Kedua tangan Azalea mencengkeram sealbelt, ia membeku. Johan melangkah cepat dan menghantam kedua tinjunya ke kaca jendela pintu mobil.
"Keluar dari sana, Azalea!" seru Johan. Urat-urat mencuat memenuhi keningnya.Bima merentangkan tangan ke handle pintu, menghalangi Azalea keluar. Sepasang matanya menatap lurus saudaranya yang siap mengamuk itu."Tetap di sini," cegah Bima, rendah dan setengah berbisik. Seperti menyuruh waspada.Johan menghantamkan tinjunya sekali lagi. Menyebabkan kaca retak dengan bentuk sarang laba-laba, serta suara pecah nyaring. Azalea memekik panik."Kau tidak mendengarku? Keluar!"Azalea menghargai pencegahan Bima, tapi ia menarik tangan lelaki itu dengan berkata, "Dia akan membunuhku jika aku tidak mematuhinya."Rahang Bima mengeras, ekspresinya menggelap. Sedangkan mata Azalea mengisyaratkan permohonan. Sorot yang entah kenapa membuat Bima terpaksa melunak. Karenanya ia membuka pintu dan turun duluan.Meski takut setengah mati, Azalea mengikuti. Ketika Johan hendak menarik tangan Azalea, Bima menyela di antara mereka. Dengan tubuh setinggi itu, Johan tampak ciut."Minggir, brengsek!"Johan mendorong perut Bima, tapi Bima menepisnya kasar."Beraninya kau membawa kabur istriku!"Bima tersenyum miring. "Saya menyenangkannya sebentar sebab kau tak mampu."Ego Johan langsung tercerai-berai berkat sindiran itu."Jangan halangi aku!" ancam Johan.Bima mundur, membuka kesempatan Johan menyeret leher Azalea dengan cengkeraman erat."Jalang sialan, kau coba kabur dariku!""Sakit, Johan!" Azalea mengaduh.Mulanya Azalea pikir Johan akan membawanya kembali ke kamar, tapi ia salah.Johan berbelok menuju halaman belakang. Di sana, hanya ada sebuah gudang berdiri."Ahh!!"Azalea dilempar sampai tersungkur pada lantai berdebu.Johan menyingkap lengan kemeja, lalu mulai mengobrak-abrik kardus yang ada seperti sedang kesetanan."Johan...."Kengerian menyelimuti diri Azalea ketika Johan menarik sebuah pecut dari salah satu kardus. Seringai lelaki itu mengerikan.Selama satu jam berikutnya, hanya raungan Azalea menggema ke seluruh gudang. Tak hanya itu, suara pecut yang menampar Azalea menambah suasana kengerian dan bercampur dengan teriakan penuh rasa sakit itu.Azalea berlutut dengan setengah badan menelungkup di pinggir kursi. Di belakangnya, Johan duduk sambil terus mengayunkan pecut hitam ke punggung dan paha belakang Azalea tanpa ampun.“Ahh!!”Azalea menjerit sakit sekaligus putus asa. Rasa sakit menjilat setiap inchi kulitnya. Setiap detik ia tidak bisa menahan semua siksaan itu lagi.“Ampuni aku, Johan! Tolong berhenti!”Johan yang sedang duduk dengan amat angkuh di kursi itu mendengus sinis. Tak terlihat sedikitpun belas kasih di matanya. Kemudian pecut itu ia lempar ke lantai. Jika bukan karena bosan, ia pasti terus melakukannya.Johan bangkit, lantas menarik lengan Azalea. Perempuan tak berdaya itu tak lagi punya tenaga di kedua kakinya, terjatuh ke lantai begitu saja. Johan mencengkeram rahang Azalea, memaksa sang istri melihat matanya.“Berhenti? Setelah kau mencoba kabur dariku dengan si brengsek itu?”Sambil terisak, Azalea berusaha membela diri dengan suara serak, “Bima Cuma menepati janjinya untuk mengantarku!”“Alasan! Mutia dan Toni bilang kalau kau mau bersembunyi dariku!”“Mereka memberitahumu?”Johan menghempaskan Azalea.“Ya. Tak usah kaget begitu. Dengan uang, aku bisa memperoleh banyak hal, termasuk kesetiaan mereka,” ujarnya, “Selain itu, kau juga harus berhenti berteman dengan orang-orang miskin, Azalea.”Azalea berbaring di lantai luar biasa syok. Seumur hidup, Azalea hanya punya satu teman yaitu Mutia. Kecuali ketertarikan Mutia pada para lelaki bermasalah, Mutia adalah sahabat yang baik.Hanya saja, Azalea tidak memperkirakan kalau Johan juga menganggu Mutia dengan entah apapun tujuannya.Johan meludah ke samping. “Haahh… Kau tak henti-hentinya membuatku emosi. Tapi aku tahu yang bisa kau lakukan untuk meredakan amarahku.”“A–Apa?” Azalea mengangkat kepala.“Lepas bajumu.”“Aku sedang tidak ingin, Johan.”“Apa yang kudengar barusan itu penolakan?”“Ya?”Johan menarik Azalea secara paksa, lalu membantingnya ke sebuah dipan tanpa kasur yang ada di sana.“Kau tidak berhak.”“AAAHHH!!”Tiga jam selanjutnya.Azalea terisak dalam diam. Segenap rasa muak dan kebencian bergumul dalam perutnya. Mengetahui bahwa jauh dalam rahimnya menyimpan benih dari Johan membuatnya selalu ingin muntah. Azalea berharap ia mandul supaya tidak perlu membawa anak si monster.“Seandainya aja kamu lebih baik dalam memperlakukanku, aku bakal menikmatinya, Johan,” gumam Azalea.Johan menoleh. “Ngomong apa kau barusan?”“Aku menyesal menikah denganmu.”Azalea mengucapkannya secara jelas dan lantang, lengkap dengan isyarat kebencian dalam suaranya.Alih-alih tersinggung, Johan malah terbahak-bahak meremehkan. Lelaki itu menekan jari telunjuknya ke kening Azalea.“Tandanya kau memang bodoh. Ada banyak wanita antri demi bisa jadi the next Nyonya Besar Laksmana. Apa-apaan dengan sikap tak berterimakasih darimu itu?”“Aku berharap kamu lebih lembut padaku, Johan, kamu membuatku tersiksa!”“Omong kosong. Kau berkata begitu karena masih perawan saat pertama aku menjebolmu. Kalau kita sering melakukannya juga akan terbiasa.”Mata Azalea melebar. Ucapan Johan begitu vulgar hingga mampu merobek hati Azalea menjadi berkeping-keping. Azalea berbalik memunggungi Johan, memendam semuanya.“Okelah. Aku adalah suami sempurna, jadi aku akan mengabulkan permintaanmu,” tambah Johan. “Semua yang perlu kau lakukan hanyalah menurut padaku. Segampang itu, ‘kan?”Setelah berkata begitu, Johan keluar gudang. Meninggalkan Azalea bersama luka-luka di kulitnya. Aroma anyir darah menguar menuju indera penciuman perempuan itu. Azalea berbaring di kubangan darahnya sendiri, dipaksa menahan rasa sakit tanpa mampu bergerak.Kesadaran Azalea menuntunnya mengambil sebuah kayu di dekat dipan. Lalu ia gunakan untuk mengetuk-ngetuk dinding gudang."Tolong... Tolong...."Air mata Azalea meleleh. Tak ada yang mendengar. Di luar terlihat gelap dan gudang ini hanya punya lampu 5 Watt sebagai penerangan. Ketika Azalea hendak memukul lebih keras, kayu itu jatuh dari pegangannya.Bantuan tidak akan datang."Seseorang...."Seluruh tubuh Azalea sakit. Tenaganya habis. Ia ingin teriak minta tolong, tapi tak ada suara keluar dari tenggorokannya.Lama kelamaan, kedua kaki dan tangannya menjadi dingin. Napas Azalea mulai memendek.Di hadapannya muncul sebuah sinar terang, Azalea mengulurkan tangan untuk mencapai sinar itu."Azalea!"Beberapa jam sebelumnya.Memperhatikan punggung Johan dan Azalea yang menghilang di balik gerbang, tanpa sadar Bima mengepalkan tangan. Lagi-lagi sengatan rasa aneh itu muncul ketika melihat Azalea diseret paksa.Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga karena Bima tahu bahu kurus Azalea gemetar ketakutan. Bima tidak tahu kondisi apa yang mengganggu dirinya saat itu."Kemarin kau masih membukakan gerbang ini untuk saya," tegas Bima di depan security. Sudah berkali-kali ia meminta dibukakan gerbang, tapi kedua security itu menggeleng.Salah satu di antara mereka menjawab, "Sebelum Tuan Johan memerintah kamu untuk melarang Anda masuk.""Saya putra sulung keluarga ini, Purwo," desis Bima, menatap nyalang ke security yang tidak jauh lebih tinggi darinya."Ya, Tuan Johan dengan jelas memberitahu itu juga."Akhirnya Bima mendengus. "Terserah."Kemudian lelaki berambut gelap itu masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan sengaja dikeraskan, lalu pergi tanpa banyak bicara. Mobilnya meluncur di
Beberapa minggu kemudian. Luka Azalea sepenuhnya sembuh. Johan juga mengurangi tempramennya. Namun Azalea tetap tidak bisa melupakan semua penderitaannya itu. Hatinya seolah mati rasa, bibir Azalea tak bisa tersenyum, dan instingnya selalu bereaksi waspada kapanpun Johan dekat."Nak, kemarilah."Pukul 09.00 pagi, Tuan Gibran memanggil Azalea dari ruang keluarga. Mulanya Azalea mengernyit heran saat melihat Ayah mertuanya yang berada di rumah pada hari kerja. Johan dan Nyonya Sekar tidak ada di rumah, jadi apa yang Tuan Gibran lakukan di sini?"Ya, Ayah?"Azalea menghadap Tuan Gibran. Lelaki yang berusia setengah abad itu mengenakan pakaian santai alih-alih jas rapi seperti biasa. Televisi menyala, Tuan Gibran duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Kenapa penguasa perusahaan keluarga ini sedang bermalas-malasan?Ada semacam perasaan tak nyaman menggaruk kulit Azalea saat berada di dekat Tuan Gibran. Mungkin karena Johan dan Ayahnya sangat mirip, atau mungkin karena keduanya punya ser
“Kau tampak cantik,” puji Johan ketika melihat Azalea dalam balutan gaun biru yang memperlihatkan bahu mulusnya.Azalea tampak tak terkesan, sebab yang ia lihat pada refleksi cermin adalah seorang perempuan kurus dan pucat, dengan sepasang mata kosong layaknya ikan mati. Azalea tidak melihat kecantikan mana yang Johan maksud.“Tak usah memujiku, aku tahu kamu mengatakannya karena masih merasa bersalah,” tukas Azalea datar.Johan mengeraskan rahang. “Kau harusnya bersyukur aku membawamu ke rumah sakit malam itu. Jadi kau masih bisa berdiri di sini.”“Yang benar?” balas Azalea.Johan berbalik. “Kalau sudah selesai, cepat turun.”Azalea kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Luka-luka cambuk dan memar akibat siksaan Johan sudah sepenuhnya sembuh. Sesekali Azalea masih dapat melihat bayangan luka itu di kulitnya.“Aku tahu bukan kamu yang membawaku ke rumah sakit,” gumam Azalea.Kemudian perempuan itu turun ke halaman belakang. Para staff dan tukang masak sibuk berlalu-lalang dari da
Atas perintah Johan, Anna menghadap Azalea keesokan harinya. Pembantu itu sudah bekerja sejak remaja, tampaknya seumuran Azalea sendiri. "Saya tak mengerti kenapa Anda menjadikan pembantu biasa seperti Saya sebagai asisten." Anna berkata sambil memasang raut masam yang tak ramah. "Tanpa posisi itu pun, Saya sudah sibuk dan tidak bisa menambah pekerjaan lain lagi." "Tapi menjadi asisten berbeda dari jadi pembantu, 'kan?" balas Azalea. Azalea memindai dan berusaha membaca air muka Anna untuk menilai kepribadiannya. Namun yang dilihat tetap saja Anna yang terus menggerutu. Persis semua pembantu bersikap begitu. Sambil membantu Azalea berpakaian, Anna mendengus beberapa kali. Seolah berada di kamar sang calon nyonya besar ini sangat menyiksanya. “Anggap saja seperti naik jabatan,” imbuh Azalea mencoba santai. Anna berkacak pinggang. Gestur tubuhnya menyiratkan seperti sedang mengajak bertengkar. "Anda memang tidak tahu apa-apa. Enak, ya, hidup jadi Anda, Nyonya. Saya dengar selama
“Jika mengatakan seperti itu, kau membuatku terdengar seperti orang jahat. Lea, semua ini juga supaya hidupmu jauh lebih baik, ‘kan?” Bibi Luna membela diri.Hancur sudah semua bayangan Azalea mengenai sosok lembut dari wanita yang merawatnya sejak kedua orang tuanya tiada. Lenyap pula keinginan Azalea meminta dukungan Bibi Luna supaya bisa keluar dari keluarga Laksmana.Azalea menggigit bibir bawah sampai kebas, lalu membuang muka.“Lihat pakaianmu sekarang! Tidak ada bekas tambalan, jahitan terlepas, atau bercak kotor yang tidak bisa hilang,” tambah Bibi Luna, menarik ujung midi dress merah muda yang dikenakan Azalea.Kemudian Bibi Luna mencubit pipi Azalea, melanjutkan, “Pegang wajahmu ini. Sudah berpoles bedak dan skincare mahal. Jika aku tidak menikahkanmu dengan seseorang yang kaya raya, mau jadi apa hidupmu nanti?”Azalea menepis tangan Bibi Luna dari wajahnya, berbalik memunggungi wanita paruh baya itu karena kekecewaan dan kemarahan meledak-ledak dalam dirinya.Bibi Luna meng
"Kenapa? Katanya mau lepas dari keluarga ini."Azalea menggenggam cangkir tehnya, terdiam sebentar. Itu foto yang ia ambil dari kamar yang ia duga sebagai milik Bima saat masih tinggal di mansion Laksmana.Melirik Anna penuh pengamatan. Haruskah ia memberitahu asistennya tentang malam itu?"Aku tahu ini gila dan sulit dipercaya."Azalea memulai cerita soal malam pernikahannya dari awal sampai akhir. Ada rasa menggelitik dada ketika ia menjelaskan bagaimana kecerobohan mempertemukan dirinya dengan Bima. Sampai pada ketika Bima datang ke kediaman untuk membantunya kabur.Tak ada yang bisa Anna lakukan kecuali melongo. Tercengang dengan kisah mendebarkan sekaligus menggelikan, tapi juga sedih dari sang Nyonya Muda. Ketika cerita Azalea selesai, Anna mengusap keningnya dan menggeleng."Wow... Dari sekian banyak gosip yang pernah Saya dengar, cerita Anda yang paling bikin kepala pecah, Nyonya," komentar gadis itu jenaka.Azalea terkekeh. "Ini bukan gosip. Dan selama ini yang tahu cuma kelu
"Azalea, kulihat kau sudah sehat lagi," kata Johan seraya menutup pintu.Tak menjawab, Azalea masih terbawa euphoria mengobrol dengan Bima lewat telepon. Percakapan singkat yang menghantarkan kupu-kupu dalam perut Azalea.Azalea terlarut dalam lamunan, bahkan ketika Johan menarik pinggangnya dan memeluknya erat. Seraya menyingkap rambut panjang Azalea ke samping, Johan mendaratkan kecupan-kecupan manis di leher belakangnya."Mmhhmm...." Azalea bergumam. Teringat sentuhan Bima pada malam itu.Tangan kanan Johan merambat ke balik baju Azalea, terus naik untuk meraih sepasang harta berharga di sana. Sambil menyesap halusnya kulit leher sang istri dan menciptakan beberapa bercak kemerahan di sana, Johan meraih benda kesukaannya.Azalea terlempar kembali ke kenyataan. Ia mendorong Johan menjauh sambil mengaduh kesakitan akibat ulah suaminya."Apa yang kamu lakukan?" pekik Azalea kaget, memegangi bajunya erat. Hampir saja ia membayangkan jika Bima lah yang menyentuhnya.Johan menangkap tang
"Menurut saya, ini bukan gym yang biasa didatangi para wanita kaya, Nyonya."Anna berkomentar tepat ketika dirinya dan Azalea tiba di depan sebuah bangunan lantai satu yang tampak tak menarik dibandingkan gedung-gedung pencakar langit di sekitar lingkungan wilayah itu."Aku 'kan memang bukan wanita kaya," sahut Azalea.Memilih tempat gym sebagai tempat persembunyian utama adalah ide impulsif yang mengherankan bagi Azalea sendiri. Namun perempuan itu tidak pernah masuk gym. Hanya saja ia dengar gym adalah tempat dimana seseorang bisa melakukan urusan mereka tanpa diganggu siapapun. Orang-orang cenderung berolahraga sambil fokus pada diri mereka sendiri.Selain itu, Azalea yakin bahwa tempat persembunyian paling baik justru di tengah keramaian."Maksudnya bukan begitu. Ada gym Merce di pusat kota, ada juga gym Magnum yang katanya jadi langganan idol dan artis. Kalau kesana, status kelas Anda kelihatan jelas.""Kayaknya kamu salah paham di sini, Anna," tukas Azalea seraya membuka pintu