Entah kenapa aku muak melihat pria yang berusia sebaya dengan Pak Kaivan itu.
Dia tidak sendiri. Dua orang lainnya berdiri di belakangnya layaknya bodyguard. "Hai, kamu!" Kini ekor matanya beralih padaku yang berdiri di belakang punggung Pak Kaivan. "Ayam kampus!" ejeknya sambil tersenyum miring. Dia maju beberapa langkah untuk mendekatiku. Namun, Pak Kaivan menggeser tubuhnya menghadang pria itu. "Bukankah kita sudah janjian sebelumnya? Tapi di sini rupanya kamu!" Dia masih tak menyerah. Ya, dia memang Pak Arga. Dosen pembimbing skripsi yang membuatku tersesat di sini. Entah kenapa aku yakin jika dia sengaja memberiku nomor kamar yang salah. Jangan ditanya bagaimana keadaanku sekarang, rasanya seperti tak bermalu lagi. "Bisakah kau berhenti melibatkan orang lain dalam masalah kita, Ga?" tekan Pak Kaivan dengan suara berat. Pak Arga menyeringai lagi. "Sayangnya tidak. Tidak akan seru jika kita hanya bermain berdua, Kai." Dia menjawab santai. "Ssst." Pak Arga setengah menoleh menatap pada salah seorang yang sejak tadi berdiri siap siaga. Dia memberi kode dengan menggerakkan kepalanya. Pandanganku beralih pada pria berbadan tegap yang melangkah masuk. Dengan penuh keyakinan dia melangkah menuju nakas. Tangannya mengambil sesuatu dari vas bunga di sana. Sebuah benda kecil yang aku yakin adalah sebuah ... kamera pengintai. "Br-eng. sek lo, Ga!" Aku terkesiap menoleh pada Pak Kaivan yang sudah mendorong tubuh Arga. Namun, seseorang yang tadi berdiri di belakang Pak Arga dengan sigap menghadang. Pak Arga menyeringai lagi, membenarkan jaketnya yang sedikit berantakan. Sungguh, rasanya aku ingin melemparnya dengan batu. "Santai, Bro. Kita selesaikan masalah ini dengan santai." Pak Arga berucap dengan begitu santai. Seolah masalah yang dia buat ini adalah masalah kecil. Pria itu melangkah melewati kami dan diikuti oleh pria yang tadi menghadang Pak Kaivan. Mereka menghampiri pria yang mengambil kamera pengintai tadi yang saat ini tengah sibuk dengan sebuah laptop. Entah kapan dan dari mana dia mendapatkan benda itu. Aku masih menahan kesal, air mata sejak tadi pasang surut. Kenapa hal ini harus terjadi padaku? Tidak cukupkah aku hanya kehilangan kesucian saja. Mungkinkah hari ini akan menjadi awal dari kehancuranku? "Tenang, Al. Saya janji semua akan baik-baik saja." Suara Pak Kaivan terdengar setengah berbisik mencoba menenangkan. Bagaimana bisa dia bilang akan baik-baik saja? Kupikir pria itu akan melakukan apa pun yang dia mau. "Tanda tangani ini, Kai, maka video rekaman adegan ran. jang kalian akan aman." Pak Arga setengah melempar sebuah map di atas tempat tidur. Pak Kaivan melangkah mendekat pada rivalnya itu. Aku tidak tahu itu berkas apa, tetapi pria matang itu segera membubuhkan tanda tangann setelah membaca beberapa saat. "Kau puas!?" Pak Kaivan setengah membanting map itu ke lantai, sehingga membuat map dan isinya berhambur. Salah satu anak buah Pak Arga memungutnya. "Kai ... Kai ..." Pak Arga menyeringai lagi. "Kau memang adik ipar yang paling payah. Jika kau mendengarkanku beberapa hari yang lalu, ini tidak akan terjadi. Sekarang semua sudah telanjur. Telanjur ada korban dan ...." Pak Arga melirikku sesaat. "Dan ... kalau Kinan tahu ini ...." "Kinan akan tahu seperti apa kakak kesayangannya ini sebenarnya." Pak Kaivan menyahut dengan cepat. "Sekarang bawa mereka pergi dan tinggalkan benda itu." Pak Kaivan menunjuk laptop yang di sana sudah tertanam chip memori kamera pengintai yang mereka pasang. Aku bisa mendengar suaranya yang seakan menahan amarah. "Bukankah kau sudah mendapatkan apa yang kau mau?" lanjutnya kemudian. "Baiklah, silakan nikmati waktu berdua kalian. Masih ada waktu untuk ronde kedua sebelum subuh." Pak Arga menyeringai lagi, kemudian berlalu dengan diikuti oleh kedua kaki tangannya. Pintu ditutup kembali oleh salah satu dari mereka. Pak Kaivan menghempaskan bokongnya ke kasur. Dia menunduk sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Dia kemudian meraih laptop yang masih terbuka di sana. Dia tampak serius menggerakkan jari di atas touch pad, mungkin mencari sesuatu di sana, beberapa saat kemudian tangannya berhenti bergerak. Matanya fokus menatap layar. Namun, beberapa saat kemudian dia menutup laptop itu dengan kasar. Sementara aku masih mematung. Meresapi berbagai macam perasaan yang tak jelas. Tak tahu bagaimana langkah selanjutnya. Dia lalu mendongak, menatap padaku. Membuatku menggeser sedikit arah pandangan darinya. "Maafkan saya, Al," desahnya kemudian. "Kamu harus terlibat dalam masalah ini. Saya nggak habis pikir Arga bisa melakukan ini hanya demi sebuah kedudukan yang bagi saya sebenarnya tidak begitu penting." Aku bergeming. Masih berdiri di tempat yang sama. Sejak tadi aku masih terus berusaha untuk menguatkan diri sendiri. "Duduklah, kita harus bicara. Semua sudah terjadi." Pak Kaivan bersuara lagi sambil menatap. Aku menunduk. Kemudian duduk di ranjang yang sama, tetapi di sudut yang berbeda. Apalagi yang harus dibicarakan? Dia tak kan mungkin berpikir untuk menikahiku, kan? Jika, ya, mau dikemanakan istrinya?Hujan belum turun, tetapi langit sudah cukup suram untuk membuat siapa pun ingin pulang lebih cepat. Namun, tidak dengan Lysandra. Langkahnya berat ketika membuka pintu utamaa kediama keluarga Satria. Tangan dinginnya sedikit gemetar. Bukan karena cuaca dan suhu atmosfer yang tiba-tiba berubah, tetapi lebih karena hatinya yang terasa layu. Seumur hidup, ia tidak pernah sekecewa itu pada papanya.Kaivan yang tengah menggendong Tamara yang sedang tertawa-tawa karena digelitik, langsung menghentikan gerakannya saat melihat sang menantu.“Ly?” panggil Kaiva pelan.Kaivan mengikuti langkah Lysandra yang terburu-buru dengan ekor matanya. Wajah menantunya tampak murung. Jangankan menjawab panggilan papa mertua, menoleh saja tidak—seolah tidak mendengar.Lysandra hanya berjalan cepat melewati ruang tengah, melewati Kaivan dan Tamara tanpa sepatah kata pun, lalu mulai meniti tangga. “Ly, ada apa? Hei—” Kaivan bersuara lagi, kali ini nada suaranya lebih tinggi. Namun, Lysandra seolah sedang
Suasana kafe bagian depan mendadak berubah hening—seakan orang-orang di sekitar lupa bernapas. Kalimat itu ....“Karena dia... anak kandung Papa. Sama seperti kamu.”Udara mendadak terasa berat. Mata Aira membelalak, tubuhnya juga terasa kaku. Seolah-olah bagian dari dirinya berhenti bekerja. Napasnya tercekat, tenggorokan pun terasa mengering. Ia menatap Azzam sejenak—tak tahu harus berkata apa. Juga tidak tahu harus merasa seperti apa.Tubuhnya seakan tersedot ke dalam pusaran yang tak kasat mata. Kepalanya penuh. Dadanya sesak. Mirisnya tak ada satu kata pun yang lolos dari bibirnya. Entah itu berupa amarah atau pun sekadar tanya. Rasa di dalam hatinya kini sulit untuk diraba. Terasa begitu ambigu dan membingungkan. Ia ingin menganggap kalimat pria paruh baya itu hanyalah igauan belaka.Aira kemudian membalikkan tubuh dan segera mengais langkah cepat. Bukan berlari, tetapi cukup tegas. Ia lebih seperti seseorang yang butuh melarikan diri sebelum hatinya meledak.Azzam hanya bisa
"Siapa sebenernya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang ibu saya?"Azzam bergeming lagi. Sikapnya tetap tenang. Setidaknya ia mampu menyembunyikan ketegangan dalam hatinya dengan wajah dan kalimat yang tenang.Aira memutuskan untuk berdiri, lalu memutar tubuh. Berniat meninggalkan Azzam begitu saja. Tak peduli akan bagaimana nasibnya. Ia sama sekali tidak takut dipecat karena bersikap tidak baik pada pimpinan. "Sahara!" Namun, suara itu mampu memutus langkahnya yang hampir saja masuk kembali ke dalam kafe. Perlahan ia menoleh."Sahara adalah nama kecilmu, bukan?" tebak Azzam dengan penuh keyakinan.Aira terdiam. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Entah karena senja yang mulai turun, atau karena nama itu—nama yang seharusnya tak ada seorang asing pun tahu.Selain dari Kaivan, Azzam juga menggali informasi melalui orang-orang suruhannya."Siapa sebenarnya Pak Azzam ini? Kenapa seolah tahu segalanya tentang Ibu saya?" suara Aira seolah menggema ulang. Terdengar pecah, seten
Suasana di luar kafe perlahan meredup, disapu cahaya sore yang jatuh miring di trotoar. Aira berdiri beberapa langkah dari pintu, sementara pria itu—Azzam—berdiri diam di hadapannya. Tak ada pelanggan lain, hanya lalu-lalang kendaraan dan desau angin yang membawa suara klakson dari kejauhan."Sebentar saja?" Suara Azzam lemah. Bukan hanya suara, tetapi tatapannya juga. Aira menimbang. Tubuhnya ingin menolak, tetapi rasa penasarannya terlanjur merangkak masuk ke dadanya. Apa yang ingin dibicarakan pria paruh itu?Ia menoleh sebentar ke dalam, memastikan Galang tidak memperhatikannya, lalu mengangguk.“Silakan.”Mereka duduk di bangku kecil di sisi kanan kafe. Meja bundar aluminium bergetar sedikit saat Aira meletakkan ponsel di atasnya. Sebenarnya ia masih menunggu balasan pesan chat yang ia kirim sejak pagi, tetapi belum terbaca—apalagi balasan.Tangan wanita itu menyatu di pangkuan, sedang Azzam hanya menatapnya sebentar lalu menunduk.“Terima kasih. Ini mungkin terdengar aneh atau
["Om, apa kita bisa ketemu?"] Kaivan membaca pesan chat di ponselnya. Dia kemudian meletakkan ponsel di meja makan, kemudian melanjutkan makan. ["Plis, Om. Ada hal penting yang mau aku tanyain. 🥺"] Alya yang berada di sebelahnya menoleh pada sang suami. "Kayaknya dia lagi butuh banget sama kamu, Mas." Alya berucap. "Biar saja, tugasku sudah selesai. Bair Azzam yang melanjutkan." "Memangnya Mas Azzam bakal bisa mengatakan semua gitu aja, Mas?" tanya Alya. Kaivan menatap istrinya. "Aku gak mau masuk lebih dalam lagi, Yang," desahnya lirih. Layar ponsel Kaivan menyala lagi. [Maaf, untuk apa yang terjadi beberapa waktu lalu, Om!] Alya menatap Kaivan bingung. "Cck.“ Pria paruh baya itu berdecak. "Baru baca chatnya aja kamu udah lihatin aku penuh kecurigaan lagi. Apalagi kalau aku temuin dia." Kaivan memandangi layar ponselnya. Jempolnya sempat bergerak untuk membalas, tetapi berhenti di tengah jalan. Ia kembali menaruh ponsel ke meja. Kembali ke nasinya yang sudah
“Jelas aja gak asing, emang siapa yang gak kenal sama dia?”Suara itu muncul tiba-tiba dari arah samping kanan Aira, membuat tubuhnya refleks menoleh cepat.Ternyata itu suara Galang, manajer kafe yang memang dikenal muncul tanpa suara seperti hantu shift sore. Sudah dua minggu ini pria paruh baya itu makin sering berdiri dan terlalu dekat saat berbicara. Bukan mengganggu, tetapi cukup untuk membuat Aira tak nyaman."Maksud Pak Galang?" Aira bertanya dengan nada santai, meski alisnya sedikit terangkat.Galang menunjuk samar ke arah luar jendela, ke tempat seorang pria baru saja berjalan menjauh dari kafe. Sosok yang belakangan merasa Aira kenali, meski tak bisa menyebutkan dari mana.“Masa kamu gak kenal sih sama beliau?”Aira menggeleng, ekspresinya polos, tetapi tetap waspada. “Saya memang gak kenal, Pak.”Galang terkekeh, seperti mendapati sesuatu yang lucu. “Beliau tuh ... salah satu pendiri jaringan bisnis kuliner terbesar di kota ini. Kafe ini juga masih ada di bawah jaringan g