"Tapi... kamu gak papa kalau aku kerja dengan seorang pria? Maksudnya, sebagai sekretaris otomatis akan terus ketemu kan?"
Senyuman Aldi sangat manis mendengar hal itu. "Tentu saja tidak." "Makasih, Mas. Aku mau siapin berkas-berkasnya dulu biar besok lolos wawancara. Kalau begitu aku pulang." Aldi mengangguk, ia tidak mengantarkan Rania ke depan, pria itu malah memanggil Siska untuk masuk setelah sang istri pergi. "Manggil saya, Pak?" "Siska, kamu saya pindahkan jadi staf kantor. Besok akan ada sekretaris baru, dan saya harap kamu dengan lapang dada menerima keputusan saya." "Tapi, Pak. Apa salah saya kok di pindahkan?" "Daripada kamu saya pecat?" Siska menunduk, ia tak mampu lagi menjawab perkataan Aldi. Namun hatinya bergemuruh, ia berjanji akan menyingkirkan kembali orang yang telah merenggut jabatannya itu. "Mulai besok, kamu gabung dengan yang lain." "Baik, Pak," jawab Siska pelan, dia melenggang pergi dengan tangan yang terkepal. Sebenarnya bukan soal jabatan, tapi dengan tidak menjadi sekretaris lagi, ia jadi tidak bisa berdekatan dengan Aldi. Perempuan itu benar-benar kesal. *** Tengah malam, Rania masih sibuk mempelajari untuk besok wawancara. Sedangkan Aldi yang sedari tadi hanya bermain ponsel pun sesekali memperhatikan. Se-serius itu dia melakukan semuanya. "Huh, akhirnya selesai. Semoga besok aku bisa lulus dan mulai bekerja. Dengan begitu aku bisa hidupi Azka." Wanita itu memeluk berkasnya sambil tersenyum. Aldi yang melihat itu merasa senang, ini adalah senyuman pertama Rania setelah empat bulan hanya diam dan merenung karena kepergian sang suami. Pria itu janji, akan membahagiakan Rania dan Azka apa pun yang terjadi. Meskipun sekarang memang wanita itu belum bisa menerimanya, tapi Aldi akan tetap berusaha, karena dia lah pria itu belum menikah sama sekali. "Loh, kamu belum tidur?" "Belum, aku masih ada kerjaan dikit." "Ish, udah di rumah gini kok masih kerja. Bosmu itu pasti galak dan suka nyuruh-nyuruh, ya? Duh apes dong kalau begini. Tapi gak papa deh, demi Azka." Aldi hanya bisa menahan tawa saat Rania menggosip tentang bosnya. "Lihat aja besok, aku yakin kamu pasti terpana liat dia." Rania bergidik ngeri, kemudian ia berusaha berbaring agar besok bisa melakukan aktifitas dengan baik. *** "Mas Aldi!" kata Rania terkejut saat melihat orang yang duduk di kursi direktur itu ternyata adalah suaminya. "Jangan bilang kalau...." "Iya, aku bosnya. Bukankah kamu terpana melihatku?" tanya Aldi, sembari merapikan jas nya dengan senyuman yang menyeringai. Wanita itu masih diam tak percaya, bagaimana bisa suaminya itu seorang CEO? Sedangkan kemarin saat dia masuk ke ruangannya.... Mata wanita itu membelalak, kemudian melihat meja yang bertuliskan nama lengkap Aldi di sana. Dia memejamkan mata sambil berbalik, tangannya menepok jidat karena ia sangat bodoh pikirannya. "Sopankah membelakangi bos?" canda Aldi, tapi dengan nada suara yang dingin. Mendengar itu Rania berbalik dengan senyuman yang penuh tekanan, ia menggaruk kepalanya karena bingung, ini sekarang dia harus gimana? "Hari ini juga kamu bisa bekerja di perusahaan ini. Selamat, ya!" Pria itu berdiri mendekat, kemudian mengulurkan tangan, dengan pelan Rania ingin menerimanya, tapi Aldi dengan cepat menarik tangan wanita itu sampai ia menabrak tubuh sang suami. Hal itu membuat Rania terkejut, ia menatap wajah sang suami penuh protes. "Di sini belum ada yang tau kalau kamu istriku. Nanti ada saatnya kita umumkan." Rania mengangguk mendengarnya. Kemudian ia mengusap-usap tangannya saat sudah lepas dari dekapan Aldi. "Ya sudah." Pria itu mempersilakan Rania untuk duduk di kursi sekretaris dan memulai pekerjaannya. Siang berlalu, sampai pada sore hari wanita itu mengetuk pintu dan masuk untuk memberitahukan ada meeting mendadak dengan perusahaan lain. "Kamu ikut, ya. Jangan lupa pakai baju yang bagus." "Baik." Rania kembali duduk di kursinya. Ia berpikir, kalau seperti ini caranya, ia akan selalu bertemu dengan Aldi setiap saat. Padahal, memang itu tujuan Aldi yang sebenarnya.*Pagi menyapa, Rania yang tertidur di kursi tunggu rumah sakit, ia dibangunkan oleh suster karena Aldi sudah siuman, dan orang yang pertama ia panggil adalah Rania. Wanita itu dengan cepat mengikuti suster untuk masuk. Ia duduk di samping sang suami sembari menggenggam tangannya. "Mas... kamu udah sadar.""Rania....""Aku di sini, Mas.""Kamu baik-baik aja, kan?" Suara Aldi masih pelan dan serak. Wanita itu mengangguk, air mata kembali luruh begitu saja. Ia mencium tangan sang suami dan memeluk tangannya. Rasa takut kehilangan tiba-tiba muncul, ia tidak mau kehilangan suami untuk yang kedua kalinya. "Harusnya yang berbaring di sini sekarang itu aku, Mas. Kenapa kamu malah ngalangin aku.""Karna aku takut kamu kenapa-napa.""Bodoh kamu, Mas!" ujar Rania, ia merasa sangat bersalah karena selama ini selalu menganggap Aldi tidak ada.Sedangkan pria itu hanya tersenyum menanggapi perkataan istrinya. Hari-hari berlalu, wanita itu dengan cekatan membantu sang suami. Dari menyuapinya ma
Rania turun dari mobil dengan wajah yang cemberut. Ia melangkah masuk kembali ke kantor tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Aldi.Sedangkan pria itu hanya menggeleng pelan, kemudian ia menelpon seseorang untuk menyelidiki siapa pria yang tadi bersama Rania. Aldi rasa, mereka akrab sekali. Pria itu memutuskan untuk pergi, ia ada janji dengan seseorang yang akan ditemui sore ini. Sesampainya di hotel, pria itu langsung datang ke jamuan makan bersama yang sudah disediakan. Obrolan tentang bisnis dan kerja sama di dalamnya. Namun, ada satu perempuan yang sedari tadi menatap Aldi tak berkedip. Dia juga iseng mengambil minuman dan duduk di samping Aldi saat orang lain sebagian sudah pergi. "Kamu Aldi, kan?" tanyanya. "Hmm," jawab pria itu dingin. Perempuan itu tersenyum menggoda, ia mengibaskan rambutnya, kemudian menatap pria itu. "Kamu pasti sudah tau kan siapa aku?"Malas sekali Aldi rasa, harus meladeni perempuan yang sama sekali tidak menarik hatinya. Hanya buang-buang waktu s
"Mmm, kita mau ke mana?""Ayo tebak. Mau ke mana?"Wanita itu menggeleng pelan."Nanti kamu juga tau."Rania mengangguk patuh. Sepanjang perjalanan ia tak banyak mengobrol. Mereka pun telah sampai di tempat yang dituju. Rania turun dengan tatapan penuh kerinduan pada tempat itu. Ia melirik pria di sampingnya yang sedang tersenyum, memberikan kode untuk ia menggandeng tangannya. Rania pun menerima tawaran itu, ia menggandengnya dan mereka memasuki area cafe yang banyak sekali kenangan di dalamnya. Mereka duduk, pria itu memesan makanan legend yang dulu selalu mereka pesan.Tak lama, pesanan itu pun datang."Nih, banana milk dengan steak ayam saus jamur. Kentangnya setengah matang, kesukaan kamu.""Kamu masih ingat?" tanya Rania. "Mana mungkin aku lupa makanan kesukaan kekasihku."Rania berdehem mendengar itu. Ia tak membenarkan apa yang dikatakan oleh pria bernama Irfan itu. "Oh, maaf. Maksudku, mantan kekasih."Rania mencoba tersenyum, ia kemudian menikmati makanan itu saat Irfan
"Pagi yang indah, istriku.""Hmm.""Gak mau bangun nih? Kayaknya enak banget ya tidur di pelukan aku.""Hmm?" Rania yang baru membuka mata itu mendongak, mengucek matanya dan kini terlihat jelas siapa yang berbicara. Aldi tersenyum menatap sang istri. Tangannya digenggam oleh tangan Rania yang sebelah kiri, sedangkan wajah wanita itu masih menempel di dadanya. "Apa aku bilang. Nyaman kan tidur di pelukan suamimu ini."Rania yang menyadari itu langsung menarik diri, ia merasa malu, kejadian itu terulang kembali. "Dasar modus!" umpatnya."Aku?" Aldi yang mendengar itu langsung duduk, ia mencondongkan tubuhnya kepada Rania, membuat wanita itu memundurkan tubuhnya."Kan kamu yang deketin aku duluan. Emangnya semalam gak ingat, apa yang kamu lakuin ke aku? Bahkan, seumur hidup pun aku tidak akan bisa melupakannya.""Memangnya apa yang aku lakuin?" tanya Rania cemas, sembari mengingat apa yang semalam ia lakukan. Perasaan dia tertidur pulas tanpa bangun sama sekali. "Kamu lupa atau pur
"Ya... takut aja. Kalau kayak waktu itu lagi, aku kan kalau tidur orangnya gak bisa diem. Di sofa aja sering jatoh kadang-kadang.""Hah, yang bener? Tuh kan... Udah, mulai sekarang, kamu tidur sama aku di ranjang. Jangan di sofa lagi.""Tapi—""Masih mau nolak?"Wanita itu mau tak mau mengalah. Ia akan pikirkan caranya nanti, biar tidak satu ranjang dengan sang suami tapi dia masih bisa tidur dengan pulas. ***Selepas bekerja, mereka kembali ke rumah. Azka sudah menunggu walaupun malam mulai larut. Anak kecil itu ingin mengobrol dulu dengan sang ayah. Ia berteriak gembira saat keduanya masuk ke rumah. Mbok Nem meminta maaf karena tidak menidurkan Azka seperti biasa, ia mengeluh bahwa Azka selalu ingin menunggu keduanya untuk pulang.Rania memaklumi, ia meminta Mbok Nem untuk istirahat lebih dulu. Malam ini ia yang akan menemani Azka tidur. Makan malam sudah tersedia, karena dingin wanita itu memanaskannya kembali. Walupun Aldi berucap tidak perlu karena takut sang istri merasa lela
Sepanjang malam Rania tidur hanya sebentar-sebentar, setakut itu dia jika sampai kebablasan dan tidur dalam keadaan memeluk Aldi. Alhasil, pagi ini saat bekerja ia mengantuk, sesekali menguap dan berakhir tertidur dengan beralasan tangan di meja. Nita yang baru selesai mengambil air, ia melihat Rania yang sedang terlelap. Tanpa pikir panjang ia menyiramkan airnya, membuat wanita itu langsung terbangun. "Enak banget Lo ya tidur di kantor, yang lain pada kerja.""Aku....""Kerja. Jangan makan gaji buta!"Nita tersenyum miring melihat wanita itu yang basah kuyup, kemudian kembali ke mejanya. Bukan kerja, tapi malah memainkan ponselnya.Karena basah, wanita itu memutuskan untuk pergi ke toilet, ternyata di sana ada Aldi yang juga baru keluar dari kamar mandi. Pria itu memperhatikan sang istri, ia pun bertanya kenapa bisa seperti ini. "Siapa yang lakuin ini ke kamu?""Nita." Dia sangat ingin rasa memberikan pelajaran pada perempuan itu, jika dia memberikan kesedihan pada sang suami, Ra