"Ray, coba cicip sendiri, deh."Mendengar kata mamanya, Rayyan mengambil sendok di tangan Lysandra, kemudian mencicipinya. Rayyan bergeming, menyesap rasa di lidahnya. Kemudian menoleh pada Lysandra. "Sayang, ini gak layak makan, aku beliin aja ya di luar." Rayyan mengambil piring di depan Lysandra.Akan tetapi, Lysandra buru-buru menjauhkan piringnya. "Ini enak kok, Mas. Aku suka," sanggahnya kemudian. Wanita itu buru-buru merebut sendok di tangan sang suami kemudian kembali melahap gado-gado spesial buatan Rayyan. Memang benar-benar spesial, karena hanya Lysandra yang bisa memakannya.Sementara itu, Kaivan dan Alya saling menatap. Alya kemudian mengulas senyum dan menghampiri Lysandra, menyentuh bahunya dengan sedikit elusan.Sementara Rayyan masih dengan wajah yang ditekuk sambil memegang perut yang sudah keroncongan."Mama sama Papa izin makan di luar, ya," pamit Alya kemudian dengan suara pelan.Rayyan mendongak, seakan tak rela. "Iya, Ma. Hati-hati, ya." Lysandra menjawan san
Rayyan menatap batang pisau yang tertata pada sarangnya. Rayyan memegang tengkuknya yang sudah mulai berkeringat. Bukan hanya tengkuknya, tangannya juga mulai berkeringat dingin.Sambil memejamkan mata, Rayyan mulai mengulurkan tangan perlahan, menggenggam gagang pisau. Namun, tubuhnya diam. Napasnya mulai tak beraturan. Dalam sekejap, bayangan samar itu mulai melintas. Rayyan mundur setengah langkah. Tangannya bergetar dengan pisau di tangannya.Alya memperhatikan dari jauh. Ia meletakkan gelas dan berjalan mendekat.“Ray, sini Mama bantuin aja motong timunnya, ya?”Rayyan terkesiap. Ia refleks melepaskan pisau itu dengan setengah melempar.Rayyan pikir tidak apa-apa hanya memotong timun saja dibantu Alya. Lagipula Lysandra masih berada di kamar. Dia tidak akan tahu.Rayyan baru saja akan memutar tubuh—menghindar dari pemandangan yang baginya menyakitkan itu. Namun, ia urung dan memutar tubuh lagi, kembali ke posisi awal."Ma, jangan deh. Ray gak mau ambil risiko menghadapi kemaraha
Lysandra masih berdiri di depan laci yang terbuka, tangan kanannya menggenggam benda kecil ituIa menatapnya lama. Mata hitamnya memantulkan berbagai rasa yang bertumpuk: cemas, harap, dan ragu.Rayyan menunggu di ambang pintu kamar mandi. Tubuhnya tegak, tapi sorot matanya penuh kelembutan. Ia tidak bicara. Menanti dengan sabar.Lysandra akhirnya menarik napas. Ia menatap Rayyan, lalu perlahan meletakkan test pack itu kembali ke dalam laci. Menutupnya perlahan.“Aku gak mau coba, Mas,” suaranya nyaris seperti bisikan. Namun, beratnya cukup untuk mengguncang udara di ruangan itu.Rayyan melangkah mendekat. “Kenapa?”Lysandra duduk di tepi ranjang. “Aku takut.” Ia menggenggam jemarinya sendiri. “Takut kecewa. Takut ternyata semua yang aku rasakan cuma sugesti.”Rayyan berjongkok di hadapannya, menatap wajah istrinya dari bawah. “Iya, kamu gak harus buru-buru tahu, kok. Kita bisa jalanin ini pelan-pelan.”Lysandra mengangguk pelan, menatap mata Rayyan yang terasa seperti tempat paling a
Lysandra bersandar di pinggiran tempat tidur, mengenakan gamis santai dan jilbab tipis yang belum sempat dilepas sepenuhnya. Matanya menatap ke bawah, menekuri jari-jari yang sejak tadi saling menggenggam—yang seperti sedang bercengkrama diam-diam.Alya berdiri di ambang pintu kamar Lysandra. Ia memandangi menantunya itu dengan sorot mata setengah ragu. Sejak pagi ia merasa ada yang berbeda dengan Lysandra. Dan, itu terjadi setiap hari selama beberapa hari ini.Alya mengamati setiap detail dari perubahan menantunya itu. Wajahnya terlihat lebih pucat. Napasnya pendek-pendek. Bahkan saat sarapan tadi, baru mencium aroma roti panggang saja Lysandra sudah menutup hidung dan memilih keluar dari dapur.“Nak, mau Mama buatin air madu?” tawar Alya dengan suara lembut. Lysandra hanya menggeleng lemah.Alya mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi di dalam kamar itu. Beberapa menit kemudian, suara laci dibuka. Tak lama setelah itu, Alya kembali dengan langkah ringan. Sebelum keluar k
Lysandra menyunggingkan senyum kecil. "Mau pinjam bahu Papa buat senderan," ucapnya sambil malu-malu.Alya tidak dapat menahan tawa, begitu pula dengan Kaivan. Namun, itu hanya sesaat karena berikutnya Lysandra sedikit cemberut."Boleh, Sayang. Tapi jangan cemberut gitu, nanti kami bisa kena teror sama Rayyan kalau tahu," ucap Alya kemudian.Alya dan Kaivan saling pandang, saling melempar senyum."Beneran boleh, Ma?" tanya Lysandra meyakinkan. Alya mengangguk. Disambut dengan senyum lebar sang menantu. Lysandra kemudian mulai bersandar di bahu Kaivan seperti anak kecil.Kaivan mengusap puncak kepala menantunya itu. “Kamu manja banget hari ini. Ada apa sih, hm?”Lysandra tersenyum kecil. “Gak tahu, Pa. Rasanya pengin dekat terus sama Papa hari ini. Nyaman aja.”Kaivan tertawa kecil. “Papa senang sih. Tapi Ray bisa cemburu nanti.”Lysandra tertawa pelan. Tapi pipinya mulai menghangat.Ia sendiri tidak tahu kenapa akhir-akhir ini ia sering ingin menangis tanpa sebab. Atau ingin memeluk
Suara wedges Haura menyentuh lantai menggema pelan di dalam ruang pertemuan firma hukum yang didominasi warna abu-abu hangat. Dindingnya penuh rak buku hukum dan lukisan abstrak bertema keseimbangan. Rayyan berjalan di sampingnya, tak banyak bicara, tapi matanya tak pernah benar-benar lepas dari wajah Haura—berusaha membaca kekuatan dan keraguan yang silih berganti.Seorang pria berkemeja putih dengan setelan abu gelap berdiri menyambut mereka. Perawakannya tegap, wajahnya serius, tetapi masih meninggalkan kesan hangat. Umurnya mungkin sekitar empat puluhan.“Selamat siang. Saya Reinaldi Prasetya. Silakan duduk,” katanya sambil menyilakan mereka duduk di kursi kulit hitam yang menghadap meja kayu jati besar di hadapan mereka.Haura duduk terlebih dahulu, merapikan sedikit hijab segi empat panjangnya dengan gugup. Rayyan menyesuaikan posisi duduk di sebelahnya, lalu membuka suara.“Pak Rei, saya sudah menjelaskan ringkas lewat telepon. Hari ini kami harap bisa langsung membicarakan sk
Senja mulai merayap turun, menciptakan paduan warna jingga dan biru yang indah di langit. Rumah besar keluarga Satria yang terletak di sudut jalan utama terlihat semakin menawan dengan lampu taman yang mulai menyala, menyinari setiap sudut halaman yang luas. Di dalam rumah, aroma jahe dan kayu manis dari eksperimen minuman hangat yang sedang disiapkan Lysandra mengisi ruang dapur, menambah hangat suasana rumah itu.Lysandra dan Rayyan baru saja akan naik ke lantai atas dengan jemari saling bertaut. Namun, langkah mereka terhenti. Suara langkah terburu-buru terdengar dari luar. Haura muncul tiba-tiba dari ruang tamu. Dia melangkah terburu-buru. Sementara wajahnya jelas memperlihatkan kecemasan."Haura, ada apa?" tanya Rayyan menghentikan Haura yang hendak naik ke atas.Yang ditanya hanya menggeleng. Kemudian segera naik ke lantai atas tanpa memberi penjelasan apa pun. Beberapa saat kemudian."Haura, tunggu, Haura." Seorang pria dengan stelan kemeja dan celana chino panjang, juga oute
Pesan itu bukan dikirim dalam bentuk chat biasa. Namun, sebuah teks yang ditulis di dalam file dalam bentuk gambar format jpg. Bukan hanya itu, pesan itu dikirim dengan mode sekali lihat. Lysandra belum keluar dari pesan gambar itu. Tangannya masih menggenggam ponsel, tetapi matanya terarah pada Rayyan yang tertidur lelap di sampingnya. Napasnya teratur, satu tangannya masih melingkari pinggang Lysandra seperti tak rela melepas semalam yang indah. Namun, dunia yang terasa hangat itu seolah mulai retak hanya karena satu pesan asing. Sebenarnya Lysandra tidak ingin berpikir macam-macam karena pesan asing itu. Orang seperti suaminya tentu memiliki penggemar. Jadi, bisa saja itu adalah salah satu penggemar Rayyan yang tidak rela idolanya menikah. Namun, bagaimana dia bisa mendapatkan contact person Lysandra?Lysandra menarik napas pelan, mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif. Ia menyentuh layar ponsel, menatap isi pesan itu sekali lagi.>>> [Hai, istri sah. Kalau kamu pikir dia suda
Rayyan mendorong daun pintu kamar perlahan agar tak menciptakan suara yang menggaggu istrinya jika mungkin sudah tertidur. Rayyan disambut dengan cahaya hangat lampu tidur menyala temaram. Juga aroma lavender dari diffuser menyambutnya dengan lembut. Ternyata Lysandra belum tidur. Ia duduk di ujung ranjang, mengenakan piyama satin panjang berwarna biru pucat. Rambutnya diikat sederhana, tetapi tetap terlihat anggun. Juga memesona di mata Rayyan. Wanita itu sedang membalik halaman buku, tapi Rayyan tahu matanya tidak benar-benar membaca. Lysandra mendongak, menatap Rayyan yang baru masuk. “Mas udah selesai?” Rayyan mengangguk sambil melepaskan jam tangan dan menyimpannya di laci samping tempat tidur. Ia tak langsung bicara. Hanya mengambil posisi duduk di samping Lysandra lalu menunduk sejenak. Pria itu seperti sedang mencari cara paling baik untuk membuka pembicaraan. “Kamu tahu gak, Sayang, akhirnya Haura jujur,” gumamnya akhirnya. Lysandra menutup bukunya. “Mbak Haura