Wajah pria yang sekarang hanya berjarak sepuluh senti itu terlihat terkejut akibat pekikan suara Darline. Kedua matanya membuka dan mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan cahaya matahari di sekitarnya.
“Ada apa?” tanyanya dengan suara serak yang rendah dan berat, sembari menyesuaikan diri dengan rasa sakit yang mendera kepalanya.
“Pam—Paman Hayden?” seru Darline yang suaranya kini bagai tertahan di tenggorokannya.
Dia sungguh tak bisa mempercayai penglihatannya.
“Jad—jadi ... semalam yang bersamaku— semalam kit- kita berdua-”
Lagi, kalimat Darline jadi tak selesai karena dirinya terlalu shock atas pemahaman satu ini.
Paman Hayden adalah pamannya Willson. Bagaimana bisa dia malah menghabiskan malam bersama paman suaminya?
Bukankah Willson yang mengirimkannya pesan untuk datang ke kamar kosong ini? Tapi kenapa yang menghabiskan malam bersamanya malah Paman Hayden?
“Kenapa begitu berisik saat hari masih pagi, huh?” Suara Hayden pun akhirnya bergema lagi.
Pria yang diperkirakan Darline berusia 41 tahun itu pun akhirnya menoleh untuk menatap ke arahnya.
Seketika itu juga, dua manik mata chesnut brown milik Hayden membelalak teramat lebar saat menyadari bahwa yang menatapnya horor dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun di balik satu selimut yang sama dengan dirinya adalah ... Darline, istri dari keponakannya sendiri.
***
“Kita harus rahasiakan semua yang terjadi semalam, Darline!” seru Hayden ketika mereka berdua telah berhasil berpakaian dengan cepat dan merapikan diri masing-masing, lalu duduk berjauhan untuk bicara.
Darline tak perlu mengangguk. Dia bahkan sudah memikirkan hal ini sedari tadi, jauh sebelum Hayden mengucapkannya.
“Tentu saja, Paman,” kata Darline lirih sambil menundukkan kepalanya.
Pikirannya saat ini teramat sangat semrawut. Bagaimana dia bisa menghadapi Willson dengan sikap dan tingkah laku sebiasa mungkin lagi?
Belum lagi Bu Mira, ibu mertuanya, bersama Lisa, adik iparnya, selalu tampak mencampuri segala urusan mereka.
Darline rasanya takkan mampu bersikap biasa-biasa lagi.
Terlebih lagi, apa yang dia rasakan semalam sangatlah berbeda. Semalam adalah kali pertamanya dia mampu mereguk kepuasan dalam bercinta.
'Oh, ya ampuuuun! Kenapa aku harus merasakan kenikmatan pertama ini dari Paman Hayden? Ini sangat tidak baik!'
Memikirkan ini semua, dada Darline terasa sesak dan air matanya pun berjatuhan.
Tetesan air bening itu pun tertangkap penglihatan Hayden.
“Hei, hei, kau ... menangis?” tanya Hayden terkesiap melihat wajah Darline yang sudah dipenuhi air mata.
“Hei ...” bisiknya lagi dengan suara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya.
Pria itu bahkan menghampirinya dan berjongkok di depannya agar tatapan mata mereka tampak sejajar.
“Hei, Darline! Kenapa kau menangis?”
Darline menggeleng. “Aku hanya takut kejadian ini ketahuan Willson dan yang lainnya. Aku tidak pandai berpura-pura, Paman.”
Hayden terkesiap lalu berpikir sebentar. Kemudian, dia meletakkan tangannya di atas tangan Darline yang saling meremas gelisah. Digenggamnya kedua tangan Darline demi membuat wanita itu merasa tenang.
“Dengar, Darline. Semalam adalah suatu kesalahan. Aku sedang mabuk. Dan aku tidak mengerti kenapa kau bisa berada di tempat ini semalam, dan kenapa aku bisa menarikmu ke ranjang ini. Tapi, tetap saja itu kesalahan.
Andai kau bukanlah istri Willson, aku akan dengan senang hati bertanggung jawab atas kesalahan semalam itu. Sayang sekali, statusmu adalah istri keponakanku sendiri, Darline.
Kalau kita tidak merahasiakannya maka itu sama saja melemparkan dirimu ke dalam api masalah. Hubunganmu dengan Willson akan rusak, bahkan mertuamu bisa memandang hina dirimu. Aku tahu dengan jelas bagaimana ibu mertuamu itu, Darline. Kau tentu tidak mau hal itu terjadi, bukan?”
“Iya, Paman. Tapi ... bagaimana kalau Willson tetap mengetahuinya?”
“Itu tidak akan terjadi. Selama kita berdua tutup mulut, tidak akan ada orang lain lagi yang akan tahu. Mengerti?”
Dengan jarinya, Hayden mengarahkan dagu Darline agar wajah wanita itu menatapnya tepat di manik chesnut brown miliknya.
Saat tatapan mereka saling bertaut, jemari Hayden merayap lembut di pipi Darline lalu mengelap air matanya yang membasahi pipi halusnya itu. Perlahan tapi pasti, segala keresahan yang tadi melilit dirinya pun sirna.
Tatapan mata Paman Hayden sangat teduh dan menenangkan. Entah mengapa, Darline rasanya ingin berlama-lama menatap manik chesnut brown itu.
“Sekarang kau harus kembali ke sisi Willson. Bilang saja kalau kau tersesat dan tertidur di kamar ini. Tidak ada yang mengetahui keberadaanku di sini semalam. Bagi keluarga besar Limanso, aku belum tiba di negara ini.
Semalam itu seharusnya aku masih berada di pesawat terbang. Tapi, aku memajukan penerbanganku tanpa memberitahu siapapun.
Jadi, selama kita berdua tutup mulut, maka kita aman.”
***
Darline menegarkan hatinya saat dia menuju mansion utama keluarga Limanso. Alasan kenapa dirinya menghilang semalam sudah dia tanamkan lekat-lekat ke dalam benaknya.
Dia bahkan mengulanginya berkali-kali di sepanjang langkah kakinya melewati taman belakang menuju rumah.
Ketika dia memasuki ruang duduk di mana semua anggota keluarga besar Limanso berkumpul, Darline sudah meraup napasnya dalam-dalam demi tugasnya ke depan yaitu meyakinkan Willson dan siapapun yang menanyakan keberadaan dirinya semalam.
Namun yang terjadi ... ketika keluarga besar Willson memandang ke arahnya, mereka terlihat heran.
Salah satu sepupu suaminya itu, Anna, sampai bertanya, “Lho, Darline, kok kamu masih ada di sini? Bukannya kata Willson semalam kalian pulang ke Jakarta?”
Darline menatap heran pada Anna yang juga menatap lebih heran lagi kepadanya. Lalu ketika dia menyapukan pandangannya ke sekelilingnya, Darline tidak melihat keberadaan Willson, Bu Mira, dan Lisa. Semua keluarga Limanso ada di sana, kecuali ketiga orang itu. “Jadi ... Willson sudah pulang?” tanya Darline dengan suara lirih. Pertanyaan ini terdengar aneh bagi yang lainnya. Tapi, Darline sendiri kebingungan. Bagaimana mungkin Willson sudah pulang semalam? Padahal, Willson sendiri yang mengirim pesan agar dia mendatangi paviliun belakang, semalam. Oh! Darline terkesiap lagi ketika di benaknya dia terpikir akan sesuatu hal. ‘Bagaimana kalau ternyata Willson semalam telah melihatku di paviliun dan malah memasuki kamar yang salah? Apakah itu berarti Willson melihat keberadaanku di paviliun yang ternyata malah bersama Paman Hayden?’ batin Darline bergemuruh gelisah. Saat ini, Darline benar-benar kebingungan harus memberi alasan apa pada keluarga Limanso. Jika dia bilang bahwa dia keting
Darline seakan oleng ketika membaca pesan dari suaminya ini. Bukankah kata Anna tadi, Willson sudah pulang ke Jakarta dari semalam? Tapi kenapa tiba-tiba saat ini Willson malah berkata dia masih di Bandung dengan ibu dan adiknya? Darline: [Lho, Will, bukannya kamu sudah pulang dari semalam? Karena itulah aku cepat-cepat nyusul pulang] Darline pun menggunakan kesempatan ini untuk menutupi dosa besar yang semalam diperbuatnya dengan Hayden. Balasan dari Willson datang sama cepatnya dengan tadi. Willson: [Siapa bilang aku pulang semalam? Kamu ini jangan ngaco, ya! Kamu itu yang semalam ke mana? Aku kok nggak melihat kamu di mana-mana semalam itu?!] Deg! Jantung Darline berdetak kencang lagi. Jadi sebenarnya, Willson mengetahui keberadaannya di paviliun bersama Paman Hayden atau tidak? Biar bagaimana pun pesan yang membuat Darline menuju paviliun adalah pesan yang dikirimkan Willson. Tapi kenapa suaminya itu tidak pernah membahas janji ketemuan seperti yang tertera di dalam pesan itu
Darline tergopoh-gopoh meletakkan sapu dan memasuki rumah, menuju kamar. Ketika tiba di dalam kamar, tatapan nyalang Willson sudah menunggunya dengan raut teramat marah. “Iya, Will?” “Kamu tuh ngapain sajiin makan malam sebanyak itu? Kamu mau hambur-hamburin uang atau memang kamu menutupi sesuatu dengan makanan sebanyak itu?” Darline terkejut. Dia tak menyangka niatnya yang hanya ingin terhindar dari kemarahan Willson malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. “Nggak, Will. Aku sajiin itu semua karena tadi pas mau pesan gofood, ternyata ada banyak promo. Tapi promonya itu hanya untuk pembelian di atas 150 ribu. Jadi, aku pesan banyak supaya capai 150 ribu. Dan aku bayar pake uangku sendiri kok, Will.” Bukannya mereda, Willson semakin marah. “Heh! Kamu pikir karena pake uangmu sendiri kamu boleh pamer?” “Bukan begitu, Will! Nggak ada maksudku buat pamer sedikit pun! Aku hanya menjelaskan!” “Halaaah! Muak aku dengerin alesanmu itu!” seru Willson lagi sambil melempar handuk putih
Darline tidak membalas pesan dari Paman Hayden. Jarinya pun bergerak cepat hendak menghapus pesan itu. Detak jantungnya seakan berpacu cepat. Dia sungguh takut jika Willson mengetahui dosa besarnya bersama Paman Hayden. Pesan dari pria itu saat ini malah memperbesar resiko kebersamaan terlarang mereka jadi ketahuan Willson. Namun tiba-tiba Darline merasa teramat sayang jika nomor Paman Hayden tidak disimpannya. Biar bagaimana pun, nomor itu satu-satunya penghubung dirinya dengan Hayden saat ini. Darline pun urung menghapus pesan itu. Wanita itu malah mengarsipkan pesan dari Paman Hayden agar tidak terlihat oleh Willson tapi tetap bisa dia simpan. Mereka jarang saling melihat isi ponsel satu sama lain. Di saat seperti ini, kebiasaan itu membuat Darline lega. Setelah menyimpan pesan itu, Darline pun mulai bangkit. Dia tidak boleh mengisi waktunya dengan menangis karena menangis saja tidak akan membeirkan solusi apapun. *** Pukul 20.30 malam, Bu Mira dan Lisa sudah selesai m
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat. Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam. Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya. Seharusnya seperti itu. Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu. Dia bukan malaikat. “Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar. Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akh
Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson. Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu. Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya. Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah. Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan. *** “Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.” Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat
Antusias dan kegugupan melebur menjadi satu dalam diri Darline. Ketika tiba di kantor untuk hari pertama kerjanya tadi, selama lebih dari lima belas menit Darline mendapatkan pengarahan dari Bu Alma apa saja yang menjadi tugasnya sebagai sekretaris.Darline mempelajari dengan seksama dan bertekad untuk bekerja dengan baik.Namun, tetap saja dia merasa gugup.3L’s Empires Motor merupakan perusahaan besar. Ini bisa terlihat dari segala segi. Iklan dan marketing mereka yang teramat gencar. Produk otomotif yang inovatif dan seringkali menjadi trend setter baru di kalangan pecinta otomotif.Selain itu juga, jajaran direksi dan hierarkie manajemen yang berlapis-lapis dalam perusahaan ini menunjukkan kredibilitas 3L’s Empires Motor tidaklah main-main.Terakhir, fisik kantor yang sangat modern dan elegan.Begitu menginjakkan kaki di sini, Darline langsung jatuh cinta berharap dia bisa menjadi staff tetap dan berkarier di 3L’s Empires Motor.Saat dia sudah mampu hidup mandiri nantinya, Darline
Huuuufftt ... fiuuuuuuh ...Darline menyempatkan diri menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, lalu mengembuskannya, ketika dia telah tiba di pintu ruang CEO dan hendak mengetuknya.Setelah tiga kali tarik dan hela napas panjang, Darline pun akhirnya mengetuk.“Masuk!” titah suara bariton dari dalam ruangan.Hanya mendengar suara itu saja degup jantung Darline meningkat drastis lagi.Darline membuka pintu, berusaha agar tangannya tidak terlihat gemetar, lalu melangkah masuk, dengan setenang mungkin.‘Apa yang Paman Hayden pikirkan tentang diriku ini? Jangan-jangan, Paman Hayden mengira aku sengaja melamar pekerjaan di kantornya ini demi berdekatan dengannya!’Darline tanpa sengaja sibuk berpikir sementara tubuhnya berbalik dari pintu untuk menuju meja kerja Hayden.Untungnya, pria itu masih menatap layar laptop dengan teramat serius. Darline jadi tak sengaja malah mengamati Paman Hayden yang begitu seriusnya.Dari pengamatannya ini Darline baru menyadari bahwa Paman Hayden sebenarny