Hai, dia kenapa? Apa aku salah bicara? Panik, aku mengejarnya keluar?"Pak ... eh, Mas!"Saat aku sampai di luar kamar, dia sudah menuju pintu keluar. Cepat sekali dia, langkahku tidak bisa mengimbangi. Saat aku sampai di pintu keluar, mobilnya sudah keluar dari gerbang.Ada perasaan tak nyaman, saat dia tiba-tiba pergi dalam keadaan seperti itu. Apa dia benar-benar marah? Dia yang memang sedang sensitif, atau aku yang keterlaluan. Entahlah.Aku kembali melangkah masuk untuk dengan perasaan yang tak canggung. Rasanya ada yang aneh. Aku menunggu dengan gelisah kepulangannya. Dia baru kembali Setelah hampir dua jam meninggalkan rumah.Aku refleks menghampirinya. Baru ingin membuka mulut untuk bertanya, Mama mertuaku muncul tak jauh di belakangnya. Pria itu masuk begitu saja tanpa mengatakan apa pun. Langkahnya seperti membawa beban berat di sana. Semoga ini hanya perasaanku saja."Kai, dengarin Mama dulu, dong! Jangan seperti anak kecil, dong." Itu suara Mama.Benar saja. Ini pertanda
Setelah berkata begitu, dia kemudian membuka lemari. Mengambil beberapa lembar pakaian miliknya dan milikku lalu memasukkannya ke dalam koper. Dia kemudian membuka lemari kecil milik Rayyan, mengambil pakaian mungil secara keseluruhan dan memasukkan ke dalam tas yang lain. Aku hanya berdiam diri, tak bergerak sedikit pun. Lebih tepatnya aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi? Pintu kamar diketuk dua kali, aku beranjak membuka pintu. Sementara pria itu masih sibuk membereskan isi koper. "Kai." Suara itu penuh getar hebat. Aku terpaku, melihat mama mertua melangkah setengah berlari mendekati sang putra. "Tolong, Kai. Maafkan Mama kali ini. Mama punya alasan melakukan itu semua." Mama berusaha meraih tangan pria itu yang masih sibuk. "Kai, kamu dengar Mama, Nak?" Mama kembali bersuara karena tidak ada resposn dari putranya. Pria yang berstatus suamiku itu, menghentikan aktifitasnya. "Kapan saya nggak dengarin Mama. Tolong kasih tahu Kai, k
PoV KaivanHari ini Mama telepon minta dijemput di Bandara. Karena tak sabar ingin mengkonfirmasi Mama tentang hubungannya dengan Arga, aku tak menunda waktu saat Mama mengirim pesan.Tanpa sadar aku mengabaikan Alya yang tak kutahu tadi mengatakan apa saat terakhir kali sebelum aku meninggalkan rumah."Kamu kenapa sih, Kai? Dari tadi diem aja. Kamu marah sama Mama?" tanya Mama karena aku memang sejak tadi aku tak membuka suara. Aku bergeming. Tetap menatap ke depan seolah sedang benar-benar fokus mengemudi."Kai!" Mama sedikit membentak karena tak mendapatkan tanggapan dariku. "Mama kenapa bebasin Arga?" ucapku tanpa basa-basi.Kulirik sekilas pada Mama. Dia mengerutkan dahi."Maksud kamu?" tanyanya seolah tidak paham apa yang kukatakan. Namun, aku yakin Mama hanya pura-pura tidak paham."Mama paham maksudku," jawabku kemudian."Mama menatapku lekat, aku bisa memastikan itu hanya dengan lirikan kecil aja." Kamu mata-matain Mama?" tanya kemudian. Bagiku pertanyaannya sekaligus sek
POV ALYA"Maaf, Nak. Mama tidak berniat untuk merusak mimpi dan kehidupanmu, Sayang."Setelah mendengar kalimat itu bulu kudukku serasa meremang. "Maksud Mama apa?" tanyaku pelan tapi cepat."Mama ... Mama yang merencanakan semua. Pertemuanmu dengan Kaivan, semua Mama yang atur. Kejadian di hotel antara kamu dan Kai,... itu semua ...." Mama menghela napas dalam, kemudian melanjutkan bicara. "Itu semua Mama yang atur."Aku melepaskannya genggaman tangan Mama. Aku mencoba mencerna kata demi kata yang terucap dari bibir wanita paruh baya itu. Aku berdiri. Apa dia bilang tadi? Apakah itu artinya Mama yang ada di balik kesalahan yang terjadi di antara kami. Mama yang berada di belakang Pak Arga? Jadi, persaingan antara Pak Arga dan Pak ... ah maksudku Mas Kaivan itu hanya kamuflase. Yang sebenarnya ada adalah ambisius Mama yang ingin memiliki cucu?"Kenapa Alya, Ma?" tanyaku pelan, "Apa Alya pernah melakukan kesalahan?"Mama menggeleng."Karena kamu punya kualitas menantu yang Mama ingin
PoV Kaivan.Dengan langkah berat aku meninggalkan Alya yang masih terpaku dalam diam. Sekali lagi aku menoleh, berharap dia mengurungkan niat untuk mengusirku."Tidak apa-apa, Kai. Dia hanya mengusirmu dari kamar, bukan dari kehidupannya." Aku mencoba menghibur hati sendiri.Mama berdiri di depan pintu saat aku sampai di luar. Aku melengos, melewati wanita yang talah melahirkanku itu tanpa berkata apa pun. "Kai, gimana Alya?" tanya Mama menyejajarkan langkah denganku. Aku bergeming tak ingin mencipta sepatah kata pun. "Kai, kamu dengar Mama gak sih?“ desaknya kemudian.Akan tetapi, aku masih setia bergeming. Hanya terus melangkah tanpa tujuan. Akhirnya aku pun sampai di pintu samping rumah yang langsung menghadap pada koleksi tanaman hias milik Mama. Malam ini tampak cerah dengan taburan bintang mewarnai langit. Berbanding terbalik dengan hatiku sekarang."Kai." Sentuhan lembut mendarat di bahuku. Aku tak ingin menyahut atau menanggapi. "Alya maafin Mama kan, Kai?" tanyanya lirih
Pov KaivanKamar sudah gelap saat aku sampai di sana. Hanya menyisakan lampu tidur, hanya cahaya remang-remang. Aku menyingkirkan dua koper yang tadi sudah kuisi pakaian kami. Kemudian meletakkannya di sisi kiri lemari. Kulihat Alya tengah berbaring miring, menghadap pada bayi Rayyan yang tengah menyerap nutrisi dari tubuhnya. Perlahan aku duduk di tepi ranjang. Ragu, aku menyentuh bahunya pelan. Berharap tidak ada lagi penolakan.Saat tak ada respons penolakan, aku melanjutkan dengan pijatan kecil di bahunya. Dia masih bergeming. Aku pun juga. Tidak tahu bahasa apa yang harus kucipta. Sampai akhirnya Rayyan melepas tautannya dan kembali tertidur, kami masih dikuasai kesunyian.Aku berinisiatif untuk mengambil Rayyan dari sana, kemudian memindahkan box khusus untuknya. Rayyan biasanya akana tidur lebih nyenyak bila di sana. Aku kembali pada Alya yang masih berada di posisi yang sama. Aku menghela napas dalam."Al." Pelan suara menyerukan namanya. Dia tak beringsut sedikit pun.Ak
Pov AlyaAku sedikit mendorong tubuhnya ketika serangan itu datang tiba-tiba. Serangan random yang sebenarnya mengubah perasaan yang tadi tak nyaman menjadi lebih sejuk, hingga mudah ditumbuhi bunga-bunga. Serangan itu membuatku lupa pada beban pikiran yang sejak tadi mengekang. Maka lima detik berikutnya aku tak melakukan gerakan penolakan lagi. Apa lagi dia melakukannya dengan manis dan lembut.Dia mengusap wajahku yang masih sedikit lembab. Mata kami yang sangat dekat tak mampu untuk tidak saling bertaut dalam tatapan. Sampai akhirnya kami sama-sama memejam. Merasakan kedekatan yang sebelumnya tak pernah terjadi. Kejadian beberapa menit itu sukses membuat pipiku terus terasa menghangat sampai pagi. ***Dia—pria itu tengah memeluk Rayyan dalam gendongan saat aku keluar dari kamar mandi. Dia menoleh sesaat padaku kemudian melangkah menuju box tidur si bayi dan meletakkan putranya di sana.Dia kemudian menghampiriku yang duduk di depan meja rias. Tanpa diduga, dia meraih hair dryer
Pov Alya"Astaghfirullah, maaf, harusnya Mama ketuk dulu." Itu suara Mama. Aku jelas tak berani menatapnya. Malu seakan baru saja tertangkap basah mencuri sesuatu."Oke, silakan lanjutkan. Mama ... nanti saja." Wanita paruh baya itu memutar tubuh kemudian menghilang di balik daun pintu. Pria itu setengah tertawa geli. Bisa-bisanya dia tertawa di saat aku malu setengah mati. Aku melepaskan diri darinya kemudian segera menuju pintu keluar dan menyusul Mama. Ternyata ibu mertuaku itu masih berdiri diam sambil membelakangi pintu. Aku mendekat dan berdiri di sampingnya. Dari sini aku bisa membaca gelisah yang tak mampu ia sembunyikan dari wajahnya. Kedua tangannya saling meremas. Ini kali kedua kulihat seorang Shelamitha memperlihatkan kelemahannya. Tunggu, wajahnya juga begitu pucat."Ma," tegurku pelan. Ia terlihat terkejut dan menoleh padaku. Kemudian serta merta meraih tubuhku dalam pelukannya. Aku menyambut dalam keheningan. Belum saatnya untuk bertanya. Setelah beberapa saat baru
"Sayang, aku di sini," ucapnya lirih.Aku mengangguk. Namun, tak dapat bersuara. Ya, Allah Kenapa ini harus terjadi lagi? Aku harap ini hanya mimpi."Alya."Air mataku makin deras. Tak mungkin lagi bisa dibendung. Seperti darah yang mengalir deras dari perutnya. Aku tak bisa berbuat apa pun lagi."Mas, kenapa ini terjadi lagi?"Dia masih bisa tersenyum. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan.Aku teriak minta tolong. Namun, teriakanku seakan tak sampai di ujung lidah pun."Alya, sssstt!" Aku memeluk tubuhnya. Dia menepuk-nepuk punggungku."Alya, Sayang .... Alya!" Dia menyeka air mataku kemudian menepuk-nepuk pipiku pelan. Aku bergeming. Menghela napas dalam. "Alya, bangun, Sayang." Tepukan di pipi makin keras.Aku mengerjap beberapa kali. Memutar pandanganku ke sekeliling. Sekarang aku di kamar, bukan lagi di dapur. Aku kembali menatap Mas Kaivan yang memangku kepalaku. Bukan aku yang memangku kepalanya seperti tadi.Dia mengusap keningku yang berkeringat. "Mas?" bisikku pelan.
Aku menunggu Mas Kaivan dengan gelisah. Dia pergi sejak siang setelah dijemput oleh Pak Arga, tetapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda mereka pulang. Terakhir kali pria itu memberi kabar dan memintaku untuk bersiap-siap karena dia akan membawa bayi Bu Kinan pulang. Namun, kenapa sampai selarut ini belum juga sampai. Padahal aku sudah menyiapkan tempat khusus untuk baby Haura. Box bayi dengan kasur mungil lengkap dengan printilannya bernuansa pink yang kupesan via online tadi siang. Sore baru diantar kurir. Aku sengaja menggunakan fitur pengiriman same day agar bisa tiba di hari yang sama.Nomor Mas Kaivan tidak bisa dihubungi. Sementara itu, aku segan untuk menghubungi Pak Arga. Rayyan sudah berhasil kutidurkan sejak jam setengah malam tadi. Dja sempat menangis memanggil saat melihat foto papanya yang terpajang di nakas. Meski dengan mudah bisa ditenangkan, tetap saja aku masih gelisah hingga kini.Setelah beberapa kali menimbang akhirnya aku menelepon nomor Pak Arga. Satu kal
"Pagi, Sayang." Dia mengecup keningku lama begitu aku membuka mata. "Jam berapa, Mas?" tanyaku dengan nada masih mengantuk.Aku kembali merapatkan wajahku ke dadanya yang masih tak berlapis. "Bentar lagi azan subuh." Dia menjawab sambil mengeratkan pelukan."Astaghfirullah, tahajud lewat, dong." Aku terkejut dan menjauhkan kepala dari dadanya.Akan tetapi, dia menarik lagi. Membuat tubuh kami kembali tanpa sekat."Sekali-kali gak apa, Sayang. Kan udah diganti sunah yang lain semalam."Kalimatnya seketika membuatku pipiku terasa menghangat. "Ih, apaan, sih?"Aku kembali membenamkan wajah agar ia tak melihat pipiku yang mungkin semerah tomat.Dia terkekeh, seraya kembali mengeratkan pelukannya. Tak hanya sampai di situ, tangannya kembali bergerak mencari sesuatu yang tersembunyi dari bagian tubuhku."Mas, plis deh. Udah mau subuh nih. Kita harus gegas mandi.""Masih lama, Yang, subuhnya. Masih cukup kalau nambah satu lagi," ucapnya manja sembari mendaratkan beberapa kecupan di leher.
Malam ini rumah sudah terasa lebih sunyi. Terasa dingin dan tenang karena hujan baru saja mengguyur bumi. Rayyan sudah tidur nyenyak di boxnya. Setelah dokter menyatakan aku tidak perlu bedrest lagi, Mas Kaivan mengizinkan Mbak Rani untuk cuti. Kesempatan ini kugunakan untuk bisa lebih dekat lagi dengan Rayyan. Masa bedrest kemarin intensitas waktuku bersamanya sangat jarang sekali. Aku masih duduk di ujung ranjang, punggung menyandar di sandaran kepala tempat tidur. Mas Kaivan baru saja keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus abu-abu ketak mencetak dada dada bidangnyabdan celana pendek santai. Rambutnya masih basah, menetes sedikit, tetapi matanya langsung mencari-cari mataku.Aku mengalihkan pandang.Dia diam sebentar, lalu menghampiri meja rias dan mengambil sisir. Dengan gerakan tenang, ia duduk di belakangku di ranjang. “Boleh aku bantu sisirin rambut kamu?”Aku mengangguk pelan, tetap tak berkata apa-apa.Dengan lembut, sisir bergeser melalui rambutku yang panjang. Ia melaku
Mataku terpaku pada layar laptop di hadapanku. Judul dokumen itu menampar kesadaran seperti angin dingin di pagi hari:Hasil Pemeriksaan DNA – Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa.Tanganku gemetar ketika kursor mouse bergerak perlahan membuka file PDF yang dikirimkan via email. Di sebelahku, Mas Kaivan duduk tegak. Wajahnya kaku, nyaris tak menunjukkan emosi apa pun. Namun, aku tahu, dia sama tegangnya denganku.Lembar pertama hanya berisi data teknis. Nama laboratorium, tanggal pengambilan sampel, dan identitas subjek.Lembar kedua—itulah jawabannya.> Hasil: Kecocokan genetik menunjukkan bahwa kemungkinan hubungan biologis antara Haura Azkia Putri dan Kaivan Satria Aksa adalah 99.98%.Aku menutup mulut. Tubuhku limbung, seolah semua udara dalam paru-paru menguap seketika.Mas Kaivan mengusap punggungku pelan. “Sayang … kamu gak apa-apa?”Aku tak bisa langsung menjawab. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang ... entah kenapa tetap terasa menyakitkan meski aku sudah mempersiapka
[Untuk Alya,Dari wanita yang suaminya telah kau ambil.]Tidak. Baris kedua itu tidak ada. Hanya khayalanku saja. Aku duduk di pinggir ranjang, membuka perlahan.> Alya ....Aku tahu mungkin menurutmu aku tidak berhak menulis surat ini. Tapi tolong, baca sampai akhir. Aku… sudah kalah. Sudah jatuh. Tapi setiap malam aku dihantui oleh tatapan sedihmu dan darah di baju Kaivan. Aku minta maaf.Aku gak minta dibebaskan. Aku gak pantas minta itu. Tapi aku mohon, kalau nanti terbukti anakku anak Kaivan … tolong jangan jauhi dia. Jangan benci dia. Dia gak minta dilahirkan dari ibu sepertiku.Kamu boleh tetap membenciku. Tapi tolong… jangan teruskan kebencian itu pada bayi ini. Namanya Haura.Aku gak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti. Tapi aku tahu, kamu jauh lebih kuat dari yang aku kira.—Kinan.Aku menatap lembaran itu lama sekali. Hatiku campur aduk. Tanganku bergetar saat meletakkan kertas itu di meja samping tempat tidur."Sayang?" Kaivan duduk di sebelahku, matanya menatap waja
"Mas, apa tuntutan kita ke Bu Kinan tidak bisa ditarik?" tanyaku pelan, membuat semua mata tertuju padaku.Mas Kaivan mengernyit menatap padaku sesaat kemudian ganti menoleh pada sahabatnya yang menghela napas panjang."Itu … udah masuk tahap akhir, Alya. Pelaporan dan penyelidikan awal memang kita yang dorong, tapi sekarang kasusnya udah jadi milik negara. Penuntut umum yang pegang kendali."Aku menggigit bibir bawah, menunduk."Ini kasus percobaan pembunuhan berencana, Al. Gak sesederhana laporan biasa yang bisa dicabut kapan aja. Ini bukan sekadar konflik pribadi, tapi kejahatan serius," lanjut Mas Azzam terdengar datar, tetapi jelas dan tegas.Mataku kini berali pada Mas Kaivan. "Tapi … dia baru aja melahirkan, Mas," ucapku lirih. Sebagai seorang Ibu dan seorang wanita, rasanya pasti berat sekali menjadi Bu Kinan.Wajah Mas Kaivan mengeras. Rahangnya mengatup. Seakan menahan sesuatu."Itu tidak bisa menjadi alasan untuk membatalkan hukum, Sayang. Dia berusaha bunuh kamu, Sayang.
"Anak yang dikandung Bu Kinan–" Dia mengeratkan genggaman. "Dengar, Sayang. Usia kehamilannya memang selisih satu bulan lebih lama dengan usia perceraian kami. Tapi, kita akan tunggu anaknya lahir dan aku akan tes DNA untuk membuktikan apakah anak itu benar anakku. Jika dia memang terbukti anakku aku hanya akan bertanggung jawab terhadap anaknya, bukan ibunya." Untuk sesaat keheningan menguasai setelah kalimat itu terucap dari bibirnya. Aku mengangguk perlahan. Aku tahu, Mas Kaivan tidak sedang berbohong. Namun, tentang kemungkinan anak itu adalah darah dagingnya masih menjadi duri kecil di pikiranku. *** Aku menatap dengan wajah cemberut pada Mas Kaivan yang tengah menyuapiku makan. Pria itu benar-benar tak mengizinkanku bergerak sedikit pun, bahkan hanya untuk menyuap makanan. Berlebihan banget, 'kan? "Mas, aku bisa makan sendiri. Jangan berlebihan," ucapku tadi saat dia baru saja membawa makan siangku ke kamar. "Aku tahu, kamu bisa makan sendiri, tapi sekarang aku lagi mau
Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p