Aira duduk di ruang tengah sepulang mengantar Rava ke sekolah. Sejak menikah dengan Kaivan, Aira belum masuk kerja lagi. Azzam yang Memintanya beristirahat dan menenangkan diri.Meski Aira tak pernah lagi menghindar dari pria yang merupakan ayah kandungnya itu, ia masih belum bisa menerima sepenuhnya.Aira tengah asyik memainkan ibu jarinya di atas layar. Sebuah aplikasi artificial intelligence tengah ia buka. Aira mengetik sesuati di sana.Ia mengetik sebuah pertanyaan di sana.[Bagaimana membuat suami jatuh cinta, lengket dan betah di rumah? Kami baru nikah karena terpaksa. Aku paksa dia nikahin aku karena suatu hal. Bukan karena hamil duluan ya. Oya, umur kami terpaut jauh, mungkin di atas 25 tahun. Dia udah punya istri lain. Eh, jangan bilang aku pelakor ya. Tapi aku juga pengin dicintai seperti dia mencintai istri pertamanya.]Aira mendengkus kesal saat membaca jawabannya.[🧠 1. Pahami Realita Tanpa Menyiksa DiriSuami kamu mungkin masih memprioritaskan istri pertamanya karena c
Di mobil, Kaivan duduk diam cukup lama. Mesin belum dinyalakan. Matanya menatap setir, tapi pikirannya jauh ke belakang. Meski ia belum siap menghadapi pertanyaan Alya, ia harus pulang sekarang. Wajah Alya melintas dalam benaknya. Bagaimana malam itu ia secara spontan melingkarkan tangan di pinggangnya. Juga bagaimana Alya yang tahu jika suaminya tengah menangggung beban berat—hanya helaan napas saja. Sikap Alya di malam setelah malam Kaivan menikahi Aira, ia nilai sedikit berbeda. Namun, Kaivan baru menyadari sekarang.Dan pagi ini, setelah semua yang terjadi, Kaivan tak yakin bisa memandang mata istrinya dengan cara yang sama. Meski begitu, ia buru-buru menyalakan mobilnya, dan melaju.Tangannya mengepal di atas paha. Ia mendongak, memejamkan mata, dan menarik napas dalam. Dada sesak."Ya Allah," gumamnya lirih, "apa yang sudah aku lakukan?"***Seperti biasa, Kaivan mampir ke masjid untuk mandi terlebih dahulu sebelum sampai di rumah. Bertepatan juga dengan waktu subuh, sehingga i
"Makasih ya, Om, udah jadiin aku istri yang sesungguhnya," bisik Aira pelan.Aira bersandar di dada Kaivan yang masih bertelanjang. Rambut panjangnya terurai, sebagian menutupi lengan Kaivan yang menatap langit-langit. Matanya masih terbuka meski kosong. Ia menarik napas dalam dan berat, juga tak berirama. Ia tidak melakukan dosa dengan menggauli Aira yang sudah sah sebagai istrinya. Namun, rasa bersalah masih menghantamnya telak.Kaivan tak menjawab ucapan Aira. Ia hanya mengedipkan mata sekali, lalu kembali menatap langit-langit yang terasa seperti dinding sempit menimpanya dari segala arah. Tubuhnya terasa lelah, tetapi bukan karena aktifitas yang mereka lalui—melainkan karena hati dan harga dirinya yang terasa mulai ambruk satu demi satu.Aira menyentuh dada Kaivan dengan jemarinya yang lentik. Lalu mengusap pelan, seolah ingin menghapus beban yang menggantung di sana. Senyumnya tipis dan tampak manja."Om. Mukanya jangan ditekuk gitu, dong. Kita bukan habis melakukan dosa, loh.
Kaivan mematung. Lehernya masih dilingkari tangan Aira yang terasa seperti tali, seakan mengharap simpul balasan dari pria itu. Pria itu mendengkus. Kakinya terasa kaku, seperti tertanam ke lantai. Ia menatap wajah Aira dari jarak yang terlalu dekat. Bibir merah muda itu nyaris menyentuh kulitnya. Aroma tubuh Aira merambat seperti racun ke seluruh sistem sarafnya.Kaivan tak habis pikir. Apa yang sebenarnya yang Aira harapkan dari pria berumur sepertinya?Aira menyapukan buku kuku telunjuknya ke pipi Kiavan. "Aku cuma mau Om," bisik Aira lirih, seperti mantra. Tingkahnya tak ubah seperti wanita penggoda.Tangannya perlahan turun ke dada Kaivan. Gerakannya pelan, tetapi pasti. Kaivan menutup mata sejenak, berusaha memanggil kembali suara Alya dalam kepalanya, bayangan tawa kecil Tamara di ruang tengah, dan rasa bersalah yang seperti telah menyalakan api di kerongkongannya.Kaivan menahan napas, kemudian mencengkeram kedua pergelangan tangan Aira dengan lembut, tetapi penuh ketegasan.
Kaivan seketika tercekat. Kalimat panjang Alya seperti melemparnya jauh ke dasar jurang. Skakmat.Akan tetapi, Kaivan berusaha untuk tidak memperlihatkan ekspresi apa pun. Otaknya fokus menyusun kalimat berikutnya.“Berjanjilah untuk selalu percaya kalau aku hanya mencintaimu, Al,” ucap Kaivan pelan. Ia merengkuh tubuh Alya dan membenamkan wajahnya pada bahu sang istri. “Secantik dan semuda apa pun wanita-wanita di luar sana.”Alya tak menjawab, hanya tersenyum tipis. Samar. Lebih terlihat seperti upaya menyembunyikan sesuatu daripada ungkapan kebahagiaan. Entahlah.“Mas aneh deh, baru pulang malah ngomong kayak mau pamitan aja,” ujarnya ringan, tetapi nada suaranya sedikit berbeda dari biasanya. Seakan mengandung sesuatu yang tak terucap. Sayangnya Kaivan tidak menyadari hal itu.Kaivan menghela napas. “Maaf ya, aku jadi drama. Cuma ... aku takut, Yang.”“Takut apa?”“Takut kehilangan kamu.”Alya tersenyum samar, kemudian menunduk. Menyembunyikan butiran bening yang sempat menggantun
Kaivan mampir ke masih sebelum sampai di rumah. Kejadian beberapa saat lalu ketika Alya marah karena mencium aroma lain dari tubuhnya membuat Kaivan memutuskan untuk mandi sebelum sampai di rumah.Beruntung ia selalu menyediakan baju ganti di mobil. Kaivan bahkan membuang pakaian sebelumnya ke tempat sampah. Ia belum mampu menjelaskan apa pun jika nanti Alya bertanya.Sementara itu, Rayyan menanti dengan gelisah di ruang tamu. Tidak ingin beranjak dari sana karena sedang menunnggu Kaivan. Ia harus bicara dengan pria paruh baya itu jika sudah sampai di rumah.Sebelumnya ia sudah menghubungi papa mertuanya yang mengatakan jika Kaivan sedang dalam perjalanan pulang. Sebab itu ia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menemui Kaivan begitu sampai di rumah saja.Benar saja, begitu pintu utama terbuka dan menampilkan sang papa di sana, Rayyan segera menggiring pria paruh baya itu ke ruang kerja dan segera menutup pintu, bahkan menguncinya."Apa ini, Pa?" tanya Rayyan tak sabar.Kaivan mene