“Mbak, tolong jangan katakan apa pun, kalau Om Adrian bertanya tentangku,” pinta Nada yang terlihat sangat panik.
Ratna baru saja mendapati panggilan dari anak angkat Eva. Dia pun segera mengangkat panggilan tersebut, sambil mata sembabnya terus memperhatikan Nada.
“Halo, Mas,” sapa Ratna pada Adrian.
“Mbak Ratna, apa benar Nada dan Mbak sedang di luar negeri?” tanya Adrian tanpa berbasa-basi.
“Iya, Mas. Kenapa Mas Adrian bisa tahu?” Kini Ratna kembali melempar pertanyaan.
Sedangkan Nada yang sedang berada di hadapan Ratna, menunjukkan ekspresi wajah yang harap-harap cemas.
“Mama yang memberi tahuku. Kalau boleh tahu, Nada berkuliah di mana?” tanya pria itu lagi.
Ratna tak segera menjawab, dia semakin menatap intens pada Nada. Seolah tahu dengan gestur dari Ratna, Nada pun menggeleng.
“Maaf, Mas, tapi Nada meminta saya untuk tidak memberi tahu siapa pun. Sepertinya Nada tidak ingin diganggu, dia ingin fokus kuliah,” jawab Ratna beralibi.
Entah Adrian akan percaya atau tidak dengan jawaban Ratna. Karena wanita itu pun sedikit merasa bahwa jawabannya terksesan dipaksakan.
“Tapi Mas Adrian tidak perlu khawatir, saya akan terus menjaga Nada,” imbuh Ratna.
“Baiklah, Mbak. Saya titip Nada pada Mbak Ratna, ya. Kalau ada sesuatu yang terjadi pada Nada, Mbak jangan sungkan untuk menghubungi saya seperti biasa,” pesan Adrian.
Terdengar laki-laki itu seperti seolah mengalah.
“Baik, Mas,” pungkas Ratna, lalu panggilan itu pun berakhir.
Melihat Ratna tidak memberikan informasi apa pun pada Adrian, Nada menghela napas lega.
Di sisi Ratna—ketika melihat sikap Nada—dia merasa ada sesuatu yang aneh dari majikannya itu. Seberepa banyak hal yang Nada sembunyikan dari orang-orang?
Tiba-tiba saja sebuah pemikiran gila terlintas di benak Ratna. Karena melihat sikap Nada yang seolah menghindar dari Adrian. Padahal Ratna tahu, kalau Nada sangat dengan dengan paman angkatnya itu. Akan tetapi, dengan cepat Ratna menggeleng, mencoba menepis pikiran buruknya pada Nada dan juga Adrian.
***
Enam tahun kemudian.
“Mbak, aku pulang sedikit terlambat. Boleh kah aku meminta tolong untuk menjemput Deven dari tempat les?” tanya Nada pada Ratna dalam panggilan telepon.
“Iya, Nada,” jawab Ratna.
“Tolong sampaikan maafku pada Deven. Padahal hari ini aku berjanji untuk mengajaknya menonton film,” ucap Nada dengan nada bicara yang terdengar sendu.
Setelah lulus kuliah, Nada tidak memiliki niat untuk pulang ke negara asalnya. Dia sudah terlalu nyaman tinggal di negara ini. Hati dan jiwanya benar-benar merasa tenang. Bahkan kesehatan mentalnya pun sudah berangsur membaik.
Ketakutan Nada pada Adrian perlahan berkurang. Biasanya untuk sekedar berkirim pesan saja Nada enggan. Namun, sekarang sesekali dia memang selalu membalas pesan Adrian. Walau, dia sepertinya masih enggan untuk bertemu, bahkan mendegar suara pria itu saja rasanya masih belum bisa.
“Kalau nanti Deven masih menagih untuk menonton film, biar Mbak yang temani dia,” balas Ratna yang memberikan solusi agar Nada tidak kebingungan.
“Ah, makasih banyak, ya, Mbak. Maaf aku dan Deven selalu merepotkan Mbak.”
“Mbak tidak suka mendengar kamu berbicara seperti itu Nada. Ini sudah menjadi tugas Mbak. Sudah cepat kembali bekerja, agar kamu bisa cepat pulang dan menemui anakmu,” pungkas Ratna.
Kemudian panggilan telepon itu pun berakhir.
“Ah, kenapa aku bisa salah membuat laporan?” desah Nada kesal.
Entah kenapa, setiap Nada memiliki janji dengan Deven pasti selalu saja ada halangan. Ini adalah kali ketiga Nada batal menepati janji pada anaknya sendiri.
Ya, Deven Pranadipta Hartanto adalah anak dari Nada dan hubungan di malam terlarang bersama Adrian. Sampai detik ini hanya Nickolah yang mengetahui siapa ayah biologis dari Deven. Bahkan Ratna pun masih belum mengetahuinya. Nada memang pintar menetupi aibnya sendiri.
Setelah dua jam berkutat dengan laporan, akhirnya Nada bisa menghela napas lega. Pekerjaannya selesai dan dia segera merapikan meja kerjanya. Tak berlama-lama Nada pun segera pulang ke apartemennya.
“Deven mana, Mbak?” tanya Nada yang baru saja tiba di kediamannya.
“Di kamar. Dia marah,” jawab Ratna.
Helaan napas terdengar dari mulut Nada, bahkan kini bahunya melemas. Sesuai dugaannya, Deven pasti kecewa dan dia tidak bisa untuk dibujuk lagi. Karena ini adalah kali ketiga Nada tidak bisa menepati janjinya.
Dengan perlahan Nada menghampiri kamar anaknya, lalu mengetuk pintu yang berwarna cokelat.
“Deven, ini Mama, Sayang,” sapa Nada dengan suara yang sangat lembut, “Mama izin masuk, ya,” imbuhnya.
Tidak ada jawaban apa pun dari Deven. Perlahan Nada pun memasuki kamar anaknya yang tidak terkunci itu.
Nada melihat anaknya sedang duduk di kursi meja belajarnya. Jika sedang kesal, anaknya ini pasti akan melampiaskan dengan aktivitas mewarnai.
“Sayang,” sapa Nada sambil mengalungkan tangannya pada tubuh Deven.
Dengan cepat Deven menyingkirkan tangan Nada dari tubuhnya. Nada kemudian berjongkok di sisi kursi anaknya.
“Sayang. Deven marah sama Mama?” tanya Nada.
Anak laki-lakinya itu mendelik ke arah Nada, “Menurut Mama?” balasnya.
“Maafkan Mama, Sayang. Mama ada pekerjaan mendadak yang ti—”
“Deven bosan dengar alasan Mama,” sela anaknya itu.
Anak laki-laki itu masih berumur lima tahun, tapi dia benar-benar pintar dalam berbicara.
“Baiklah, Mama memang salah. Mama tidak akan melakukan pembelaan apa pun. Maafkan Mama karena terus membuatmu kecewa.”
“Ya.”
Deven tak banyak berbicara. Dia sibuk dengan crayon berwarna merah yang sedang dia gesekkan di atas sebuah kertas.
“Deven mau memaafkan Mama?” tanya Nada lagi.
“Ya.”
Sungguh irit sekali jawaban dari anak Nada itu. Hati Nada merasa sakit, ketika mendapati sikap dingin anaknya ini.
“Terima kasih, Sayang. Mama janji kedepannya kita akan bermain bersama,” ujar Nada.
“Tidak usah berjanji apa pun, Ma. Janji Mama tidak pernah sekalipun ditepati.”
Ya Tuhan, kenapa anak ini sangat pintar sekali berbicara? Setiap kata yang keluar dari mulut anak tersebut sukeses membuat hati Nada terasa dicubit. Namun, Nada tak bisa menyalahkan Deven. Karena yang memulai permasalahan terlebih dahulu adalah dirinya.
“Deven,” desah Nada frutrasi. Dia masih tertunduk lesu di samping anaknya.
Saat keheningan menyapa di antara mereka, suara dering telepon dari saku celana Nada pun memecah suasana. Dia pun segera merogoh saku dan mengambil ponselnya.
“Nenek?” gumam Nada, saat mendapati nama Eva di layar ponselnya.
Dengan cepat Nada mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, Nek, ada apa?” tanya Nada.
“Nada?”
Deg.
Jantung Nada seolah berhenti berdetak. Kepalanya terasa limbung, sampai dengan cepat dia langsung meraih kursi yang sedang di duduki Deven.
Mata Nada membulat maksimal, dan tubuhnya mulai merasa bergetar. Suara itu, suara yang tidak ingin Nada dengar. Setiap mendengar suara itu memanggil namanya, seketika kejadian enam tahun lalu kembali muncul di benaknya.
“Nada ini Om Adrian. Bisakah kamu pulang ke Indonesia? Nenek masuk ICU.”
BERSAMBUNG ....
Sebelum masuk ke dalam ruang persalinan, Adrian diharuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu. Setelah itu dia segera masuk dan mendapati istrinya sedang merintih kesakitan.“Sayang!” seru Adrian segera menghampiri sang istri.Peluh sudah membasahi wajah Nada. Bahkan rambutnya pun terlihat basah oleh keringat yang sudah membanjiri tubuhnya. Adrian langsung menggenggam tangan Nada, yang sebelumnya ditemani oleh seorang perwat.Matanya menatap Nada yang nampak sedang berjuang menahan rasa sakit. Hatinya merasa tak tega, melihat istrinya begitu berjuang dengan susah payah untuk melahirkan nyawa baru yang akan menjadi warna tersendiri dalam kehidupan mereka.“Sayang, kamu bisa. Aku ada di sini,” bisik Adrian.Mendapatkan motivasi seperti itu, Nada merasa senang. Namun, dia tidak bisa menunjukkan dengan ekspresi wajahnya.“Ibu, sedikit lagi. Ini kepalanya sudah keluar,” kata sang dokter.Adrian melihat ke arah sang dokter yang membimbing persalinan istrinya.“Ayok, Bu. Sepertinya keda
Nada sudah diizinkan untuk pulang. Kondisi kehamilannya sangat amat baik, janinnya pun terlihat sehat dan sudah diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja Nada masih merahasiakan hal ini pada suaminya.“Sudah semua, Mbak?” tanya Nada.“Sudah.” Ratna baru saja mengunci pintu apartemen yang menjadi tempat singgah mereka selama di negara ini.“Baik, ayo kita berangkat. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Deven,” kata Nada.Ratna mengangguk, lalu tersenyum. Hari ini mereka akan pulang ke Indonesia. Sayangnya Adrian tidak bisa menjemputnya, karena ada agenda bisnis yang tidak bisa dia hindari.Selama beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pulang dan disambut hangat oleh Deven dan Eva yang sudah menunggu mereka. Terlihat nenek dari Nada itu sudah menanti kedatangan cucunya.“Kamu sehat, Nada?” tanya Eva, yang masih terlihat segar, walau kondisinya harus selalu duduk di kursi roda. Usianya yang sudah senja, membuat kesehatannya menurun.“Sehat, Nek. Nenek bagiamana?” tanya Nada sambil m
Sekarang mereka sedang berada disebuah restoran mewah. Mereka hendak makan malam bersama, menikmati makanan khas dari negeri gingseng. Namun, belum juga makanan tiba, Nada sudah izin untuk ke toilet.“Mamamu kenapa, Dev? Apa dia sakit?” tanya Adrian.Deven menggeleng, “Tidak tahu, Pa. Padahal biasanya tidak apa-apa.”Adrian menyipitkan matanya, tiba-tiba saja dia merasa sedikit ada yang janggal dengan istrinya. Sampai akhirnya Nada kembali dari toilet, dan Adrian tak lepas memandang Mitha. Bahkan saat makanan tiba dan mereka makan malam pun, Adrian terus memandang Nada.“Sudah selesai?” tanya Adrian, saat makana di hadapan mereka sudah habis.Nada dan Deven mengangguk. Adrian pun mengangkat tangannya, tak lama kemudian seorang pelayan perempuan mendatangi Adrian. Dia pun meminta tagihan atas makannya.“Silakan, Pak,” kata pelayan itu dengan bahasa Korea.Adrian menerima sebuah bill holder berwarna hitam. Namun, ada yang aneh dari barang itu, karena terlihat ada yang mengganjal. Hanya
“Mama! Sepatu boots aku di mana?” teriak Deven pada sang ibunda.“Sudah Mama masukkan ke dalam koper, Sayang. Kamu pakai sepatu cats aja, ya,” timpal Nada, yang sedang menarik kopernya keluar dari kamarnya.Adrian terlihat mengekor Nada dari belakang, “Ini jaket tebal dan syal tidak sekalian masuk ke koper, Ma?” tanya Adrian, yang menenteng sebuah tas kecil yang berisi barang yang dikatakannya.“Tidak usah. Sampai Korea pasti kita butuh pakaian hangat. Di sana sedang musim dingin,” jawab Nada.Ya, keluarga bahagia ini hendak menuju negeri gingseng. Semenjak menikah, mereka belum sempat berbulan madu. Karena Adrian masih disibukkan dengan urusan pekerjaan.Di akhir tahun ini, Adrian memang sudah merencanakan untuk berlibur ke negara Korea Selatan bersama dengan orang yang dicintainya.“Nada, sudah tidak ada yang tertinggal, bukan?” Eva muncul dengan kursi rodanya. Mengingatkan pada Nada tentang barang yang dia bawa.Nada menoleh dan langsung tersenyum pada neneknya, “Tidak ada, Nek sem
Wajah Adrian dan Nada kini merah seperti kepiting rebus. Bagaimana bisa, mereka sedang bermesraan dan ketahuan oleh anak yang masih di bawah umur.“Ah … itu,” ucap Nada gelagapan. Dia melirik ke arah Adrian, memberikan isyarat untuk menjelaskan apa yang barusan kita lakukan tadi.“Mama jangan malu begitu. Ini bukan pertama kali aku melihat kalian seperti itu, kok,” aku Deven.Anak itu berjalan menghampiri ayah dan ibunya, yang sebentar lagi akan menikah secara sah.Mendengar pengakuan Deven, tentu membuat mata Nada membulat maksimal. Rasa malu kini mulai menjalar di sekujur tubuhnya.“Bukan pertama kali? Berarti sebelumnya pernah?” tanya Nada.Deven mengangguk, lalu masing-masing tangannya memegang tangan Nada dan Adrian.“Aku senang kalian bisa menikah. Aku senang, karena nanti aku punya papa asli!” ucapnya dengan wajah yang berbinar. Menatap Nada dan Adrian secara bergantian.“Akhirnya Mama tidak sendiri lagi nanti. Mama dan Papa akan sama-sama membesarkan aku. Walau kemarin aku sem
Nada membelalakan mata, tatkala Adrian berkata demikian di depan publik. Dia ingat, kalau Adrian memang berniat untuk menikahinya. Namun, Nada tidak berekspektasi akan secepat ini. Apalagi ditambah cara dia melamar Nada di depan banyak orang. Tentu saja respon para audiens terlihat senang. Mata mereka nampak berbinar, lampu flash pada kamera juga tak henti-hentinya menyala. Tangan mereka sibuk dengan papan ketik pada keyboard-nya masing-masing. “Bagaimana, Nada?” tanya Adrian, yang menunggu jawaban dari wanita yang saat ini ada di hadapannya, “mau kah kamu menikah denganku?” Sekali lagi, Adrian memperjelas ucapannya. Khawatir Nada lupa dengan apa yang dikatakannya. Karena hampir lima menit Nada melongo, menatap Adrian. Seketika Nada mengerejap, lalu dia melirik ke arah audiens. Nampaknya mereka sama penasaran seperti Adrian. Bibir Nada mendadak terasa kering, dia pun menjilatnya. Irama detak jantungnya pun sudah mulai cepat. Seperti musik dengan irama cepat dan menggambarkan musik