Aku masih menatap datar tanpa suara pada suamiku saat akhirnya dia menyadari kehadiranku. Dia buru-buru menjauhkan wajah perempuan bergelar dokter itu dari dadanya. Ya, dia adalah Dokter Kaira. Wanita yang kukenal sebagai saudara sepupu suamiku. Ingat kan, kami pernah bertemu beberapa kali. Dia juga yang merawatku saat aku baru ditemukan oleh Mama setelah beberapa hari disekap Kinan.Akan tetapi, kenapa sekarang dia tampak berbeda. Saat akhirnya mata kami beremu, dia tak terlihat seramah biasanya. Entahlah, semoga hanya perasaanku saja—yang kini memang tengah dikuasai oleh rasa sesuatu yang membakar. Mereka hanya saudara sepupu, bukan saudara sekandung. Apa harus saling memeluk begitu?"Hai, Alya. Seneng bisa ketemu lagi. Gimana kabarnya?" Wanita itu bersuara. Kini sudah berdiri di hadapanku."Alhamdulillah," jawabku pelan tanpa senyum tipis pun. Ada yang membuatku tak mampu tersenyum di dalam sana. "Maaf, kalau ganggu. Silakan lanjutkan," ucapku kemudian sambil berlalu meninggalkan
PoV Alya"Apa karena aku belum bisa memberimu hak sebagai suami, makanya Mas mau aja dipeluk-peluk dia seperti itu?" Entah bisikan dari mana aku bisa meluncurkan kalimat itu. Mendadak aku merasakan hawa yang tak biasa.Dia bergeming, menatap datar padaku. Entah apa yang dia pikirkan. Tak sanggup untuk terus saling menatap, aku membuang pandang ke samping. "Maaf," ucapku menyingkirkan tangannya kemudian hendak beranjak. Ada sedikit sesal kenapa kalimat itu bisa kuucapkan. Tanpa dapat dikendalikan, ada yang jatuh di pelupuk mata. Dengan cepat aku menepis agar dia tak melihat.Dengan gerakan cepat dia menahanku untuk tetap duduk di hadapannya. Aku menarik napas dalam, mencoba mengembalikan semua untuk bisa normal. Namun, perasaan ini terlanjur peka."Maaf, Alya, kalau itu membuat–""Masih ada waktu, Mas," selaku kemudian.Dia mengerutkan dahi."Waktu untuk apa?""Untuk memilih. Awal pernikahan ini bukankah karena Mama? Sekarang Mama udah gak ada, sebelumnya semua terlanjur ...." Sebelum
"Di hari Mama dimakamkan aku lihat Pak Arga di makam Mama," ucapku akhirnya setelah dua pekan kepergian Mama. Aku masih nyaman menyadarkan kepala di dadanya. Tangannya yang sejak tadi mengelus bahuku yang polos terhenti sejenak setelah mendengar ucapanku. Matanya yang tadi menatap langit-langit kini menatapku lekat.“Kamu serius, Sayang? Gak salah lihat, kan?""Aku bahkan sempat berbicara dengan dia untuk memastikan kalau aku gak berkhayal." Aku menjawab jujur. "Kok aku gak lihat? Dia di mana?"Aku menghela napas. "Maaf, Mas. Sebenarnya waktu aku bilang pin jilbab yang jatuh, aku bohong," ucapku lirih, merasa bersalah. Aku lalu menceritakan semua rangkaian kejadian saat itu tanpa ada yang ditutupi."Kenapa baru bilang sekarang?" tanyanya kemudian."Aku takut kalau setelah aku cerita malah jadi beban pikiran kamu, Mas." Aku memberi alasan. “Aku yakin hubungan Arga dan Mama tidak sesederhana yang aku kira. Kalau enggak, buat apa Mama memberikan restoran dan butiknya untuk Arga secar
41PoV AlyaAkhirnya ujian skripsi berjalan lancar. Aku lulus dengan predikat yang cukup memuaskan. Namun, entah kenapa muka mantan Pak Dosen biasa saja. Tidak seantusias seperti yang kubayang—setidaknya seantusias saat dia menyuruhku melanjutkan skripsi. Dia bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun.Aku pun tidak ambil pusing. "Mas, laper gak? Makan yuk," Ajakku saat kami sudah di dalam mobil dan meninggalkan kampus.Dia mengangguk. Kemudian mulai melajukan kemudinya. Masih dengan wajar dan sok dingin. Seperti kembali ke setelan awal saat kami belum saling mengenal apalagi menikah."Mas, kenapa sih? Cemberut terus?" tanyaku akhirnya karena tidak tahan melihat muka seperti triplek. Kaku dan datar.Dia menoleh sesaat, kemudian berkata, "Gak apa-apa?"Aku menghela napas kesal. "Kayak gak ada seneng-senengnya aku lulus. Kemarin aja ngotot banget aku lanjut ngurus," ucapku kesal."Aku seneng kok."Aku melengos. Akhirnya memilih diam. Dasar aneh memang si bapak satu ini. Susah banget neb
PoV AlyaHanya selang beberapa detik, pintu kaca itu terbuka lagi. Menampilkan sosok yang sangat tak asing bagi kami.Pria itu berjalan dengan langkah tegap dan percaya diri mendekat pada kami. "Wow, ada tamu istimewa rupanya." Dia kemudian menarik kursi yang ada di seberang kami. Kemudian duduk di sana. Mendadak selera makanku hilang. Mas Kaivan pun meletakkan sendoknya sejak pria itu masuk.Aku melirik sekilas pada gelas yang berlabel logo restaurant. Kenapa aku baru menyadari jika sebenarnya logo itu tidak asing. Aku pernah melihatnya beberapa kali. Namun, aku memang kurang teliti. Sekarang aku baru menyadari, logo dengan ukiran estetik itu ternyata membentuk nama Shelomita.Pantas saja Mas Kaivan awalnya menolak untuk makan di sini. Ah, seharusnya tadi aku mengerti. Dan, kalian pasti sudah bisa menebak siapa pria di hadapan kami ini. Tepat sekali, dia adalah Argadinata Adijaya. Mantan pembimbing skripsiku."Bebaskan tagihan untuk semua menu di meja ini. Kalian tidak lupa, ’kan ka
43Sebuah Kenyataan Aku bangkit perlahan, memastikan apa yang dia lakukan dengan ponselku. Sebisa mungkin aku melakukan gerakan halus agar dia tidak menyadarinya. Dan, aku berhasil. Ternyata dia membuka aplikasi chat hijau yang memang tidak banyak history chatnya. Dia membuka chat paling atas yang belum aku simpan nomornya. Itu chat dari Edo, teman sekelas yang aku temui di depan ruang ujian tadi. Aku terbelalak ketika melihat apa yang dia lakukan. Hanya butuh beberapa detik dia menekan tombol blokir kemudian menghapus history chatnya. "Kenapa dihapus, Mas?" Dia berjingkat kaget ketika mendengar suaraku. Padahal sangat pelan. Dia kemudian meletakkan ponselku begitu saja. Dia menggaruk kepalanya. Jelas sekali terlihat salah tingkah. "Ehmm, eng–enggak. Gak ada yang ...."Aku menaikkan sebelah alisku. Menatap dia dengan penuh tanda tanya seraya menunggu apa yang akan dia katakan. Jadi, in
PoV Alya"Mas udah tahu alasan Mama kasih resto dan butik ke Pak Arga?"Dia mengangguk. Mendadak raut wajahnya berubah. "Karena sebuah kenyataan yang ... sulit untuk aku terima."Aku menatapnya ragu. Kenyataan yang sulit diterima? Apa itu?"Maksudnya?"Dia menggeleng tanpa mengatakan apa pun. Aku pun menghela napas dalam, tak ingin memaksa untuk berbicara. Aku kemudian mengajaknya untuk membersihkan diri untuk kemudian Salat Zuhur. Usai membersihkan diri dan salat, Mas Kaivan tampak berpakaian rapi. "Aku harus pergi, Sayang. Azzam minta aku datang ke kafe. Mungkin sampai malam, ada banyak hal yang perlu dibahas," ucapnya sambil meratakan gel di rambutnya. Setelah menunggu dia menyisir rambutnya, aku mengambil jam tangan bermereknya dari laci, kemudian membantu memakaikan. Dia mengulum senyum. "Gimana kalau kamu ikut, Sayang?"Aku menoleh padanya seketika, memastikan jika dia tidak salah bicara. "Aku mau ngapain di sana?" tanyaku asal. Sebenarnya ajakannya cukup menarik. Namun, b
PoV AlyaBaru kali ini aku bertemu dengan sahabat Mas Kaivan yang bernama Azzam. Selama ini hanya mendengar dari cerita suamiku itu saat kami punya kesempatan membahas hal random."Jangan panggil dia Mas, Sayang," protes Mas Kaivan saat aku tanpa sengaja menyebut sapaan untuk sahabatnya itu. Aku merasa tak enak, karena terang-terangan suamiku ini mengatakan di depan orang yang bersangkutan.Aku mengernyit. "Jadi, apa, dong?""Terserah yang penting jangan, Mas. Kamu panggil om pun dia masih pantes." Pria itu berucap sambil tertawa pelan dan beralih menatap sang sahabat. "Bukan begitu, Bro?"Azzam mengulas senyum. "Apa kate lu deh," ucapnya sambil menggeleng-geleng.Tawa mereka pun pecah bersamaan. Aku akhirnya ikut masuk ke ruangan kerja mereka atas permintaan Mas Kaivan. Rasanya membosankan kalau begini. Aku hanya memainkan ponsel saja sambil menunggu mereka. Kupikir hanya sebentar tetapi ini cukup membosankan. Aku sudah cukup lama menunggu, tetapi mereka terlihat belum ada tanda-ta
Nyaris satu pekan berlalu sejak malam yang terasa seperti titik balik segalanya. Mas Kaivan sudah jauh lebih baik. Lukanya memang belum sembuh sempurna, tapi ia sudah bisa berjalan tanpa banyak meringis. Sementara aku, diperbolehkan pulang oleh dokter, dengan syarat harus bedrest total sampai batas waktu tertentu.“Pelan, Sayang. Jangan sok kuat. Biar aku aja yang bawa tasnya.” Ia merebut tas kecil dari tanganku begitu kami sampai di depan rumah.Duh, ini orang udah kayak alarm berjalan yang nyaris tak memberiku ruang bernapas. Protektif bukan main.Aku menghela napas dalam, lalu menggeleng. “Tasnya bahkan lebih ringan dari dompet aku, loh, Mas.”Dia menatap tajam. “Itu tetap terlalu berat untuk orang yang lagi hamil dan baru keluar dari rumah sakit, Sayang." Tuh, kan lebay.Aku tertawa kecil, tetapi tidak membalas. Ini hari pertama aku kembali ke rumah, dan aku tidak ingin merusak suasana hati Mas Kaivan.Begitu masuk ke dalam rumah, aroma wangi melati yang biasa kugunakan sebagai p
"Jadi, selama ini aku bukan lagi mimpi, tapi memang kamu ada di sana?" tanyanku tak percaya. "Pantesan rasanya kayak bukan mimpi."Pantas saja mimpi itu tidak seperti mimpi. Aku merasakan pipi yang tiba-tiba menghangat."Sekarang baru sadar, gimana nyamannya tidur di pelukanku? Makanya jangan sok-sokan kabur dari rumah." Dia menggerutu.Aku tersenyum malu. "Jadi, sejak kapan Mas di sana?" "Sejak hari pertama kamu di sana lah." Dia tersenyum penuh kemenangan."Kok bisa?""Udah aku bilang, kamu gak bisa pergi jauh dariku, Sayang.""Tapi, kata Edo Mas masih cariin aku waktu–""Dan, kamu percaya? Itu cuma akal-akalan dia aja." Mas Kaivan mengulum senyum, tetapi kali ini lebih mirip menahan tawa."Kenapa Mas gak samperin aku aja?""Karena aku gak siap kalau kamu menolak saat aku ajak pulang.""Jadi, selama ini Mas Kai sembunyi di mana? Kenapa aku gak pernah lihat?""Di mana-mana, kadang di bawah meja, kadang di dalam lemari, seringnya di balkon sempit di bawah jendela."Aku menutup mulut
"Apa?" tanyaku antara tak percaya dan tak mengerti. "A–aku hamil, Buk?" tanyaku lirih dan nyaris tak terdengar mungkin.Wanita paruh baya itu mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Entah terharu atau prihatin. Pasalnya Rayyan masih terlalu kecil untuk memiliki seorang adik.Aku pun tidak tahu harus bahagia atau sedih. Ini kabar yang mengejutkan. Aku masih terdiam. Kata-kata Bu Rumi terus terngiang di kepala.Di satu sisi hati ini memang terasa menghangat—kehidupan baru sedang tumbuh dalam rahimku. Namun di sisi lain, hatiku berdegup penuh cemas. Di saat yang sama, suamiku masih terbaring tak sadarkan diri, baru saja melewati batas antara hidup dan mati.Aku mengelus perutku pelan. Meskipun belum ada perubahan fisik, aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu di sana. Sesuatu yang tak terlihat, tetapi aku bisa merasakan kehadirannya sekarang***Ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatianku. Seorang perempuan berjas putih masuk, mengenakan name tag bertuliskan, “dr. Intan Rizkita, Sp.OG.” Dia me
"Terlambat! Kaivan sudah hampir kehilangan nyawa, lu pikir gua masih tinggal diam?"Aku hanya menunduk. Suasana tegang yang menyelimuti ruang tunggu itu begitu menyesakkan. Ingin rasanya meminta mereka berhenti berdebat. Meski tidak sampai mengundang perhatian pengunjung lain, tetapi cukup membuatku merasa ... mual. Dan, secara tiba-tiba aku merasakan sakit luar biasa dari dalam perutku. Tepat di bawah pusar. Rasanya melilit seakan ada yang menarik dari dalam.Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam, menahan sakit yang tiba-tiba mendera juga nyeri di kepala rasanya kian menjadi. Rasa sakit itu tak menjadi satu, tapi seperti menyerang dari segala arah. Seolah mereka mencengkeram kepala dan leherku sekaligus, juga di bawah pusar. “Alya?” Bu Rumi memegang lenganku, kemudian menepuk pipiku lembut.Aku membuka mata, tapi dunia seperti terus bergerak. Suara-suara di sekeliling mulai terdengar seperti dari kejauhan. Samar. Bergema. Aneh. Bahkan suara Mas Azzam dan Arga yang s
Dokter menatapku sebentar. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi…”Aku langsung lemas. Suara dokter menghilang di antara detak jantungku yang kacau. Kepala mendadak terasa berputar. Namun, kemudian dokter melanjutkan ....“… Dia masih bernapas. Tapi kondisinya sangat kritis. Kami butuh donor darah segera, golongan darah pasien B negatif."Aku tercekat. Setahuku itu termasuk golongan darah langka. Sementara golongan darahku tidak sama dengannya. Mas Azzam memekik, “Apa gak ada di bank darah?”Pria dengan berjas putih itu menggeleng. "Sayangnya persediaan di bank darah sedang kosong."Aku masih berdiri terpaku di depan dokter. Kata-katanya menggema di kepala seperti dentuman yang seakan memecah kepala. "Kondisinya kritis. Kami butuh donor darah segera."Tangan dan kakiku mendadak dingin. Aku menoleh ke arah Rayyan, yang masih tertidur dalam pelukanku, tak tahu apa yang sedang terjadi. "Ya Allah, Tolong selamatkan suamiku!" Sejak tadi aku tadi air mata yang keluar, dan suara y
Aku mematung beberapa saat. Menatap mata sayu yang hampir meredup. Wajahnya memerah seperti menahan sakit. "Maaas!!!" Akhirnya aku bisa bersuara. Mengeluarkan jeritan dengan lantang. "Ray—yan!" Tangannya terulur hendak menggapai Rayyan yang sempat kubelakangi. Aku bergegas menggendong dan memeluk putraku. Kemudian menggapai tubuh Mas Kaivan. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang melakukan ini?Aku belum benar-benar memahami situasi saat sekelebat tubuh bergerak cepat menuju jendela, menggeser dengan cepat daun jendela dan menghilang dari sana. Aku bahkan tidak tahu jika ternyata jendela itu bisa dibuka. Kupikir jendela mati. Sebab itu, aku tak pernah membuka jendela selain tirainya saja. Tangan dingin itu menggemggam jemariku. "Ma–af, Sa–ayang." Aku menggeleng. Air mata sudah tak mampu ditahan lagi. "Sial! Dia kabur!" Suara itu mengejutkanku. "Cepat kejar! Jangan sampai lolos! Panggil ambulans, cepat!" . Entah sejak kapan mereka masuk dan bagaima
Tidak! Tidak mungkin Mas Kaivan di sini.Aku mempercepat langkah untuk naik, ingin memastikan bahwa pandanganku tak menipu. Namun, beban menggendong Rayyan yang terus bertambah berat badannya, cukup membuatku kesulitan berjalan cepat naik tangga. Sampai di atas, napasku aku mengatur napas yang tak beraturan.Tak ada siapa-siapa di sana selain suara toa masjid yang sudah mulai mengumandangkan syalawat tanda sebentar lagi masuk waktu salat. Dinginnya angin yang meniupkan bau tanah basah makin mendukung suasa misteri yang tengah menguasai imajinasiku.Aku mengerjap cepat. Jantung seakan berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Lebih kencang dari angin yang tiba-tiba juga menambah kecepatan.Apa iya Mas Kaivan tadi memang di sini? Ah, mungkin aku hanya berhalusinasi. Memangnya dari mana dia tahu aku di sini? Apa selama ini dia mengikutiku dan ... tetapi Edo bilang Mas Kaivan masih mencariku.Tak ada siapa pun di lorong menuju kamarku. Sepertinya memang aku tadi berhalunisasi. Aku hanya sed
PoV Alya Aku menyodorkan sejumlah uang yang kupikir cukup untuk mengganti uang Edo yang dipakai untuk membayar sewa kamar. Sebenarnya aku tidak berniat tinggal di sini selama satu tahun. Apa lagi aku tahu biaya sewa kamar elit dengan fasilitas super komplit untuk standar kos-kosan pasti cukup mahal. Uang yang kubawa juga tak seberapa. Uang itu adalah uang sisa belanja bulanan untuk keperluanku dan Rayyan yang diberikan oleh Mas Kaivan sejak menjadi istrinya. Namun, cukup untuk mengganti uang Edo. Meski setelah ini, aku harus benar-benar berjuang untuk mulai mencari sumber pendapatan tanpa meninggalkan Rayyan."Gak perlu dikembalikan, Al. Itu uang kamu." Edo menyodorkan amplop cokelat yang keberikan.Aku mengernyit. "Maksudku, anggap aja ini bayaran untuk balas budi."Aku menatap heran. "Balas budi apa?""Kan kamu dulu sering bantu aku ngerjain tugas kuliah dulu." Edo menjawab sebelum kemudian menyeruput kopi yang disediakan anaknya Tante Diah. Kami memang bertemu di teras rumah p
Aku memeluk tubuh sendiri sembari memegang pipi yang terasa menghangat. Tadi itu benar-benar cuma mimpi, tetapi kenapa pipiku rasanya mengembang, jantung juga deg-degan. Aku beranjak dan menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku berwudhu dan melaksanakan salat subuh. Sepertinya tadi memang aku hanya berkhayal, karena aroma maskulin itu sekarang sudah tidak ada. Aku menghela napas panjang, lalu mulai memanjatkan doa pada pemilik semesta. Usai salat, aku bersiap untuk turun ke bawah. Berniat mengambil pesananku pada Bu Ranti kemarin. Namun, sebelum itu aku mengecek ponsel yang sudah kuisi dengan kartu sim dan sudah aku daftarkan dengan akun aplikasi cat hijau. Ada balasan chat dari Edo yang semalam kukirim. "Iya, Al. Aku yang bayar uang sewa selama satu tahun buat kamu. Maaf, gak izin. Tapi aku beneran tulus kok mau bantuin. Jangan ditolak, ya. Aku tahu kamu sedang ada masalah," tulis Edo dalam pesan chatnya. Aku hanya membaca balasan pesan itu, tidak ingin membalas s