“Bukannya hubungan sejawat itu dilarang karena melanggar asas profesionalitas yang Anda tetapkan, Mas Bima? Apa saya benar?” Lidia meletakkan sendoknya pelan nyaris tak bersuara. Suasana di ruang makan rumah itu mendadak jadi tegang. Dari rumah Bima yang terletak di sisi utara yang berbukit, lampu-lampu kota yang kelap-kelip terasa begitu ironis dengan perasaan Lidia yang ingin sekali menjerit.
Bima mengelap mulutnya pelan, bibirnya tersungging senyum licik yang familier. Senyum yang selalu muncul ketika dia merasa memegang kendali. “Apa aku mengambil tindakan pada kau dan pacarmu Kevin? Tidak, bukan? Lebih tepatnya… belum.” Kata Bima, tatapannya menyapu wajah Lidia. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar peringatan di matanya, semacam janji atau ancaman yang tak terucap.
Lidia tersentak, terbatuk pelan, berusaha mengendalikan gejolak dalam dadanya. Kalimat itu langsung mengingatkannya pada kejadian beberapa bulan lalu. Dia masih ingat jelas bagaimana dokter Surya begitu kesalnya saat dokter Bima dan dewan etik menjatuhi sanksi skorsing. Kasusnya sama, kedapatan menjalin kasih dengan Perawat Debby, juniornya. Parahnya, Perawat Debby langsung diberhentikan dari Rumah Sakit tanpa basa-basi, tanpa ruang negosiasi, seolah dia hanyalah barang buangan. Keduanya profesional, berpendidikan, tapi Bima punya aturan main sendiri, yang anehnya hanya berlaku selektif. Surya memang tidak sampai dipecat, tapi reputasinya hancur lebur di mata sejawat dan pasiennya. Sanksi yang terasa begitu sepihak dan tidak adil.
“Dengar, Mas Bima, saya mengerti sekali konsekuensinya.” Lidia akhirnya memecah keheningan, matanya menatap tajam ke arah Bima. "Baiklah, dokter Kevin sangat dibutuhkan di rumah sakit Anda. Kevin adalah aset penting. Tapi saya bisa mundur dari internship saya sekaligus mundur sebagai staf di bawah supervisi Anda.” Lidia berkata, wajahnya menegang, setiap kata diucapkan dengan berat tapi tegas. Ini adalah kartu AS-nya, satu-satunya cara dia melihat untuk melindungi Kevin. Mungkin ia bodoh mengorbankan karier impiannya, tapi entah kenapa rasa cintanya pada Kevin terasa lebih mendesak.
Bima tergelak kecil, tawa remehnya memenuhi ruang. “Tidak perlu begitu, Lidia. Pengorbanan apa itu? Terlalu dramatis.” Dia melambaikan tangan, seolah tawaran Lidia hanya angin lalu. “Cinta memang butuh pengorbanan, aku setuju. Tapi kau terlalu sentimentil menghadapi kasus yang menimpa Dokter Surya, bukan? Aku hanya menegakkan disiplin.” Bima menghela napas, seolah ia adalah korban salah paham di sini. “Tapi kita bisa bermain cantik. Tanpa kau harus mengorbankan internshipmu.” Sebuah senyum tipis, lebih ke seringai, tersungging di bibirnya. “Anggap saja… asistensi personal dan rahasia.”
Jantung Lidia berdebar keras. Asistensi personal dan rahasia? Pikirannya berpacu, mengaitkan potongan-potongan perkataan dan sorot mata Bima yang intens sejak awal pertemuan mereka malam itu. Ada getaran aneh yang tak ia pahami, namun firasatnya mengatakan itu bukanlah hal yang baik sama sekali. Dia tahu maksudnya, dan ia tidak suka. Sama sekali tidak suka.
“Tidak, terima kasih.” Lidia berucap cepat, tangannya mengepal erat di bawah meja. Ia merasa sesak dan kotor hanya dengan memikirkan kemungkinannya. Dengan gerakan tegas, ia beranjak dari kursinya, niatnya untuk meninggalkan tempat itu sejelas gerak tubuhnya.
Bima meraih pergelangan tangannya, menghentikannya. Genggamannya lembut namun kuat, tidak ada celah untuknya melepaskan diri. “Jangan terlalu emosional, Lidia. Pikirkan lagi. Jika kau gagal internship, kau tahu konsekuensinya.” Bima menarik Lidia sedikit lebih dekat, tatapan mengintimidasinya membuat bulu kuduk Lidia meremang. “Dan aku… aku punya cukup banyak suara di organisasi yang mengatur segalanya. Apa kau puas hanya jadi sarjana kedokteran dan bukan menjadi dokter klinis yang sebenarnya? Itu hal yang sia-sia, bukan?” Tekanan Bima makin menyesakkan dadanya, merampas oksigen dari paru-parunya. Ancaman itu terasa lebih mengerikan daripada apa pun. Dia tahu Bima tidak main-main.
Lidia menarik paksa tangannya, sedikit goyah namun tetap berusaha berdiri tegak. Dia melangkah mundur, menghindari sentuhan Bima, dan bergerak menuju ruang tamu Bima yang mungil tapi mewah, berukuran studio dengan pemandangan kota. Ia menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, gerimis yang membasahi kaca membentuk gurat air yang memantulkan bayangan samar dirinya dengan jas putih, seragam yang baru beberapa minggu lalu dengan bangga ia kenakan.
Hening sejenak. Hanya suara gerimis yang menampar kaca. Tiba-tiba, sebuah pelukan melingkar di pinggangnya dari belakang. Aroma parfum Bima yang tajam menusuk hidungnya. Jantung Lidia berdetak tak keruan. Tubuhnya kaku, menegang di dalam dekapan Bima.
“Mungkin… kau mabuk malam itu, Lidia. Dan itu… itu pelanggaran etika berat untuk seorang dokter,” Bima berbisik di telinga Lidia, suaranya berat, menciptakan sensasi panas di kulitnya. Sebuah kalimat yang janggal, anehnya terasa asing tapi sekaligus mengerikan. Malam itu? Malam apa? Pikir Lidia.
“Anda juga,” jawab Lidia refleks, meski dalam hati ia tak mengerti persis apa yang Bima bicarakan. Tangan Bima yang bebas perlahan menyusup di antara jemari Lidia, menggenggamnya erat. Jemari itu dingin dan kasar, berbeda sekali dengan Kevin.
“Aku tidak mabuk, Lidia,” bisiknya lagi, makin intens, bibirnya menyentuh telinga Lidia, "Aku sadar sepenuhnya." Dia menekan Lidia lebih rapat ke tubuhnya. “Karena itu aku ingat… setiap getar yang kau tinggalkan di tubuhku.” Katanya, lembut namun penuh ancaman, dingin, menghantarkan sengatan aneh ke seluruh tubuh Lidia.
Wajah Lidia memucat. Matanya melebar penuh horor. Otaknya tiba-tiba bekerja sangat cepat, menyusun puzzle-puzzle kosong. Getar apa? Kapan? Dia terperanjat. Sesuatu yang tak bisa ia ingat atau tak ingin diingatnya lagi… Sesuatu yang begitu penting telah terjadi. Sesuatu yang bodoh.
“Apa??” gumam Lidia, lebih terdengar seperti erangan, otaknya berhenti bekerja, membeku di tempat. Rasa takut dan kebingungan bercampur menjadi satu. Dia tak mengerti. Dia tidak ingat apa-apa. Atau jangan-jangan, dia tidak mau mengingatnya dan menganggap itu semua hanya halusinasinya saja.
Ruang IGD yang semula lengang, mendadak riuh. Jeritan pilu membelah keheningan. Monitor pasien berbunyi nyaring, mengiris suasana yang sebelumnya tenang.“Ada apa itu?” Perawat Dedi sontak menoleh, matanya membesar melihat kekacauan di bilik itu.Seorang wanita paruh baya meraung histeris, disusul suara tangis dan makian. “Anakku! Ya Tuhan, Erlan kenapa? Erlan!”Seketika, ruangan itu dipenuhi kepanikan. Monitor pasien di bilik Erlan menunjukkan garis lurus panjang, alarmnya meraung mengerikan. Beberapa perawat langsung berlari.“Ayo, tolong mundur, Pak, Bu! Mohon kerja samanya! Keluarga pasien harap menunggu di luar, beri kami ruang untuk bekerja!” seru Perawat Rido. “Cepat siapkan alat-alat! Erlan arrest!” teriak seorang perawat lain dari dalam bilik, menggenapi kekalutan yang ada.Dari kejauhan, dua sosok berjas dokter bergegas melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kevin dan Gerald. Wajah mereka nampak panik, tercetak jelas kekhawatiran yang mendalam. Tanpa basa-basi
Udara di kamar itu tiba-tiba terasa tebal, membebani setiap helaan napas Lidia. Matanya terpaku pada Bima yang menatapnya dengan intensitas mematikan, sorotnya bagai magnet yang menarik semua kekuatannya.Napas Bima yang teratur dan hangat di kejauhan terasa seperti bara yang merayap di kulitnya, namun di waktu yang bersamaan, hawa ancaman darinya terasa sedingin pisau belati. Internship yang ia kira akan menjadi akhir dari satu fase kehidupannya, ternyata malah menjadi awal dari ikatan gila yang tak pernah ia bayangkan. Ikatan yang kini terasa membakar sekaligus membelenggu dirinya erat-erat."Kau tidak serius, kan, Mas?" Suara Lidia terdengar seperti pecahan kaca, tipis, nyaris tenggelam dalam desah napasnya sendiri yang tak beraturan. Bima tersenyum—senyum mematikan yang selalu berhasil merobek setiap pertahanan Lidia lapis demi lapis, membuatnya luluh dan tak berdaya. Bima bukan sekadar seorang pria baginya—ia adalah dr. Leo Bima Adnyana, kepala rumah sakit besar ini, figur yang
Udara di apartemen mewah itu terasa sesak, membebani setiap tarikan napas Lidia. Jemari Bima masih menjelajahi punggungnya yang terbuka, sentuhan yang kini terasa seperti rantai, bukan belaian."Kevin telah membaui hubungan kita." Suara Lidia terdengar bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak tertangkap, "Mungkin ini waktunya kita saling mengambil jarak." Ia menghela napas dalam, aroma sampo Lidia memenuhi indra Bima.Bima mendengus pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Begitukah?" ia balik bertanya, melanjutkan ciuman ringan di antara tulang belikat Lidia. Suaranya rendah, sarat otoritas yang tak terbantahkan. "Keinginanmu, atau kau ingin melindungi kita?"Lidia menegang. Kalimat Bima menusuk tepat pada inti kegelisahannya. Ia membalikkan badan, menghadapi wajah tampan Bima yang kini menatapnya dengan intensitas yang tak bisa ia hindari. Mata Bima gelap, seperti lautan dalam yang menyembunyikan badai."Kau adalah Ketua Dewan Etik, dokter Bima." Lidia berucap, penekanan
Sementara bisikan gosip soal karma Bima masih ramai di kalangan residen dan internship—tentang kasusnya di masa lalu yang entah kenapa kini ramai dibahas lagi—di sebuah ruang kosong tak terpakai di lantai atas rumah sakit, suasana justru terasa tegang. Tiga sosok dokter senior – Dr. Rukmana, Dr. Surya, dan Dr. Raditya – duduk melingkar dengan serius. Obrolan mereka bukan soal karma yang datang sendiri, tapi bagaimana cara menciptakannya."Oke, cukup sudah main santainya," Dr. Surya memulai, nadanya rendah tapi penuh tekad. Ia meletakkan secangkir kopi yang sudah dingin di meja. "Kita harus cari celah untuk si Bima itu.""Betul," sahut Dr. Raditya, sambil mengelap kacamata. "Dia kan bukan Superman. Pasti punya sisi lemah, selain isu lama soal sejarah dan kepemilikan saham rumah sakit ini yang selama ini dia mati-matian tutupi."Dr. Surya menyeruput sisa kopi. "Begini... kudengar, ia sedang mendekati salah satu anak internship."Jantung Dr. Rukmana sontak berdebar. Pikirannya langsung m
Semua kenangan itu berputar seperti film yang diputar ulang di benak Kevin. Dari cerita Kakeknya, ayahnya, hingga desas-desus di balik pintu rumah besar mereka di Paris. “Sumpah deh, kalau Kakek sama ayahku bisa begitu gampangnya ngelepasin orang-orang yang mereka cintai cuma demi karier, harta, atau bahkan ego kosong mereka, aku enggak akan pernah kayak gitu. Aku nggak akan melepaskan Lidia untuk Bima,” gumam Kevin pelan, suaranya tercekat. Resolusinya kali ini kuat sekali, membara di dalam dada, berbeda dari gumpalan dilema yang sering menyelimutinya.Tapi, pikiran lain menyelinap masuk, lebih mengganggu dan membangkitkan kecemasan. “Tunggu… Bima? Kenapa nama ini familiar banget?” Alis Kevin berkerut, tangannya otomatis memijat pelipisnya. “Apakah Bima… ini Bima yang sama yang sering Ibu ceritakan? Atau Bima yang lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogotinya. Otaknya bekerja keras menyambung kepingan informasi yang tersebar, seperti detektif yang menemukan petunjuk krusial di TKP
Tangan-tangan takdir kadang terlalu kejam merenggut kedamaian, bahkan untuk sekadar kebahagiaan sepasang ayah dan anak. Hari itu, angin kemarau di Jakarta terasa menyesakkan, tidak hanya di luar, tetapi juga di dalam ruang kerja dr. Asri yang steril. Sebuah atmosfer tegang menyelimuti mereka—mantan suami istri dan putri mereka—seolah udara di ruangan itu dipenuhi bubuk mesiu, siap meledak oleh percikan terkecil.Dr. Rafael Irwanto berdiri kokoh di hadapan dr. Asri, matanya memancarkan kesedihan mendalam sekaligus tekad membaja. Posturnya masih tegap, mencerminkan keturunan bangsawan yang menjunjung tinggi harga diri. Sementara itu, di dekat pintu, Riana yang berusia delapan belas tahun berdiri, meremas tas tangan di genggamannya, napasnya tertahan. Kata-kata kasar Asri masih mengiang, menusuk luka hatinya yang baru saja merasakan kegagalan pahit ujian masuk fakultas kedokteran."Aku akan membawa Rian