Darline menatap heran pada Anna yang juga menatap lebih heran lagi kepadanya.
Lalu ketika dia menyapukan pandangannya ke sekelilingnya, Darline tidak melihat keberadaan Willson, Bu Mira, dan Lisa. Semua keluarga Limanso ada di sana, kecuali ketiga orang itu.
“Jadi ... Willson sudah pulang?” tanya Darline dengan suara lirih.
Pertanyaan ini terdengar aneh bagi yang lainnya. Tapi, Darline sendiri kebingungan. Bagaimana mungkin Willson sudah pulang semalam? Padahal, Willson sendiri yang mengirim pesan agar dia mendatangi paviliun belakang, semalam.
Oh! Darline terkesiap lagi ketika di benaknya dia terpikir akan sesuatu hal.
‘Bagaimana kalau ternyata Willson semalam telah melihatku di paviliun dan malah memasuki kamar yang salah? Apakah itu berarti Willson melihat keberadaanku di paviliun yang ternyata malah bersama Paman Hayden?’ batin Darline bergemuruh gelisah.
Saat ini, Darline benar-benar kebingungan harus memberi alasan apa pada keluarga Limanso. Jika dia bilang bahwa dia ketinggalan, maka keluarga besar suaminya itu akan merasa heran.
Jika dia bilang dia tidak ikut Willson pulang semalam, mereka semua akan semakin merasa aneh. Kenapa dia tidak ikut pulang? Lalu di mana semalam dia berada?
Dengan situasi seperti itu dan Darline terdesak dengan pertanyaan mereka, Darline tak bisa berpikir. Dia begitu gugup dan kalut jawaban apa yang harus dia berikan pada mereka semua agar tidak ada kecurigaan yang menetap pada dirinya.
Beruntung, tiba-tiba saja sebuah suara berat penuh wibawa menyeruak di tengah-tengah mereka. Dan fokus semua yang menanti jawaban Darline jadi teralihkan pada suara yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.
“Hallo, selamat pagi semuanya! Maaf, aku tiba di jam seperti ini.”
Darline sendiri pun ikut menoleh dan melihat Paman Hayden berada di sana.
Pria itu mengenakan kemeja dan jas semi formal yang terlihat tidak rapi. Dasi yang bertengger di kerah kemejanya pun terlihat longgar dan miring. Namun, entah mengapa ... bahkan di mata Darline saat itu aura yang menguar dari diri Paman Hayden begitu maskulin dan penuh wibawa.
Aroma rum mahal yang semalaman dicecapnya dari bibir Paman Hayden pun mulai mengisi sekujur benak Darline kembali.
Sekalipun bibir Paman Hayden yang dikelilingi kumis-kumis tipis yang halus-halus itu terlihat datar dan sepasang mata bermanik chesnut brownnya itu menyapu seisi ruangan dengan tajam, tapi yang terbayang di benak Darline adalah sentuhannya semalam yang begitu membuai Darline.
Segala rasa nikmat yang dirasakan Darline saat semalam memadu kasih dengan Paman Hayden kembali bertebaran di benaknya. Hatinya sampai berdesir malu ketika semua rasa itu bagai merambat perlahan di sekujur pembuluh darahnya.
Darline tanpa sadar merona meskipun hatinya menangis pilu. Dia malu atas kesalahan yang baru saja dia perbuat, tapi Darline tak bisa menampik jika tubuhnya menikmati semua dosa itu.
“Oh, tidak masalah, Hay. Bagi kami semua yang terpenting kita bisa berkumpul secara lengkap. Dan semua tiba di sini dengan selamat. Selamat datang, Hayden!”
Suara ayahnya Anna bergema dan menyambut kehadiran Hayden. Pria itu menghampiri dan menyalami Hayden sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Ngomong-ngomong, kau ini sudah kepala empat tapi kenapa terlihat masih seperti 30 tahun ya? Gagal menua atau sering suntik botox?”
Pertanyaan dari ayahnya Anna itu membuat semua yang hadir di sana tertawa renyah. Memang benar Darline sendiri pun mengakui jika Paman Hayden terlihat seperti pria berusia di awal 30-an. Padahal Hayden sudah berusia 41 tahun.
Mungkin karena tubuhnya yang masih terlihat kekar dan gagah juga penampilannya yang selama ini cukup modis dan rapi. Juga, tatanan rambutnya yang selalu fashionable membuat Hayden tampak awet muda.
“Mana ada aku seperti bocah 30 tahun? Kau jangan mengada-ngada! Tapi sudah pasti aku tidak berurusan dengan botox! By the way, mana Paman Ben? Aku ingin memberinya ucapan anniversari-nya dulu.”
Bersamaan dengan Hayden yang melangkah masuk melewati Darline seolah tidak ada apa-apa di antara mereka, seluruh perhatian para penghuni ruangan itu pun teralihkan. Darline menjadi bebas dan gegas keluar dari villa keluarga Limanso.
Dia gegas memanggil taxi dan melaju pulang ke Jakarta.
Empat jam kemudian, Darline telah tiba di pekarangan rumah yang dia tempati selama tiga tahun ini dengan keluarga suaminya.
Sepanjang empat jam di perjalanan Darline sudah menyusun berbagai alasan yang bisa dia kemukakan pada Willson ketika mereka bertemu di rumah nanti.
Meskipun begitu, hatinya masih berdegup tak karuan. Dia sungguh takut kesalahannya semalam itu tercium oleh Willson. Suaminya itu bisa mengamuk padanya saat melampiaskan kemarahannya.
Darline yakin, jika Willson sampai tahu dia telah tidur dengan Paman Hayden, pria itu bahkan akan sanggup membunuhnya. Itulah ketakutan terbesar Darline saat ini.
Darline melangkah pelan menuju pintu depan rumah. Namun, Darline begitu terkejut saat tiba di pintu itu karena lampu teras masih menyala terang. Dan ketika dia memutar kenop pintu depan, pintu rumah ternyata masih terkunci.
'Ini sudah hampir jam makan siang, masa mereka semua belum bangun?' pikir Darline terheran-heran.
Wanita itu pun mengetuk pintu berkali-kali sambil memberi salam. Tapi tidak ada satu orang pun yang keluar membuka pintu.
Darline lalu mengeluarkan ponsel dan menghubungi Willson karena berpikiran suaminya itu sudah pergi kerja, sedangkan ibu mertua dan adik iparnya belum bangun.
Namun, karena takut menghadapi kemarahan Willson, Darline pun mengurungkan niatnya untuk menelpon. Lebih baik mengirim pesan chat saja sehingga suaranya tidak perlu terdengar gemetar nantinya.
Jika pesan chat tidak dibalas, barulah dia akan menelpon. Begitu pikir Darline dan dia pun mengeluarkan ponsel dan mengetik isi pesannya.
Darline: [Will, tolong bangunin Lisa buat bukain aku pintu dong, aku sudah di depan rumah, tapi kuketuk-ketuk tidak ada yang buka.]
Tak berapa lama balasan dari Willson pun tiba.
Sebuah balasan yang membuat Darline terheran-heran.
Willson: [Lho, kamu pulang sama siapa? Mau pulang kok nggak ngomong-ngomong? Aku sama Ibu dan Lissa satu jam lagi baru akan pulang!]
Darline seakan oleng ketika membaca pesan dari suaminya ini. Bukankah kata Anna tadi, Willson sudah pulang ke Jakarta dari semalam? Tapi kenapa tiba-tiba saat ini Willson malah berkata dia masih di Bandung dengan ibu dan adiknya? Darline: [Lho, Will, bukannya kamu sudah pulang dari semalam? Karena itulah aku cepat-cepat nyusul pulang] Darline pun menggunakan kesempatan ini untuk menutupi dosa besar yang semalam diperbuatnya dengan Hayden. Balasan dari Willson datang sama cepatnya dengan tadi. Willson: [Siapa bilang aku pulang semalam? Kamu ini jangan ngaco, ya! Kamu itu yang semalam ke mana? Aku kok nggak melihat kamu di mana-mana semalam itu?!] Deg! Jantung Darline berdetak kencang lagi. Jadi sebenarnya, Willson mengetahui keberadaannya di paviliun bersama Paman Hayden atau tidak? Biar bagaimana pun pesan yang membuat Darline menuju paviliun adalah pesan yang dikirimkan Willson. Tapi kenapa suaminya itu tidak pernah membahas janji ketemuan seperti yang tertera di dalam pesan itu
Darline tergopoh-gopoh meletakkan sapu dan memasuki rumah, menuju kamar. Ketika tiba di dalam kamar, tatapan nyalang Willson sudah menunggunya dengan raut teramat marah. “Iya, Will?” “Kamu tuh ngapain sajiin makan malam sebanyak itu? Kamu mau hambur-hamburin uang atau memang kamu menutupi sesuatu dengan makanan sebanyak itu?” Darline terkejut. Dia tak menyangka niatnya yang hanya ingin terhindar dari kemarahan Willson malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. “Nggak, Will. Aku sajiin itu semua karena tadi pas mau pesan gofood, ternyata ada banyak promo. Tapi promonya itu hanya untuk pembelian di atas 150 ribu. Jadi, aku pesan banyak supaya capai 150 ribu. Dan aku bayar pake uangku sendiri kok, Will.” Bukannya mereda, Willson semakin marah. “Heh! Kamu pikir karena pake uangmu sendiri kamu boleh pamer?” “Bukan begitu, Will! Nggak ada maksudku buat pamer sedikit pun! Aku hanya menjelaskan!” “Halaaah! Muak aku dengerin alesanmu itu!” seru Willson lagi sambil melempar handuk putih
Darline tidak membalas pesan dari Paman Hayden. Jarinya pun bergerak cepat hendak menghapus pesan itu. Detak jantungnya seakan berpacu cepat. Dia sungguh takut jika Willson mengetahui dosa besarnya bersama Paman Hayden. Pesan dari pria itu saat ini malah memperbesar resiko kebersamaan terlarang mereka jadi ketahuan Willson. Namun tiba-tiba Darline merasa teramat sayang jika nomor Paman Hayden tidak disimpannya. Biar bagaimana pun, nomor itu satu-satunya penghubung dirinya dengan Hayden saat ini. Darline pun urung menghapus pesan itu. Wanita itu malah mengarsipkan pesan dari Paman Hayden agar tidak terlihat oleh Willson tapi tetap bisa dia simpan. Mereka jarang saling melihat isi ponsel satu sama lain. Di saat seperti ini, kebiasaan itu membuat Darline lega. Setelah menyimpan pesan itu, Darline pun mulai bangkit. Dia tidak boleh mengisi waktunya dengan menangis karena menangis saja tidak akan membeirkan solusi apapun. *** Pukul 20.30 malam, Bu Mira dan Lisa sudah selesai m
Waktu sudah menunjukkan pukul 09.00. Darline tahu seharusnya dia membangunkan Willson dari pukul 06.00 tadi agar bisa bersiap ke kantor. Pekerjaan Willson sebagai seorang staff keuangan senior di sebuah perusahaan swasta membuat Willson tak seharusnya terlambat. Seharusnya juga Darline mempersiapkan sarapan yang bergizi ditambah minuman hangat yang bisa meredakan sakit kepala yang dirasakan suaminya karena telah mabuk-mabukan semalam. Bahkan jika bisa, seharusnya juga Darline menyiapkan sebutir paracetamol agar tubuh Willson kembali segar dan siap menghadapi pekerjaannya. Seharusnya seperti itu. Namun, rasa sakit dan penasaran yang menusuk hati Darline akibat penemuan kondom bekas pakai tadi membuat Darline tak sanggup melakukan semua kebaikan itu. Dia bukan malaikat. “Darliiiiiine!!! Darline sialan!” teriak Willson dari arah kamar. Darline sudah memperkirakan ini semua. Saat Willson bangun dari tidur, pria itu pasti akan menyadari dirinya terlambat pergi ke kantor dan pada akh
Darline tak bisa berkata-kata lagi saat menghadapi Willson yang malah menyecar dan menuduhnya telah melakukan sesuatu yang tidak benar. Bahkan dia dituduh sengaja menjebak dan memfitnah Willson. Jika bukan karena Darline takut kebersamaannya dengan Paman Hayden terungkap, Darline tidak akan berdiam diri saat dicecar seperti itu. Biar bagaimana pun sebagian dirinya merasa bersalah, tapi juga sebagian lainnya merasa Willson jauh lebih salah daripadanya. Darline hanya tidak bisa menekan Willson untuk mengakui kesalahannya. Dalam tangis dan rasa perih yang mengukungnya itu, Darline mendengar deru mesin mobil Willson meraung pergi meninggalkan pekarangan rumah. Tidak ada rasa yang merayap di hatinya. Darline hanya merasakan kekosongan. *** “Aku butuh pekerjaan nih, Fen. Ada nggak ya yang bisa menerima karyawan sepertiku ini, yang sudah lama vakum bekerja. Sudah 2,5 tahun aku vakum, Fen.” Dalam gelisahnya tadi, Darline pun mengajak Fenny, salah satu teman dekatnya saat
Antusias dan kegugupan melebur menjadi satu dalam diri Darline. Ketika tiba di kantor untuk hari pertama kerjanya tadi, selama lebih dari lima belas menit Darline mendapatkan pengarahan dari Bu Alma apa saja yang menjadi tugasnya sebagai sekretaris.Darline mempelajari dengan seksama dan bertekad untuk bekerja dengan baik.Namun, tetap saja dia merasa gugup.3L’s Empires Motor merupakan perusahaan besar. Ini bisa terlihat dari segala segi. Iklan dan marketing mereka yang teramat gencar. Produk otomotif yang inovatif dan seringkali menjadi trend setter baru di kalangan pecinta otomotif.Selain itu juga, jajaran direksi dan hierarkie manajemen yang berlapis-lapis dalam perusahaan ini menunjukkan kredibilitas 3L’s Empires Motor tidaklah main-main.Terakhir, fisik kantor yang sangat modern dan elegan.Begitu menginjakkan kaki di sini, Darline langsung jatuh cinta berharap dia bisa menjadi staff tetap dan berkarier di 3L’s Empires Motor.Saat dia sudah mampu hidup mandiri nantinya, Darline
Huuuufftt ... fiuuuuuuh ...Darline menyempatkan diri menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya, lalu mengembuskannya, ketika dia telah tiba di pintu ruang CEO dan hendak mengetuknya.Setelah tiga kali tarik dan hela napas panjang, Darline pun akhirnya mengetuk.“Masuk!” titah suara bariton dari dalam ruangan.Hanya mendengar suara itu saja degup jantung Darline meningkat drastis lagi.Darline membuka pintu, berusaha agar tangannya tidak terlihat gemetar, lalu melangkah masuk, dengan setenang mungkin.‘Apa yang Paman Hayden pikirkan tentang diriku ini? Jangan-jangan, Paman Hayden mengira aku sengaja melamar pekerjaan di kantornya ini demi berdekatan dengannya!’Darline tanpa sengaja sibuk berpikir sementara tubuhnya berbalik dari pintu untuk menuju meja kerja Hayden.Untungnya, pria itu masih menatap layar laptop dengan teramat serius. Darline jadi tak sengaja malah mengamati Paman Hayden yang begitu seriusnya.Dari pengamatannya ini Darline baru menyadari bahwa Paman Hayden sebenarny
Darline merasa tak enak hati karena ketahuan berbohong. Dia pun hanya menundukkan wajah. Melihat Darline menunduk, Hayden menaikkan wajah itu dengan jari di dagu Darline. “Jawab aku. Darline, sejujur-jujurnya. Kamu sekarang sekretarisku, Darline. Jika kau berbohong, aku akan langsung memecatmu sekarang juga!” Tiba-tiba suara dominasi itu bercampur kuasa yang tak bisa ditampik Darline. Wanita itu cukup terkejut mendengar Hayden sampai menuntut kejujuran darinya dengan sekeras ini. Darline yang tadinya bertekad menutupi prahara rumah tangganya dengan Willson erat-erat dari Hayden, kini tak berani membantah lagi. Dia pun menjawab lirih, “Iya, Paman. ini—” “Apa yang dia lakukan hingga kau terluka seperti ini? Apa dia menggigitmu?” tanya Hayden lagi dengan pandangan yang menyorot marah. Darline terhenyak, kenapa Paman Hayden bisa serisau ini hanya karena luka kecil di bibirnya? “Nggak, Paman. Dia nggak menggigit.” “Kalau tidak menggigit, lalu dia apakan?” Geramannya yang tertahan