Share

Tolong Selamatkan Aku

Mata Johan memindai Bima dari atas sampai bawah, lantas menggeram benci.

"Bima...."

Bagai dihempas oleh dahsyatnya ombak lautan, Azalea terhuyung.

"A–Apa yang Anda katakan tadi?" tanya Azalea dengan suara tergagap. Susah payah menatap lelaki di depannya, tapi yang ia terima hanyalah lirikan sinis.

Bima menjawab dingin, "Apa ada yang salah?"

"Anda adalah... kakaknya Johan?" ulang Azalea lagi dengan terbata-bata saking terkejutnya.

Alih-alih menjawab, Bima bungkam atau lebih tepatnya tidak peduli. Namun jika dilihat dari caranya mengabaikan Azalea, sudah dipastikan bahwa pertanyaan itu benar.

Dalam pertemuan singkat sebelum menikah, Azalea tidak pernah dengar kalau Johan punya seorang saudara.

Maka, dalam situasi ini... Bukannya selamat dan mendapat pertolongan, kemungkinan besar Azalea telah jatuh ke lubang harimau untuk kedua kalinya.

Membayangkan itu, Azalea merasa detak jantungnya semakin cepat saat ia menyadari bahwa ia baru saja memohon pada seorang lelaki yang mungkin saja berpihak pada suaminya yang jahat.

Apakah Bima bakal mengoper dirinya pada Johan yang sekarang sedang menatap mereka berdua penuh amarah?

Azalea membeku di hadapan Bima dengan pandangan kosong dan juga syok, memikirkan konsekuensi dari perbuatannya.

"Tolong aku, Tuan... Aku membutuhkan bantuanmu," pinta Azalea dengan suara yang tercekat. Secara inisiatif gadis itu berkelit dan bersembunyi di belakang Bima.

"Apa yang sebenarnya sedang kulihat ini?" tanya Johan, lalu menatap tajam sang istri.

Melihat istrinya bersama seorang lelaki bertelanjang dada di dalam kamar minim cahaya itu tentu saja menimbulkan prasangka macam-macam. Apalagi sekarang kepala Johan sedang panas-panasnya.

"Apa yang kau lakukan di sana, jalang? Cepat ke sini! Kau harus melanjutkan apa yang belum kita selesaikan!"

"Tidak! Aku tidak mau pergi denganmu!" Azalea balas berseru.

"Apa maksudmu, sialan? Kau adalah istriku, patuh dan lakukan apa yang aku perintahkan! Jadi berhenti berdiri di sana seperti gadis dungu dan keluar dari sini sekarang juga!"

Tangan panjang Johan berhasil menangkap lengan Azalea. Panik, gadis itu berputar dan mencoba melepaskan diri dari genggaman Johan, tapi cengkeramannya terlalu kuat dan Azalea tidak bisa bergerak.

"Lepaskan aku sekarang juga atau—"

"Atau apa?" Johan tertawa sambil menarik Azalea mendekat padanya.

"Aku akan berteriak."

"Bagus. Dan pastikan kamu berteriak cukup keras agar semua orang mendengarnya, kalau tidak, tidak akan ada yang mempercayai ceritamu!"

Situasi yang lebih mirip adegan sinetron ini anehnya mampu menyentil sesuatu dalam diri Bima. Katakanlah itu sebagai sebuah empati.

Maka sebagai seorang pria, Bima tidak bisa membiarkan seorang wanita yang nyaris lepas pakaiannya itu ditarik-tarik oleh lelaki yang dikenalnya sebagai seorang bajingan kelas kakap.

"Sejujurnya ...." Bima bergumam, "Saya mempercayainya."

Dalam sekali tarik, Bima mampu melepaskan Azalea dari jerat Johan. Bahkan Bima juga meraih pinggang Azalea lebih dekat, merangkulnya seolah-olah memberikan perlindungan ekstra.

"Kau tidak bisa membawa kekasih saya pergi begitu saja, saudaraku."

"Apa?" Johan mengerang tak percaya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Bima pada Azalea, yang dijawab oleh anggukan singkat.

Bima ke arah Johan. "Istrimu adalah milik saya sekarang."

Johan tertawa terbahak-bahak seperti orang gila. Tawanya berubah sinis dalam sekejap ketika ia memicingkan mata.

"Omong kosong apa yang kau katakan, pecundang?"

"Itu benar. Sekarang, pergilah dan tinggalkan gadis ini bersamaku," kata Bima sambil tetap memeluk Azalea.

"Tidak! Kau tidak boleh membawanya kemana-mana sampai aku selesai dengannya!"

Tak terima, Johan masih berusaha merebut Azalea, tapi Bima memblokir gerakan dengan mencengkeram tangannya erat-erat.

"Oh, jadi kau akan menyakitinya lagi? Tidak apa-apa. Saya hanya akan membeberkan rekamannya."

Bima berbicara dengan tenang, mengode ke arah CCTV di ujung lorong.

Kaget, Johan merangsek masuk ke kamar, tapi dengan sigap Bima mencengkeram bahu Johan.

Bima mendekat ke telinga Johan untuk berbisik, "Sebenarnya, istrimu adalah kekasih saya. Jadi tak akan kubiarkan kau menyentuh dirinya sejengkal pun!"

Bukan berarti Azalea tidak mendengar bisikan itu. Sebaliknya, ia malah semakin terkejut. Kebohongan macam apa yang dikatakan Bima sekarang?

"Oh, ya? Asal kau tahu. Aku sudah mengacak-acak tubuhnya, tuh. Jangan tertipu sama sikap polosnya, sebenarnya jalang itu adalah seorang lacur sejati!" balas Johan lantang sambil menyeringai puas.

Azalea terlampau sakit hati dan malu. Setelah berpikir bahwa mungkin kebohongan Bima bisa menyelamatkannya dari situasi ini, Azalea memutuskan ikut berimprovisasi.

Dengan memaksakan diri berakting, Azalea memeluk Bima dari belakang.

"Tolong keluarkan Johan dari sini, sayang...."

"Jalang ini, apa yang kau bicarakan barusan?!" Johan meraung ke wajah Bima. Agaknya murka karena mendengar istrinya menyebut lelaki lain dengan penuh kasih.

"Cepat singkirkan saja dia dari sini!" Azalea memaksa.

Bima mengangguk, tapi Johan malah makin beringas.

"Aku muak dan lelah berurusan denganmu, bajingan! Biarkan aku bicara dengan istriku!"

Johan menggeram sambil mendorong Bima menjauh, lalu berhasil menangkap lengan Azalea dan menariknya kasar.

Dengan wajah mereka yang hampir bersentuhan, Azalea berbicara dengan suara parau, "Tolong lepas...."

"Diam!"

Johan membentak sambil melayangkan kepalan tangan ke arah pipi Azalea. Namun detik itu juga, Bima menggunakan tangannya yang bebas untuk meraih pergelangan tangan Johan, dalam sekejap memiting dan menghimpitnya ke dinding.

"Brengsek kau... Dasar bajingan!" Johan meraung kesakitan, meronta-ronta minta dibebaskan.

"Pergi dari sini," desis Bima dengan suara dingin. "Saya akan mengurus istrimu."

Johan mencoba menyerang Bima lagi, tetapi terhalang oleh tenaga tubuh Bima yang lebih tinggi menjulang nan kekar darinya. Setelah Bima melepaskannya, Johan pun terpaksa mundur dan pergi dari kamar itu sambil mengumpat.

Setelah mendengar suara pintu dibanting, Bima menoleh ke Azalea.

"Kau benar-benar berani, ya?" Bima berkomentar sambil tersenyum.

"Aku pikir aku akan mati!"

Kedua lutut Azalea lemas dan gemetaran. Tepat sebelum ia terjatuh, Bima menangkapnya.

Lelaki itu membantu Azalea duduk di tepi tempat tidur dan memberinya segelas air.

Takdir itu memang lucu.

Baru kemarin sore, Bima memutuskan menerima undangan pernikahan adiknya setelah hampir lima belas tahun tak kembali ke kota kelahirannya ini.

Namun, alih-alih berbaur dengan tamu, Bima hanya datang ke hotel tempat diselenggarakannya pernikahan dan tidur seharian di kamar. Itupun ia sengaja memilih kamar yang seluruh lantainya kosong.

Bima menggaruk tengkuknya. Kalau saja ia menghadiri resepsi pagi tadi, mungkin ia bakal tahu kalau wanita yang hanya mengenakan selembar gaun itu adalah istri adiknya.

Siapa namanya tadi? Azalea. Seperti bunga. Sama dengan kecantikan sang empunya nama. Pipinya punya semburat merah menawan. Bibirnya mungil dan lembab. Bulu matanya lebih lentik.

Bima harus berdehem untuk mengalihkan perhatian.

Azalea sudah lebih tenang sebab mampu menciptakan senyum tipis.

"Makasih, makasih banyak atas bantuanmu...," kata Azalea, "Aku sama sekali tidak mengira kalau Anda adalah saudara Johan. Anda tidak muncul di resepsi pagi tadi."

"Memang." Bima mengangkat bahu.

Bahu Azalea menegang. Segala respon serta gestur tubuh Bima menunjukkan seolah ia sedang menunggu Azalea enyah.

Azalea berdiri.

"Ka–Kalau begitu, aku akan pergi sekarang."

"Dengan keadaan pakaian seperti itu?" sindir Bima, matanya bergerak menekuri Azalea dari atas sampai bawah.

Azalea mengamati pantulan dirinya di cermin. Seketika ia sangat malu. Berusaha menutupi setiap celah dengan tangan. Ia merasa sangat terekspos sekarang.

"Pakai ini."

Jonatan melemparkan sebuah kaos dan celana pendek, lalu menunjuk sebuah pintu. Azalea tidak mengambil waktu untuk repot-repot menolak. Segera menerimanya terus kabur ke kamar mandi.

Sembari menunggu Azalea keluar, Jonatan mengerang tak karuan. Membayangkan seorang wanita sedang berdiri tanpa busana di dalam kamarnya membuat kepalanya panas. Sesuatu mengeras pada pangkal pahanya dan itu amat menyiksa.

Rasanya kebohongan yang ia ucapkan pada Johan itu bisa menjadi sungguhan karena Bima tak keberatan menjadikan Azalea sebagai wanita barunya.

Namun di situasi ini, itu adalah tindakan tak bermoral. Bima tidak akan pernah mengganggu wanita yang sedang kesusahan apalagi menderita.

Maka, selama menit-menit menyebalkan itu, Bima hanya mondar-mandir sambil berusaha menenangkan kobaran hasrat yang tersulut dalam dirinya.

"Sialan kau, Bima. Dirimu tak jauh beda dengan adikmu," rutuk Bima pada diri sendiri.

Tak lama setelahnya, Azalea keluar kamar mandi. Kaos abu-abu milik Bima sangat kedodoran di tubuh mungil nan kurus wanita itu. Sekaligus menyamarkan lekukan dan kulit mulus yang sempat terpapar saat mengenakan gaun pengantin koyak.

Namun percuma saja, pikiran liar Bima justru mampu melampaui kaos itu.

"Makasih. Anda nggak perlu sampai sebegini baiknya padaku yang sudah menyeretmu ke dalam masalah."

Azalea berkata menahan malu. Amat menyadari kalau ia sudah merepotkan lelaki asing itu.

"Bukan hanya kau yang tahu kalau Johan itu brengsek," gumam Bima, "Saya sempat berpikir istri barunya adalah seorang gold-digger, jadi tak mempedulikannya."

"Aku? Seorang gold-digger?"

Azalea memiringkan kepalanya. Lelaki itu aneh, suka bicara sendiri dengan ekspresi seram. Membuat merinding saja.

"Saya tahu kau bukan. Makanya kau tidak layak bersanding dengan bajingan tengik itu," kata Bima kemudian.

Terkejut, Azalea pun tersenyum kecut. Ia mengangkat tangan kirinya. Sebuah berlian besar berkilat menyilaukan tersemat di sana.

"Aku harap bisa tahu itu sebelum cincin ini tersemat di jari manisku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status