Share

Perasaan Aneh

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-03-21 09:05:30

“Ayo turun,” ucap pria itu lirih seraya menoleh padaku.

Aku hanya setengah menoleh padanya, tanpa suara dan gerakan yang lain.

“Alya, kita sudah sampai. Turunlah," ulangnya lagi. Bisa kudengar embusan napas dalamnya.

Ada hal yang mengganggu pikiranku sehingga aku belum ingin keluar.

“Tapi, Pak. Ini rumah siapa?” Aku mengedarkan pandangan ke semua sisi di luar mobil.

“Rumah saya, kamu akan tinggal di sini.”

Aku menggeleng cepat. “Pak Kai antar saya ke kontrakan aja, saya akan tinggal di sana," ucapku cepat.

Mana mungkin aku tinggal di rumah ini. Sendirian? Dia pasti akan pulang ke rumah istrinya.

Atau jangan-jangan Bu Kinan di dalam. Jika iya, Pak Kaivan mungkin akan menyekapku di sebuah ruangan gelap supaya istri pertamanya itu tidak tahu. Tidak. Lebih baik aku tinggal di kontrakanku saja.

Aku tidak akan bisa tinggal bersama wanita yang menjadi kakak maduku. Lagi pula diri ini belum siap menghadapi bila tiba-tiba Bu Kinan ngamuk dan memakiku sebagai pelakor. Aku bergidik membayangkan itu terjadi. Tidak, aku bukan pelakor.

“Itu tidak akan terjadi. Saya mau kamu tinggal di sini.” Suaranya pelan, tetapi sarat akan ketegasan yang tak ingin dibantah di dalamnya.

“Tapi nanti Bu Kinan ....” Aku sengaja menggantung kalimat untuk melihat reaksinya.

“Alya, ini rumah saya. Bukan rumah saya dan Kinan.” Pak Kaivan menjelaskan. “Dan, Kinan tidak tahu menahu tentang rumah ini. Kamu pikir saya gila, membawa kamu ke hadapan Kinan sekarang?” jelasnya sedikit kesal.

Entahlah, penjelasan yang cukup panjang itu bukan hanya terdengar sebagai ocehan di telingaku, tetapi tusukan jarum di sudut hati.

Lagi-lagi aku seperti kehabisan kata mendengar kalimat terakhir pria yang berstatus suamiku itu.

Pak Kaivan yang selalu penuh wibawa dan keramahan saat mengisi seminar, kenapa bisa berubah menyebalkan seperti ini, ya?

“Saya juga belum siap untuk itu, Alya.” Kali ini suaranya lebih lirih.

Dengan malas, aku akhirnya bergerak untuk membuka pintu.

Sementara dia juga segera turun, setengah berlari melewati depan mobil. Saat pintu terbuka, dia sudah berada di depan mata dan berhasil membuatku cukup terkesiap. Karena kupikir dia tadi akan masuk ke rumah duluan meninggalkanku.

Dia mengulurkan tangan ke hadapanku dan berhasil menumbuhkan kebingungan dalam hati. Apa maksudnya?

Ah, kenapa aku ambil pusing? Namun, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Anehnya uluran tangannya sukses membuat derap jantung ini bertambah cepat. Begini saja, sikapnya cukup manis bagiku.

Ya Tuhan, kenapa harus baper gini, sih? Ingat, Alya. Dia sudah punya tambatan hati.

“Jangan salah paham, mobil saya cukup tinggi, saya nggak mau terjadi sesuatu dengan anak saya.” Dia menegaskan. Ah, seharusnya aku sadar diri sejak awal. Dia hanya khawatir pada anaknya.

Pria itu masih setia menunggu aku menyambut uluran tangannya.

Aku menatapnya lemah. “Jadi, Pak Kaivan percaya kalau ini anak Pak Kaivan?” Spontan pertanyaan itu muncul lagi, sukses membuat dia melengos, memutar bola mata dan membuang muka dariku.

Sungguh, aku cukup penasaran dengan jawaban pria itu setelah tadi mengelak menjawab.

“Alya, jangan panggil saya dengan sebutan itu saat di rumah ini.”

Lagi-lagi aku berhasil dibuat terpana. Dia jelas-jelas terus memintaku memanggilnya dengan sebutan khusus. Artinya secara tidak langsung dia memang mengakuiku sebagai istrinya. Aku mengulum senyum. Rasanya seperti ada bunga mulai bermekaran di paru-paru. Hingga membuat napas ini terasa sejuk dan ringan.

Namun, aku cepat-cepat menghapus senyum saat menyadari posisi diri saat ini.

“Jawab dulu pertanyaan saya!” Sebisa mungkin aku berusaha menyamarkan rasa gugup karena permintaan Pak Kaivan.

Dia memejam sejenak seraya menghela napas dalam. “Oke. Iya, saya percaya itu anak saya.” Dia menaikkan sebelah alisnya. Tanpa senyum. “Kamu puas?”

“Gimana Pak Kaivan bisa percaya? Padahal saya bisa saja, 'kan, berbohong. Bisa saja kalau saya hanya pura-pura hamil. Bapak nggak takut kalau saya hanya ingin mengacaukan rumah tangga Bapak dan Bu Kinan.” Lagi-lagi aku mendesak. Ini kesempatan, kan? Sayang kalau dilewatkan.

Entah kenapa rasa penasaran begitu mengusik jiwa.

“Alya, saya bilang saya percaya kamu. Harus, ya, saya mengatakan alasannya?” Ada nada kesal dari suaranya membuatku akhirnya bungkam juga.

Namun, isi kalimat itu mampu aku tangkap dan lagi-lagi menghadirkan perasaan aneh. Seakan memekarkan bunga-bunga yang layu di perut.

Akan tetapi, aku tidak menyambut uluran tangannya. Aku tidak ingin dia tahu, betapa dingin tangan ini karena perasaan aneh yang mendadak menyergap.

Bu Kinan, maafkan saya. Kalimat ini hanya kuucap dalam hati.

Sebisa mungkin aku harus bisa mengurangi kontak fisik dengan suamiku ini. Iya, aku tidak ingin sentuhan-sentuhan kecil dari pria itu akan menumbuhkan dan menyuburkan benih-benih yang seharusnya tidak tumbuh di antara kami.

Ya, aku harus terus berusaha membangun tekad untuk tidak jatuh cinta pada pria yang tiga belas tahun lebih tua dari diriku ini. Jika cinta itu tumbuh, akan lebih sulit bagiku untuk meninggalkannya nanti.

Sejak awal pesona Pak Kaivan memang selalu membius kaum hawa. Khususnya para mahasiswi di fakultas ekonomi. Meski usianya sudah melewati angka tiga puluh, tetapi pesonanya tak kalah dengan pria berusia dua lima.

Kalau saja, Pak Kaivan masih singel, sejak lama aku sudah membaiat hati ini untuk jatuh cinta padanya. Namun, statusnya sebagai suami seorang Kinan Maharani yang juga berprofesi sebagai dosen di kampus yang sama, membuat kebanyakan mahasiswi sepertiku mundur sebelum mulai melangkah maju.

Pak Kaivan yang sepertinya sadar dengan penolakanku menyambut tangannya, memundurkan tubuh sedikit. Ia kemudian membiarkanku melangkah lebih dulu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pertanyaan Lysandra

    Suasana kafe bagian depan mendadak berubah hening—seakan orang-orang di sekitar lupa bernapas. Kalimat itu ....“Karena dia... anak kandung Papa. Sama seperti kamu.”Udara mendadak terasa berat. Mata Aira membelalak, tubuhnya juga terasa kaku. Seolah-olah bagian dari dirinya berhenti bekerja. Napasnya tercekat, tenggorokan pun terasa mengering. Ia menatap Azzam sejenak—tak tahu harus berkata apa. Juga tidak tahu harus merasa seperti apa.Tubuhnya seakan tersedot ke dalam pusaran yang tak kasat mata. Kepalanya penuh. Dadanya sesak. Mirisnya tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya. Entah itu berupa amarah atau pun sekadar tanya. Rasa di dalam hatinya kini sulit untuk diraba. Terasa begitu ambigu dan membingungkan. Ia ingin menganggap kalimat pria paruh baya itu hanyalah igauan belaka.Aira kemudian membalikkan tubuh dan segera mengais langkah cepat. Bukan berlari, tetapi cukup tegas. Ia lebih seperti seseorang yang butuh melarikan diri sebelum hatinya meledak.Azzam hanya bisa

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Pengakuan

    "Siapa sebenernya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang ibu saya?"Azzam bergeming lagi. Sikapnya tetap tenang. Setidaknya ia mampu menyembunyikan ketegangan dalam hatinya dengan wajah dan kalimat yang tenang.Aira memutuskan untuk berdiri, lalu memutar tubuh. Berniat meninggalkan Azzam begitu saja. Tak peduli akan bagaimana nasibnya. Ia sama sekali tidak takut dipecat karena bersikap tidak baik pada pimpinan. "Sahara!" Namun, suara itu mampu memutus langkahnya yang hampir saja masuk kembali ke dalam kafe. Perlahan ia menoleh."Sahara adalah nama kecilmu, bukan?" tebak Azzam dengan penuh keyakinan.Aira terdiam. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Entah karena senja yang mulai turun, atau karena nama itu—nama yang seharusnya tak ada seorang asing pun tahu.Selain dari Kaivan, Azzam juga menggali informasi melalui orang-orang suruhannya."Siapa sebenarnya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang Ibu saya?" suara Aira seolah menggema ulang. Terdengar pecah, seten

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Seperti Tahu Segalanya

    Suasana di luar kafe perlahan meredup, disapu cahaya sore yang jatuh miring di trotoar. Aira berdiri beberapa langkah dari pintu, sementara pria itu—Azzam—berdiri diam di hadapannya. Tak ada pelanggan lain, hanya lalu-lalang kendaraan dan desau angin yang membawa suara klakson dari kejauhan."Sebentar saja?" Suara Azzam lemah. Bukan hanya suara, tetapi tatapannya juga. Aira menimbang. Tubuhnya ingin menolak, tetapi rasa penasarannya terlanjur merangkak masuk ke dadanya. Apa yang ingin dibicarakan pria paruh itu?Ia menoleh sebentar ke dalam, memastikan Galang tidak memperhatikannya, lalu mengangguk.“Silakan.”Mereka duduk di bangku kecil di sisi kanan kafe. Meja bundar aluminium bergetar sedikit saat Aira meletakkan ponsel di atasnya. Sebenarnya ia masih menunggu balasan pesan chat yang ia kirim sejak pagi, tetapi belum terbaca—apalagi balasan.Tangan wanita itu menyatu di pangkuan, sedang Azzam hanya menatapnya sebentar lalu menunduk.“Terima kasih. Ini mungkin terdengar aneh atau

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Tak Punya Pilihan

    ["Om, apa kita bisa ketemu?"] Kaivan membaca pesan chat di ponselnya. Dia kemudian meletakkan ponsel di meja makan, kemudian melanjutkan makan. ["Plis, Om. Ada hal penting yang mau aku tanyain. 🥺"] Alya yang berada di sebelahnya menoleh pada sang suami. "Kayaknya dia lagi butuh banget sama kamu, Mas." Alya berucap. "Biar saja, tugasku sudah selesai. Bair Azzam yang melanjutkan." "Memangnya Mas Azzam bakal bisa mengatakan semua gitu aja, Mas?" tanya Alya. Kaivan menatap istrinya. "Aku gak mau masuk lebih dalam lagi, Yang," desahnya lirih. Layar ponsel Kaivan menyala lagi. [Maaf, untuk apa yang terjadi beberapa waktu lalu, Om!] Alya menatap Kaivan bingung. "Cck.“ Pria paruh baya itu berdecak. "Baru baca chatnya aja kamu udah lihatin aku penuh kecurigaan lagi. Apalagi kalau aku temuin dia." Kaivan memandangi layar ponselnya. Jempolnya sempat bergerak untuk membalas, tetapi berhenti di tengah jalan. Ia kembali menaruh ponsel ke meja. Kembali ke nasinya yang sudah

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Bukan Pelanggan Biasa

    “Jelas aja gak asing, emang siapa yang gak kenal sama dia?”Suara itu muncul tiba-tiba dari arah samping kanan Aira, membuat tubuhnya refleks menoleh cepat.Ternyata itu suara Galang, manajer kafe yang memang dikenal muncul tanpa suara seperti hantu shift sore. Sudah dua minggu ini pria paruh baya itu makin sering berdiri dan terlalu dekat saat berbicara. Bukan mengganggu, tetapi cukup untuk membuat Aira tak nyaman."Maksud Pak Galang?" Aira bertanya dengan nada santai, meski alisnya sedikit terangkat.Galang menunjuk samar ke arah luar jendela, ke tempat seorang pria baru saja berjalan menjauh dari kafe. Sosok yang belakangan merasa Aira kenali, meski tak bisa menyebutkan dari mana.“Masa kamu gak kenal sih sama beliau?”Aira menggeleng, ekspresinya polos, tetapi tetap waspada. “Saya memang gak kenal, Pak.”Galang terkekeh, seperti mendapati sesuatu yang lucu. “Beliau tuh ... salah satu pendiri jaringan bisnis kuliner terbesar di kota ini. Kafe ini juga masih ada di bawah jaringan g

  • Malam Pertama dengan Dosenku   Perbincangan Singkat

    Beberapa kali Azzam datang ke sana lagi. Ia memesan menu berbeda, duduk di meja yang berbeda, dan kadang berpura-pura jadi pelanggan tetap. Tapi tiap kali, reaksinya tetap sama. Aira tak pernah mengenalnya. Ah, memang apa yang ia harapkan? Berharap Aira akan mengenalnya sebagai ayah begitu saja. Azzam bahkan terlalu pengecut untuk menyapanya. Ia pun hanya bisa melihat dari balik meja. Menjadi bayangan yang tak terlihat.a Hingga hari itu. Kafe sepi. Pelanggan hanya dua orang di pojok dan satu yang baru saja pergi. Aira sedang merapikan buku catatan order ketika suara Azzam memanggil. “Hmm Dek.” Aira menoleh. “Iya, Pak?” “Kalau boleh tahu ... kamu asli mana?” Aira tampak bingung sejenak, lalu tersenyum sopan. “Saya dilahirkan di Medan, Pak. Tapi besar di Jakarta.“ “Oh ....” Azzam menunduk sebentar, lalu berkata, “Orang tua kamu masih ada?” Pertanyaan itu membuat ekspresi Aira sedikit berubah. Namun, ia cepat mengendalikannya. “Saya dibesarkan keluarga angkat. Orang tu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status