FAZER LOGINDi tengah kedapnya ruang kerja Bima yang didesain secara spesifik untuk menjamin keamanan absolut, suasana hening kerap diselingi oleh derit kipas pendingin dari perangkat komputer canggih. Dr. Alvin, dengan postur tegapnya, duduk fokus di depan layar monitor lebar yang memancarkan serangkaian log data terenkripsi dan indikator aktivitas siber yang intens. Grafis berwarna-warni di layar tersebut merupakan representasi visual dari berbagai upaya peretasan dan aktivitas pengawasan yang, untungnya, selalu berakhir dengan kegagalan. Bima berdiri kokoh di belakangnya, wajahnya terpampang nyata oleh ketegangan yang belum sepenuhnya reda, sebuah bayangan tipis menyertai setiap detail fitur wajahnya.
"Kau lihat, Bima," ujar Alvin, nadanya tenang namun penuh otoritas, seraya mengarahkan jari telunjuknya pada beberapa deret log data yang menunjukkan tanda-tanda intervensi ilegal. "Surya, dengan segala ambisinya, masih terus berusaha untuk menyingkap data-datamu dan Lidya. Dia mencoba m
Kevin Abimanyu Wisesa menerobos masuk ke dalam apartemen Kaiden tanpa mengetuk, dadanya naik turun dengan cepat, napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari maraton. Wajahnya merah padam, rambutnya sedikit berantakan. Ia mendapati Vito, Gerald, dan Kaiden sudah berkumpul di ruang tengah yang remang, tegang seperti orang menunggu vonis, menatap ke arah pintu seolah tahu badai akan segera datang. Mata mereka menyipit, mencurigai dan menebak apa yang terjadi di RS.Kevin tidak berkata apa-apa. Gerakan tangannya kasar dan penuh emosi saat ia melemparkan koran yang tadi ia cengkeram erat di rumah sakit ke atas meja kopi di hadapan mereka. Koran itu meluncur dan membentur vas bunga mini hingga nyaris jatuh. Matanya menyala-nyala, menatap bergantian pada ketiga orang di depannya itu. Bukan lagi kilatan rencana atau strategis, melainkan bara amarah yang membakar."Bagaimana bisa justru Lidya yang ada di sana?!" raung Kevin, suaranya pecah, dipenuhi amarah yang membakar. Tangannya langsun
Suasana di ruang dokter Alvin terasa dingin, bahkan meskipun pendingin ruangan sudah mati. Dr. Leo Bima Adnyana menerima lembaran analisis kimia forensik dari tangan Dr. Alvin Mahawira, tatapan matanya tajam dan penuh harapan – atau lebih tepatnya, doa. Ia segera menyambar hasil itu dan membaca poin-poinnya dengan cepat, mata Biru tajam Bima menyapu tiap kata, berharap menemukan secercah harapan di sana."Gila! Kadar aphrodisiacnya tinggi banget," Alvin memecah keheningan, suaranya terdengar datar, seolah sudah tak sanggup lagi terkejut. Ada kemarahan tersembunyi di baliknya. "Jelas banget bukan aku yang bernafsu gila-gilaan karena mau nyelingkuhin Lidia, kan?"Bima hanya bergumam tidak jelas, fokusnya masih terpaku pada laporan. Matanya melambat, dan alisnya sedikit terangkat. Emosi yang sempat memuncak dan bercampur aduk antara amarah, bingung, dan kekecewaan di wajah Bima segera meredup. Ia menghela napas panjang. Ekspresinya kini berganti menjadi pemahaman yang dingin, namun diser
Pikirannya kalut. Sepanjang jalan menuju Cirebon, Dr. Alvin Mahawira merasa ada beban berat yang menindih dadanya. Lidya sudah tertidur lelap di kursi sebelah, wajahnya terlihat lelah setelah semua drama semalam. Tiap tikungan yang mereka lewati seakan ikut menikung hatinya, membawa serta rasa bersalah yang menusuk-nusuk. Ia mengantar Lidya bukan hanya karena merasa wajib setelah apa yang terjadi—lebih dari itu, ia butuh waktu dan ruang. Butuh menjauh dari hiruk pikuk Jakarta, menjauh dari Bima dan kekacauan di Cendekia Medika, agar ia bisa berpikir jernih.Baginya, ini bukan sekadar permintaan maaf. Ini adalah pelarian singkat untuk menemukan kebenaran. Alvin tahu, dia nggak akan bisa menghadapi Bima, atau dirinya sendiri, tanpa bukti konkret yang bisa menjelaskan mengapa dia jadi seperti kesetanan semalam. Ini bukan dia. Atau setidaknya, bukan sepenuhnya dia. Di lubuk hatinya, ada bisikan yang kuat kalau semua ini adalah jebakan."Aku akan cari tahu apa penyeba
Angin malam Cirebon yang hangat sama sekali tidak mampu menenangkan pikiran Riris. Di teras rumah dinas Puskesmas yang sepi itu, ia mondar-mandir bagai setrikaan listrik, bolak-balik menelusuri lantai keramik dingin. Bayangan tentang insiden serius yang diceritakan Alvin lewat telepon tadi terus menghantui. Lidya, sahabat mereka, korban dari apa yang entah Riris dan Wulan masih belum tahu persisnya. Hanya, kalimat Alvin sangat mengganggu: "Ada insiden serius di kantor Bima, aku sudah tidak punya pilihan lain kecuali membawanya pergi." Riris mencoba mengurai benang kusut yang terasa mencekik akal sehatnya.“Bagaimana bisa Alvin melakukan itu?” tanya Riris, suaranya sarat dengan kekosongan dan rasa tak percaya, memecah keheningan yang menyesakkan. Ia menoleh ke Wulan yang duduk di kursi rotan, memeluk lututnya, wajahnya tampak pias di bawah temaram lampu teras. “Orang itu perfeksionis dan sangat hati-hati. Dia tidak mungkin melakukan hal sekeji itu pada Lidya,
Gema pintu yang tertutup menghantam Lidya Paramitha Wardhana seperti palu godam. Bukan pintu biasa, melainkan pintu yang menghukum, menutup akses Dr. Leo Bima Adnyana dari kehidupannya, mungkin selamanya. Isak tangis yang tadi tertahan, kini lepas merobek dada. Ia masih terdampar di kursi kebesaran Direktur Utama, kepalanya terkulai, rambutnya menutupi wajah yang sembap, dan bahunya terguncang hebat. Air matanya terus mengalir, membasahi kain bajunya, seolah seluruh pasokan air di tubuhnya terkuras habis oleh kehancuran yang tak terbayangkan. Rasanya seperti seluruh organ dalamnya telah terpilin dan dipuntir menjadi gumpalan nyeri yang membakar.Dr. Alvin Mahawira berdiri kaku beberapa langkah di belakangnya, diselimuti aura rasa bersalah yang menusuk. Keheningan pekat di antara mereka adalah kanvas yang dilukis dengan penyesalan, canggung, dan sebuah patah hati besar yang kini terpampang nyata. Tangan Alvin terkepal, merasakan setiap isak tangis Lidya seperti pukulan telak ke ulu hat
Deru mesin sportcar merah menyala milik Dr. Leo Bima Adnyana memekakkan telinga di jalanan Jakarta yang relatif lengang pada jam segini. Kecepatan gila-gilaan yang ia injak itu seolah ingin menenggelamkan semua suara lain, terutama suara kehancuran yang bergema kencang di benaknya. Bukan rumahnya sendiri yang menjadi tujuan, melainkan rumah Dr. Asri Hartanto, ibunya. Ia butuh tempat, sebuah ruangan, sebuah dimensi di mana ia bisa meledakkan semua kekacauan dalam dirinya, diam-diam.Dasar bodoh! Tolol! Bagaimana bisa aku sebego ini mempercayainya selama ini?Batin Bima menjerit, mengutuki dirinya sendiri. Sebuah rasa jijik merayapi seluruh organ dalam tubuhnya. Tapi kutukan terbesar, tentu saja, meluncur deras tanpa filter kepada satu nama: Alvin Mahawira. Sahabatnya sendiri, yang sudah ia anggap keluarga.Alvin tahu, jelas dia tahu betapa aku mencintai Lidya. Bagaimana bisa dia sekejam itu? Setega itu? Ini bukan cuma urusan pekerjaan atau persaingan. Ini... peng







