"Terima kasih, tidak membuat keluarga saya curiga dengan pernikahan kita," ucapku saat kami memulai perjalan untuk kembali ke Jakarta.
Jujur saja rasa canggung sedikit terselip dalam kalimat itu. Kata ‘kita’ di dalam kalimat itulah yang menjadi penyebabnya. Pasalnya aku tahu, kami menikah bukan karena cinta. Bahkan aku merasa seperti menjadi simpanan sekarang. Bedanya, jika wanita simpanan lain merasa disayangi dan diperlakukan lebih daripada istri sah, aku justru merasa bersyukur sudah dinikahi. Aku cukup tahu diri untuk meminta banyak hal dari Pak Kaivan. Ya, akhirnya pernikahan yang tak diinginkan itu terjadi. Tragedi di malam itu benar-benar menyisakan bekas dan menghadirkan kehidupan kecil di rahimku. Sesaat, aku merasa dunia seakan berhenti saat sadar jika kehamilan itu terjadi. Aku seperti berada relung bumi yang paling dasar. “Sejak malam itu saya merasa, kalau kamu adalah tanggung jawab saya. Tanggung jawab saya menjaga nama baik kamu, di depan keluarga kamu sendiri.” Tidak bisa dipungkiri, jawaban Pak Kaivan membuatku merasa melayang untuk sesaat. Akan tetapi, kalimat pria itu selanjutnya membuatku seperti dihempas jauh-jauh dari bumi. “Tapi saya minta satu hal sama kamu, pernikahan kita hanya ada di depan keluarga kamu dan orang-orang di kampung kamu. Setelah sampai di Jakarta nanti, di kampus, di hadapan Kinan dan yang lainnya kita bukan siapa-siapa?” ucapnya pelan, tetapi tak meninggalkan kesan tegas. Aku cepat tersadar saat tiba-tiba pelupuk mata terasa memanas. “Kamu paham?” tanyanya kemudian karena aku hanya bergeming tanpa merespons. Aku akhirnya mengangguk tanpa suara, bahkan tanpa menoleh pada pria itu. “Maaf," ujarnya lirih, "maksud saya ... sampai saya siap untuk mengatakan yang sebenarnya pada semuanya.” Sepertinya dia menyadari jika aku tidak menyukai ucapannya. “Pak Kaivan nggak perlu melakukan itu. Setelah anak ini lahir, Bapak bisa ceraikan saya, saya janji nggak akan ganggu Pak Kaivan dengan menggunakan anak ini sebagai alasan. Saya hanya butuh status ayah untuk akta kelahirannya nanti, itu saja.” Aku berusaha meredam apa yang sebenarnya bergejolak di hati. Bagaimanapun pria itu sekarang adalah suamiku. Terlepas bagaimana cara kami menikah. Rasa sakit itu pasti ada saat wanita mana pun mendengar sesuatu yang tidak disuka dari pria yang berstatus sebagai suami. Apa yang kukatakan benar, bukan? “Maksud kamu?” tanyanya kemudian sembari menoleh. Dari ujung mata yang melirik sekilas, aku bisa melihat keningnya sedikit berkerut. Aku bergeming. Tidak tahu bagaimana menjawab. Aku paham benar bagaimana status pernikahan ini di depan orang-orang terdekat Pak Kaivan nantinya. Seharunya tidak perlu dia perjelas seperti itu. Aku cukup tahu diri. Karena itu, aku mendadak merasa muak saat pria itu membahas dan menekankan lagi. “Asal kamu tahu saja, Alya. Saya bukan seorang pria yang tidak bertanggung jawab, dan saya tidak ingin menjadi seperti itu, Alya," ucapnya tegas, "Terlebih itu adalah sebagai seorang ayah." Dia menghela napas dalam, kemudian berkata lagi, "Kalau boleh jujur, saya sudah lama menginginkannya kehadiran seorang anak.” Kalimat terakhirnya itu dia katakan dengan lirih sekali. Kalimat itu juga cukup membuatku menoleh secara refleks. Jujur, ucapannya cukup ampuh memperbaiki mood yang tadi mendadak berantakan. Aku tahu pernikahannya dengan Bu Kinan memang cukup lama--meski aku tidak tahu angka pastinya. Mereka memang belum dikaruniai seorang anak. “Kenapa percaya sama saya, Pak?” Iseng aku bertanya. “Hmm?” Dia bergumam tanpa menoleh. “Bisa saja, 'kan, saya menipu Pak Kaivan? Pak Kaivan yakin kalau ini anak Pak Kaivan?” Entahlah, pertanyaan itu muncul begitu saja. Tentu saja aku hanya mengujinya. Karena seratus persen yang tumbuh di dalam sana adalah darah dagingnya. Dia bergeming. Masih terus fokus mengemudi. Sepertinya dia tidak akan menjawab pertanyaanku begitu saja. Akan tetapi, aku tidak menyerah. “Gimana, Pak?” tanyaku lagi karena pria bercambang tipis itu tidak juga memberi respons. “Hmm, saya sudah jadi suami kamu, tapi kamu masih panggil saya pak?” Kelihatan sekali dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Seperti biasa, suaranya tetap terdengar datar dan dingin. Kali ini ganti aku yang terdiam. Ia segera membuang pandang ke jendela sesaat setelah tatapan kami baru saja bertemu. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang beda di dalam sana. “Ja—jadi, saya harus panggil apa?” Ah, kenapa aku mendadak jadi gagap? “Terserah, waktu di depan keluarga kamu kemarin kamu panggil saya apa?” Dia balik bertanya. Kebiasaan. “Emhh ...., M-mas?” ucapku ragu. “Itu lebih baik, daripada saya seperti menjadi bapak kamu.” Sepertinya dia sedang mencoba menetralkan suana yang selalu canggung. “Tapi kan Bapak memang dosen saya,” protesku kemudian. Sebab rasanya akan sulit mengganti panggilan baru untuk seseorang. Pak Kaivan sudah menjadi dosenku selama tiga tahun ini. Dua tahun terakhir pria itu selalu mengisi mata kuliah di kelasku tiap semester. Tentu saja tidak mudah untuk mengubah sebutan itu. “Kamu pasti bisa membedakan di mana saya menjadi dosen kamu dan di mana saya menjadi suami kamu.” Dia sedikit menegakkan badan sambil terus mengemudi. Entahlah, aku merasa dia seperti sedang salah tingkah. Aku pun memutar bola mata. “Oke,” jawabku singkat. Sejujurnya aku masih bingung bagaimana harus menyikapi pria yang berstatus suamiku itu. Terkadang berkata manis seolah-olah diri ini memang berharga, terkadang juga bersikap dingin seolah aku bukan siapa-siapa. Ya, menurutku kalimat Pak Kaivan barusan memang terdengar manis. Entahlah, aku tidak merasa suara Pak Kalian sedingin tadi. Dia lebih bisa mencair daripada sebelumnya. Perjalanan kami lebih banyak diisi dengan kebisuan. Selain karena rasa canggung yang masih mengusung, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku yakin dia pun juga. Pak Kaivan menghentikan Pajeronya di pelataran rumah yang terbilang mewah menurutku. Meskipun bisa dikatakan minimalis, tetapi Aku bisa melihat bangunan itu memiliki dua lantai. Aku mendongak sesaat. Ada balkon mini juga di sana. Aku menghela napas kemudian. Apa aku akan tinggal di sana? Ada siapa di dalam sana? Jangan bilang ada istri pertamanya di sana. Tidak mungkin. Dia bilang kan status pernikahan ini disembunyikan dari istrinya.Lysandra membenarkan selimut untuk kesekian kalinya. Suara jam dinding sudah nyaris sampai di angka sebelas. Ia tidak juga bisa membuat matanya terpejam.Dia menekan tombol home ponselnya lagi. Tidak ada notifikasi sekadar balasan satu kata dari Rayyan.Beberapa saat kemudian, Lysandra menangkap suara deru mobil samar-samar. Jantungnya mulai tak beraturan. Syukurlah, mertuanya tidak langsung menegur Rayyan malam ini juga. Karena beberapa saat kemudian, Lysandra merasakan ada langkah mendekati kamarnya. Lysandra tidak ingin berpura-pura tidur. Ia sudah bangkit dari tempat tidur saat Rayyan membuka pintu kamar mereka. Ia berdiri menyambut Rayyan, meraih tangannya dan menciumnya dengan takzim. Namun, hatinya mencelos saat aroma asing ia tangkap dari punggung tangan suaminya. Aroma manis dan lembut mirip parfum perempuan."Kamu belum tidur, Ly?" tanyanya, melepas jaket. Lysandra meraih jaket itu, kemudian menyimpannya di tempat pakaian kotor. Namun, ia berhenti sejenak saat aroma yang
Tak Mampu Lagi Tersembunyi"Mas, aku masak makanan kesukaanmu untuk makan malam, pulang cepat, ya?" tulis Lysandra di chatnya untuk Rayyan.Pesan itu Lysandra kirim sejak dua jam yang lalu, tetapi tak kunjung ada balasan. Lysandra menghela napas dalam, berharap rasa sesak di dada menguap bersama karbondioksida yang ia embuskan kuat-kuat. Usia pernikahannya sudah satu bulan, tetapi hubungan mereka masih jalan di tempat. Meski Lysandra sudah berusaha sebisa mungkin untuk menggapai hati suaminya, tetapi Rayyan seakan selalu mendapatkan cara untuk menghindar. Namun, Lysandra belum ingin menyerah. Lysandra beranjak dari meja makan yang isinya belum tersentuh. Ia beranjak duduk di sofa ruang tengah, menanti sang suami di sana. Setidaknya ia bisa bergerak cepat untuk menyiapkan segalanya bila Rayyan pulang.Kaivan dan Alya makan malam berdua di luar, mereka berangkat sejak sore karena Alya sedang saum. Jadi, Kaivan berinisiatif mengajak istrinya itu berbuka di luar.Sementara itu, Aisy ber
[Pagi, Sayang. Gimana malam pertamanya? AKU TEBAK PASTI HAMBAR, YA😆😆]Lysandra menghela napas dalam ketika tanpa sengaja matanya menatap layar ponsel Rayyan yang menyala dan menampilkan balon chat. Wanita itu tengah membereskan tempat tidur dan ponsel Rayyan tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Sementara pemiliknya tengah membersihkan diri di kamar mandi.Rayyan keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Hanya dengan lilitan handuk sebatas pusar. Jelas dada bidangnya terekspos semua. Lysandra membuang pandang ke lantai, tetapi terlambat. Pipinya sudah terlanjur memanas. Tanpa sadar ia menelan ludahnya sendiri. Ini pertama kali dalam seumur hidup Lysandra melihat pemandangan seperti itu. Rayyan kemudian mengambil dan mengenakan setelan rumahan yang Lysandra siapkan di atas tempat tidur saat Rayyan di kamar mandi."Kita ke bawah, Ly. Papa sama pasti udah nunggu untuk sarapan." Rayyan menggandeng tangan Lysandra. Lysandra mengangguk, kemudian mengikuti langkah sang suami u
Rayyan menatap mata Aira. Dalam-dalam. Tapi yang dia lihat hanya pantulan dirinya sendiri yang tak lagi sama. Dia sudah jadi suami orang.“Maaf, Ai. Aku harap kamu paham, aku baru saja menjadi suami orang,” ucapnya pelan.Aira tersenyum tipis, lebih sebagai cara menahan air mata. “Selamat atas pernikahannya, tapi kamu masih milikku, Ray,” ucapnya kemudian memutar tubuh dan meninggal kekasihnya yang sudah menjadi suami orang itu.Rayyan bergeming. Memandang kepergian Aira, kemudian membuang pandang begitu suara heels Aira menghilang di antara keramaian.Dan dari sudut lain, Lysandra memperhatikan semuanya. Tak sepatah kata pun. Ia hanya diam, lalu menunduk, pura-pura sibuk merapikan kerudung yang tak kusut.***Malam menjelang. Kediaman keluarga Kaivan masih menyisakan sisa-sisa tawa tamu, bunga-bunga pesta, dan kursi-kursi lipat yang belum dirapikan seluruhnya. Pernikahan memang digelar di kediaman Kaivan. Tentu saja atas permintaan Kaivan.Kamar pengantin Rayyan dan Lysandra dipenuh
Di Atas Plaminan[Pagi, Sayang. Semoga hari ini menyenangkan. Tapi maaf, aku tidak akan berdoa pernikahanmu bahagia. AKU TUNGGU DUDAMU TAHUN DEPAN]Pesan itu muncul ketika Rayyan membuka ponsel untuk melihat jam. Ternyata sebentar lagi masuk waktu subuh. Rayyan bangkit untuk bersiap.Sebelum beranjak, ia sempat menatap lama pada jas silver yang tergantung di pintu lemari. Jas itu akan ia kenakan hari ini. Ya, hari ini adalah hari pernikahannya dengan Lysandra. Tinggal menghitung menit statusnya akan berubah menjadi seorang suami.Rayyan memegang dadanya yang masih bergemuruh. Segera menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu untuk bersiap salat di masjid dekat rumah. Papanya pasti sudah menunggu di bawah seperti biasa. "Lihat, Ma. Aura calon pengantin emang beda, ya," canda Kaivan begitu Rayyan sudah turun mengenakan koko dan kain sarung lengkap dengan peci. Ia hanya tersenyum tipis menanggapi godaan sang papa. Debaran itu hadir meski samar. Kaivan merangkul putra sulungnya kemud
"Ray, udah malam, makan dulu Nak!" suara Alya menggema dari bawah, tetapi Rayyan hanya mengangkat tangan tanpa menoleh."Ciee yang bentar lagi nikah, jadi gak nafsu makan, ya," ejek Aisy sambil mendongak ke atas."Bawel.""Dih, Mama dikatain bawel tuh sama jagoan Mama." Aisyahra bersuara lagi. Kali ini menoleh pada Alya, mamanya.Alya hanya bergeming, menatap sang putra hingga tubuhnya menghilang."Udahlah, Rayyan gak akan kurus cuma karena gak makan malam satu kali." Kaivan kini menimpali, ia berjalan gontai menuju meja makan. Hatinya masih diliputi rasa bahagia yang tak terkira. Membayangkan putra sulungnya akhirnya menikah dengan putri sahabat karibnya. Meski sudah berumur, Kaivan masih tampak gagah, senyumnya juga masih menawan. Tak jarang masih membuat Alya berbunga-bunga saat menatapnya, seperti saat masih muda dulu.Sementara itu, Rayyan segera masuk ke kamar dan mengunci pintu. Napasnya tak beraturan, seolah sedang dikejar waktu. Ditariknya ponsel dari saku lalu membaca pesan
"Jadi, gimana? Kamu terima tawaran Papa atau bawa gadis itu ke rumah? Bukan hanya sebagai pacar, tapi sebagai calon istri," tegas Kaivan yang kini tengah berhadapan dengan putra sulungnya di ruang keluarga. "Papa pikir sudah cukup Papa memberikan waktu enam bulan untukmu mengambil keputusan dan juga tindakan."Rayyan menunduk, kemudian menghela napas dalam. Mulai menyusun kalimat untuk menjawab pertanyaan sang papa."Iya, Pa. Ray sudah ambil keputusan. Ray siap terima perjodohan ini.""Kamu yakin? Papa tekankan sekali lagi, Papa tidak memaksa, Papa cuma mau kamu nikah tahun ini."Rayyan mengangguk. Tanpa kata dan suara. "Oke, kalau gitu, besok kita ke rumah Om Azzam untuk melamar anak bungsunya, Lysandra," tambah Kaivan lagi sarat akan ketegasan. Rayyan menatap Kaivan lagi. "Besok, Pa?"Kaivan mengangguk. "Lebih cepat lebih baik. Niat baik tidak boleh ditunda, kan?"Rayyan terpaku. Ia tidak menyangka jika papanya akan bergerak secepat itu. "Emang gak perkenalan dulu gitu?" tanya Ra
"Nikah? Sekarang? Gak mungkin Ray. Aku belum siap untuk nikah," ucap seorang gadis berambut hitam setengah ikal menatap tak percaya. "Kamu tahu sendiri, perjalanan karirku masih panjang.""Sampe kapan, Ai? Kamu udah jadi dokter yang hebat," ucap pria beralis tebal itu.Wajah pria itu menampilkan garis kegusaran. Namun, tak mengurangi aura kehampanan yang terpancar. Membuat gadis cantik di hadapannya tak bosan menatap pada satu objek di hadapannya. Ya, dialah Rayyan Putra Satria—putra sulung Kaivan dan Alya."Tapi aku gak bisa menunggu lagi, Ai. Papa sudah mendesak untuk menikah tahun ini. Aku udah lelah debat sama Papa. Kalau dalam waktu dekat aku gak kenalin calon istri, Papa bakal jodohin aku sama anak sahabatnya," jelas Rayyan dengan kemudian.Tak sebanding dengan wajah Rayyan yang gusar, gadis di hadapannya tidak terkejut sama sekali. Jauh dari ekspektasi Rayyan sebelum bertemu kekasihnya."Ya udah nikah aja, Ray. Ikutin aja dulu kemauan papamu." Gadis itu berucap dengan santai.
Alya pun mengambil bingkai foto kecil di meja samping tempat tidur Haura. Dia kemudian menata bantal agar mereka dalam posisi duduk. Haura ia letakkan di atas pangkuannya."Haura, Sayang. Lihat ini deh," ucap Alya, memperlihatkan potret mereka berdua empat tahun lalu. Saat Haura berusia berusia enam bulan dalam pangkuan Alya yang sedang hamil besar. "Haura tahu ini siapa?" tunjuk Alya pada foto bayi Haura."Iya, itu Haura waktu bayi, kan, Ma?" jawab Haura dengan sangat yakin. Ia jelas tahu. Bingkai foto itu selalu di meja dekat tempat tidurnya. Ada tiga bingkai foto yang terpajang di sana. Foto Haura bayi bersama Alya, foto mereka berlima yang saat Rayyan baru masuk TK, dan foto Kinan bersama Haura satu tahun lalu."Kalau yang perut Mama ini siapa?" tanya Alya lagi."Itu adek Aisy masih di dalam perut Mama," jawab Haura yakin. "Kan Haura udah lahir, adek Aisy belum.""Pinter anak, Mama." Alya mencium rambut keriwil milik Haura."Hehehe," cengir Haura menunjukkan gigi susu yang teraw