Share

Dia Bekasku

Sinar matahari menyusup dari celah-celah gorden jendela yang terbuka menimpa wajah pulas Azalea. Sengatan cahaya itu membuat kulitnya berkedut, memaksanya membuka mata.

Hal pertama yang Azalea lihat adalah sosok Bima sedang bersandar di sisi jendela. Masih tanpa menggunakan kaos, lelaki itu dengan santainya memandang keluar. Ketika menoleh, mata gelap lelaki itu bertemu mata Azalea yang masih setengah memejam.

"Oh, hei... Kau sudah bangun?"

Suara rendah nan dalam keluar dari bibir Bima. Azalea tak percaya bibir itulah yang semalam terus menciumnya penuh perasaan. Membimbingnya ke dalam permainan cinta luar biasa yang tak terlupakan. Berkat Bima, Azalea mendapatkan kenikmatan yang ia ekspektasikan.

Azalea tercekat. Tak boleh terlena untuk sesuatu yang ia pastikan hanya terjadi satu kali. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain karena tak sanggup melihat wajah Bima.

Bagaimana kalau Bima menganggapnya sebagai perempuan murahan? Apakah keputusannya semalam untuk tetap tinggal di sini itu benar?

Azalea mengutuk diri sendiri dalam pikirannya. Kemudian mengalah atas kecamuk itu. Toh, semuanya sudah terjadi. Masalah utamanya bukan berada pada Bima, melainkan Johan.

"Sudah berapa lama Anda berdiri di sana?" tanya Azalea pelan, beranjak duduk sambil menutupi dadanya yang polos menggunakan selimut.

Azalea melongok ke bawah ranjang, mencari-cari sesuatu miliknya.

"Lima menit lalu."

Bima membungkuk. Ia menarik sebuah bra renda-renda dari kolong ranjang dan mengulurkannya pada Azalea.

Ketika tangan mereka bersentuhan, Azalea malah teringat kejadian semalam. Itu menakjubkan, tapi tetap saja bikin malu. Tanpa ambil waktu Azalea mengenakan pakaiannya dengan membelakangi Bima meski tahu lelaki itu sudah melihat setiap inchi kulitnya semalam.

Kehadirannya di sini tidak bisa lebih lama. Azalea menyibak selimut dan menurunkan kaki. Bima tampak bersiaga, mengulurkan tangan.

"Kau bisa bangun? Jika tidak aku bisa—"

Azalea lebih dulu jatuh terduduk diliputi rasa heran. Kedua lututnya lemas sekali seperti tak ada tenaga. Pangkal pahanya nyeri. Gadis itu mendongak, menatap Bima penuh tanda tanya.

".... Membantumu."

Bima menghela napas, lantas membantu Azalea kembali duduk di atas ranjang.

"Maafkan aku! Rasanya...."

Azalea terlalu malu untuk melanjutkan.

"Efeknya akan hilang jika kau berbaring lebih lama." Bima menyahut enteng.

"Tapi aku harus—"

"Berbaring," tegas Bima, menatap Azalea dari atas sampai bawah. Bibirnya terangkat tipis. "Haruskah aku mengusap bagian yang nyeri?"

Semburat merah memenuhi pipi Azalea. Bima benar-benar menganggapnya wanita gampangan sampai berani menggoda secara terang-terangan begini.

"Ti–Tidak perlu, makasih...." Azalea pura-pura berdehem. "Se–Sekarang bukan saatnya melakukan ini."

"Melakukan apa?"

Bima balas bertanya tanpa ekspresi.

BRAK!

Mendadak pintu kamar berdebam terbuka. Bima spontan merentangkan tangan kanannya menutupi Azalea yang kaget bukan main.

Johan berserta Tuan dan Nyonya Laksmana berdiri di ambang pintu. Azalea dapat merasakan kulitnya bagaikan tersengat oleh semua tatapan yang tertuju ke arahnya.

"Kalian lihat sendiri apa yang sudah aku katakan!" Johan merangsek ke dalam kamar mulai mengamuk sambil menunjuk-nunjuk Azalea dan Bima.

Terkesiap, Azalea tak percaya dengan ekspresi yang ditunjukkan Johan. Suaminya itu benar-benar menunjukkan wajah aslinya sekarang.

"Azalea!"

Seorang wanita tergopoh-gopoh merangsek maju. Ketika melihat kondisi Azalea yang baru bangun tidur, serta posisinya bersama Bima tampak mudah disalahpahami, wanita paruh baya itu menutup mulut.

"Bibi Luna!" Azalea memekik.

PLAK!

Tamparan itu telak mengenai pipi Azalea tanpa bisa diduga oleh siapapun, bahkan Azalea sendiri. Air mata menggenangi pelupuk mata tatkala bertatapan dengan Bibi Luna. Wanita yang mengambil alih hak asuh atas dirinya itu selalu Azalea kenal sebagai sosok lembut dan penuh kasih. Namun kali ini, tamparan menyakitkan Azalea dapat dari sosok yang ia anggap sebagai ibu keduanya.

"Bagaimana kau bisa melakukan tindakan keji ini terhadap suamimu, Nak? Apakah Bibi mengajarimu berkhianat?" Bibi Luna terisak keras.

Azalea bersimpuh di bawa kaki wanita paruh baya itu, memohon, "Bibi! Tolong dengarkan aku dulu!"

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan, Azalea? Bibi sudah berjanji pada mendiang orang tuamu, bahwa bibi akan membahagiakanmu. Namun sekarang kau menghancurkan kebahagiaan itu sendiri!"

Bibi Luna menepis tangan Azalea serta memalingkan wajahnya sambil terisak-isak.

Azalea tercenung. Konsekuensi dari perbuatan gila semalam adalah mengecewakan satu-satunya orang yang ingin Azalea bahagiakan.

"Oh, Dahlia yang malang. Bagaimana bisa aku menemuimu di perkuburan saat tahu putri tunggalmu melakukan hal serendah ini!"

"Minggir," ucap seseorang dari belakang.

"Nyo–Nyonya Sekar!" Dalam sekejap tangis Bibi Luna terhenti seraya ia mundur memberikan jalan.

Ibu Johan sekaligus Nyonya Besar keluarga Laksmana mendekati Azalea yang masih bersimpuh di lantai dengan amarah. Satu tangannya terangkat.

"Beraninya kau mengkhianati putraku!"

"Cukup, Ibu."

Bima menangkap tangan ibunya sebelum mendarat di pipi Azalea. Suaranya terdengar dingin ketika menambahkan, "Jangan sentuh Azalea."

Nyonya Sekar menepis tangan putranya.

"Kau juga sama saja! Sudah bagus bertahun-tahun pergi, sekarang malah makin mempermalukanku saja! Apa yang kau telah lakukan dengan istri adikmu ini, hah?!"

"Saya tidur dengannya."

Bima menjawab jujur dan tanpa beban. Ia membungkuk, membantu Azalea berdiri dengan sangat berhati-hati dan penuh perhatian. Azalea tidak bisa menyangkal ucapan lelaki itu, hanya bisa tertunduk diam memegangi pipinya yang memerah.

"Azalea adalah kekasihku. Bajingan itu yang merebutnya duluan." Bima melirik Johan sinis.

"APA?!" Baik Nyonya Sekar dan Bibi Luna memekik bersamaan.

Alih-alih kaget, Johan malah tertawa terbahak-bahak. Semua orang menatapnya seorang lelaki itu kehilangan akal, sedangkan Azalea bertanya-tanya apakah pernyataan Bima sangat lucu.

"Hah, itu bohong. Saat bersamaku, Azalea masih perawan! Masih legit dan rapat!"

Johan berseru tanpa tahu malu. Seringainya melebar. "Kau mendapatkan bekasku, sialan!"

"Cukup, tolong berhenti!"

Azalea berteriak muak sekaligus malu. Ia menghadap pasangan Laksmana dan Bibi Luna dengan menahan kecamuk perasaannya.

"Maafkan aku, Bibi Luna. Maafkan aku juga, Tuan dan Nyonya Laksmana. Aku telah mengecewakan kalian semua. Aku memilih Bima."

Kemudian Azalea menggandeng tangan Bima dan menoleh pada Johan.

"Tolong ceraikan aku sekarang juga."

"Apa otak kecilmu itu rusak?" Johan menarik tangan Azalea. "Dasar perempuan tak tahu diri!"

Untungnya Bima sigap merampas Azalea kembali dalam pelukannya. Lengan kanannya merengkuh punggung Azalea secara protektif.

"Kalian semua diam!" bentak Bima, "Setelah sumpah serapah yang kalian lontarkan, gadis ini berhak untuk didengarkan! Katakan pada tiga orang tua ini apa yang telah Johan lakukan padamu, Azalea."

"Memangnya apa yang aku lakukan padamu, hah?" Johan membantah.

Menahan isak tangisnya sendiri, Azalea menjawab, "Kau... Menyakitiku, Johan... Kau tidak memberiku waktu untuk bernapas. Kau bahkan melayangkan tanganmu secara sangat kasar... Kau menyentuhku dengan cara yang tidak aku sukai...."

"Hah...."

Tuan Gibran Laksmana mengusap wajahnya, lantas terkekeh keras.

"Astaga, jadi semua ini hanya perkara Johan yang tidak bisa memberimu kenikmatan saat malam pertama, Nak?" tukas Tuan Gibran, "Kekanakan sekali."

Azalea terkesiap.

"Melihat betapa menggairahkannya tubuhmu, wajar kalau Johan kehilangan akalnya," lanjut Tuan Gibran, lalu menepuk-nepuk bahu Johan. "Nak, kau perlu menahan dirimu supaya istrimu ini keluar duluan."

"A–Apa? Tuan Laksmana, bukan seperti itu! Johan menyiksaku!"

Johan balas protes, "Kenapa? Apa dia menampar wajahmu saat kau memberinya service? Atau menarik rambutmu saat melakukan itu dari belakang?"

Dada Azalea sangat sesak. Jika bisa memutar waktu, ia tak mau menikahi lelaki busuk yang membeberkan segalanya seperti sedang membaca berita, itupun tanpa rasa bersalah sama sekali.

Azalea juga marah pada diri sendiri yang dengan mudahnya menerima Johan dan terpikat pada segala yang ditampilkan lelaki itu saat awal kenal. Azalea tak berhenti mengutuk diri sendiri sambil menahan tangis.

"Ya, aku melakukan itu semua. Memangnya kenapa? Itu wajar," jawab Johan, "Kalau kau benar sudah pernah tidur dengan Bima, kau harusnya juga melakukan itu. Aku yakin dia lebih ahli dariku."

"Bajingan ini—" Bima hendak maju, tapi merasakan tubuh Azalea bergetar dalam dekapannya.

"Kenapa? Apa aku salah?" Johan menantang, "Kau bermain dengan ratusan wanita hingga punya beberapa anak haram, 'kan?"

"Cukup, Johan," cegah Nyonya Sekar, tampaknya jemu dengan perkara ini.

"Hah, rupanya semua ini hanyalah akting. Kau suka sekali memancing drama, Azalea."

Azalea memohon. "Ta–Tapi—"

"Sudah. Johan, bawa istrimu ke mobil. Kita pulang sekarang juga," pungkas Nyonya Sekar seraya melirik putra sulungnya. "Dan kau, Bima. Berhenti mempermalukan diri sendiri sampai menyeret orang tidak bersalah."

Johan mengulurkan tangan sambil menyeringai.

"Ayo, istriku. Kita punya ronde kedua yang belum diselesaikan."

Dengan berat hati, Bima melepaskan Azalea.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status