Azalea berdehem, mencengkeram erat ujung kaos milik Bima yang sempurna menutupi tubuh moleknya.
"I–Intinya, terimakasih banyak karena sudah meminjamkan baju dan juga mengizinkan aku bersembunyi di sini," lanjut Azalea, "Sekarang, aku benar-benar harus pergi. Bolehkah aku tahu ke mana aku harus mengembalikan baju ini?""Tidak usah." Bima menjawab datar."Maaf?""Tidak ada jaminan kau selamat di luar sana. Mengingat suamimu itu Jordan, dia pasti sedang mengadu pada orang tua kami.""Ah...."Azalea menyadari bahwa ucapan lelaki itu benar."Tapi bukankan Anda juga akan kena masalah?""Cemaskan dirimu sendiri," sahut Bima singkat.Belum tentu juga Azalea bisa menyusup keluar dari hotel ini. Sekarang, ia adalah buronan. Hanya butuh hitungan menit hingga Jordan kembali mendapatkannya. Kecuali...."Kau punya rencana apa?"Bima menuangkan whiskey ke gelas, lalu menenggaknya sekaligus. Matanya memandangi Azalea dari atas sampai bawah dengan cara yang tak dapat didefinisikan."Dari yang saya dengar, istri baru Jordan itu seorang yatim piatu.""Be–Benar... Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan. Jadi Bibi Luna, saudari perempuan Ibu lah yang merawatku. Beliau juga yang memperkenalkanku pada Johan."Azalea tak malu mengakui atau menceritakan latar belakangnya. Mungkin karena ia tak memiliki siapapun lagi, Johan menjadikannya istri. Sejak awal, Azalea diharapkan menjadi seorang perempuan yang tunduk pada apapun perintah suami. Seorang istri yang tak lebih dari sekadar boneka.Azalea mengepalkan tangan, lalu balas menatap Bima dengan tekad."Tapi, paling tidak aku punya kok tempat untuk dituju. Ada temanku yang punya apartemen di sebelah barat kota. Kalau aku pergi sekarang, aku bisa meminta bantuan temanku itu untuk pergi dari kota ini."Lagi-lagi Bima memandangi Azalea dengan tatapan yang tak dapat dibaca. Mata hitamnya sekelam dan sedalam lautan. Sikap dinginnya menyeramkan, dengan nada datar tak peduli, serta aura menekan yang terasa seperti kegelapan malam."Tinggallah sampai besok pagi. Di sini, kau aman dalam perlindungan saya," kata Bima, "Jangan lupakan bahwa saya telah setuju masuk dalam permainanmu."Azalea terkesiap. "Tapi, aku pikir itu sudah selesai?""Siapa bilang?"Azalea mengernyit gugup."Kalau Jordan tahu kita berpura-pura, menurutmu apa yang akan terjadi selanjutnya?""Bakal jadi lebih rumit."Kehilangan kata-kata, Azalea memilih setuju. Pergi sekarang atau besok, sandiwara ini telah terlanjur dilakukan."Baiklah.... Kalau gitu, aku akan tidur di sini."Wanita itu duduk di pinggir sofa yang berada tepat di depan ranjang king size."Kau pikir saya pria seperti apa?" tukas Bima galak. "Saya akan memesan kamar lagi."Setelah beberapa menit berdebat dengan resepsionis, Bima membanting gagang telepon dengan murka."Cih. Tak ada kamar kosong. Atau mungkin namaku sudah masuk blacklist."Azalea menjadi gugup setelah melihat kemarahan pria itu. Bima masuk blacklist gara-gara dirinya?"Sungguh tak apa, aku akan tidur di sofa!""Ranjang itu milikmu.""Tapi bagaimana dengan Anda?"Bibir Bima membentuk seringai panjang. Ia menduga bahwa Azalea lebih dari yang sekarang gadis itu tampilkan.Bima ingin tahu bagaimana pemikiran asli perempuan di hadapannya ini. Apakah sesuai dengan pesona yang ditampilkan, atau hanya pengecut biasa?"Kau yang memutuskan."Azalea meremas ujung kaosnya. Bakal tidak sopan jika menyuruh sang empunya kamar tidur di sofa. Kalau begitu, tak ada pilihan lain...."Ka–Kalau begitu, Anda bisa berbagi ranjang ini denganku....""Oke, kalau kau berkata begitu."Tanpa rasa ragu, Bima pun berbaring di ranjang. Sama sekali tidak peduli meski tubuh bagian atasnya masih belum tertutup kain.Menyusul, Azalea gemetar saat ia naik ke tempat tidur di samping Bima. Ia tidak percaya bahwa hanya beberapa menit yang lalu, ia masih melarikan diri dari suaminya yang kejam.Kemudian seolah takdir ikut campur, Azalea bertemu orang asing yang mengizinkannya bersembunyi di kamarnya dan menawarkan tempat yang aman untuk tidur.Namun, terlepas dari kebaikan Bima, Azalea masih merasa gugup. Bagaimana jika pria itu ternyata tak jauh beda dengan suaminya? Bagaimana jika Bima mencoba menyakitinya juga? Mereka 'kan saudara?Saat Azalea berbaring di sana, entah bagaimana ia dapat mendengarkan napas Bima yang teratur. Sangat aneh harus berbagi ranjang dengan lelaki yang bukan suaminya. Namun pada saat yang sama, dia merasa terbuka dan aman."Namamu Azalea?"Azalea menoleh. "Benar."Tangan Bima menyentuh bahu Azalea, membuat Azalea mengerang tertahan."AH—"Mata perempuan itu tertahan. Apa-apaan dengan reaksi spontan yang bibirnya keluarkan? Azalea memejamkan mata saking malunya. Saat ujung jari Bima menyentuh bahunya, ada semacam sengatan listrik menyalur.Bima terdiam. Mereka baru bertemu malam ini, tetapi perempuan asing itu secara ajaib telah membangkitkan hasrat dalam dirinya. Mereka berbaring di ranjang yang sama seolah-olah membuka kesempatan.Bima beringsut mendekat, bertanya-tanya mengapa sentuhan kecilnya membuat perempuan itu mengerang. Sebagai seorang pria, Bima tidak bisa menolak pesona perempuan itu. Haruskah ia melepaskan hasratnya pada perempuan asing itu?Jarak kecil di antara mereka tampak terlalu jauh bagi Bima. Ia ingin menjelajahi keindahan misterius gadis ini dengan tangannya. Ia merasa harus melakukan lebih dari sekedar menyentuhnya, tapi apa itu pilihan terbaik?"Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Bima. Suaranya lirih nan lembut menggelitik."Tidak tahu.... Abaikan saja aku...." Azalea memalingkan wajahnya yang memerah.Bima sangat mengenali reaksi semacam ini. Tetap saja ia ingin memastikan.Apakah Azalea ingin bibirnya menempel pada milknya? Bima bertanya-tanya apakah itu terlalu berlebihan."Tidak mungkin saya mengabaikanmu," jawab Bima, "Menurutmu, apa yang harus kau lakukan pada situasi semacam ini?"Sebagai balasan, tangan Azalea ikut menyentuh dada Bima, dan Bima membeku. Jemari perempuan itu terasa lembut saat menyentuh kulitnya dan jauh lebih hangat dari yang seharusnya dalam kamar yang dingin ini."Mmmm...."Sorot mata Azalea berubah sayu. Mengundang Bima menuju langkah yang lebih pasti."Kenapa kau bereaksi seperti itu?" tanya Bima, dengan penasaran meraba tulang selangka Azalea.Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menikmati setiap sentuhan Bima yang begitu memanjakannya."Aku tidak tahu," erang perempuan itu dengan sensual. "Sentuhlah aku lagi."Sudut bibir Bima terangkat. Apa Azalea serius dengan perkataannya?Mata Bima tertuju pada bibir pink lembab itu. Apakah perempuan itu serius, atau sedang mencoba menggodanya? Atau bahkan keduanya?"Kau pasti lelah setelah malam pertamamu dengan Jordan."Bima masih berusaha menahan dorongan gairah yang dipicu oleh kecantikan Azalea."Aku... belum mendapatkannya," bisik Azalea seraya mendongak. Mata sedihnya menginginkan lebih."Kenikmatan itu. Jordan membuatnya begitu menyakitkan. Itu pertama kali untukku dan aku tidak menikmati sama sekali."Jari-jari Bima lincah turun ke dada Azalea. Dua harta Azalea di balik kaos miliknya itu sangat pas di tangan."A—Ah....""Jadi... kau tidak ingin aku berhenti?" Bima bertanya. Sesuatu di dalam celananya telah mengeras."Tidak..."Jawaban perempuan itu membuat jantung Bima berdetak lebih cepat. Ujung jari Bima menyentuh kulit perut Azalea yang membuatnya seketika menggigil."Gimana?" tanya Bima, yang kini menyentuh ujung pinggang Azalea. Ujung jarinya menyebarkan sengatan yang menyebabkan Azaela merinding."Mmh!"Apakah perempuan itu senang?Nafas Azalea menjadi lebih berat, seolah-olah tubuhnya ingin Bima melanjutkannya. Mata Azalea terpejam saat berbaring di sana, menggeliat gelisah seakan meminta lebih.Apa yang harus Bima lakukan? Haruskah ia mencium Azalea sekarang? Apakah Azalea akan menyukai itu? Atau justru sebaliknya?Memutuskan mengikuti insting lelakinya, Bima membungkuk di atas Azalea, dan ruang kecil di antara mereka hilang. Bima dapat merasakan nafasnya di wajah perempuan itu. Berapa lama ia menunggu kesempatan seperti ini?"Tidak apa-apa. Jangan berhenti," kata Azalea, seolah-olah ia tahu bahwa Bima perlu mendengar kata-kata itu sebelum melakukan hal lain."Niatnya memang begitu."Jari-jari Bima sudah mencapai paha Azalea. Tampaknya perempuan itu mengenakan semacam renda-renda tipis yang merupakan pakaian dalamnya. Bima menggunakan jari-jarinya untuk menelusuri sepanjang bahan tipis yang menutupi pinggul gadis itu."Ohh..." erang Azalea, saat jari-jari Bima menyusuri lembah pinggulnya dan kembali lagi."Bajingan itu tidak pernah menyentuhmu seperti ini?"Bima bertanya, sambil melihat kelopak mata Azalea menjadi berat."Tidak."Azalea mengatakan yang sebenarnya. Kejujuran lain keluar dari lidah perempuan itu, saat bibirnya terbuka dan menambahkan, "Pengalaman pertamaku itu bukanlah sesuatu yang selalu aku bayangkan.""Kalau begitu beritahu saya apa yang kau bayangkan. Saya akan mewujudkannya...."Bima membawa Azalea ke dalam ciuman yang sangat dalam nan memabukkan. Bibir gadis itu lembut saat bersatu dengannya, menyebarkan gelombang gairah di antara mereka berdua. Segalanya terasa manis. Keduanya ingin lebih.Setiap inchi kulit Azalea bahkan tidak lagi mengingat siksaan yang diterimanya dari Johan."Jangan berhenti. Tolong jangan berhenti," desah Azalea.Jari-jari perempuan itu menjambak rambut Bima. Semua hasrat yang berkumpul di tempat tidur mengaburkan akal sehat Azalea. Tidak peduli jika ia sudah menikah, tidak peduli jika Bima adalah saudara dari suaminya.Yang Azalea pedulikan hanyalah kenyamanan yang berhasil Bima berikan pada tubuh lelahnya sebagai penghiburan atas penderitaan."Apakah kamu yakin?" tanya Bima, yang mencium leher Azalea."Ya. Lakukanlah."Sinar matahari menyusup dari celah-celah gorden jendela yang terbuka menimpa wajah pulas Azalea. Sengatan cahaya itu membuat kulitnya berkedut, memaksanya membuka mata.Hal pertama yang Azalea lihat adalah sosok Bima sedang bersandar di sisi jendela. Masih tanpa menggunakan kaos, lelaki itu dengan santainya memandang keluar. Ketika menoleh, mata gelap lelaki itu bertemu mata Azalea yang masih setengah memejam."Oh, hei... Kau sudah bangun?"Suara rendah nan dalam keluar dari bibir Bima. Azalea tak percaya bibir itulah yang semalam terus menciumnya penuh perasaan. Membimbingnya ke dalam permainan cinta luar biasa yang tak terlupakan. Berkat Bima, Azalea mendapatkan kenikmatan yang ia ekspektasikan.Azalea tercekat. Tak boleh terlena untuk sesuatu yang ia pastikan hanya terjadi satu kali. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain karena tak sanggup melihat wajah Bima. Bagaimana kalau Bima menganggapnya sebagai perempuan murahan? Apakah keputusannya semalam untuk tetap tinggal di sini itu ben
Azalea memandangi langit-langit kamar barunya dengan tatapan hampa. Seluruh tubuhnya nyeri, bahkan lengan kirinya lebam karena cengkraman erat Johan. Lelaki itu tidak main-main pada perkataannya. Johan betulan menagih ronde yang tak selesai, bahkan menambahnya lebih brutal tanpa mendengar permohonan Azalea yang menangis kesakitan.Saat itu pukul dua malam. Azalea meneteskan air mata yang tak bisa berhenti sambil meremas selimut, satu-satunya benda yang menutupi tubuhnya sekarang. Di sebelahnya, terdengar dengkur dan deru napas Johan yang tertidur pulas. Tak ada rasa bersalah terlihat pada wajahnya. Azalea tak percaya dirinya terjatuh dalam tipu daya Johan.“Selamat, Azalea, penderitaan ini akan kau rasakan seumur hidup,” kata Azalea getir pada diri sendiri, “Itupun jika besok aku masih hidup.”Kemudian perempuan yang tercerai berai perasaannya itu menoleh lemas ke arah sang suami, berbisik penuh kekecewaan, “Aku harap kau renggut nyawaku sekalian.”Johan mengerang, lalu membuka mata.
Tak banyak yang Azalea lakukan selama seminggu di mansion Laksmana. Di tempat seluas itu, hanya rutinitas tanpa makna dijalani Azalea sendirian. Nyonya Sekar sibuk dengan berbagai macam acara amal yang ia selenggarakan. Tuan Gibran apalagi. Johan juga tidak ada bedanya. Hanya Azalea tertinggal di belakang.Kebosanan menyelimuti Azalea terselamatkan ketika seseorang menekan bel siang itu. Betapa terkejutnya ia saat berhadapan dengan Bima di depan pintu. Lelaki itu masih terlihat sama seperti saat Azalea meninggalkannya di kamar hotel. Dingin dan acuh. Tetap saja sepasang mata hitam Bima mempengaruhi Azalea. Ada sesuatu jelas tersembunyi di sana."Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Azalea, tersadar dari pemikirannya karena diserbu rasa panik. Bima menjawab sarkas, "Di sini kediaman keluarga Laksmana, Nyonya Azalea. Tempat ini rumah Saya juga." "Ah, benar. Silakan masuk." Azalea menyingkir dari pintu dengan canggung."Apa... Apa Anda mau bertemu Ibu dan Ayah? Anda bisa kembali nan
Kedua tangan Azalea mencengkeram sealbelt, ia membeku. Johan melangkah cepat dan menghantam kedua tinjunya ke kaca jendela pintu mobil."Keluar dari sana, Azalea!" seru Johan. Urat-urat mencuat memenuhi keningnya.Bima merentangkan tangan ke handle pintu, menghalangi Azalea keluar. Sepasang matanya menatap lurus saudaranya yang siap mengamuk itu."Tetap di sini," cegah Bima, rendah dan setengah berbisik. Seperti menyuruh waspada.Johan menghantamkan tinjunya sekali lagi. Menyebabkan kaca retak dengan bentuk sarang laba-laba, serta suara pecah nyaring. Azalea memekik panik."Kau tidak mendengarku? Keluar!"Azalea menghargai pencegahan Bima, tapi ia menarik tangan lelaki itu dengan berkata, "Dia akan membunuhku jika aku tidak mematuhinya."Rahang Bima mengeras, ekspresinya menggelap. Sedangkan mata Azalea mengisyaratkan permohonan. Sorot yang entah kenapa membuat Bima terpaksa melunak. Karenanya ia membuka pintu dan turun duluan.Meski takut setengah mati, Azalea mengikuti. Ketika Johan
Beberapa jam sebelumnya.Memperhatikan punggung Johan dan Azalea yang menghilang di balik gerbang, tanpa sadar Bima mengepalkan tangan. Lagi-lagi sengatan rasa aneh itu muncul ketika melihat Azalea diseret paksa.Mungkin ini hanya rasa iba. Mungkin juga karena Bima tahu bahu kurus Azalea gemetar ketakutan. Bima tidak tahu kondisi apa yang mengganggu dirinya saat itu."Kemarin kau masih membukakan gerbang ini untuk saya," tegas Bima di depan security. Sudah berkali-kali ia meminta dibukakan gerbang, tapi kedua security itu menggeleng.Salah satu di antara mereka menjawab, "Sebelum Tuan Johan memerintah kamu untuk melarang Anda masuk.""Saya putra sulung keluarga ini, Purwo," desis Bima, menatap nyalang ke security yang tidak jauh lebih tinggi darinya."Ya, Tuan Johan dengan jelas memberitahu itu juga."Akhirnya Bima mendengus. "Terserah."Kemudian lelaki berambut gelap itu masuk ke mobilnya, menyalakan mesin dengan sengaja dikeraskan, lalu pergi tanpa banyak bicara. Mobilnya meluncur di
Beberapa minggu kemudian. Luka Azalea sepenuhnya sembuh. Johan juga mengurangi tempramennya. Namun Azalea tetap tidak bisa melupakan semua penderitaannya itu. Hatinya seolah mati rasa, bibir Azalea tak bisa tersenyum, dan instingnya selalu bereaksi waspada kapanpun Johan dekat."Nak, kemarilah."Pukul 09.00 pagi, Tuan Gibran memanggil Azalea dari ruang keluarga. Mulanya Azalea mengernyit heran saat melihat Ayah mertuanya yang berada di rumah pada hari kerja. Johan dan Nyonya Sekar tidak ada di rumah, jadi apa yang Tuan Gibran lakukan di sini?"Ya, Ayah?"Azalea menghadap Tuan Gibran. Lelaki yang berusia setengah abad itu mengenakan pakaian santai alih-alih jas rapi seperti biasa. Televisi menyala, Tuan Gibran duduk di sofa sambil menyilangkan kaki. Kenapa penguasa perusahaan keluarga ini sedang bermalas-malasan?Ada semacam perasaan tak nyaman menggaruk kulit Azalea saat berada di dekat Tuan Gibran. Mungkin karena Johan dan Ayahnya sangat mirip, atau mungkin karena keduanya punya ser
“Kau tampak cantik,” puji Johan ketika melihat Azalea dalam balutan gaun biru yang memperlihatkan bahu mulusnya.Azalea tampak tak terkesan, sebab yang ia lihat pada refleksi cermin adalah seorang perempuan kurus dan pucat, dengan sepasang mata kosong layaknya ikan mati. Azalea tidak melihat kecantikan mana yang Johan maksud.“Tak usah memujiku, aku tahu kamu mengatakannya karena masih merasa bersalah,” tukas Azalea datar.Johan mengeraskan rahang. “Kau harusnya bersyukur aku membawamu ke rumah sakit malam itu. Jadi kau masih bisa berdiri di sini.”“Yang benar?” balas Azalea.Johan berbalik. “Kalau sudah selesai, cepat turun.”Azalea kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Luka-luka cambuk dan memar akibat siksaan Johan sudah sepenuhnya sembuh. Sesekali Azalea masih dapat melihat bayangan luka itu di kulitnya.“Aku tahu bukan kamu yang membawaku ke rumah sakit,” gumam Azalea.Kemudian perempuan itu turun ke halaman belakang. Para staff dan tukang masak sibuk berlalu-lalang dari da
Atas perintah Johan, Anna menghadap Azalea keesokan harinya. Pembantu itu sudah bekerja sejak remaja, tampaknya seumuran Azalea sendiri. "Saya tak mengerti kenapa Anda menjadikan pembantu biasa seperti Saya sebagai asisten." Anna berkata sambil memasang raut masam yang tak ramah. "Tanpa posisi itu pun, Saya sudah sibuk dan tidak bisa menambah pekerjaan lain lagi." "Tapi menjadi asisten berbeda dari jadi pembantu, 'kan?" balas Azalea. Azalea memindai dan berusaha membaca air muka Anna untuk menilai kepribadiannya. Namun yang dilihat tetap saja Anna yang terus menggerutu. Persis semua pembantu bersikap begitu. Sambil membantu Azalea berpakaian, Anna mendengus beberapa kali. Seolah berada di kamar sang calon nyonya besar ini sangat menyiksanya. “Anggap saja seperti naik jabatan,” imbuh Azalea mencoba santai. Anna berkacak pinggang. Gestur tubuhnya menyiratkan seperti sedang mengajak bertengkar. "Anda memang tidak tahu apa-apa. Enak, ya, hidup jadi Anda, Nyonya. Saya dengar selama