Home / Romansa / Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku / Bab 9 Kesepakatan yang Menjerat

Share

Bab 9 Kesepakatan yang Menjerat

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-26 13:50:36

Lidia masih berdiri terpaku di kamar Bima, napasnya terperangkap di paru-paru. Lampu temaram di langit-langit memantulkan kilau samar pada perabot kayu gelap, seolah seluruh ruangan itu bersekongkol dengan mereka, jadi saksi bisu sesuatu yang busuk. Hujan masih menetes di luar, menambah dinginnya malam, tapi tubuh Lidia justru memanas, bukan karena gairah murni, melainkan karena tekanan dan kepanikan yang mencengkeram kesadarannya. 

Bima, dengan gestur yang penuh kesadaran dan dingin, menutup pintu. Satu hentakan keras yang menyertainya membuat Lidia terlonjak, bahunya menegang. Tatapan lelaki itu menusuk, seperti hakim yang sudah menjatuhkan vonis, tanpa ada niat sedikit pun untuk memberinya ruang banding. Lidia tahu, kali ini dia benar-benar terpojok.

“Tidak ada tempat lain kau bisa sembunyi, Lidia,” ucap Bima rendah, serak, seolah bisikan iblis yang menyusup langsung ke gendang telinganya. Ada nada kemenangan pahit di sana, dan itu membuat Lidia mual. “Kecuali… di sisiku.”

Kata-kata itu bagai belati yang menusuk langsung ke ulu hati. Lidia ingin berteriak, ingin mengatakan “tidak,” membantah ancaman itu, melawan sampai titik darah penghabisan. Tapi di kepalanya hanya ada bayangan Kevin—wajahnya yang marah, raut kecewa di matanya, masa depan mereka yang bisa hancur berkeping-keping. Ada juga kariernya, yang ia bangun mati-matian, nyaris dipastikan berakhir mengenaskan bila Bima benar-benar menepati ancamannya. Ia tahu pilihannya tak banyak, tak ada jalan keluar lain. Lidia sadar betul, satu-satunya cara hanyalah menyerah pada permainan Bima yang kotor, dan menjijikkan… namun anehnya, ada secuil rasa lain, sesuatu yang menggoda, sebuah desakan impulsif yang entah dari mana asalnya. 

Bima tak membuang waktu. Dengan langkah santai tapi pasti, ia mendekat, menjembatani jarak yang memisahkan mereka. Tangannya yang besar, panas, mencekal dagu Lidia, mendongakkan wajahnya. Ia tak memberi pilihan selain tatapan mata mereka bertemu. Sorot mata Bima tajam, haus, dan penuh dominasi.

“Kau ingat malam itu?” bisiknya, suaranya jauh lebih rendah dari sebelumnya, seolah sedang bercerita sebuah rahasia gelap. Napas hangatnya menerpa wajah Lidia. “Saat kau mabuk… tubuhmu menyerahkan segalanya padaku.”

“Aku—aku tidak ingat,” suara Lidia pecah, gemetar tak terkendali. Ia berharap dia berbohong, berharap kenangan buruk itu hilang selamanya, meski tahu jauh di dalam lubuk hati bahwa ia memang ingat samar-samar.

Bima menyeringai, senyum kecil yang terlihat mengerikan di bawah pencahayaan redup. Perlahan tapi pasti, ia menempelkan keningnya ke kening Lidia. Jarak di antara mereka tak lagi ada. “Maka aku akan membuatmu ingat lagi,” bisiknya lagi, napasnya bercampur bau maskulin. “Kali ini tanpa alkohol. Hanya kau dan aku.”

Tanpa peringatan, bibirnya menghantam bibir Lidia—keras, brutal, tanpa romansa sedikit pun. Itu bukan ciuman, melainkan penaklukan, sebuah deklarasi kepemilikan yang dingin. Lidia menegang, berusaha menahan, ingin sekali menjauhkan wajahnya. Tapi genggaman Bima di tengkuknya menolak setiap upaya melarikan diri, seolah mengikatnya erat di sana. Lidahnya mendesak masuk, memaksa, menjarah, tak peduli pada perlawanan lemah Lidia. Lidia terengah, tubuhnya bergetar dan menolak mati-matian. Tapi, anehnya, di tengah perlawanan itu, sesuatu di dalam dirinya runtuh. Ada bagian yang menyerah, bagian yang berbisik: ini demi Kevin… demi masa depan kita.

Tangan Bima dengan berani meraba pinggang Lidia, lalu menarik jas putih yang masih ia kenakan. Terdengar bunyi robekan kain yang tipis dan cepat saat Bima merobek kainnya satu per satu, tak memberi jeda sedikit pun.  Bima tak memberi ruang, tak memberi kesempatan untuk berkata “jangan” atau “berhenti.” Dengan kasar, ia menyeret tubuh Lidia ke ranjang, menekannya hingga punggungnya menempel pada seprai dingin. Tubuhnya terbaring, tak berdaya.

“Lihat aku,” perintah Bima, keras dan tak terbantahkan.

Lidia, dengan mata terpejam kuat, perlahan membuka matanya. Air mata menetes, membasahi pelipis. Namun, di balik rasa takut dan ngeri yang pekat, ada percikan aneh yang ia benci pada dirinya sendiri: rasa pasrah yang begitu dalam, rasa ingin semua ini cepat selesai, bahkan… rasa ingin tahu yang samar, menakutkan, sekaligus tidak masuk akal.

Bima tidak berhenti. Tangan besarnya merobek bra tipis Lidia, tak menyisakan sehelai kain pun yang menutupi bagian atas tubuhnya. Pay*d*ranya yang telanjang terbuka di bawah cahaya redup. Tanpa ampun, ia menggenggamnya kasar, lalu menghisap, menggigit, hingga Lidia terisak pelan. Sensasinya campur aduk: sakit, tapi juga anehnya, ada sensasi lain yang menggelitik perutnya.“Mas… jangan—” suara Lidia sangat lemah, nyaris tak terdengar“Diam,” bentak Bima, tanpa menatap Lidia. Bibirnya kembali menutup pay*d*ranya. Ia menggigitnya lebih keras lagi, dan Lidia mendesis pelan. “Kau tahu kau butuh aku.”

Celana Lidia melorot dengan gerakan cepat, diikuti oleh celana Bima yang ia singkirkan begitu saja ke lantai. Lelaki itu menunduk, menatap Lidia dengan tatapan haus dan beringas yang membuat darah Lidia seolah membeku di uratnya.

“Sekarang kau tidak bisa lari,” katanya, menghela napas kasar. “Aku akan pastikan jejakku tertanam di tubuhmu. Tak ada yang bisa menghapusnya.”

Ketika tubuhnya menyatu dengan Lidia, dorongannya sangat keras, tanpa kompromi, tanpa kelembutan sedikit pun. Lidia terpekik, tubuhnya melengkung menahan rasa sakit yang bercampur dengan sesuatu yang sangat membingungkan. Napasnya tersengal, tangannya mengepal sprei di bawahnya, kuku-kukunya memutih. Air mata bercampur peluh mengalir di wajahnya.

“Bima….” desisnya, entah sebagai protes atau pengakuan, suaranya samar.

Bima menunduk, bibirnya menggigit lehernya hingga meninggalkan bekas merah keunguan. Sebuah jejak nyata yang baru saja ia tinggalkan. “Sebut namaku lagi,” geramnya di telinga Lidia, suaranya rendah dan menggetarkan. Dorongannya semakin dalam, berulang, brutal. Setiap hentakan itu seperti menancapkan cap kepemilikan yang kuat.

Lidia menangis, sesenggukan, namun tubuhnya justru bergetar dalam sensasi yang tak bisa ia tolak, sesuatu yang baru dan menyeramkan. Kepalanya penuh dengan suara Kevin, raut wajahnya yang ia hafal mati. Tapi di saat yang sama, tubuhnya, indranya, seluruh sarafnya, terasa penuh dengan Bima. Dilema itu mengoyaknya, cinta dan kesetiaan yang rapuh pada Kevin, berhadapan dengan kuasa dan kenikmatan gelap yang menghancurkan segalanya. Ia benci pada dirinya yang bisa merasakan hal aneh itu.

Akhirnya, dengan suara serak, ia mengucapkan sesuatu yang membuat jiwanya sendiri seakan terbelah dua.

“Bima… tolong… jangan berhenti.”

Itu bukan sekadar permintaan.  Ia sadar—ia memang memilih jalan ini, memilih kenistaan ini, demi melindungi Kevin, demi menjaga kariernya tetap ada. Meski untuk itu, ia harus menanggung beban kenangan yang akan menghantuinya seumur hidup.

Bima tersenyum puas, napasnya memburu. Kemenangan jelas terpancar di seluruh wajah dan tindakannya. “Bagus, Lidia,” katanya, penuh keangkuhan. “Sekarang kau sudah tahu tempatmu. Bersamaku.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 25 Insiden IGD

    Ruang IGD yang semula lengang, mendadak riuh. Jeritan pilu membelah keheningan. Monitor pasien berbunyi nyaring, mengiris suasana yang sebelumnya tenang.“Ada apa itu?” Perawat Dedi sontak menoleh, matanya membesar melihat kekacauan di bilik itu.Seorang wanita paruh baya meraung histeris, disusul suara tangis dan makian. “Anakku! Ya Tuhan, Erlan kenapa? Erlan!”Seketika, ruangan itu dipenuhi kepanikan. Monitor pasien di bilik Erlan menunjukkan garis lurus panjang, alarmnya meraung mengerikan. Beberapa perawat langsung berlari.“Ayo, tolong mundur, Pak, Bu! Mohon kerja samanya! Keluarga pasien harap menunggu di luar, beri kami ruang untuk bekerja!” seru Perawat Rido. “Cepat siapkan alat-alat! Erlan arrest!” teriak seorang perawat lain dari dalam bilik, menggenapi kekalutan yang ada.Dari kejauhan, dua sosok berjas dokter bergegas melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kevin dan Gerald. Wajah mereka nampak panik, tercetak jelas kekhawatiran yang mendalam. Tanpa basa-basi

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 24 Ancaman Bima

    Udara di kamar itu tiba-tiba terasa tebal, membebani setiap helaan napas Lidia. Matanya terpaku pada Bima yang menatapnya dengan intensitas mematikan, sorotnya bagai magnet yang menarik semua kekuatannya.Napas Bima yang teratur dan hangat di kejauhan terasa seperti bara yang merayap di kulitnya, namun di waktu yang bersamaan, hawa ancaman darinya terasa sedingin pisau belati. Internship yang ia kira akan menjadi akhir dari satu fase kehidupannya, ternyata malah menjadi awal dari ikatan gila yang tak pernah ia bayangkan. Ikatan yang kini terasa membakar sekaligus membelenggu dirinya erat-erat."Kau tidak serius, kan, Mas?" Suara Lidia terdengar seperti pecahan kaca, tipis, nyaris tenggelam dalam desah napasnya sendiri yang tak beraturan. Bima tersenyum—senyum mematikan yang selalu berhasil merobek setiap pertahanan Lidia lapis demi lapis, membuatnya luluh dan tak berdaya. Bima bukan sekadar seorang pria baginya—ia adalah dr. Leo Bima Adnyana, kepala rumah sakit besar ini, figur yang

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 23 Titik Lemah

    Udara di apartemen mewah itu terasa sesak, membebani setiap tarikan napas Lidia. Jemari Bima masih menjelajahi punggungnya yang terbuka, sentuhan yang kini terasa seperti rantai, bukan belaian."Kevin telah membaui hubungan kita." Suara Lidia terdengar bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak tertangkap, "Mungkin ini waktunya kita saling mengambil jarak." Ia menghela napas dalam, aroma sampo Lidia memenuhi indra Bima.Bima mendengus pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Begitukah?" ia balik bertanya, melanjutkan ciuman ringan di antara tulang belikat Lidia. Suaranya rendah, sarat otoritas yang tak terbantahkan. "Keinginanmu, atau kau ingin melindungi kita?"Lidia menegang. Kalimat Bima menusuk tepat pada inti kegelisahannya. Ia membalikkan badan, menghadapi wajah tampan Bima yang kini menatapnya dengan intensitas yang tak bisa ia hindari. Mata Bima gelap, seperti lautan dalam yang menyembunyikan badai."Kau adalah Ketua Dewan Etik, dokter Bima." Lidia berucap, penekanan

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 22 Sebuah Konspirasi

    Sementara bisikan gosip soal karma Bima masih ramai di kalangan residen dan internship—tentang kasusnya di masa lalu yang entah kenapa kini ramai dibahas lagi—di sebuah ruang kosong tak terpakai di lantai atas rumah sakit, suasana justru terasa tegang. Tiga sosok dokter senior – Dr. Rukmana, Dr. Surya, dan Dr. Raditya – duduk melingkar dengan serius. Obrolan mereka bukan soal karma yang datang sendiri, tapi bagaimana cara menciptakannya."Oke, cukup sudah main santainya," Dr. Surya memulai, nadanya rendah tapi penuh tekad. Ia meletakkan secangkir kopi yang sudah dingin di meja. "Kita harus cari celah untuk si Bima itu.""Betul," sahut Dr. Raditya, sambil mengelap kacamata. "Dia kan bukan Superman. Pasti punya sisi lemah, selain isu lama soal sejarah dan kepemilikan saham rumah sakit ini yang selama ini dia mati-matian tutupi."Dr. Surya menyeruput sisa kopi. "Begini... kudengar, ia sedang mendekati salah satu anak internship."Jantung Dr. Rukmana sontak berdebar. Pikirannya langsung m

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 21 Strategi Kevin

    Semua kenangan itu berputar seperti film yang diputar ulang di benak Kevin. Dari cerita Kakeknya, ayahnya, hingga desas-desus di balik pintu rumah besar mereka di Paris. “Sumpah deh, kalau Kakek sama ayahku bisa begitu gampangnya ngelepasin orang-orang yang mereka cintai cuma demi karier, harta, atau bahkan ego kosong mereka, aku enggak akan pernah kayak gitu. Aku nggak akan melepaskan Lidia untuk Bima,” gumam Kevin pelan, suaranya tercekat. Resolusinya kali ini kuat sekali, membara di dalam dada, berbeda dari gumpalan dilema yang sering menyelimutinya.Tapi, pikiran lain menyelinap masuk, lebih mengganggu dan membangkitkan kecemasan. “Tunggu… Bima? Kenapa nama ini familiar banget?” Alis Kevin berkerut, tangannya otomatis memijat pelipisnya. “Apakah Bima… ini Bima yang sama yang sering Ibu ceritakan? Atau Bima yang lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogotinya. Otaknya bekerja keras menyambung kepingan informasi yang tersebar, seperti detektif yang menemukan petunjuk krusial di TKP

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 20 Kasih Seorang Ayah

    Tangan-tangan takdir kadang terlalu kejam merenggut kedamaian, bahkan untuk sekadar kebahagiaan sepasang ayah dan anak. Hari itu, angin kemarau di Jakarta terasa menyesakkan, tidak hanya di luar, tetapi juga di dalam ruang kerja dr. Asri yang steril. Sebuah atmosfer tegang menyelimuti mereka—mantan suami istri dan putri mereka—seolah udara di ruangan itu dipenuhi bubuk mesiu, siap meledak oleh percikan terkecil.Dr. Rafael Irwanto berdiri kokoh di hadapan dr. Asri, matanya memancarkan kesedihan mendalam sekaligus tekad membaja. Posturnya masih tegap, mencerminkan keturunan bangsawan yang menjunjung tinggi harga diri. Sementara itu, di dekat pintu, Riana yang berusia delapan belas tahun berdiri, meremas tas tangan di genggamannya, napasnya tertahan. Kata-kata kasar Asri masih mengiang, menusuk luka hatinya yang baru saja merasakan kegagalan pahit ujian masuk fakultas kedokteran."Aku akan membawa Rian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status