Share

Nggak Tahu Malu

Perjumpaan singkat dan tanpa disengaja itu telah membuat Afsana melamun. Arsakha tak terlihat lagi dengan meninggalkan pesan yang masih tak dipercaya oleh gadis berkerudung hitam yang masih duduk sendiri itu.

“Benarkah perkataannya tadi? Dia akan menunggu aku bercerai dari Mas Deryl? Apa semua bukan omong kosong saja? Tapi, aku merasa bahagia ketika mendengarnya berbicara seperti itu.”

Senyum perlahan melebar. Namun, tetap saja tak bisa merasa lega. Masa depan tentu belum ada yang tahu. Arsakha memang mengatakan janji itu, tetapi sampai saat itu tiba, mereka tidak akan bisa menerka secara pasti. Kalau sampai terlalu berharap, tetapi tak sesuai, pasti akan merasa kekecewaan. Bahkan mungkin teramat sangat.

Helaan napas kasar menggema bersama kesendiriannya. Meski tempat makan itu banyak pengunjungnya, tetapi bagi Afsana, dia hanya seorang diri. Suami yang datang bersamnya, sama sekali tak ada di ingatan. Justru, lelaki yang memakai sarung dan peci tadi yang memenuhi ruangan yang ada di kepala.

“Aku hanya akan mengikuti alur yang telah dibuat untukku. Terlalu mengharapkan perkataan dari Mas Ar, tentu berkesempatan besar pula akan merasakan kekecewaaan yang menyakitkan. Tapi, aku sangat mengharapkannya. Bagaimanapun, aku ingin bercerai dari Mas Deryl secepatnya. Nggak boleh ditunda-tunda.”

Ponsel yang digeletakkan di meja, kembali diambil. Afsana tak mau berlarut dengan masalah yang tak mau melepasnya. Ia akan menyibukkan diri dengan ponselnya, meski kadang, ingin tersenyum sendiri ketika mengingat kejadian beberapa waktu lalu. Juga, ada yang berdenyut nyeri yang mendadak terasa di dalam dada.

*** 

“Kamu harus menepati janjimu loh, Sayang! Pokoknya, kamu harus bercerai dari wanita itu tanpa menyentuhnya sama sekali. Kamu hanya milikku seorang. Nggak boleh dinodai sama siapa pun!”

“Iya, aku akan mengumpulkan cukup uang untuk pernikahan kita nanti, Sayang. Aku nggak mungkin menyentuhnya. Percaya sama aku, ya?” bujuk Deryl.

Dua orang itu berdiri di luar warung makan. Klara harus pergi karena sudah ditelepon terus sama mamanya. Wanita itu membawa mobil sendiri. Sebelum memasuki kendarannya, Klara kembali mengingatkan pacarnya untuk berhati-hati dan mengingat janjinya.

Deryl mencium kening Klara sebagai salam perpisahan. Hanya sebatas itu, Deryl sanggup melakukannya. Untuk mengecup bagian bibir pun, lelaki itu berpikir berkali-kali. Kalau akan melakukannya, ia harus bisa mengatur gejolak yang tiba-tiba membara di dalam dada. Tidak boleh dituruti karena nantinya malah merugikannya saja.

“Pokoknya, kamu jangan sampai jatuh cinta, Sayang!” ucap Klara lagi setelah duduk di dalam mobil. Kaca jendela sengaja dibuka agar bisa berbicara dengan Deryl sebelum benar-benar pergi. Nadanya penuh penekanan.

“Iya! Aku hanya cinta sama kamu, Sayang. Bawa mobilnya hati-hati, ya.”

Deryl menyunggingkan senyuman. Tak lupa, ia memberikan perhatian agar Klara merasa bahagia.

“Iya! Aku pergi. Kamu juga hati-hati di jalan. Jangan ngebut.”

“Iya, Sayang.”

Mobil mulai melaju perlahan. Kemudian, kendaraan beroda empat yang ditunggangi Klara mempercepat lajunya di jalan raya dan meninggalkan Deryl yang masih berada di depan warung makan.

“Sekarang, waktunya bertanya sama Afsa. Siapa lelaki yang tadi duduk di depannya? Nggak tahu malu. Masa seorang wanita yang sudah bersuami masih mau bertemu sama lelaki lain. Mana orangnya sok alim, tapi kelakuan nggak ada sopan santunnya. Masa duduk sama seorang wanita tanpa rasa malu.”

Entah mengapa, ketika mengingat pertemuan antara istrinya dengan lelaki lain, membuat Deryl merasa kesal. Terngiang pula ketika melihat Afsana tadi pagi. Gairah sebagai seorang lelaki ternyata sulit dihindari saat melihat istri yang tampak menggodanya walau Afsana tak bergerak alias masih tertidur.

“Aku malihatmu tadi mengobrol dengan seorang lelaki. Dia duduk di depanmu dan perbincangan kalian tampak serius. Siapa dia?”

Ketika Deryl sudah di dekat Afsana, lelaki itu langsung mencerca dengan pertanyaan. Namun, Afsana malah mencuekinya. Ia tetap sibuk dengan ponsel yang dipegangnya.

Deryl geram dengan sikap yang diberikan oleh istrinya. Lalu, ia menempelkan bokongnya ke tempat duduk bekas Arsakha tadi.

“Kalau ada orang ngomong, didengar kenapa, sih!” protes Deryl bernada ketus.

Rasanya ingin menarik ponsel yang begitu fokus ditatap oleh Afsana. Namun, Deryl menahan diri. Ia sadar, kalau pernikahan yang terjadi bukan karena cinta. Jadi, seharusnya, Deryl tak perlu terbawa emosi ketika tadi melihat istrinya mengobrol dengan lelaki lain.

“Apa, sih? Aku lagi sibuk sama kerjaanku. Kenapa tanyanya aneh begitu? Mau aku ketemu sama siapa kek, apa pedulimu? Nggak usah kepo.”

Dengan tetap melihat ke layar ponsel, Afsana menjawab dengan nada yang sama. Kesal juga kalau pertemuannya dengan Arsakha diungkit. Padahal, Afsana tidak pernah mengungkit pertemuan Deryl tadi dengan Klara.

“Bapak memang salah besar tentang penilaiannya kepadamu. Katanya salihah, ternyata, masih mau bertemu dengan lelaki lain begini. Munafik!”

Perkataan yang dilontarkan oleh Deryl, membuat Afsana makin kesal. Ia mengalihkan fokusnya untuk menatap lelaki yang sudah menjadi suaminya dengan tatapan tajam.

“Sebagaimana manusia, aku hanya berusaha untuk belajar ke arah yang lebih baik. Tapi, berhubung aku malah bertemu denganmu dan menjadi istrimu karena jalur utang, aku rasa, buat apa aku berpura-pura baik padamu. Bukankah kalau sikapku yang seperti ini akan mempercepat proses perceraian kita? Ingat kan, kita harus bercerai secepatnya biar kamu bisa menikahi Mbak Klara dan aku bisa lepas darimu yang selalu membuatku berbuat dosa. Aku tahu, perbuatanku sebagai istrimu tidaklah baik. Tapi, semua terjadi hanya ketika aku menjadi istrimu. Kalau saja aku menikah sama lelaki yang aku mau, tentu saja, aku akan belajar menjadi istri salihah yang sesungguhnya.”

Kalimat panjang itu benar-benar menghunjam dada. Deryl memalingkan wajah diiringi dengan napas yang mendadak berat. Emosinya menyeruak ketika dirinya secara terang-terangan dikatai oleh Afsana mengenai sikapnya. Bukan hanya sekali, tetapi wanita itu sering mengungkitnya tanpa basa-basi.

“Sekali lagi, aku katakan, jangan pernah ikut campur dalam urusanku. Mau ketemu sama siapa kek, itu bukan urusanmu. Walau aku istrimu, tapi kita tidak saling cinta dan beberapa lama lagi, kita pasti akan bercerai. Aku saja nggak pernah mengusik kebahagiaanmu dengan Mbak Klara kan? Lakukan hal yang sama kepadaku. Jangan menganggapku sebagai istrimu yang sebenarnya. Karena itu hal konyol yang tak pantas dilakukan.”

Deryl tersenyum getir. Ia juga tak memahami, kenapa malah terbawa emosi sampai ingin mengetahui semua urusan istrinya yang harusnya tak perlu dilakukan. Rasa yang tak dipahami itu, mulai terasa ketika adegan tadi pagi yang hanya diketahui oleh dirinya.

“Ya, ya. Aku paham. Hanya saja, kenapa Bapak ngomongnya kamu wanita salihah yang nantinya gampang diatur padahal kenyataannya seperti ini, ya? Bukankah itu bisa dikatakan sebagai orang yang munafik?”

Deryl tak hentinya memancing emosi. Padahal, Afsana telah menjelaskan panjang-lebar kepadanya.

Afsana membuang napas lewat mulut dengan kasar. Raut wajahnya menunjukkan kalau ia merasa kesal. Seakan sia-sia menjelaskan sepanjang tadi.

“Capek ngomong sama kamu. Mau dikata munafik atau apa kek, terserah! Kalau kamu mengharapkanku sebagai wanita salihah, buat apa juga? Nggak ngaruh kan, sama pernikahan kita yang hanya sementara ini? Aku dan kamu nggak akan saling menyentuh. Kamu nggak akan memberikanku nafkah batin dan aku mendukungnya. Kita butuh enam bulan saja, setelah itu aku sudah bisa menggugat cerai. Kita akan berpisah untuk selamanya.”

Mendadak, ada yang terasa nyeri. Deryl bingung sendiri dan ingin menepis perasaan itu agar tidak semakin mengganggu.

Kenapa dengan hatiku? Bukankah aku dan Afsa memang ingin segera berpisah, tapi perasaanku kenapa jadi aneh begini?

“Kalau sudah selesai, ayo, pulang,” ucap Afsana lagi. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas dan bersiap pergi dari tempat itu.

“Kita buat perjanjian. Kita akan bercerai setelah aku bisa mengumpulkan cukup uang untuk melancarkan tujuanku. Aku akan menceraikanmu setelah pernikahan kita memasuki usia dua tahun. Aku janji, aku nggak akan menyentuhmu.”

Deryl sekuat tenaga menepis perasaan aneh yang mendatangi lubuk hatinya. Ia harus kembali ke tujuan awal. Ia yang sudah punya janji dengan Klara.

Afsana yang telah berdiri, bergeming untuk sesaat karena memikirkan jawaban terbaik.

Dua tahun lagi? Bukankah bisa menyingkat waktu hingga Mas Ar menyelesaikan pendidikannya? Hanya menunggu waktu sedikit lagi sampai dia menepati janjinya untuk menikahiku setelah aku bercerai.

“Oke! Kita buat perjanjiannya. Hanya dua tahun.” Afsana telah menentukannya.

Dua tahun memang tampak sebentar, tetapi dalam perjalannya, tentu belum tahu apa saja yang akan terjadi.

Apakah keduanya akan menepati tujuannya masing-masing? Atau malah cinta yang akan bertahta hingga mempersatukan keduanya?

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status