Satu bulan kemudian.
"Hai, Tante." Evelyn, sepupu Nayra datang berkunjung. "Hai, Lyn. Mau ketemu Nayra?" Ibu Nayra balik menegur. Evelyn mengangguk. "Nayra masih belum bangun, Tante?" "Belum keluar dari kamar, sejak kemarin dia males-malesan di kamar." "Ya udah, kalau gitu aku susulin ke kamar dulu." Evelyn kemudian bergegas ke kamar Nayra. Saat masuk, Evelyn menemukan Nayra yang masih bergumul dengan selimut. "Ya ampun," gumam Evelyn tak percaya. "Nay, Nayra. Ini udah jam berapa? Kok belum bangun? Nayra!" Evelyn beberapa kali memukul kaki Nayra. "Lyn? Ngapain ke sini?" tegur Nayra dengan malas. "Jangan bilang kamu lupa. Gaun buat nikahan kamu udah selesai, kita udah janji mau ke sana hari ini." "Kamu aja yang lihatin. Lagian ukurannya udah pas juga, kan." "Acaranya itu bentar lagi. Masa kamu yang nikah tapi aku yang cobain gaun kamu. Buruan, kamu bangun sekarang. Aku tungguin. Apa perlu aku mandiin sekalian?" Nayra mengangguk kepala dan bangkit. Tapi ia justru meraih bantal dan memeluk benda empuk itu. "Aku lagi males ngapa-ngapain." "Kamu sakit? Sakit apa?" "Cuma lemes aja, mungkin kurang darah. Dibuat istirahat juga pasti nanti enakan." "Ini aku udah janji loh sama orangnya. Masa mau dibatalin. Mereka pasti juga udah siap-siap." "Ya udah, kalau gitu kamu yang ke sana buat cek bajunya. Kan ukurannya udah jelas, besok kalau agak enakan langsung ke sana." Evelyn menghela napas. "Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Tadi mamanya Mas Julian bilang kalau undangan buat nikahan kalian juga udah jadi." Nayra mengangguk. "Cepet sembuh, aku pergu dulu." Satu bulan berlalu sejak insiden itu, Nayra tak bisa hidup dengan tenang. Ada sedikit trauma yang ia dapatkan dari pria asing yang masih kerap mengisi benaknya, siapa dan dari mana pria asing itu berasal masih menjadi teka-teki bagi Nayra. Namun, terlepas dari semua itu, Nayra memiliki masalah yang serius menyangkut masa depan rumah tangganya. "Kalau Julian tahu aku udah nggak perawan, apa dia bakal batalin pernikahan ini?" Nayra bergumam, mengeluarkan apa yang selama ini membebani pikirannya. "Harusnya aku nggak nurutin ucapan mereka. Gimana kalau sampai Julian tahu?" ••••• Evelyn kini berada di butik tempat gaun untuk resepsi pernikahan Nayra dibuat. Berdiri di depan cermin, kimi Evelyn mengenakan gaun yang seharusnya dicoba oleh Nayra. Evelyn menghadap ke kanan lalu ke kiri untuk memastikan penampilannya. "Udah, Pas." "Dadanya kayak kekecilan ya?" Si perancang gaun pengantin itu menghampiri Evelyn. "Di aku iya, tapi kalau punya Nayra kayaknya udah pas deh, Tante. Ukuran aku di atas Nayra soalnya." "Cantik banget kamu, gaunnya juga cocok di kamu. Malah kamu kayak pengantinnya." Evelyn tersenyum lebar saat pujian itu datang. "Masa sih, Tan?" "Iya... udah, kamu cepat nyusul. Nanti tante kasih diskon buat kamu." "Mau sih, Tan. Tapi calonnya yang belum datang aja." "Kalau belum datang, ya kamu panggil." Keduanya melempar tawa kecil. "Oh iya, Tan. Sekalian aku mau coba baju yang buat aku nanti." "Oh, sebentar. Tante ambilkan dulu." Wanita itu pergi dan Evelyn sekali lagi melihat bayangannya dicermin. Tampak ia mengagumi gaun yang ia kenakan saat ini. Ia kemudian pergi ke ruang ganti untuk mengganti pakaiannya. Tapi kala itu seorang pria tiba-tiba datang dari belakang dan memeluk Evelyn. Batin Evelyn tersentak, tubuhnya langsung kaku ketika posisi kedua tangan pria itu mendarat pada dadanya. "Kenapa buru-buru ganti? Aku belum liat kamu." Julian, calon suami Nayra mengira bahwa yang ada di hadapannya saat ini adalah Nayra. Senyum melukis wajah Julian ketika berpikir bahwa Nayra tak keberatan dengan posisi tangannya. Mengambil kesempatan, Julian memberikan remasan kecil yang membuat Evelyn terkejut. "Kok kayak beda ukurannya?" "Mas," tegur Evelyn dengan ragu. Julian yang kaget langsung saja mundur. "Kamu—" Evelyn berbalik dengan canggung. "Evelyn?" Tersenyum canggung, Evelyn meraba tengkuknya sendiri. "Iya, Mas. Ini aku." Julian mendadak panik. "K-kamu— maaf, tadi aku pikir kamu Nayra. Aku nggak punya maksud apa-apa. Serius, aku nggak ngenalin kamu tadi." "Nggak apa-apa kok, Mas. Ini juga aku yang salah. Aku pakai gaun ini, jadinya Mas Julian kira kalau aku ini Nayra." "Aku benar-benar minta maaf soal yang tadi." Tangan Evelyn refleks menutupi bagian atas dadanya. "Mas Julian tenang aja, aku paham kalau itu tadi cuma salah paham. Aku nggak akan bilang soal ini ke Nayra. Aku juga nggak mau sampai disalahpahami." Mendengar respon Evelyn, pria berpakaian kantoran itu menghela napas lega. Jika sampai Evelyn memperpanjang masalah ini, ia pasti akan dituduh berselingkuh dengan sepupu dari calon istrinya. "Aku benar-benar minta maaf. Tapi Nayra mana? Kok justru kamu yang pakai gaun itu?" "Jadi gini, Mas. Tadi pagi aku udah ke rumah Nayra, tapi dia kurang enak badan jadi Nayra yang nyuruh aku datang ke sini." Julian tampak heran. "Dia nyuruh kamu coba gaun ini?" Evelyn mengangguk. "Takutnya nanti ada yang kurang pas. Acaranya, kan juga sebentar lagi." Julian sejenak memperhatikan Evelyn lalu berkomentar, "bagus, cocok di kamu." Evelyn tersenyum tipis. "Kamu tadi mau ganti baju, kan? Kalau begitu saya keluar dulu." "Mas, sebentar." Evelyn menghampiri Julian. "Berhubung aku udah pakai gaun ini, aku boleh foto bareng sama Mas?" Dahi Julian sedikit mengernyit. "Sama aku?" Evelyn mengangguk. "Aku nggak tahu kapan aku bisa pakai gaun kayak gini lagi, aku mau buat kenang-kenangan kalau Mas Julian nggak keberatan. Nggak akan aku sebarin kok, cuma aku simpen sendiri." "Ya udah, ayo." "Sebentar." Evelyn keluar lebih dulu dan memanggil seorang pegawai butik untuk dimintai tolong memotret mereka menggunakan ponsel Evelyn. Saat Julian keluar, Evelyn langsung menarik tangan Julian dan mengatur posisi gaunnya. "Boleh digandeng, kan, Mas?" Julian mengangguk. Keduanya berpose layaknya sepasang pengantin meski hanya berdiri berdampingan. Dan setelah selesai, Julian langsung kembali fokus pada ponselnya. "Mas, aku ganti dulu ya." Julian mengangguk dan mendekatkan ponselnya ke telinga. "Sayang, kamu sakit?" tegur Julian begitu Nayra mengangkat panggilan. "Agak lemes aja. Kamu di mana?" "Aku di butik, ini aku ketemu Evelyn. Aku kira kamu di sini." "Kamu tahu dari mana kalau hari ini seharusnya aku ke sana?" "Evelyn yang bilang." "Evelyn." Suara Nayra terdengar keheranan. "Kamu perlu ke dokter?" "Nggak, aku istirahat aja." "Ya udah, nanti aku mampir ke rumah." "Evelyn sekarang mana?" Julian sekilas memandang ruang ganti dan menemukan adanya sedikit celah di sana sehingga ia bisa melihat Evelyn yang membuka resleting yang terletak di bagian belakang gaun. "Dia masih ganti baju. Tadi habis coba gaun kamu." Julian mendekat dan merapatkan tirai agar tidak ada yang melihat Evelyn berganti baju. "Evelyn coba gaun aku?" Julian mengangguk. "Iya, tadi katanya kamu yang minta." "Aku nyuruh dia ke sana buat liat gaunnya, bukan buat coba gaunnya." Suara Nayra terdengar sedikit kesal. Dahi Julian mengernyit, ia refleks memandang ruang ganti yang ada di sampingnya. "Bukan kamu yang nyuruh dia pakai gaun itu?" Evelyn kemudian keluar, sedikit kaget karena Julian tiba-tiba berdiri di depan pintu tirai ruang ganti. "Ya udah, nanti aku mampir-mampir. Kamu baik-baik." Julian langsung mengakhiri panggilan, ia memandang Evelyn dengan cara yang berbeda setelah mendengar penuturan Nayra. "Kenapa, Mas?" "Gaun tadi buat kamu aja." Evelyn kaget, tampak kebingungan. “Maksud, Mas Julian?”Julian menyusuri jalan setapak yang menurun sembari sesekali memeriksa keadaan di belakangnya. Ia berniat menghubungi seseorang, tapi karena tidak berhati-hati ponselnya justru terjatuh di tumpukan dedaunan kering yang kemudian menyembunyikan benda pipih itu."Sial! Ada-ada aja sih!" gerutu Julian. Ia pun bergegas mencari ponselnya.Tak butuh waktu lama bagi Julian untuk mendapatkan kembali ponselnya. Namun, ketika ia bangkit, ia tak sengaja menangkap bayangan seseorang yang berdiri di atas melalui layar ponselnya. Perlahan Julian menoleh. Netranya membulat begitu ia melihat Damian tengah menodongkan senapan ke arahnya."Bajingan," gumam Julian.Dorr!Satu tembakan memekakkan telinga dan langsung menarik perhatian Haedar serta Nayra yang sebelumnya kembali memeriksa rumah."Haedar!" Nayra bergegas menghampiri Haedar."Kita susul Damian sekarang, bayi saya nggak ada di sini."Keduanya segera berlari memasuki hutan. Julian refleks menunduk sembari melindungi kepalanya. Tapi alih-alih l
Dua minggu setelah Julian menghilang. Damian kembali mendatangi rumah Julian yang kini sudah kosong. Damian memasuki paviliun di mana Nayra terkurung selama satu tahun terakhir. Sungguh, ia merasa sangat bodoh. Selama satu tahun ia habiskan untuk mencurigai Julian tanpa berusaha untuk mengungkap kejahatan Julian dengan serius.Kasus penculikan Julian sedang diselidiki pihak kepolisian, mereka juga turut membantu pencarian Julian yang kini membawa bayi Nayra."Damian." Nayra datang dengan langkah terburu-buru."Julian barusan telepon aku," ujar Nayra setengah panik."Dia mengatakan sesuatu?"Nayra mengangguk. "Dia minta kita mencabut laporan. Anak kita ada sama dia sekarang.""Itu tidak akan merubah keadaan," gumam Damian."Julian nggak akan berbuat nekad, kan?"Damian kemudian menggandeng tangan Nayra. "Dia tidak akan melakukan hal yang pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri."Damian lantas membawa Nayra pergi. Setelah pemakaman Veronica, Julian langsung kabur dengan membawa an
Veronica menunggu kedatangan Damian di bandara. Tapi karena hujan, ia berteduh di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Veronica ingin memastikan jika Damian benar-benar pergi meninggalkan Jakarta hari itu.Setelah menunggu cukup lama pada akhirnya yang ditunggu-tunggu oleh Veronica tiba. Wanita itu baru menyadari keberadaan Damian setelah Damian turun dari mobil."Bajingan itu, seharusnya dia sudah mati sejak dulu," desis Veronica penuh kebencian.Begitu besar kebencian Veronica terhadap Damian hingga ia ingin menyingkirkan Damian saat itu juga. Veronica menyalakan mesin mobil, berniat untuk menabrak Damian. Akan tetapi keberadaan sosok yang berlari menerobos hujan dan melewati mobilnya berhasil menyita perhatian Veronica."Nayra?"Veronica tampak terkejut. Orang yang katanya sudah menghilang tiba-tiba muncul. Sudut bibir wanita itu tersungging."Bagus dia di sini, kalian bisa mati bersama."Tanpa pikir panjang, Veronica langsung menginjak gas. Mengemudi dengan kecepatan ya
Hari itu Julian pulang lebih awal dengan senyum yang membuat wajahnya terlihat lebih bahagia. Seperti hari-hari sebelumnya, ia akan langsung mengunjungi Nayra saat pulang. Dan saat ia tiba di paviliun, Nayra tengah merajut. Menjadi tahanan selama satu tahun bukan berarti Nayra tak pernah berusaha untuk melarikan diri. Nayra kerap mencoba untuk kabur, tapi dari semua usahanya tak membuahkan hasil apapun dan kini ia tak berkutik setelah Julian membawa kelemahannya."Mana bayi aku?" tegur Nayra dengan dingin.Dengan senyumnya, Julian duduk di hadapan Nayra. Memang ada bayi di rumah Julian dan itu adalah bayi Nayra yang lahir beberapa bulan yang lalu dan itulah alasan kenapa Nayra tak bisa melarikan diri. Alih-alih melakukan persalinan di rumah sakit, Julian membiarkan Nayra melakukan persalinan di paviliun sehingga bayi yang dilahirkan Nayra belum terdaftar dan bahkan Nayra sendiri tak bisa memberikan nama untuk bayinya. Julian tak mengizinkan Nayra untuk merawat bayinya. Sesekali Juli
Zizan memasuki sebuah pusat perbelanjaan dengan mengenakan topi untuk menyamarkan wajahnya. Ia mengikuti Julian yang memasuki swalayan. Menuruti perintah Damian, Zizan berusaha memastikan apa saja yang dibeli oleh Julian. Zizan berusaha untuk terlihat sibuk ketika Julian tampak tengah memilah barang. Tapi yang membuat Zizan heran adalah ketika ia melihat barang-barang yang berjajar di rak di hadapan Julian."Susu bayi? Tuh orang ngapain beli susu bayi? Emangnya punya bayi?" batin Zizan bertanya-tanya dalam hati.Dan benar saja Julian hanya membeli susu formula untuk bayi. Dari sana, Julian naik ke lantai atas dan Zizan terus mengikuti Julian hingga pria itu memasuki sebuah restoran yang berada di gedung pusat perbelanjaan itu.Kala itu Julian mendatangi seorang wanita yang tengah duduk sendirian. Zizan pun segera mencari tempat duduk terdekat tapi tetap aman."Mama udah lama?" tegur Julian seraya duduk.Veronica tersenyum tipis, tampak prihatin dengan keadaan putranya saat ini."Mama
Malam itu Julian memasuki sebuah restoran ternama karena undangan dari Suganda. Namun, langkah pincang Julian terhenti ketika ia menemukan bahwa bukan hanya Suganda yang ada di sana, melainkan juga Damian."Julian, kamu sudah datang," tegur Suganda.Julian mendekat dan langsung melayangkan protes. "Papa nggak bilang kalau Papa ngundang orang lain.""Kamu duduk dulu.""Perjalanan dari sini ke area parkir cukup jauh, jangan sia-siakan perjuangan kaki cacat kamu untuk bisa sampai di sini," sarkas Damian dengan tenang.Julian menatap tajam, tapi Suganda segera menengahi."Kalian di sini untuk makan malam, papa tidak ingin ada pertengkaran. Julian, kamu duduk."Dengan wajah terpaksa, Julian pun pada akhirnya duduk berhadapan dengan Damian. Meski Damian terus menatapnya, ia enggan untuk membalas dan lebih memilih untuk berpaling."Papa ngapain ngajak makan malam, aku udah biasa makan sendirian," ujar Julian."Damian yang meminta papa mengundang kamu."Dengan begitu pandangan keduanya kembal