“Mbak, boleh tolong pijat tengkuk leherku sebentar?” pinta Nada pada asisten rumah tangganya.
“Boleh, Nada.”
Dengan sigap Ratna menghampiri Nada dan segera memijit pelan tengkuknya. Kini mereka sudah sampai di Amerika dan sedang berada di apartemennya.
“Mau Mbak belikan obat? Sepertinya kamu masuk angin, Nada.”
Dengan cepat gadis itu menggeleng, “Tidak usah, Mbak. Dipijat sebentar sama dibalur dengan minyak hangat pasti sembuh,” jawabnya.
Ratna mengangguk, walau dalam hati dia merasa sedikit ada yang aneh dari Nada.
Sejak di pesawat Nada memang sering bolak-balik ke toilet. Ratna perhatikan gadis itu sepertinya sedang tidak merasa nyaman dengan perutnya. Namun, jauh dari sebelum itu, beberapa kali Ratna pernah mendengar kalau Nada sering sekali muntah di kamar mandinya.
“Nad, kamu tidak melakukan hal aneh dengan Nicko, kan?”
Tiba-tiba saja Ratna bertanya hal demikian. Instingnya sebagai perempuan begitu kuat.
Nada menoleh sedikit ke arah belakang.
“Hal aneh apa maksud, Mbak?”
Dengan jari yang masih memijit tengkuk dan bahu Nada, Ratna menjilat bibirnya yang kering.
“Kamu sudah dewasa, Nada. Bisa saja hubunganmu dan Nicko itu melewati batas.”
Nada langsung membalikkan badan dan menatap pada Ratna.
“Apaan, sih, Mbak? Nicko bukan laki-laki seperti itu. Kami tidak melakukan apa pun,” sewot Nada.
“Maaf.” Ratna buru-buru meminta maaf pada Nada, “Mbak cuman khawatir saja. Kalau memang kalian tidak melakukan hal aneh, Mbak merasa tenang,” terangnya.
“Mbak jangan seenaknya menilai Nicko, ya. Dia bukan laki-laki seperti itu.” Emosi Nada kini mulai memanas, “ah, sudahlah aku mau istirahat. Mbak bisa istirahat di kamar sebelah.”
Nada secara tidak langsung mengusir ART-nya. Perasaannya mendadak sensitif tatkala diberikan pertanyaan seperti itu.
Saat Nada sedang sendirian di kamar. Pikirannya berkelana, dia tidak henti-hentinya mengusap perutnya yang rata itu.
Sudah tiga hari Nada tinggal di negeri paman sam. Dia masih disibukkan dengan mempersiapkan diri untuk studi berikutnya.
“Huek.”
Nada seketika memuntahkan sarapan pagi buatan Ratna. Perutnya benar-benar merasa tidak enak, saat diisi makan.
“Nada, pakai ini.”
Ratna memberikan sebuah benda yang berbentuk panjang pada Nada.
“Mbak tunggu hasilnya,” imbuh perempuan berumur 32 tahun itu.
Mata Nada menatap Ratna dengan tatapan kesal.
“Maksud Mbak apa?” serang Nada. Dia langsung menepis tangan Ratna yang ada di hadapannya.
Ratna berdecak, lalu dia meraih tangan Nada. Segera ia berikan sebuah alat tes kehamilan yang kemarin baru saja dia beli.
“Pakai ini sekarang juga. Kalau memang tidak terjadi apa-apa, seharusnya kamu tidak perlu takut.”
Nada bergeming dengan mata yang berkaca. Kedua matanya masih terasa perih, akibat dirinya baru saja muntah.
“Cepat. Mbak janji apa pun hasilnya tidak akan berbuat apa pun.”
Ratna mendorong Nada masuk ke dalam kamar mandi. Kemudian menutup rapat pintu tersebut.
Setiap hari, Ratna dihantui perasaan yang aneh. Dia merasa tidak tenang dengan kondisi Nada yang selalu saja mual dan muntah setiap harinya. Belum lagi Nada terlihat sangat lesu dan lemas.
Sementara itu, di dalam toilet, Nada masih mematung dengan benda berbentuk lonjong di tangannya. Bola mata cokelatnya itu menatap nanar benda tersebut.
“Bagaimana ini?” batinnya gusar.
Entah sudah berapa kali Nada menjilat terus bibirnya. Bahkan sekarang kakinya terus mengetuk lantai.
“Nada, sudah keluar hasilnya?” tanya Ratna dari luar sana.
“Hah?” Nada terkesiap, lalu melihat ke arah pintu. Jantungnya kini berdetak dengan cepat.
“Be-belum, Mbak.”
Sikap Nada yang tadi ketus berubah menjadi gugup. Akhirnya tak memiliki pilihan lain, Nada pun segera melakukan tes kehamilan. Kemudian setelah selesai, dia pun keluar dari kamar mandi.
“Mana hasilnya,” pinta Ratna
Dengan wajah yang ragu dan penuh rasa bersalah, Nada memberikan alat tersebut pada Ratna. Dia memejamkan matanya dalam, sambil mengatur napas. Nada sudah tahu betul hasilnya akan seperti apa, karena sebelumnya Nada pun pernah melakukan hal serupa saat masih di rumahnya.
Setelah menerima benda bewarna merah muda dari Nada, mata Ratna menyipit. Akan tetapi, sedetik kemudian kedua kelopak mata itu terbuka lebar.
“Nada?” pekik Ratna yang tidak menyangka dengan hasil yang baru saja dilihatnya.
Dua garis berwarna merah. Ternyata selama ini kecurigaan dan kekhawatiran Ratna pada majikannya itu menjadi nyata.
“Tolong rahasiakan ini, Mbak,” pinta Ratna dengan wajah tertunduk. Gadis itu merasa malu menghadapi Ratn.
“Siapa orangnya, Nada?” tanya Ratna dengan suara yang terdengar gemetar.
Ratna sudah menemani Nada sejak gadis itu berumur empat belas tahun. Sempat Ratna berhenti bekerja dari keluarga Nada, karena dia harus menikah.
Namun, saat Ratna memutuskan kembali karena keadaan, keluarga Nada menerimanya dengan hangat. Bahkan Ratna sangat ingat ekspresi Nada ketika mengetahui dirinya kembali melayani Nada.
Bagi Ratna, Nada bukan sekedar majikannya. Akan tetapi, Nada adalah adik perempuannya.
“Nada, siapa orangnya? Ayo, bilang saja sama Mbak. Mbak janji akan merahasiakannya,” bujuk Ratna.
Bagaimana pun Ratna harus tahu siapa ayah biologis dari anak yang sedang dikandung oleh majikannya ini. Sesuai dugaan Ratna, Nada memilih untuk tetap bungkam.
“Nicko, kan? Benar dia? Karena setahu Mbak, hanya Nicko laki-laki yang dekat denganmu,” tebaknya lagi.
Untuk kali ini Nada merespon dengan sebuah gelengan kepala.
“Terus siapa?”
Air mata Ratna sudah jatuh dari pelupuk mata. Dia paham sekarang, kenapa beberapa bulan lalu Nada mengalami collapse. Dia juga tahu sekarang, alasan utama Nada memilih untuk pergi meninggalkan rumah.
Sungguh hancur hati Ratna, saat mengetahui fakta pahit ini. Dia gagal melindungi Nada yang sudah dia anggap sebagai adiknya sendiri. Dia gagal menepati janjinya pada Clara, untuk bisa menjaga anak semata wayangnya.
“Nada, tolong jawab,” pinta Ratna.
Namun, perhatian mereka tiba-tiba teralihkan. Ponsel milik Ratna berdering nyaring. Sambil menyeka air mata yang sudah membasahi pipi, dia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. “Mas Adrian?”
BERSAMBUNG ....
“Mbak, tolong jangan katakan apa pun, kalau Om Adrian bertanya tentangku,” pinta Nada yang terlihat sangat panik.Ratna baru saja mendapati panggilan dari anak angkat Eva. Dia pun segera mengangkat panggilan tersebut, sambil mata sembabnya terus memperhatikan Nada.“Halo, Mas,” sapa Ratna pada Adrian.“Mbak Ratna, apa benar Nada dan Mbak sedang di luar negeri?” tanya Adrian tanpa berbasa-basi.“Iya, Mas. Kenapa Mas Adrian bisa tahu?” Kini Ratna kembali melempar pertanyaan.Sedangkan Nada yang sedang berada di hadapan Ratna, menunjukkan ekspresi wajah yang harap-harap cemas.“Mama yang memberi tahuku. Kalau boleh tahu, Nada berkuliah di mana?” tanya pria itu lagi.Ratna tak segera menjawab, dia semakin menatap intens pada Nada. Seolah tahu dengan gestur dari Ratna, Nada pun menggeleng.“Maaf, Mas, tapi Nada meminta saya untuk tidak memberi tahu siapa pun. Sepertinya Nada tidak ingin diganggu, dia ingin fokus kuliah,” jawab Ratna beralibi.Entah Adrian akan percaya atau tidak dengan jaw
Hati cucu mana yang tidak khawatir, ketika mendengar berita kalau neneknya sakit sampai harus dirawat di ruang ICU? Nada merasa seperti dihantam dua kali oleh kenyataan. Kini tangannya benar-benar bergetar hebat. Perasaannya sudah tak karuhan. Antara merasa takut dengan masa lalunya, dan takut dengan keadaan neneknya. “Mama?” panggil Deven pelan. Anak itu merasa khawatir melihat wajah ibunya yang pucat pasi. Namun, Nada langsung menggeleng dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Seketika Deven langsung diam. “Ne-nek kenapa, Om?” tanya Nada tergagap. “Tadi dini hari, Nenek pingsan di kamarnya. Setelah dicek ternyata tensi darahnya tinggi. Sekarang beliau sedang di ICU, karena sudah dua jam belum tersadar,” terang Adrian dengan suara terdengar panik. “Apa sudah dicek oleh dokter?” Nada berusaha untuk setenang mungkin. “Sudah, tapi hasil lab belum keluar,” jawab Adrian. Badan Nada terasa panas dingin. Neneknya kini sudah berumur delapan puluh tahun. Pastilah sudah terjadi penurunan
Pertanyaan yang diajukan oleh Deven, sungguh di luar nalar. Bahkan Nada sampai mematung—hampir satu menit lamanya. “Deven,” panggil Nada sambil mengelus puncak kepala putranya, “bukannya Mama sudah bilang perihal itu? Papamu sudah di Surga, Nak,” terang Nada yang tentu saja mengucapkan sebuah kebohongan.Sakit sebenarnya, ketika dia harus berbohong pada anaknya sendiri. Namun, bagaimana lagi, Nada sudah bertekad untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ayah biologis Deven. Apalagi pada anaknya sendiri. “Iya, Ma, i know. Tapi bukannya Indonesia juga surga? Aku baca di internet, kalau Indonesia itu serpihan surga. Berarti Papaku ada di sana, kan?” Mata Nada sontak membulat. Lagi, Nada dibuat tak habis pikir dengan jawaban dari putranya itu. Sepertinya memang sedikit sia-sia Nada berbohong.“Konteksnya berbeda, Sayang. Sudah, bagaimana kalau kita makan malam saja? Tadi Mama lihat Tante Ratna sedang memasak pasta kesukaan Deven.”Mendadak raut wajah Deven berubah. Anak itu merasa tid
Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu. Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik. Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan. Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya. “Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan. Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya. Nicko pun segera membalikkan badan. “Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko. Tatapan gelisah kini terpancar di
Agenda sarapan pagi bersama pun gagal. Setelah pengakuan Nada yang membuat tubuh Eva tak kuasa untuk bangkit. Wanita berumur delapan puluh tahun itu, akhirnya dibawa menuju kamar tidur.“Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanya Adrian dengan suara tegasnya.Betapa khawatirnya perasaan Adrian, ketika melihat kondisi ibu angkatnya yang harus kembali drop, akibat pengakuan Nada.“Bukannya Om harus segera menuju kantor? Ini sudah pukul sepuluh pagi,” celetuk Nada sambil melihat ke arah jam dinding.“Aku masih punya banyak waktu,” jawab Adrian cepat.“Oh, apa Om sekarang selalu bermalas-malasan dalam memimpin Victory?” sela Nada mencibir.Sontak Adrian mengerutkan kening, “Maksudmu apa, Nada?” tanyanya.Nada menarik napas pelan, lalu dengan tangan yang meremas kedua sisi tubuhnya dia berbicara, “Ini sudah jam masuk kantor. Walau pun Om memiliki banyak waktu, tapi tetap saja Om harus datang ke kantor tepat waktu.”Intonasi Nada dalam berbicara terdengar menekan. Dia berusaha untuk membangun
“Anak siapa itu?”Pertanyaan dari Keenan barusan membuat Adrian tersentak. Matanya tidak bisa berbohong, kalau pria berumur 39 tahun itu sedang merasakan kepanikan. “Dari mana Mas Keenan tahu kalau Nada sudah kembali? Dan ….” Adrian mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya, “dan dari mana Mas tahu kalau Nada tidak pulang sendirian?” “Ada informasi dari luar. Sepertinya seseorang atau mungkin banyak, sedang memperhatikan Victory. Jelas saja, karena perusahaan ini sangat sukses di industri perhotelan dan penerbangan,” terang Keenan. “Informasi dari mana, Mas?” tanya Adrian ngotot. “Orang luar. Aku tidak tahu persis, karena aku mendapatkan informasi dari istriku, Gladys. Tapi aku berpesan padamu untuk berhati-hati Adrian. Karena bisa saja rivalmu sedang mengawasi dan membuat bom waktu yang entah kapan akan meledak.”Sebagai mentor yang baik, Keenan memang sering kali memberi nasehat pada Adrian. Dia sudah menganggap Adrian sebagai juniornya yang harus dibimbing. Selain itu Keenan s
“Me-menikah?” Adrian mendadak gagap.Setelah delapan tahun bersabar, akhirnya Adrian bisa mengantongi restu dari ayah Sindy. Sudah sejak lama Adrian mengusahakan hubungan mereka untuk segera direstui. Walau Adrian sudah menjabat menjadi CEO perusahaan terkenal sekali pun, Titan masih belum memberikan restu. Pasalnya pria itu tak ingin karir anaknya terhambat. Karena pada saat itu nama Sindy sedang naik daun. Selain itu, faktor Adrian yang hanya anak angkat, membuat Titan sedikit ragu.“Iya. Apa kamu tidak mau menikahi putri saya?” Pertanyaan tersebut segera disanggah oleh Adrian. “Tidak, Om. Tentu aku akan menikahi Sindy. Secepat yang kami bisa,” jawab Adrian dengan mantap. Binar bahagia tak hanya terlihat dari wajah Adrian. Sindy pun merasa sangat senang. Namun, di detik berikutnya raut wajah Sindy berubah. “Kenapa?” bisik Adrian, yang sadar dengan perubahan raut wajah kekasihnya itu. “Ah, i-itu … tapi bisakah kamu menunggu sedikit lagi, Mas?” Nada bicara Sindy terdengar pelan.
Mobil SUV berwarna putih kini melaju kencang menuju kediaman Eva. Adrian; orang yang ada di dalam mobil tersebut, meminta supirnya untuk tidak menemaninya kali ini. Setelah bertemu dengan Kiki; jurnalis yang memang sering mencari celah kekurangan para pebisnis. Adrian merasa harus segera menyelesaikan masalah yang sempat tertunda dengan Nada. Butuh waktu sekitar sembilan puluh menit bagi Adrian untuk sampai di kediaman ibu angkatnya.“Nada di mana, Mbak Ratna?” tanya Adrian yang saat kedatangannya disambut hangat oleh Ratna. “Di kamarnya, Mas. Mau saya panggilkan?” Adrian langsung menggeleng, dia melesat menuju kamar keponakannya. Pintu jati berwarna putih diketuk dua kali oleh Adrian, “Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Di dalam kamar, Nada yang sedang fokus pada ponselnya langsung mengerejap. Matanya langsung menatap ke arah pintu kamar.“Nada, ini Om. Kita harus bicara sebentar.” Adrian kembali memanggil Nada. Kini terdengar nada bicaranya sedikit memaksa. “Ma, mau a