Pagi-pagi, beberapa jam yang lalu. Alya keluar dari mobil yang ia kendarai sendiri setelah sampai titik lokasi yang dikirim seseorang lewat aplikasi pesan hijau. Alya berjalan menapak rerumputan hijau. Sebuah taman kecil yang berada di salah satu sudut kota. Tak jauh dari taman itu, di bagian bawah terdapat danau kecil.Aira menyisir sekeliling dengan pandangannya. Kemudian berhenti pada sesosok yang mengenakan stelan jaket abu-abu dan topi hitam berdiri di bawah pohon. Di depannya ada sebuah meja dan kursi kayu sepanjang dua meter.Alya melangkah perlahan untuk turun. Pria itu melempar senyum kecil setelah wanita itu sampai di bawah. Alya sama sekali tidak membalas, ia justru memasang wajah datar dan terkesan jutek.“Kenapa harus di tempat seperti ini, sih?” Alya bertanya sambil memutar pandang ke sekeliling. Di beberapa tempat, terdapat beberapa pasangan tempat muda-mudi tengah bercengkerama.“Fokus saja pada masalahmu, Al, jangan pada mereka,” ucap pria itu mengingatkan dengan nad
Kaivan kembali melajukan mobilnya untuk pulang. Berharap Alya sudah pulang. Sebelum menambahkan keceplosan, kaivan mengirim pesan suara."Maaf, gue nyerah gak bisa bantuinn lagi, Zam. Untuk urusan Aira, tolong jangan libatkan gue lagi. Gue harap lu ngerti. Lu mau bilang gue brengsek, gak tanggung jawab, terserah deh. Gue gak mau nyesel seumur hidup karena korbanin perasaan Alya demi Aira."[Oke, lu gak usah pikirin Aira lagi. Semoga lu gak terlambat, Kai.]Balasan yang dikirim Azzam membuat Kaivan menambah kecepatan dua kali lipat.Akan tetapi Kaivan harus menelan kecewa ketika tidak menemukan Alya di rumah. "Mamamu belum pulang, Ly?" tanyanya pada sang menantu setelah mencari setiap sudut rumah. Ia memang tidak melihat mobil Alya terparkir di depan, tetapi tetap berharap istrinya iyya sudah ada di dalam rumah. Ia mencoba menghubungi Alya lagi. Namun, sama seperti sebelumnya, Alya sama sekali tidak mengangkatnya. Bahkan pesan yang tadi pria itu kirim hingga sekarang masih belum te
Pintu terbuka perlahan, disambut wajah Aira yang tersenyum lebar. Sementara di depannya berdiri dengan wajah masam. Sama sekali tidak membalas senyum yang Aira lempar. Tanpa suara atau sapaan basa-basi, Kaivan langsung mendorong pintu itu lebih lebar dan melangkah masuk. Langkahnya berat, tetapi pasti. Napasnya berderak di dada, seperti menahan batu yang tak bisa ia lempar ke mana pun. Aira menutup pintu dengan lembut—seolah tidak ada masalah serius. Ia lalu berjalan di belakang pria itu. “Akhirnya Om datang juga, makasih, ya,” ucap Aira dengan nada terlalu ringan untuk pagi yang penuh tekanan seperti baru saja ia terima. “Kangen, kan, Om?” Tanpa beban dan peduli pada apa pun, melingkarkan tangan pada perut Kaivan. Refleks Kaivan memutar tubuh, sembari melepas tangan Aira yang mengurung dirinya. Mereka kini tengah berdiri di ruang tamu. “Cukup Aira. Saya mohon berhenti sampai di sini.” Kaivan berseru dengan tegas. Untuk sejenak, Kaivan menatap sofa kecil tempat ia dul
Kaivan masuk ke kamar tempat Alya tadi bersemayam. Namun, sampai di dalam ia tidak menemukan Alya sama sekali. Ke mana dia? Apa tadi Kaivan terlalu sibuk dengan pikirannya hingga tak menyadari Alya keluar lagi dari kamar? Kaivan kembali ke dapur, bertanya pada kedua ART mereka. Namun, tak seorang pun tahu. "Ray, lihat mamamu gak?" tanya Kaivan saat berpapasan dengan putranya yang baru saja turun. "Mama?" Rayyan balik bertanya, kemudian menoleh pada Lysandra di belakangnya. Lysandra menggeleng. "Kami baru turun, Pa," ucap Lysandra ringan dan terdengar dingin bagi Kaivan. Tidak seperti biasanya yang selalu ramah dan sedikit manja. Akan tetapi, Kaivan tak sempat memikikirkan perubahan sikap menanntunya itu. "Papa ngapain aja sampe gak tahu Mama ke mana?” sindir Rayyan pelan. Kaivan bergeming. Ingin menjawab, tetapi otaknya seperti buntu. Belakangan otaknya terasa tumpul dan tak mampu berpikir dengan baik. "Papa bilang Mama satu-satunya yang Papa cintai, tapi wanita itu ...." Ray
Aira duduk di ruang tengah sepulang mengantar Rava ke sekolah. Sejak menikah dengan Kaivan, Aira belum masuk kerja lagi. Azzam yang Memintanya beristirahat dan menenangkan diri.Meski Aira tak pernah lagi menghindar dari pria yang merupakan ayah kandungnya itu, ia masih belum bisa menerima sepenuhnya.Aira tengah asyik memainkan ibu jarinya di atas layar. Sebuah aplikasi artificial intelligence tengah ia buka. Aira mengetik sesuati di sana.Ia mengetik sebuah pertanyaan di sana.[Bagaimana membuat suami jatuh cinta, lengket dan betah di rumah? Kami baru nikah karena terpaksa. Aku paksa dia nikahin aku karena suatu hal. Bukan karena hamil duluan ya. Oya, umur kami terpaut jauh, mungkin di atas 25 tahun. Dia udah punya istri lain. Eh, jangan bilang aku pelakor ya. Tapi aku juga pengin dicintai seperti dia mencintai istri pertamanya.]Aira mendengkus kesal saat membaca jawabannya.[🧠 1. Pahami Realita Tanpa Menyiksa DiriSuami kamu mungkin masih memprioritaskan istri pertamanya karena c
Di mobil, Kaivan duduk diam cukup lama. Mesin belum dinyalakan. Matanya menatap setir, tapi pikirannya jauh ke belakang. Meski ia belum siap menghadapi pertanyaan Alya, ia harus pulang sekarang. Wajah Alya melintas dalam benaknya. Bagaimana malam itu ia secara spontan melingkarkan tangan di pinggangnya. Juga bagaimana Alya yang tahu jika suaminya tengah menangggung beban berat—hanya helaan napas saja. Sikap Alya di malam setelah malam Kaivan menikahi Aira, ia nilai sedikit berbeda. Namun, Kaivan baru menyadari sekarang.Dan pagi ini, setelah semua yang terjadi, Kaivan tak yakin bisa memandang mata istrinya dengan cara yang sama. Meski begitu, ia buru-buru menyalakan mobilnya, dan melaju.Tangannya mengepal di atas paha. Ia mendongak, memejamkan mata, dan menarik napas dalam. Dada sesak."Ya Allah," gumamnya lirih, "apa yang sudah aku lakukan?"***Seperti biasa, Kaivan mampir ke masjid untuk mandi terlebih dahulu sebelum sampai di rumah. Bertepatan juga dengan waktu subuh, sehingga i