LOGINUdara di ruang rapat "terselubung" itu terasa sesak, lebih mirip gudang arsip tak terpakai di bawah tanah gedung dewan pengawas lama. Bau debu dan secarik kebodohan tak terlaksana bercampur dengan aroma kopi hitam pekat yang sudah dingin. Di sekeliling meja persegi panjang yang sepertinya sudah menyaksikan ribuan proposal membosankan, tiga sosok menyiratkan aura kekalahan kolektif.
Dr. Surya, dengan wajah merah padam mirip kepiting rebus, memukul permukaan meja berulang kali seolah berharap ia akan memberikan jawaban daripada pantulan suara tumpul. Di sebelahnya, Dr. Raditya hanya bisa menatap cangkir kopinya dengan ekspresi 'apakah-aku-sudah-gila-berada-di-sini-lagi', sementara Dr. Rukmana, si jenius strategi yang kini terlihat seperti sedang menghitung stok kebahagiaannya yang menyusut, menghela napas pasrah.
“Aku benar-benar bingung,” suara Dr. Surya naik satu oktaf, cukup tinggi untuk memecahkan kaca jendela seandainya ada. Padahal di ruangan itu, satu-
Di salah satu lounge mewah paling private di Jakarta, aroma kopi mahal dan sedikit asap cerutu melayang tipis, bercampur dengan aura ketegangan yang menyesakkan. Tiga sosok pria duduk melingkar di sofa kulit hitam yang empuk, masing-masing dengan wajah yang mengukir kekhawatiran dan ambisi terpendam.Mereka adalah Dr. Rukmana, sosok karismatik dengan kemeja rapi yang kini sedikit berkerut di bagian siku karena sering bergerak gelisah, Dr. Surya Baskara Hardiwan, yang tampil lebih santai tapi sorot matanya tajam, serta Dr. Raditya, pria tenang yang sedari tadi hanya menyesap minumannya sambil sesekali melirik dua rekannya itu. Suasana saat itu, kalau digambarkan, seperti ruangan high stakes poker di mana semua pemain memegang kartu penting dan siap melakukan taruhan besar.“Jadi, Franda belum ada kabar juga?” tanya Surya, nada suaranya terdengar seperti sebuah desisan kecil, tidak sabar. Dia sedikit condong ke depan, sikunya bertumpu pada meja bundar di tengah mereka.Rukmana menghela
Alvin Mahawira memarkir sedan mewahnya di basement kondominium area PIK. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan ia bersyukur lobi kondominium tampak sepi. Kepalanya terasa begitu berat, bukan hanya karena seharian bekerja di rumah sakit yang sibuk, tapi karena beban moral yang barusan menindihnya. Beban itu masih terasa nyata, bergentayangan seperti bayangan Lidya yang terus menghantuinya.Begitu sampai di unitnya yang terletak di lantai atas, dengan pemandangan kota yang menakjubkan, Alvin tidak memedulikan pemandangan tersebut. Pakaian dinasnya ia lepas dengan kasar, seolah-olah kain itu menempelkan sesuatu yang najis. Setelah dilucuti dari tubuhnya, seragam bedah dan kemeja putihnya segera ia masukkan ke mesin cuci, membiarkan mesin bergemuruh seolah ikut merayakan pemusnahan jejak yang menempel di serat-serat kain. Ia ingin mencuci semua sisa-sisa itu secepatnya.Telanjang bulat, Alvin masuk ke dalam bilik shower. Ia menyalakan air hangat, membiarkannya membasahi seluruh tu
Kevin Abimanyu Wisesa menerobos masuk ke dalam apartemen Kaiden tanpa mengetuk, dadanya naik turun dengan cepat, napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari maraton. Wajahnya merah padam, rambutnya sedikit berantakan. Ia mendapati Vito, Gerald, dan Kaiden sudah berkumpul di ruang tengah yang remang, tegang seperti orang menunggu vonis, menatap ke arah pintu seolah tahu badai akan segera datang. Mata mereka menyipit, mencurigai dan menebak apa yang terjadi di RS.Kevin tidak berkata apa-apa. Gerakan tangannya kasar dan penuh emosi saat ia melemparkan koran yang tadi ia cengkeram erat di rumah sakit ke atas meja kopi di hadapan mereka. Koran itu meluncur dan membentur vas bunga mini hingga nyaris jatuh. Matanya menyala-nyala, menatap bergantian pada ketiga orang di depannya itu. Bukan lagi kilatan rencana atau strategis, melainkan bara amarah yang membakar."Bagaimana bisa justru Lidya yang ada di sana?!" raung Kevin, suaranya pecah, dipenuhi amarah yang membakar. Tangannya langsun
Suasana di ruang dokter Alvin terasa dingin, bahkan meskipun pendingin ruangan sudah mati. Dr. Leo Bima Adnyana menerima lembaran analisis kimia forensik dari tangan Dr. Alvin Mahawira, tatapan matanya tajam dan penuh harapan – atau lebih tepatnya, doa. Ia segera menyambar hasil itu dan membaca poin-poinnya dengan cepat, mata Biru tajam Bima menyapu tiap kata, berharap menemukan secercah harapan di sana."Gila! Kadar aphrodisiacnya tinggi banget," Alvin memecah keheningan, suaranya terdengar datar, seolah sudah tak sanggup lagi terkejut. Ada kemarahan tersembunyi di baliknya. "Jelas banget bukan aku yang bernafsu gila-gilaan karena mau nyelingkuhin Lidia, kan?"Bima hanya bergumam tidak jelas, fokusnya masih terpaku pada laporan. Matanya melambat, dan alisnya sedikit terangkat. Emosi yang sempat memuncak dan bercampur aduk antara amarah, bingung, dan kekecewaan di wajah Bima segera meredup. Ia menghela napas panjang. Ekspresinya kini berganti menjadi pemahaman yang dingin, namun diser
Pikirannya kalut. Sepanjang jalan menuju Cirebon, Dr. Alvin Mahawira merasa ada beban berat yang menindih dadanya. Lidya sudah tertidur lelap di kursi sebelah, wajahnya terlihat lelah setelah semua drama semalam. Tiap tikungan yang mereka lewati seakan ikut menikung hatinya, membawa serta rasa bersalah yang menusuk-nusuk. Ia mengantar Lidya bukan hanya karena merasa wajib setelah apa yang terjadi—lebih dari itu, ia butuh waktu dan ruang. Butuh menjauh dari hiruk pikuk Jakarta, menjauh dari Bima dan kekacauan di Cendekia Medika, agar ia bisa berpikir jernih.Baginya, ini bukan sekadar permintaan maaf. Ini adalah pelarian singkat untuk menemukan kebenaran. Alvin tahu, dia nggak akan bisa menghadapi Bima, atau dirinya sendiri, tanpa bukti konkret yang bisa menjelaskan mengapa dia jadi seperti kesetanan semalam. Ini bukan dia. Atau setidaknya, bukan sepenuhnya dia. Di lubuk hatinya, ada bisikan yang kuat kalau semua ini adalah jebakan."Aku akan cari tahu apa penyeba
Angin malam Cirebon yang hangat sama sekali tidak mampu menenangkan pikiran Riris. Di teras rumah dinas Puskesmas yang sepi itu, ia mondar-mandir bagai setrikaan listrik, bolak-balik menelusuri lantai keramik dingin. Bayangan tentang insiden serius yang diceritakan Alvin lewat telepon tadi terus menghantui. Lidya, sahabat mereka, korban dari apa yang entah Riris dan Wulan masih belum tahu persisnya. Hanya, kalimat Alvin sangat mengganggu: "Ada insiden serius di kantor Bima, aku sudah tidak punya pilihan lain kecuali membawanya pergi." Riris mencoba mengurai benang kusut yang terasa mencekik akal sehatnya.“Bagaimana bisa Alvin melakukan itu?” tanya Riris, suaranya sarat dengan kekosongan dan rasa tak percaya, memecah keheningan yang menyesakkan. Ia menoleh ke Wulan yang duduk di kursi rotan, memeluk lututnya, wajahnya tampak pias di bawah temaram lampu teras. “Orang itu perfeksionis dan sangat hati-hati. Dia tidak mungkin melakukan hal sekeji itu pada Lidya,







