Tak banyak yang Azalea lakukan selama seminggu di mansion Laksmana. Di tempat seluas itu, hanya rutinitas tanpa makna dijalani Azalea sendirian. Nyonya Sekar sibuk dengan berbagai macam acara amal yang ia selenggarakan. Tuan Gibran apalagi. Johan juga tidak ada bedanya. Hanya Azalea tertinggal di belakang.
Kebosanan menyelimuti Azalea terselamatkan ketika seseorang menekan bel siang itu. Betapa terkejutnya ia saat berhadapan dengan Bima di depan pintu.Lelaki itu masih terlihat sama seperti saat Azalea meninggalkannya di kamar hotel. Dingin dan acuh. Tetap saja sepasang mata hitam Bima mempengaruhi Azalea. Ada sesuatu jelas tersembunyi di sana."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Azalea, tersadar dari pemikirannya karena diserbu rasa panik.Bima menjawab sarkas, "Di sini kediaman keluarga Laksmana, Nyonya Azalea. Tempat ini rumah Saya juga.""Ah, benar. Silakan masuk."Azalea menyingkir dari pintu dengan canggung."Apa... Apa Anda mau bertemu Ibu dan Ayah? Anda bisa kembali nanti sebab—""Sebaliknya. Saya ke sini untuk melihat bagaimana keadaanmu."Azalea terperanjat. Keningnya berkerut. Setelah muncul tiba-tiba, rupanya Bima mengkhawatirkannya?"Makasih... Tapi aku baik-baik aja. Justru aku malah khawatir kalau Anda ke sini bakal—""Mengusirku?" potong Bima sinis, "Tak ada bedanya dengan ibuku, rupanya.""Aku tidak bermaksud—"Azalea berhenti untuk mengambil napas. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi lelaki ini. Apalagi sejak apa yang terjadi pada mereka terakhir kali."Kenapa Anda peduli padaku setelah kedua orang tua Anda jelas menentang?" koreksi Azalea.Bima mengangkat bahu. "Sudah tugas saya menentang keluarga. Mereka tidak kaget."Kemudian mereka berdua pergi ke ruang tamu. Duduk saling berseberangan. Diam-diam Azalea mengamati Bima. Lelaki itu tidak berpenampilan selayaknya keluarga Laksmana yang identik dengan kekayaan.Saat itu pun, Bima mengenakan kemeja denim lengan panjang yang ditekuk sampai siku. Tak ada dasi, tak ada rompi formal. Azalea bertanya-tanya apa profesi Bima dan kenapa Johan maupun mertuanya tidak pernah menyebut Bima sebelum pernikahan."Kau yakin baik-baik saja?"Pertanyaan dingin Bima meletuskan lamunan Azalea."Saya bisa bawa kau ke rumah temanmu," lanjut Bima, "Begitu rencanamu, 'kan?"***Setengah jam kemudian, Azalea duduk di kursi depan mobil bersama Bima. Perempuan itu mencengkeram tali sealbelt kuat-kuat, meragukan pilihannya sendiri."Memangnya aku benar boleh pergi?" tanya Azalea untuk kesekian kalinya."Ya.""Ibu pasti menentang ini.""Wanita itu menentang apapun.""Johan bakal marah!""Ya, bajingan itu perlu psikiater."Azalea menoleh ke arah Bima. Menatap lelaki itu tak percaya. Hidup Azalea mungkin bertambah buruk setelah ini."Kenapa Anda santai sekali sih!" protes Azalea, "Sama saja Anda sedang menculikku, 'kan?""Saya masih bisa putar balik jika kau mau," tawar Bima.Justru sekarang Azalea merasa campur aduk. Perutnya melilit oleh kegugupan berada di sebelah Bima.Bagaimana bisa lelaki itu bersikap biasa saja setelah pernah tidur dengannya?Bagaimana bisa Bima tidak menyinggung sama sekali soal malam itu?Azalea berusaha mengenyahkan semua pertanyaan itu dan berpikir rasional. Mungkin saja Bima menyimpan rasa empati pada Azalea karena menikahi seorang lelaki abusif yang tak lain adalah adiknya sendiri."Anda tidak perlu merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi waktu itu," kata Azalea, "Justru akulah yang berhutang maaf karena melibatkan Anda dalam masalah ini."Perempuan itu tersenyum kecut, tak berani menatap Bima sekalipun lewat kaca tengah."Demi lari dari masalah, aku menyeret Anda dalam sandiwara konyol. Sebenarnya apa yang aku pikirkan?"Menarik napas panjang dan menenangkan diri, Azalea pun menghadap Bima lalu menunduk."Aku sungguh minta maaf, Tuan Bima. Gara-gara aku, Anda dilimpahi kebencian luar biasa dari Johan."Tak ada jawaban."Harusnya aku bersyukur karena bisa menikah sebelum umur tiga puluh. Orang bilang pernikahan itu banyak cobaannya, jadi aku akan bersabar dan—"Sebuah tangan menangkap dagu Azalea dan mendadak mengangkatnya. Kecupan hangat nan dalam mendarat di bibir Azalea. Bima mengulum bibir Azalea, menyesapnya dalam-dalam bagai Kolibri menikmati madu bunga."A–Apa yang Anda lakukan!"Azalea mendorong bahu Bima dengan segera. Untung saja mobil yang dikendarai lelaki itu masih melaju mulus di jalanan."Menghentikan omong kosongmu," sahut Bima, sudut bibirnya melengkung naik."Tapi Anda tidak bisa men–menciumku begitu saja!""Kenapa? Toh aku sudah lihat semuanya.""Tuan!"Bima terkekeh renyah tanpa sadar. "Kau bisa menyebut namaku seperti malam itu.""Hentikan!""Maksudmu berhenti sekarang dan putar balik?""To–Tolong lanjutkan." Azalea menjawab malu.***Lift berdenting dan pintunya terbuka di lantai sepuluh. Apartemen itu cukup jauh dari kediaman keluarga Laksmana dan menjadikannya tempat sempurna sebagai persembunyian. Begitulah yang Azalea pikirkan."Tunggulah di sini," ujar Azalea."Yakin bisa sendiri?" Bima mengangkat alis. "Oke."Azalea mengetuk pintu dari unit paling ujung. Saat terbuka, seorang perempuan dengan rambut berantakan dan mengenakan dress tidur satin berbalut kimono terlihat."Lea? Bagaimana kau ada di sini?"Mata Mutia membelalak lebar, lalu menoleh ke kanan kiri."Mana suamimu?""Aku datang sendirian, Mutia. Boleh aku masuk?" pinta Azalea sopan.Justru Mutia malah melangkah keluar dan menutup pintu di belakang punggungnya."Bukannya sekarang waktunya kamu honeymoon atau apalah? Ada apa denganmu?""Tidak. Johan kerja."Azalea tidak datang untuk basa-basi. Terlanjur di sini, tak ada salahnya jika melanjutkan rencana awalnya."Dengar, aku rasa ide Bibi Luna untuk menikahkan aku itu sangat buruk. Baru dua hari aku sangat menderita di sana."Mutia merapatkan kimono. "Bersabar aja, Lea. Kamu kan udah janji untuk sehidup semati dengan suamimu.""Aku nggak bisa. Seandainya aja aku... Intinya aku bakal ceritakan semua, oke?" balas Azalea lalu menggenggam tangan Mutia."Sekarang aku cuma butuh tempat tinggal sementara sampai aku bisa pisah dengan Johan."Mutia terkesiap. "Kau berniat menceraikannya?""Iya, makanya aku butuh tempat sembunyi. Maukah kau membantuku?"Walau terpana selama beberapa detik, Mutia lantas menggeleng kuat-kuat."Sekarang bukan waktu yang tepat untuk ini, Lea. Kembalilah. Aku yakin kalian cuma salah paham.""Masalah ini lebih dari salah paham, Mutia. Bantu aku...."Saat itu juga, pintu apartemen terbuka lebar. Seorang lelaki yang tampak tak pernah bercukur muncul dari sana hanya mengenakan celana pendek. Tubuh kurusnya tampak menyedihkan, berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang galak."Hey, Mbak. Tuli, ya? Mutia bilang nggak bisa, ya nggak bisa!"Giliran Azalea yang melongo. Lelaki itu adalah mantan kekasih Mutia yang sangat Azalea benci."Kamu! Bukannya kamu Toni? Kok bisa kamu tidak sedang di penjara?"Toni terbahak. "Lho, kau nggak tahu? Suamimu yang membebaskanku. Dia bayar puluhan juta, tahu?""Apa?"Mutia mendorong Azalea menjauh. "Tolong, ya, Lea. Kembalilah ke suamimu.""Apa kamu berpihak sama Johan, Mutia?" seru Azalea."Pulang sana!" usir Toni, menarik Mutia kembali ke dalam apartemen."Tidak! Mutia! Jelaskan padaku!""Maaf, Lea," bisik Mutia dan berpaling."Mutia!""Cewek ini!"Toni yang kesal mengangkat tangan. Azalea memekik tertahan. Namun tamparan itu tak mendarat di pipi Azalea."Jauhkan tangan kotormu itu." Bima berdiri di depan Azalea bagai tameng."Siapa kau? Cari masalah denganku?" tanya Toni heran.Lima belas menit selanjutnya, Azalea dan Bima sudah ada di mobil dalam perjalanan pulang. Sepanjang perjalanan ia hanya diam, masih syok. Tak disangka, sahabat yang satu-satunya ia harapkan sama sekali tidak mendukung."Anda tidak perlu sampai meninju lelaki itu, Bima," keluh Azalea lelah."Kau mau ditampar duluan olehnya?""Tidak....""Tak perlu menyalahkan diri sendiri," tukas Bima, "Temanmu lah yang buat keputusan untuk memihak Johan."Mobil Bima berhenti di depan gerbang mansion. Sebelum Azalea turun, gerbang itu terbuka. Johan telah menunggu di sana. Matanya menusuk menembus kaca mobil."Wah... Lihat ini!" seru Johan, "Kucing nakal."Azalea membeku. "Johan?"Kedua tangan Azalea mencengkeram sealbelt, ia membeku. Johan melangkah cepat dan menghantam kedua tinjunya ke kaca jendela pintu mobil."Keluar dari sana, Azalea!" seru Johan. Urat-urat mencuat memenuhi keningnya.Bima merentangkan tangan ke handle pintu, menghalangi Azalea keluar. Sepasang matanya menatap lurus saudaranya yang siap mengamuk itu."Tetap di sini," cegah Bima, rendah dan setengah berbisik. Seperti menyuruh waspada.Johan menghantamkan tinjunya sekali lagi. Menyebabkan kaca retak dengan bentuk sarang laba-laba, serta suara pecah nyaring. Azalea memekik panik."Kau tidak mendengarku? Keluar!"Azalea menghargai pencegahan Bima, tapi ia menarik tangan lelaki itu dengan berkata, "Dia akan membunuhku jika aku tidak mematuhinya."Rahang Bima mengeras, ekspresinya menggelap. Sedangkan mata Azalea mengisyaratkan permohonan. Sorot yang entah kenapa membuat Bima terpaksa melunak. Karenanya ia membuka pintu dan turun duluan.Meski takut setengah mati, Azalea mengikuti. Ketika Johan
Beberapa jam sebelumnya.Memperhatikan punggung Johan dan Azalea yang menghilang di balik gerbang, tanpa sadar Bima mengepalkan tangan. Lagi-lagi sengatan rasa aneh itu muncul ketika melihat Azalea diseret paksa.Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga karena Bima tahu bahu kurus Azalea gemetar ketakutan. Bima tidak tahu kondisi apa yang mengganggu dirinya saat itu."Kemarin kau masih membukakan gerbang ini untuk saya," tegas Bima di depan security. Sudah berkali-kali ia meminta dibukakan gerbang, tapi kedua security itu menggeleng.Salah satu di antara mereka menjawab, "Sebelum Tuan Johan memerintah kamu untuk melarang Anda masuk.""Saya putra sulung keluarga ini, Purwo," desis Bima, menatap nyalang ke security yang tidak jauh lebih tinggi darinya."Ya, Tuan Johan dengan jelas memberitahu itu juga."Akhirnya Bima mendengus. "Terserah."Kemudian lelaki berambut gelap itu masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan sengaja dikeraskan, lalu pergi tanpa banyak bicara. Mobilnya meluncur di
Beberapa minggu kemudian. Luka Azalea sepenuhnya sembuh. Johan juga mengurangi tempramennya. Namun Azalea tetap tidak bisa melupakan semua penderitaannya itu. Hatinya seolah mati rasa, bibir Azalea tak bisa tersenyum, dan instingnya selalu bereaksi waspada kapanpun Johan dekat."Nak, kemarilah."Pukul 09.00 pagi, Tuan Gibran memanggil Azalea dari ruang keluarga. Mulanya Azalea mengernyit heran saat melihat Ayah mertuanya yang berada di rumah pada hari kerja. Johan dan Nyonya Sekar tidak ada di rumah, jadi apa yang Tuan Gibran lakukan di sini?"Ya, Ayah?"Azalea menghadap Tuan Gibran. Lelaki yang berusia setengah abad itu mengenakan pakaian santai alih-alih jas rapi seperti biasa. Televisi menyala, Tuan Gibran duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Kenapa penguasa perusahaan keluarga ini sedang bermalas-malasan?Ada semacam perasaan tak nyaman menggaruk kulit Azalea saat berada di dekat Tuan Gibran. Mungkin karena Johan dan Ayahnya sangat mirip, atau mungkin karena keduanya punya ser
“Kau tampak cantik,” puji Johan ketika melihat Azalea dalam balutan gaun biru yang memperlihatkan bahu mulusnya.Azalea tampak tak terkesan, sebab yang ia lihat pada refleksi cermin adalah seorang perempuan kurus dan pucat, dengan sepasang mata kosong layaknya ikan mati. Azalea tidak melihat kecantikan mana yang Johan maksud.“Tak usah memujiku, aku tahu kamu mengatakannya karena masih merasa bersalah,” tukas Azalea datar.Johan mengeraskan rahang. “Kau harusnya bersyukur aku membawamu ke rumah sakit malam itu. Jadi kau masih bisa berdiri di sini.”“Yang benar?” balas Azalea.Johan berbalik. “Kalau sudah selesai, cepat turun.”Azalea kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Luka-luka cambuk dan memar akibat siksaan Johan sudah sepenuhnya sembuh. Sesekali Azalea masih dapat melihat bayangan luka itu di kulitnya.“Aku tahu bukan kamu yang membawaku ke rumah sakit,” gumam Azalea.Kemudian perempuan itu turun ke halaman belakang. Para staff dan tukang masak sibuk berlalu-lalang dari da
Atas perintah Johan, Anna menghadap Azalea keesokan harinya. Pembantu itu sudah bekerja sejak remaja, tampaknya seumuran Azalea sendiri. "Saya tak mengerti kenapa Anda menjadikan pembantu biasa seperti Saya sebagai asisten." Anna berkata sambil memasang raut masam yang tak ramah. "Tanpa posisi itu pun, Saya sudah sibuk dan tidak bisa menambah pekerjaan lain lagi." "Tapi menjadi asisten berbeda dari jadi pembantu, 'kan?" balas Azalea. Azalea memindai dan berusaha membaca air muka Anna untuk menilai kepribadiannya. Namun yang dilihat tetap saja Anna yang terus menggerutu. Persis semua pembantu bersikap begitu. Sambil membantu Azalea berpakaian, Anna mendengus beberapa kali. Seolah berada di kamar sang calon nyonya besar ini sangat menyiksanya. “Anggap saja seperti naik jabatan,” imbuh Azalea mencoba santai. Anna berkacak pinggang. Gestur tubuhnya menyiratkan seperti sedang mengajak bertengkar. "Anda memang tidak tahu apa-apa. Enak, ya, hidup jadi Anda, Nyonya. Saya dengar selama
“Jika mengatakan seperti itu, kau membuatku terdengar seperti orang jahat. Lea, semua ini juga supaya hidupmu jauh lebih baik, ‘kan?” Bibi Luna membela diri.Hancur sudah semua bayangan Azalea mengenai sosok lembut dari wanita yang merawatnya sejak kedua orang tuanya tiada. Lenyap pula keinginan Azalea meminta dukungan Bibi Luna supaya bisa keluar dari keluarga Laksmana.Azalea menggigit bibir bawah sampai kebas, lalu membuang muka.“Lihat pakaianmu sekarang! Tidak ada bekas tambalan, jahitan terlepas, atau bercak kotor yang tidak bisa hilang,” tambah Bibi Luna, menarik ujung midi dress merah muda yang dikenakan Azalea.Kemudian Bibi Luna mencubit pipi Azalea, melanjutkan, “Pegang wajahmu ini. Sudah berpoles bedak dan skincare mahal. Jika aku tidak menikahkanmu dengan seseorang yang kaya raya, mau jadi apa hidupmu nanti?”Azalea menepis tangan Bibi Luna dari wajahnya, berbalik memunggungi wanita paruh baya itu karena kekecewaan dan kemarahan meledak-ledak dalam dirinya.Bibi Luna meng
"Kenapa? Katanya mau lepas dari keluarga ini."Azalea menggenggam cangkir tehnya, terdiam sebentar. Itu foto yang ia ambil dari kamar yang ia duga sebagai milik Bima saat masih tinggal di mansion Laksmana.Melirik Anna penuh pengamatan. Haruskah ia memberitahu asistennya tentang malam itu?"Aku tahu ini gila dan sulit dipercaya."Azalea memulai cerita soal malam pernikahannya dari awal sampai akhir. Ada rasa menggelitik dada ketika ia menjelaskan bagaimana kecerobohan mempertemukan dirinya dengan Bima. Sampai pada ketika Bima datang ke kediaman untuk membantunya kabur.Tak ada yang bisa Anna lakukan kecuali melongo. Tercengang dengan kisah mendebarkan sekaligus menggelikan, tapi juga sedih dari sang Nyonya Muda. Ketika cerita Azalea selesai, Anna mengusap keningnya dan menggeleng."Wow... Dari sekian banyak gosip yang pernah Saya dengar, cerita Anda yang paling bikin kepala pecah, Nyonya," komentar gadis itu jenaka.Azalea terkekeh. "Ini bukan gosip. Dan selama ini yang tahu cuma kelu
"Azalea, kulihat kau sudah sehat lagi," kata Johan seraya menutup pintu.Tak menjawab, Azalea masih terbawa euphoria mengobrol dengan Bima lewat telepon. Percakapan singkat yang menghantarkan kupu-kupu dalam perut Azalea.Azalea terlarut dalam lamunan, bahkan ketika Johan menarik pinggangnya dan memeluknya erat. Seraya menyingkap rambut panjang Azalea ke samping, Johan mendaratkan kecupan-kecupan manis di leher belakangnya."Mmhhmm...." Azalea bergumam. Teringat sentuhan Bima pada malam itu.Tangan kanan Johan merambat ke balik baju Azalea, terus naik untuk meraih sepasang harta berharga di sana. Sambil menyesap halusnya kulit leher sang istri dan menciptakan beberapa bercak kemerahan di sana, Johan meraih benda kesukaannya.Azalea terlempar kembali ke kenyataan. Ia mendorong Johan menjauh sambil mengaduh kesakitan akibat ulah suaminya."Apa yang kamu lakukan?" pekik Azalea kaget, memegangi bajunya erat. Hampir saja ia membayangkan jika Bima lah yang menyentuhnya.Johan menangkap tang