Azalea memandangi langit-langit kamar barunya dengan tatapan hampa. Seluruh tubuhnya nyeri, bahkan lengan kirinya lebam karena cengkraman erat Johan. Lelaki itu tidak main-main pada perkataannya. Johan betulan menagih ronde yang tak selesai, bahkan menambahnya lebih brutal tanpa mendengar permohonan Azalea yang menangis kesakitan.
Saat itu pukul dua malam. Azalea meneteskan air mata yang tak bisa berhenti sambil meremas selimut, satu-satunya benda yang menutupi tubuhnya sekarang. Di sebelahnya, terdengar dengkur dan deru napas Johan yang tertidur pulas. Tak ada rasa bersalah terlihat pada wajahnya. Azalea tak percaya dirinya terjatuh dalam tipu daya Johan.“Selamat, Azalea, penderitaan ini akan kau rasakan seumur hidup,” kata Azalea getir pada diri sendiri, “Itupun jika besok aku masih hidup.”Kemudian perempuan yang tercerai berai perasaannya itu menoleh lemas ke arah sang suami, berbisik penuh kekecewaan, “Aku harap kau renggut nyawaku sekalian.”Johan mengerang, lalu membuka mata. Tak ayal langsung bertatapan dengan Azalea.“Kenapa menatapku seperti itu, sialan? Mengagetkan saja,” keluh Johan, lalu berbalik memunggungi sang istri. Tak lama setelahnya, dengkur kencang terdengar darinya.Azalea langsung memiringkan badannya yang nyeri ke samping, lalu membekap mulutnya kuat-kuat supaya tangisnya tak terdengar.Pagi tiba tanpa membawa ketenangan bagi Azalea. Semalaman tidak bisa tidur, mau bergerak dengan leluasa pun harus tersiksa nyeri.Itu adalah hari pertamanya menjadi menantu keluarga Laksmana yang prestisius. Semangat Azalea yang tumbuh sebelum menikah sudah lebih dulu kandas. Ia sudah membayangkan seberapa menderitanya di sini, tapi yang ia akan hadapi sungguh di luar perkiraan apapun."Makan sayuran hijau-hijau begini biar rahim kamu subur. Ibu sudah bicarakan dengan Chef Kiki untuk buat program makan khusus buat kamu. Semakin sehat kamu makan, semakin subur rahim kamu nanti, semakin cepat pula bisa kasih Ibu dan Ayah ini cucu!"Nyonya Sekar mengoceh panjang lebar sambil menyendokkan sayuran seperti bayam dan brokoli ke dalam piring Azalea saat sarapan bersama."C–Cucu, Bu?" Azalea tergagap."Iya! Umurmu udah dua puluh tiga, harus cepat punya anak biar gak terlalu tua! Lihat Ibu ini, di umur empat puluh enam pun masih awet muda dan segar karena anak-anak sudah dewasa semua," lanjut Nyonya Sekar, memamerkan kulit wajahnya yang kencang meski itu hasil sentuhan dokter."Kalau bisa sih, akhir bulan ini kamu udah bisa hamil. Jadi, Johan, rajin-rajin tiduri istrimu ini biar cepat hamil."Tangan Azalea gemetar. Melirik sang suami, hanya dihadiahi seringai puas. Hari ini baru saja dimulai, tapi Azalea sudah dihadapkan dengan ekspektasi yang besar."Dengar ucapan Ibu, Azalea. Nanti malam, aku akan lebih pelan jika kau mau keluar duluan," ujar Johan dengan nada bercanda yang cukup lantang hingga terdengar ke ujung meja makan.Tuan Gibran terbahak-bahak mendengarnya, sedangkan Nyonya Sekar mengangguk setuju.Sekujur tubuh Azalea langsung merinding. Isi perutnya jungkir balik. Lidahnya kelu dan mati rasa, tak bisa menjawab semua ucapan yang terlontar merendahkannya.Sebelum Johan keluar pintu, ia menarik pinggang Azalea ke dalam pelukannya untuk mencium paksa bibir ranum perempuan itu."Jadilah istri yang baik dan tetap tinggal di rumah. Aku akan membawakanmu hadiah jika kau bisa patuh," kata Johan, lalu melangkah pergi.Selepas perginya sang suami dan kedua mertuanya, Azalea lari ke kamar di lantai atas. Ia menggosok bibirnya berulang-ulang dengan harapan bekas ciuman Johan akan lenyap. Seberapa kerasnya mencoba, Azalea masih tidak bisa menghilangkan itu.Tak ayal bibir ranum Azalea terluka karena ia terlampau kasar. Darah menetes dari permukaan bibirnya bersamaan dengan air mata yang meluncur deras. Azalea sesegukan di lantai kamar sambil menekuk lutut.Isak tangis Azalea terhenti karena ponselnya berdering. Bagi Azalea, ponsel itu tidak berarti apa-apa karena sehari sebelum pernikahan, Johan memintanya untuk menghapus semua kontak yang ada. Johan hanya ingin Azalea fokus padanya. Azalea menyesal menyetujui permintaan egois suaminya itu."Lea?""Bibi Luna?" Suara Azalea serak. "Bibi, bolehkah aku pulang saja? Aku tidak tahan di sini....""Apa yang kau bicarakan? Jangan bodoh, Azalea! Kau sekarang sudah menikah!" sahut Bibi Luna dari seberang."Johan....""Kamu mau bilang kalau dia menyakitimu lagi? Sabar aja dulu, Azalea... Masih permulaan, biarkan kalian berdua beradaptasi. Maklumi perbuatan suamimu, ya?""Tapi....""Memang pernikahan itu seperti ini. Bibi sudah susah payah mencarikan suami yang bisa memperbaiki hidupmu, tolong hargai kerja keras Bibi," keluh Bibi Luna.Azalea merunduk, menggigit bibir bawahnya. "Iya, Bi....""Ya, sudah. Jadilah perempuan baik-baik yang nurut sama suaminya. Jangan mempermalukan dirimu sendiri," tukas Bibi Luna, lantas menutup telepon sepihak.Azalea bersandar di dinding, mengembuskan napas berat yang panjang. Apakah hidupnya akan terus seperti ini?Tak banyak yang Azalea lakukan selama seminggu di mansion Laksmana. Di tempat seluas itu, hanya rutinitas tanpa makna dijalani Azalea sendirian. Nyonya Sekar sibuk dengan berbagai macam acara amal yang ia selenggarakan. Tuan Gibran apalagi. Johan juga tidak ada bedanya. Hanya Azalea tertinggal di belakang.Kebosanan menyelimuti Azalea terselamatkan ketika seseorang menekan bel siang itu. Betapa terkejutnya ia saat berhadapan dengan Bima di depan pintu. Lelaki itu masih terlihat sama seperti saat Azalea meninggalkannya di kamar hotel. Dingin dan acuh. Tetap saja sepasang mata hitam Bima mempengaruhi Azalea. Ada sesuatu jelas tersembunyi di sana."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Azalea, tersadar dari pemikirannya karena diserbu rasa panik. Bima menjawab sarkas, "Di sini kediaman keluarga Laksmana, Nyonya Azalea. Tempat ini rumah Saya juga." "Ah, benar. Silakan masuk." Azalea menyingkir dari pintu dengan canggung."Apa... Apa Anda mau bertemu Ibu dan Ayah? Anda bisa kembali nan
Kedua tangan Azalea mencengkeram sealbelt, ia membeku. Johan melangkah cepat dan menghantam kedua tinjunya ke kaca jendela pintu mobil."Keluar dari sana, Azalea!" seru Johan. Urat-urat mencuat memenuhi keningnya.Bima merentangkan tangan ke handle pintu, menghalangi Azalea keluar. Sepasang matanya menatap lurus saudaranya yang siap mengamuk itu."Tetap di sini," cegah Bima, rendah dan setengah berbisik. Seperti menyuruh waspada.Johan menghantamkan tinjunya sekali lagi. Menyebabkan kaca retak dengan bentuk sarang laba-laba, serta suara pecah nyaring. Azalea memekik panik."Kau tidak mendengarku? Keluar!"Azalea menghargai pencegahan Bima, tapi ia menarik tangan lelaki itu dengan berkata, "Dia akan membunuhku jika aku tidak mematuhinya."Rahang Bima mengeras, ekspresinya menggelap. Sedangkan mata Azalea mengisyaratkan permohonan. Sorot yang entah kenapa membuat Bima terpaksa melunak. Karenanya ia membuka pintu dan turun duluan.Meski takut setengah mati, Azalea mengikuti. Ketika Johan
Beberapa jam sebelumnya.Memperhatikan punggung Johan dan Azalea yang menghilang di balik gerbang, tanpa sadar Bima mengepalkan tangan. Lagi-lagi sengatan rasa aneh itu muncul ketika melihat Azalea diseret paksa.Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga karena Bima tahu bahu kurus Azalea gemetar ketakutan. Bima tidak tahu kondisi apa yang mengganggu dirinya saat itu."Kemarin kau masih membukakan gerbang ini untuk saya," tegas Bima di depan security. Sudah berkali-kali ia meminta dibukakan gerbang, tapi kedua security itu menggeleng.Salah satu di antara mereka menjawab, "Sebelum Tuan Johan memerintah kamu untuk melarang Anda masuk.""Saya putra sulung keluarga ini, Purwo," desis Bima, menatap nyalang ke security yang tidak jauh lebih tinggi darinya."Ya, Tuan Johan dengan jelas memberitahu itu juga."Akhirnya Bima mendengus. "Terserah."Kemudian lelaki berambut gelap itu masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan sengaja dikeraskan, lalu pergi tanpa banyak bicara. Mobilnya meluncur di
Beberapa minggu kemudian. Luka Azalea sepenuhnya sembuh. Johan juga mengurangi tempramennya. Namun Azalea tetap tidak bisa melupakan semua penderitaannya itu. Hatinya seolah mati rasa, bibir Azalea tak bisa tersenyum, dan instingnya selalu bereaksi waspada kapanpun Johan dekat."Nak, kemarilah."Pukul 09.00 pagi, Tuan Gibran memanggil Azalea dari ruang keluarga. Mulanya Azalea mengernyit heran saat melihat Ayah mertuanya yang berada di rumah pada hari kerja. Johan dan Nyonya Sekar tidak ada di rumah, jadi apa yang Tuan Gibran lakukan di sini?"Ya, Ayah?"Azalea menghadap Tuan Gibran. Lelaki yang berusia setengah abad itu mengenakan pakaian santai alih-alih jas rapi seperti biasa. Televisi menyala, Tuan Gibran duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Kenapa penguasa perusahaan keluarga ini sedang bermalas-malasan?Ada semacam perasaan tak nyaman menggaruk kulit Azalea saat berada di dekat Tuan Gibran. Mungkin karena Johan dan Ayahnya sangat mirip, atau mungkin karena keduanya punya ser
“Kau tampak cantik,” puji Johan ketika melihat Azalea dalam balutan gaun biru yang memperlihatkan bahu mulusnya.Azalea tampak tak terkesan, sebab yang ia lihat pada refleksi cermin adalah seorang perempuan kurus dan pucat, dengan sepasang mata kosong layaknya ikan mati. Azalea tidak melihat kecantikan mana yang Johan maksud.“Tak usah memujiku, aku tahu kamu mengatakannya karena masih merasa bersalah,” tukas Azalea datar.Johan mengeraskan rahang. “Kau harusnya bersyukur aku membawamu ke rumah sakit malam itu. Jadi kau masih bisa berdiri di sini.”“Yang benar?” balas Azalea.Johan berbalik. “Kalau sudah selesai, cepat turun.”Azalea kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Luka-luka cambuk dan memar akibat siksaan Johan sudah sepenuhnya sembuh. Sesekali Azalea masih dapat melihat bayangan luka itu di kulitnya.“Aku tahu bukan kamu yang membawaku ke rumah sakit,” gumam Azalea.Kemudian perempuan itu turun ke halaman belakang. Para staff dan tukang masak sibuk berlalu-lalang dari da
Atas perintah Johan, Anna menghadap Azalea keesokan harinya. Pembantu itu sudah bekerja sejak remaja, tampaknya seumuran Azalea sendiri. "Saya tak mengerti kenapa Anda menjadikan pembantu biasa seperti Saya sebagai asisten." Anna berkata sambil memasang raut masam yang tak ramah. "Tanpa posisi itu pun, Saya sudah sibuk dan tidak bisa menambah pekerjaan lain lagi." "Tapi menjadi asisten berbeda dari jadi pembantu, 'kan?" balas Azalea. Azalea memindai dan berusaha membaca air muka Anna untuk menilai kepribadiannya. Namun yang dilihat tetap saja Anna yang terus menggerutu. Persis semua pembantu bersikap begitu. Sambil membantu Azalea berpakaian, Anna mendengus beberapa kali. Seolah berada di kamar sang calon nyonya besar ini sangat menyiksanya. “Anggap saja seperti naik jabatan,” imbuh Azalea mencoba santai. Anna berkacak pinggang. Gestur tubuhnya menyiratkan seperti sedang mengajak bertengkar. "Anda memang tidak tahu apa-apa. Enak, ya, hidup jadi Anda, Nyonya. Saya dengar selama
“Jika mengatakan seperti itu, kau membuatku terdengar seperti orang jahat. Lea, semua ini juga supaya hidupmu jauh lebih baik, ‘kan?” Bibi Luna membela diri.Hancur sudah semua bayangan Azalea mengenai sosok lembut dari wanita yang merawatnya sejak kedua orang tuanya tiada. Lenyap pula keinginan Azalea meminta dukungan Bibi Luna supaya bisa keluar dari keluarga Laksmana.Azalea menggigit bibir bawah sampai kebas, lalu membuang muka.“Lihat pakaianmu sekarang! Tidak ada bekas tambalan, jahitan terlepas, atau bercak kotor yang tidak bisa hilang,” tambah Bibi Luna, menarik ujung midi dress merah muda yang dikenakan Azalea.Kemudian Bibi Luna mencubit pipi Azalea, melanjutkan, “Pegang wajahmu ini. Sudah berpoles bedak dan skincare mahal. Jika aku tidak menikahkanmu dengan seseorang yang kaya raya, mau jadi apa hidupmu nanti?”Azalea menepis tangan Bibi Luna dari wajahnya, berbalik memunggungi wanita paruh baya itu karena kekecewaan dan kemarahan meledak-ledak dalam dirinya.Bibi Luna meng
"Kenapa? Katanya mau lepas dari keluarga ini."Azalea menggenggam cangkir tehnya, terdiam sebentar. Itu foto yang ia ambil dari kamar yang ia duga sebagai milik Bima saat masih tinggal di mansion Laksmana.Melirik Anna penuh pengamatan. Haruskah ia memberitahu asistennya tentang malam itu?"Aku tahu ini gila dan sulit dipercaya."Azalea memulai cerita soal malam pernikahannya dari awal sampai akhir. Ada rasa menggelitik dada ketika ia menjelaskan bagaimana kecerobohan mempertemukan dirinya dengan Bima. Sampai pada ketika Bima datang ke kediaman untuk membantunya kabur.Tak ada yang bisa Anna lakukan kecuali melongo. Tercengang dengan kisah mendebarkan sekaligus menggelikan, tapi juga sedih dari sang Nyonya Muda. Ketika cerita Azalea selesai, Anna mengusap keningnya dan menggeleng."Wow... Dari sekian banyak gosip yang pernah Saya dengar, cerita Anda yang paling bikin kepala pecah, Nyonya," komentar gadis itu jenaka.Azalea terkekeh. "Ini bukan gosip. Dan selama ini yang tahu cuma kelu