Dia memarkirkan mobil di pinggir jalan yang sepi, lalu melangkah ke pintu gerbang, memencet bel pintu yang besar itu. Beberapa detik berlalu, terasa seperti keabadian. Lalu pintu terbuka perlahan. Sosok Dokter Bima berdiri di ambang pintu, hanya memakai kaos abu-abu santai dan celana training, tanpa jubah putih kebanggaannya yang biasanya menyelimutinya di rumah sakit. Penampilannya sungguh jauh berbeda dari biasanya. Bahkan, ada senyum tipis di bibirnya yang nyaris tak pernah terlihat di rumah sakit. Itu bukan senyum lebar atau ramah, tapi senyum kecil yang terlihat lebih seperti kelegaan atau mungkin... sebuah sambutan yang sungguh mengejutkan?
"Masuklah," kata Bima, mempersilakan dengan gerakan kepala.
Lidia terkesiap. Sebenarnya ia masih bingung, mengapa orang ini menyuruhnya ke rumah. Di tangannya ada flash disk berisi laporannya. Lidia berniat langsung menyerahkannya agar cepat pulang.
"Kamu sudah makan?" tanya Bima lagi, nadanya sedikit lebih hangat daripada di rumah sakit.
Lidia menggelengkan kepala. Jujur, ia sudah sangat lapar, tapi pikirannya hanya ingin menyerahkan flash disk itu secepatnya lalu pulang, bersembunyi di balik selimut nyamannya dan melupakan hari yang panjang ini.
"Ayo temani aku makan," kata Bima, suaranya terdengar tidak menerima penolakan. Dia berbalik menuju dapur yang terlihat modern dan rapi, dan Lidia merasa tak punya pilihan selain mengikutinya dengan canggung.
"Tapi, Dokter…" Lidia mencoba protes, "saya cuma mau menyerahkan laporan…"
Belum sempat Lidia menyelesaikan kalimatnya, Bima memotong. "Panggil 'Mas Bima' saja saat tak sedang di kantor atau rumah sakit. Ini rumahku. Duduklah, ada ayam panggang, salad, dan menu lainnya. Pilih yang kau suka." Bima berbicara dengan intonasi yang jauh lebih santai, seperti orang yang jauh berbeda dengan sosok jaim-nya yang dingin di rumah sakit. Ini Bima yang beda 180 derajat.
Lidia termangu, sedikit terkejut dengan perubahan sikap dr. Bima yang drastis itu. Setelah mencuci tangan dengan air hangat di wastafel dapur Bima, ia duduk di salah satu kursi di meja makan. Bima kemudian menaruh piring dan gelas kosong di hadapannya, mengisi gelas dengan air putih segar.
"Aku senang kau menemaniku makan," kata Bima, menyodorkan piring berisi potongan ayam panggang ke tengah meja. Aromanya menggoda. "Bagaimana, ada yang kau suka?"
Lidia mengamati hidangan yang disajikan Bima. Terlihat sederhana tapi berkualitas dan segar. Ia mengambil beberapa lembar salad hijau segar dan mulai memakannya pelan-pelan. Bima tidak melepaskan pandangannya dari Lidia, sebuah tatapan yang terasa begitu intens. Tatapan itu membuat Lidia merasa semakin terintimidasi. Apakah ia telah melakukan kesalahan lagi? Atau... apa maunya orang ini sebenarnya? Lidia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Apakah dia harus melanjutkan makan, atau berbicara untuk meredakan ketegangan aneh ini?
Ruang IGD yang semula lengang, mendadak riuh. Jeritan pilu membelah keheningan. Monitor pasien berbunyi nyaring, mengiris suasana yang sebelumnya tenang.“Ada apa itu?” Perawat Dedi sontak menoleh, matanya membesar melihat kekacauan di bilik itu.Seorang wanita paruh baya meraung histeris, disusul suara tangis dan makian. “Anakku! Ya Tuhan, Erlan kenapa? Erlan!”Seketika, ruangan itu dipenuhi kepanikan. Monitor pasien di bilik Erlan menunjukkan garis lurus panjang, alarmnya meraung mengerikan. Beberapa perawat langsung berlari.“Ayo, tolong mundur, Pak, Bu! Mohon kerja samanya! Keluarga pasien harap menunggu di luar, beri kami ruang untuk bekerja!” seru Perawat Rido. “Cepat siapkan alat-alat! Erlan arrest!” teriak seorang perawat lain dari dalam bilik, menggenapi kekalutan yang ada.Dari kejauhan, dua sosok berjas dokter bergegas melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kevin dan Gerald. Wajah mereka nampak panik, tercetak jelas kekhawatiran yang mendalam. Tanpa basa-basi
Udara di kamar itu tiba-tiba terasa tebal, membebani setiap helaan napas Lidia. Matanya terpaku pada Bima yang menatapnya dengan intensitas mematikan, sorotnya bagai magnet yang menarik semua kekuatannya.Napas Bima yang teratur dan hangat di kejauhan terasa seperti bara yang merayap di kulitnya, namun di waktu yang bersamaan, hawa ancaman darinya terasa sedingin pisau belati. Internship yang ia kira akan menjadi akhir dari satu fase kehidupannya, ternyata malah menjadi awal dari ikatan gila yang tak pernah ia bayangkan. Ikatan yang kini terasa membakar sekaligus membelenggu dirinya erat-erat."Kau tidak serius, kan, Mas?" Suara Lidia terdengar seperti pecahan kaca, tipis, nyaris tenggelam dalam desah napasnya sendiri yang tak beraturan. Bima tersenyum—senyum mematikan yang selalu berhasil merobek setiap pertahanan Lidia lapis demi lapis, membuatnya luluh dan tak berdaya. Bima bukan sekadar seorang pria baginya—ia adalah dr. Leo Bima Adnyana, kepala rumah sakit besar ini, figur yang
Udara di apartemen mewah itu terasa sesak, membebani setiap tarikan napas Lidia. Jemari Bima masih menjelajahi punggungnya yang terbuka, sentuhan yang kini terasa seperti rantai, bukan belaian."Kevin telah membaui hubungan kita." Suara Lidia terdengar bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak tertangkap, "Mungkin ini waktunya kita saling mengambil jarak." Ia menghela napas dalam, aroma sampo Lidia memenuhi indra Bima.Bima mendengus pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Begitukah?" ia balik bertanya, melanjutkan ciuman ringan di antara tulang belikat Lidia. Suaranya rendah, sarat otoritas yang tak terbantahkan. "Keinginanmu, atau kau ingin melindungi kita?"Lidia menegang. Kalimat Bima menusuk tepat pada inti kegelisahannya. Ia membalikkan badan, menghadapi wajah tampan Bima yang kini menatapnya dengan intensitas yang tak bisa ia hindari. Mata Bima gelap, seperti lautan dalam yang menyembunyikan badai."Kau adalah Ketua Dewan Etik, dokter Bima." Lidia berucap, penekanan
Sementara bisikan gosip soal karma Bima masih ramai di kalangan residen dan internship—tentang kasusnya di masa lalu yang entah kenapa kini ramai dibahas lagi—di sebuah ruang kosong tak terpakai di lantai atas rumah sakit, suasana justru terasa tegang. Tiga sosok dokter senior – Dr. Rukmana, Dr. Surya, dan Dr. Raditya – duduk melingkar dengan serius. Obrolan mereka bukan soal karma yang datang sendiri, tapi bagaimana cara menciptakannya."Oke, cukup sudah main santainya," Dr. Surya memulai, nadanya rendah tapi penuh tekad. Ia meletakkan secangkir kopi yang sudah dingin di meja. "Kita harus cari celah untuk si Bima itu.""Betul," sahut Dr. Raditya, sambil mengelap kacamata. "Dia kan bukan Superman. Pasti punya sisi lemah, selain isu lama soal sejarah dan kepemilikan saham rumah sakit ini yang selama ini dia mati-matian tutupi."Dr. Surya menyeruput sisa kopi. "Begini... kudengar, ia sedang mendekati salah satu anak internship."Jantung Dr. Rukmana sontak berdebar. Pikirannya langsung m
Semua kenangan itu berputar seperti film yang diputar ulang di benak Kevin. Dari cerita Kakeknya, ayahnya, hingga desas-desus di balik pintu rumah besar mereka di Paris. “Sumpah deh, kalau Kakek sama ayahku bisa begitu gampangnya ngelepasin orang-orang yang mereka cintai cuma demi karier, harta, atau bahkan ego kosong mereka, aku enggak akan pernah kayak gitu. Aku nggak akan melepaskan Lidia untuk Bima,” gumam Kevin pelan, suaranya tercekat. Resolusinya kali ini kuat sekali, membara di dalam dada, berbeda dari gumpalan dilema yang sering menyelimutinya.Tapi, pikiran lain menyelinap masuk, lebih mengganggu dan membangkitkan kecemasan. “Tunggu… Bima? Kenapa nama ini familiar banget?” Alis Kevin berkerut, tangannya otomatis memijat pelipisnya. “Apakah Bima… ini Bima yang sama yang sering Ibu ceritakan? Atau Bima yang lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogotinya. Otaknya bekerja keras menyambung kepingan informasi yang tersebar, seperti detektif yang menemukan petunjuk krusial di TKP
Tangan-tangan takdir kadang terlalu kejam merenggut kedamaian, bahkan untuk sekadar kebahagiaan sepasang ayah dan anak. Hari itu, angin kemarau di Jakarta terasa menyesakkan, tidak hanya di luar, tetapi juga di dalam ruang kerja dr. Asri yang steril. Sebuah atmosfer tegang menyelimuti mereka—mantan suami istri dan putri mereka—seolah udara di ruangan itu dipenuhi bubuk mesiu, siap meledak oleh percikan terkecil.Dr. Rafael Irwanto berdiri kokoh di hadapan dr. Asri, matanya memancarkan kesedihan mendalam sekaligus tekad membaja. Posturnya masih tegap, mencerminkan keturunan bangsawan yang menjunjung tinggi harga diri. Sementara itu, di dekat pintu, Riana yang berusia delapan belas tahun berdiri, meremas tas tangan di genggamannya, napasnya tertahan. Kata-kata kasar Asri masih mengiang, menusuk luka hatinya yang baru saja merasakan kegagalan pahit ujian masuk fakultas kedokteran."Aku akan membawa Rian