Share

02. Andai Kamu Bukan Istri Willson

Wajah pria yang sekarang hanya berjarak sepuluh senti itu terlihat terkejut akibat pekikan suara Darline. Kedua matanya membuka dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan cahaya matahari di sekitarnya.

“Ada apa?” tanyanya dengan suara serak yang rendah dan berat, sembari menyesuaikan diri dengan rasa sakit yang mendera kepalanya.

“Pam—Paman Hayden?” seru Darline yang suaranya kini bagai tertahan di tenggorokannya.

Dia sungguh tak bisa mempercayai penglihatannya.

“Jad—jadi ... semalam yang bersamaku— semalam kit- kita berdua-”

Lagi, kalimat Darline jadi tak selesai karena dirinya terlalu shock atas pemahaman satu ini.

Paman Hayden adalah pamannya Willson. Bagaimana bisa dia malah menghabiskan malam bersama paman suaminya?

Bukankah Willson yang mengirimkannya pesan untuk datang ke kamar kosong ini? Tapi kenapa yang menghabiskan malam bersamanya malah Paman Hayden?

“Kenapa begitu berisik saat hari masih pagi, huh?” Suara Hayden pun akhirnya bergema lagi.

Pria yang diperkirakan Darline berusia 41 tahun itu pun akhirnya menoleh untuk menatap ke arahnya.

Seketika itu juga, dua manik mata chesnut brown milik Hayden membelalak teramat lebar saat menyadari bahwa yang menatapnya horor dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun di balik satu selimut yang sama dengan dirinya adalah ... Darline, istri dari keponakannya sendiri.

                ***

“Kita harus rahasiakan semua yang terjadi semalam, Darline!” seru Hayden ketika mereka berdua telah berhasil berpakaian dengan cepat dan merapikan diri masing-masing, lalu duduk berjauhan untuk bicara.

Darline tak perlu mengangguk. Dia bahkan sudah memikirkan hal ini sedari tadi, jauh sebelum Hayden mengucapkannya.

“Tentu saja, Paman,” kata Darline lirih sambil menundukkan kepalanya.

Pikirannya saat ini teramat sangat semrawut. Bagaimana dia bisa menghadapi Willson dengan sikap dan tingkah laku sebiasa mungkin lagi?

Belum lagi Bu Mira, ibu mertuanya, bersama Lisa, adik iparnya, selalu tampak mencampuri segala urusan mereka.

Darline rasanya takkan mampu bersikap biasa-biasa lagi.

Terlebih lagi, apa yang dia rasakan semalam sangatlah berbeda. Semalam adalah kali pertamanya dia mampu mereguk kepuasan dalam bercinta.

'Oh, ya ampuuuun! Kenapa aku harus merasakan kenikmatan pertama ini dari Paman Hayden? Ini sangat tidak baik!'

Memikirkan ini semua, dada Darline terasa sesak dan air matanya pun berjatuhan.

Tetesan air bening itu pun tertangkap penglihatan Hayden.

“Hei, hei, kau ... menangis?” tanya Hayden terkesiap melihat wajah Darline yang sudah dipenuhi air mata.

“Hei ...” bisiknya lagi dengan suara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.

Pria itu bahkan menghampirinya dan berjongkok di depannya agar tatapan mata mereka tampak sejajar.

“Hei, Darline! Kenapa kau menangis?”

Darline menggeleng. “Aku hanya takut kejadian ini ketahuan Willson dan yang lainnya. Aku tidak pandai berpura-pura, Paman.”

Hayden terkesiap lalu berpikir sebentar. Kemudian, dia meletakkan tangannya di atas tangan Darline yang saling meremas gelisah. Digenggamnya kedua tangan Darline demi membuat wanita itu merasa tenang.

“Dengar, Darline. Semalam adalah suatu kesalahan. Aku sedang mabuk. Dan aku tidak mengerti kenapa kau bisa berada di tempat ini semalam, dan kenapa aku bisa menarikmu ke ranjang ini. Tapi, tetap saja itu kesalahan.

Andai kau bukanlah istri Willson, aku akan dengan senang hati bertanggung jawab atas kesalahan semalam itu. Sayang sekali, statusmu adalah istri keponakanku sendiri, Darline.

Kalau kita tidak merahasiakannya maka itu sama saja melemparkan dirimu ke dalam api masalah. Hubunganmu dengan Willson akan rusak, bahkan mertuamu bisa memandang hina dirimu. Aku tahu dengan jelas bagaimana ibu mertuamu itu, Darline. Kau tentu tidak mau hal itu terjadi, bukan?”

“Iya, Paman. Tapi ... bagaimana kalau Willson tetap mengetahuinya?”

“Itu tidak akan terjadi. Selama kita berdua tutup mulut, tidak akan ada orang lain lagi yang akan tahu. Mengerti?”

Dengan jarinya, Hayden mengarahkan dagu Darline agar wajah wanita itu menatapnya tepat di manik chesnut brown miliknya.

Saat tatapan mereka saling bertaut, jemari Hayden merayap lembut di pipi Darline lalu mengelap air matanya yang membasahi pipi halusnya itu. Perlahan tapi pasti, segala keresahan yang tadi melilit dirinya pun sirna.

Tatapan mata Paman Hayden sangat teduh dan menenangkan. Entah mengapa, Darline rasanya ingin berlama-lama menatap manik chesnut brown itu. 

“Sekarang kau harus kembali ke sisi Willson. Bilang saja kalau kau tersesat dan tertidur di kamar ini. Tidak ada yang mengetahui keberadaanku di sini semalam. Bagi keluarga besar Limanso, aku belum tiba di negara ini.

Semalam itu seharusnya aku masih berada di pesawat terbang. Tapi, aku memajukan  penerbanganku tanpa memberitahu siapapun.

Jadi, selama kita berdua tutup mulut, maka kita aman.”

                ***

Darline menegarkan hatinya saat dia menuju mansion utama keluarga Limanso. Alasan kenapa dirinya menghilang semalam sudah dia tanamkan lekat-lekat ke dalam benaknya.

Dia bahkan mengulanginya berkali-kali di sepanjang langkah kakinya melewati taman belakang menuju rumah.

Ketika dia memasuki ruang duduk di mana semua anggota keluarga besar Limanso berkumpul, Darline sudah meraup napasnya dalam-dalam demi tugasnya ke depan yaitu meyakinkan Willson dan siapapun yang menanyakan keberadaan dirinya semalam.

Namun yang terjadi ... ketika keluarga besar Willson memandang ke arahnya, mereka terlihat heran.

Salah satu sepupu suaminya itu, Anna, sampai bertanya, “Lho, Darline, kok kamu masih ada di sini? Bukannya kata Willson semalam kalian pulang ke Jakarta?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
El GeiysyaTin
bikin nama keluarganya sedikit tidak cocok dengan nama tokoh2, yang awalnya berbau kebarat-baratan kenapa jadi harus ada nama belakang keluarga Limanso?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status