuntut umum yang pegang kendali."Aku menggigit bibir bawah, menunduk."Ini kasus percobaan pembunuhan berencana, Al. Gak sesederhana laporan biasa yang bisa dicabut kapan aja. Ini bukan sekadar konflik pribadi, tapi kejahatan serius," lanjut Mas Azzam terdengar datar, tetapi jelas dan tegas.Mataku kini berali pada Mas Kaivan. "Tapi … dia baru aja melahirkan, Mas," ucapku lirih. Sebagai seorang Ibu dan seorang wanita, rasanya pasti berat sekali menjadi Bu Kinan.Wajah Mas Kaivan mengeras. Rahangnya mengatup. Seakan menahan sesuatu."Itu tidak bisa menjadi alasan untuk membatalkan hukum, Sayang. Dia berusaha bunuh kamu, Sayang.
"Anak yang dikandung Bu Kinan–" Dia mengeratkan genggaman. "Dengar, Sayang. Usia kehamilannya memang selisih satu bulan lebih lama dengan usia perceraian kami. Tapi, kita akan tunggu anaknya lahir dan aku akan tes DNA untuk membuktikan apakah anak itu benar anakku. Jika dia memang terbukti anakku aku hanya akan bertanggung jawab terhadap anaknya, bukan ibunya." Untuk sesaat keheningan menguasai setelah kalimat itu terucap dari bibirnya. Aku mengangguk perlahan. Aku tahu, Mas Kaivan tidak sedang berbohong. Namun, tentang kemungkinan anak itu adalah darah dagingnya masih menjadi duri kecil di pikiranku. *** Aku menatap dengan wajah cemberut pada Mas Kaivan yang tengah menyuapiku makan. Pria itu benar-benar tak mengizinkanku bergerak sedikit pun, bahkan hanya untuk menyuap makanan. Berlebihan banget, 'kan? "Mas, aku bisa makan sendiri. Jangan berlebihan," ucapku tadi saat dia baru saja membawa makan siangku ke kamar. "Aku tahu, kamu bisa makan sendiri, tapi sekarang aku lagi mau
Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p
"Jadi, selama ini aku bukan lagi mimpi, tapi memang kamu ada di sana?" tanyanku tak percaya. "Pantesan rasanya kayak bukan mimpi."Pantas saja mimpi itu tidak seperti mimpi. Aku merasakan pipi yang tiba-tiba menghangat."Sekarang baru sadar, gimana nyamannya tidur di pelukanku? Makanya jangan sok-sokan kabur dari rumah." Dia menggerutu.Aku tersenyum malu. "Jadi, sejak kapan Mas di sana?" "Sejak hari pertama kamu di sana lah." Dia tersenyum penuh kemenangan."Kok bisa?""Udah aku bilang, kamu gak bisa pergi jauh dariku, Sayang.""Tapi, kata Edo Mas masih cariin aku waktu–""Dan, kamu percaya? Itu cuma akal-akalan dia aja." Mas Kaivan mengulum senyum, tetapi kali ini lebih mirip menahan tawa."Kenapa Mas gak samperin aku aja?""Karena aku gak siap kalau kamu menolak saat aku ajak pulang.""Jadi, selama ini Mas Kai sembunyi di mana? Kenapa aku gak pernah lihat?""Di mana-mana, kadang di bawah meja, kadang di dalam lemari, seringnya di balkon sempit di bawah jendela."Aku menutup mulut
"Apa?" tanyaku antara tak percaya dan tak mengerti. "A–aku hamil, Buk?" tanyaku lirih dan nyaris tak terdengar mungkin.Wanita paruh baya itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Entah terharu atau prihatin. Pasalnya Rayyan masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik.Aku pun tidak tahu harus bahagia atau sedih. Ini kabar yang mengejutkan. Aku masih terdiam. Kata-kata Bu Rumi terus terngiang di kepala.Di satu sisi hati ini memang terasa menghangat—kehidupan baru sedang tumbuh dalam rahimku. Namun di sisi lain, hatiku berdegup penuh cemas. Di saat yang sama, suamiku masih terbaring tak sadarkan diri, baru saja melewati batas antara hidup dan mati.Aku mengelus perutku pelan. Meskipun belum ada perubahan fisik, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi aku bisa merasakan kehadirannya sekarang***Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatianku. Seorang perempuan berjas putih masuk, mengenakan name tag bertuliskan, “dr. Intan Rizkita, Sp.OG.” Dia me
"Terlambat! Kaivan sudah hampir kehilangan nyawa, lu pikir gua masih tinggal diam?"Aku hanya menunduk. Suasana tegang yang menyelimuti ruang tunggu itu begitu menyesakkan. Ingin rasanya meminta mereka berhenti berdebat. Meski tidak sampai mengundang perhatian pengunjung lain, tetapi cukup membuatku merasa ... mual. Dan, secara tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa dari dalam perutku. Tepat di bawah pusar. Rasanya melilit seakan ada yang menarik dari dalam.Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam, menahan sakit yang tiba-tiba mendera juga nyeri di kepala rasanya kian menjadi. Rasa sakit itu tak menjadi satu, tapi seperti menyerang dari segala arah. Seolah mereka mencengkeram kepala dan leherku sekaligus, juga di bawah pusar. “Alya?” Bu Rumi memegang lenganku, kemudian menepuk pipiku lembut.Aku membuka mata, tapi dunia seperti terus bergerak. Suara-suara di sekeliling mulai terdengar seperti dari kejauhan. Samar. Bergema. Aneh. Bahkan suara Mas Azzam dan Arga yang s