MasukMobil Kevin melaju kencang menembus malam, mesinnya menderu ganas, seakan mencerminkan gejolak dalam hati pemiliknya. Jalanan aspal basah berkilau memantulkan lampu kota yang kabur, namun di dalam mobil, suasana jauh lebih pekat dan mencekam. Lidia tersentak setiap kali mobil melesat di tikungan, cengkeramannya pada seatbelt menguat. Panik dan takut menjadi dua tamu tak diundang yang mengisi benaknya, menggerogoti ketenangan yang coba dipertahankannya mati-matian. Dia melirik Kevin di kursi kemudi, yang wajah tampannya kini berubah gelap, menakutkan, seperti ada bayangan yang hinggap dan enggan beranjak. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menatap ke depan, tapi terasa menembus sampai ke dalam jiwanya."Aku akan kau bawa ke mana, Kevin?" tanya Lidia, suaranya bergetar tipis, nyaris tak terdengar di antara deru mesin dan irama jantungnya yang berdebar kencang. Ia mencoba menenangkan diri, tapi rasanya sia-sia saja. Kevin seolah berubah menjadi orang lain, bukan lagi Kevin yang ceria d
Sore itu, Lidia benar-benar nggak punya muka buat pulang ke rumah Bima. Bukan karena gimana-gimana, tapi dia belum siap sama drama perpisahannya dengan Kevin atau pertanyaan bertubi-tubi soal status perkawinannya dengan BIma. Makanya, daripada bikin masalah di rumah, dia memutuskan langsung meluncur ke tempat favoritnya kalau lagi galau: kosan Wulan.Begitu sampai, Wulan lagi asyik ngegelesor sambil nonton drama Korea dengan ditemani semangkuk besar keripik kentang. Melihat Lidia nongol di depan pintu, kaget campur heran deh ekspresi temannya itu.“Woy! Kirain udah melenggang aja kau ke rumah mertua! Ada apaan nih mendadak nyangkut di sini?” Wulan bertanya sambil menyerahkan keripik kentang.Lidia nyengir kecut. “Mertua mata kau! Yang ada malah mau melenggang ke jurang, tau nggak sih. Eh, aku cerita nih ya. Gila banget sih Wulan, aku tuh barusan ketemu keluarganya Kevin.”“Oh ya? Gimana? Asyik nggak mereka? Ibu Kevin ramah nggak?” Wulan mulai kepo sambil menepuk kasur di sebelahnya,
Suara pecahan vas bunga keramik Ming yang mahal di lantai marmer terasa memekakkan telinga, bergema menyedihkan di ruang tamu megah itu. Namun Kevin sudah tidak peduli. Seluruh dunia dan kemewahan yang selama ini menaunginya seolah runtuh saat itu juga. Aura wibawa rumah besar yang sunyi ini kini pecah oleh amarah yang menggelegak dari dirinya. Ia tak lagi memedulikan hierarki, etika, apalagi kehadiran kedua orang tuanya, Riana dan Darren, yang mematung di sampingnya dengan ekspresi tak percaya.Mereka menyaksikan Kevin meledak seperti bom waktu yang akhirnya hancur lebur di depan bingkai foto kecil di meja konsol jati Jepara itu. Sebuah foto pernikahan. Bukan sembarang pernikahan. Itu adalah pernikahan Lidya, gadis yang selama ini Kevin anggap kekasihnya, masa depannya, cinta sejatinya. Dan pengantin pria di sampingnya adalah Bima, pamannya sendiri. Seolah gravitasi telah menghilang dari semesta Kevin, dunianya serasa jatuh bebas tak berdasar. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? B
Kegelisahan Bima hari itu memang sudah mencapai puncaknya. Entah kenapa, firasat buruk selalu menghantui pikirannya sejak bangun tidur. Ia berdiri di teras rumahnya yang luas, menikmati semilir angin pagi sambil berusaha mengabaikan obrolan orang-orang di dalam tentang diskusi warisan yang rumit. Tangan Bima menggenggam ponselnya erat. Baru beberapa menit lalu, Vito mengirimkan setumpuk foto yang sukses membuat rahangnya mengeras.Foto-foto Lidya, bersama Kevin dan, sialnya, juga Riana. Seperti itu belum cukup, Alvin baru saja menelepon, memberikan update tentang manuver berbahaya Surya yang mulai bergerak di bawah tanah, mengincar sesuatu. Bima memutus sambungan teleponnya dengan ketus. Keputusannya sudah bulat: ia harus melindungi Lidya, dan juga dirinya sendiri, dari siapapun yang mencoba mengusik kedamaian mereka.Saat Bima hendak melangkah kembali masuk untuk menyusun strategi, tiba-tiba sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam mengkilap berhenti mulus di depan gerbang. Dari dalam
Koridor rumah sakit yang remang-remang itu terasa mencekik Dr. Alvin. Lampu neon di langit-langit berkedip-kedip redup, seolah kesulitan mempertahankan sinarnya. Jantungnya berdebar kencang, menabuh irama alarm berbahaya yang jarang sekali ia dengar dalam karirnya yang tertata rapi. Wajahnya, yang biasa terkontrol dan tenang, kini berhias lapisan tipis kepanikan yang sulit disembunyikan. Kata-kata Wulan yang baru saja didengarnya, "Mereka mencari tahu siapa istri Dokter Bima yang sesungguhnya," terus berputar-putar, memenuhi otaknya dengan pikiran kalut dan cemas yang mendalam."Wulan," ujar Dr. Alvin pelan, suaranya tertahan, memastikan tak ada satu pun telinga lain yang mendengar obrolan genting mereka. Ia menarik gadis itu sedikit menjauh dari lalu-lalang yang sesekali lewat. Ada sesuatu yang tak boleh terungkap. "Terima kasih banyak atas informasimu ini. Tapi, sungguh... ini... ini seharusnya tidak kau ketahui sama sekali. Informasi ini terlalu berbahaya."Wulan mengangguk cepat,
Ruang rapat terselubung di lantai dua rumah sakit itu selalu terasa punya atmosfer khusus. Dingin, hening, dan seolah setiap kata yang terucap di dalamnya punya bobot berlipat ganda, dibungkus lapisan intrik yang tak terlihat. Dindingnya yang kedap suara memastikan kerahasiaan maksimal, menciptakan gelembung obrolan yang terputus dari dunia luar. Di meja oval modern yang didominasi warna abu-abu gelap, Dr. Surya, Dr. Raditya, dan Dr. Rukmana sedang berkumpul dalam lingkaran cahaya dari lampu gantung minimalis. Wajah mereka serius, tegang, selayaknya tengah membahas sebuah operasi besar atau diagnosis penyakit langka.Layar tablet di tengah meja menampilkan beberapa foto yang jelas-jelas dikirim secara rahasia—bidikan jepretan dari jauh, mungkin diambil oleh tangan seorang paparazi atau mata-mata amatir. Namun, isinya tidak terbantahkan: Lidya, internship yang sering jadi buah bibir di kalangan mereka, tampak sedang tertawa lepas. Di depannya duduk Kevin, dan di sampingnya ada Riana. P







