"Gaun tadi buat kamu aja."
Evelyn kaget. "Maksud, Mas Julian? Kan yang mau menikah sama Mas Julian itu Nayra. Kok gaunnya buat aku?" "Nayra katanya nggak suka. Itu buat kamu aja, Nayra biar buat yang baru." Evelyn terperangah. Gaun itu adalah rancangan khusus yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tapi seorang Julian Wiratama membuang gaun berharga itu begitu saja hanya karena alasan yang menurut Evelyn cukup berlebihan meski pada nyatanya Nayra tidak mengatakan apapun tentang gaun itu. Itu hanya inisiatif Julian karena tidak ingin calon pengantinnya mengenakan gaun bekas orang lain. ••••• Julian tiba di rumah Nayra. Ia menghampiri Nayra yang kala itu berada di ruang keluarga. "Sayang, katanya kamu sakit?" Julian langsung duduk di samping Nayra. "Sekarang gimana keadaan kamu?" "Aku nggak sakit kok, cuma agak kurang enak badan aja. Kerjaan kamu udah beres?" Julian mengangguk. "Soal yang di butik tadi, aku ngasih gaun itu ke Evelyn." Nayra yang mendengarnya kaget. Tentu saja ia tak terima. "Maksud kamu apa? Kok gaun aku dikasih ke Evelyn? Memangnya yang mau menikah itu siapa?" "Kamu jangan marah dulu. Ya, kan sama Evelyn udah dicobain. Itu bukan baru namanya, tapi udah bekas. Aku nggak mau di hari istimewa kita, kamu pakai barang bekas. Aku udah bicara sama yang punya butik, dia menyanggupi untuk buat gaun yang baru." Nayra menatap tak percaya. Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran Julian. "Ya, kan cuma dicoba sekali. Evelyn mungkin mau cek ada kekurangannya atau nggak. Gaun itu buatnya mahal, butuh waktu lama. Lagi pula tanggal pernikahan kita juga udah mepet, memangnya masih sempat buat gaun yang baru?" "Sempat... kamu tenang aja. Undangan juga udah disebar, gedung segala macam juga udah siap. Kamu tinggal ngurus gaun kamu." Julian menyahut dengan sangat santai seolah-olah itu bukanlah masalah besar. Ia kemudian bergeser mendekat. "Sayang." "Kenapa?" Nayra yang sempat berpaling lantas kembali memandang Julian. "Mama ke mana?" Julian tampak celingukan. "Ke arisan." "Mbak ke mana?" "Di belakang mungkin." Julian tersenyum simpul. Terlihat ragu-ragu untuk berbicara. Ia kemudian merangkul pinggang Nayra. "Boleh nggak sih kalau kita..." Julian menggantung ucapannya, berharap Nayra mengerti apa yang ia inginkan. "Nggak boleh," sahut Nayra dengan tegas. Raut wajah Julian langsung berubah, tampak kecewa bercampur kesal. "Ya kenapa nggak boleh? Bentar lagi kita juga nikah. Mau nanti atau sekarang ya sama aja." Nayra menghela napas dan tetap menyahuti dengan sabar. "Ya beda lah. Sekarang aku masih calon istri kamu sedangkan nanti aku udah jadi istri kamu." Julian tampak kesal. Memalingkan wajahnya dan menggerutu. "Kamu itu jangan kolot-kolot banget, cinta nggak sih sama aku?" Nayra tampak gelisah. Ia memang memiliki prinsip bahwa pantang baginya melakukan hubungan suami istri sebelum menikah meski prinsip itu sudah ia langgar bersama pria lain. Tapi di samping itu, Nayra takut. Bagaimana jika Julian tahu bahwa ia sudah tidak lagi perawan. Nayra belum siap menghadapi kenyataan. Ia sudah menyusun masa depan bersama Julian, ia tidak ingin harapannya hancur. "Sayang." Julian kembali menegur sembari meraih tangan Nayra. "Nggak akan ada orang yang mempermasalahkan hal ini. Kalau pun nanti kamu hamil duluan, nggak akan ada orang yang marah. Kecuali laki-laki lain yang menghamili kamu." Nayra hampir tersedak ludahnya sendiri. Bukannya tenang, ia semakin merasa gelisah. "Kita ke kamar yuk." Nayra menggeleng. "Tunggu sampai kita sah." "Cinta nggak sama aku?" "Itu prinsip aku," tegas Nayra. Julian memalingkan wajahnya dan kembali menghela napas pelan, ia terlihat cukup kesal tapi ia tak ingin ada pertengkaran. "Cuma tinggal dua bulan lagi, masa kamu nggak bisa nunggu?" Nayra berusaha menenangkan Julian. "Iya, aku bisa sabar, aku bisa nunggu kamu. Awas aja nanti kamu, nggak akan aku lepasin meskipun kamu nangis-nangis." Julian tersenyum tipis dan memeluk Nayra. Meski hatinya cukup kesal karena penolakan kekasihnya, ia berusaha memperbaiki suasana hatinya agar pernikahan mereka berjalan dengan lancar. Di hari selanjutnya Nayra pergi ke butik untuk membuat gaun yang baru. Evelyn pun datang setelah sebelumnya dihubungi oleh Nayra. "Nayra, udah lama?" tegur Evelyn. Nayra mengangguk. "Udah selesai, ini mau balik." "Ya ampun, telat dong aku kalau gitu. Ya udah, kalau gitu aku anterin kamu pulang." "Kita ke kafe dulu yuk." "Ok." Keduanya kemudian pindah ke kafe yang lumayan masih sepi. Evelyn langsung membahas tentang insiden kemarin. "Soal yang kemarin, Mas Julian udah bilang ke kamu, kan?" "Soal gaun itu?" Evelyn mengangguk. "Aku minta maaf, aku nggak punya maksud apa-apa. Kemarin itu tante yang nyuruh aku buat coba gaunnya, takutnya nanti ada yang kurang." Nayra tersenyum tipis, seolah tak menganggap itu sebagai hal yang serius. Dia justru khawatir jika Evelyn akan salah paham dengan tindakan Julian kemarin. "Nggak apa-apa, aku paham kok. Julian aja yang berlebihan, mentang-mentang uangnya banyak." Nayra tertawa kecil untuk mengendalikan suasana. "Kamu gimana? Udah sehat?" Evelyn langsung mengganti topik, dirasa bahwa masalah di butik sudah selesai. "Agak mendingan." Nayra tiba-tiba terdiam, terlihat seperti ada banyak hal yang ia pikirkan. "Lyn," Nayra tiba-tiba menegur dengan suasana yang berbeda. "Kenapa?" "Aku kok tiba-tiba ngerasa takut ya?" Evelyn mengernyit heran. "Takut kenapa?" Nayra tampak bimbang, tapi hanya pada Evelyn ia bisa mengurangi beban pikirannya. "Ada masalah? Kamu cerita ke aku, jangan dipendam sendiri." Nayra memperbaiki posisi duduknya. "Kamu ingat pas party waktu itu?" Evelyn mengangguk. "Iya, memangnya kenapa?" "Waktu aku kalah taruhan terus dapat hukuman." Evelyn kembali mengangguk dan mendengarkan dengan sesaksama. "Kalau kamu mabuk duluan, kamu pergi ke ruangan sebelah dan cium siapapun di ruangan itu selama lima menit?" Nayra mengangguk dengan lesu. "Terus?" "Waktu itu aku nggak balik ke ruangan itu, kan?" "Kamu langsung pulang, kan?" Evelyn balik bertanya. Nayra menggeleng, membuat dahi Evelyn berkerut. "Terus? Kalau gitu kamu ke mana?" "Aku ngelakuin 'itu'," gumam Nayra putus asa. "Itu?" Evelyn mengernyit heran. "Maksud kamu... kamu tidur sama cowok itu?" Nayra mengangguk pasrah, membuat Evelyn terperangah. "Nayra! Kamu serius nggak bercanda?" "Aku juga nggak tahu..." Nayra sejenak meremas kepalanya dengan frustasi. "Aku nggak ingat apa-apa. Tiba-tiba aja aku bangun pas pagi dan ada cowok itu di samping aku." Evelyn tersenyum tak percaya. "Nggak, aku tetep nggak percaya kamu bisa ngelakuin hal ini. Itu pertama kalinya buat kamu, kan?" Nayra menyembunyikan wajahnya pada meja, tapi hanya sesaat dan ia kembali memandang Evelyn dengan wajah frustasi. "Gimana kalau nanti Julian tahu aku udah nggak perawan? Dia pasti bakal ninggalin aku." "Ck! Ini tahun berapa sih? Pikiran kamu masih kolot aja. Kamu pikir Julian itu orang suci?" "Maksud kamu?" "Ya realistis aja. Mana ada cowok seusia Mas Julian yang belum pernah macem-macem, ya meski nggak semua cowok kayak gitu. Tapi untuk Mas Julian, aku yakin kalau dia udah pernah main sama cewek." Nayra termenung, entah harus kecewa atau bersyukur. Ia hanya ingin fokus pada masalahnya sendiri. "Maksud kamu Julian pernah selingkuh?" "Bukan selingkuh, lebih tepatnya one night stand. Kayak kamu waktu itu. Jadi ya, Nayra. Kamu itu nggak udah mikirin hal-hal kayak gitu, itu cuma buat kamu makin stress. Nanti kalau misal Mas Julian tanya kenapa kamu udah nggak perawan, ya kamu tanya balik aja. Memangnya dia masih perjaka." "Gampang kamu ngomongnya," gerutu Nayra. Evelyn tertawa kecil. "Lagian kamu itu ada-ada aja. Diapa-apain calon suami aja nggak mau, ini pertama ketemu udah langsung ke hotel. Cakep nggak sih orangnya?" "Ya lumayan," gumam Nayra setengah hati. "Mukanya kayak orang blesteran." "Bukan asli produk lokal berarti. Gimana rasanya?" Nayra menatap kaget, ucapan Evelyn terlalu unik. "Aku denger punya orang bule itu ukurannya beda." Mendengar ucapan Evelyn, Nayra langsung teringat akan malam terlarang itu. Ia pun langsung menggelengkan kepalanya agar tetap sadar. "Kamu itu apaan sih? Jangan aneh-aneh." "Ih! Beneran, aku tuh cuma penasaran aja. Gimana rasanya?" Nayra menjadi gugup, pikirannya kembali menjadi kotor gara-gara pertanyaan Evelyn. "Kok malah diem sih?" "Ya sakit lah," ujar Nayra sedikit kesal. "Cuma sakit doang? Berarti kamu inget dong." Nayra tak menjawab karena malu sehingga Evelyn menertawainya. "Kamu ngapain aja? Pakai gaya apa aja?" "Lyn... udah deh. Aku nggak mau inget-inget cowok psikopat itu." "Psikopat?" Tawa Evlyn langsung terhenti. "Memang ganteng, tapi agak gila." "Memangnya kamu diapain aja?" "Aku baru bisa pergi dari hotel itu jam sembilan, kamu pikirin aja sendiri." Evelyn menatap tak percaya dan langsung tertawa. Bukannya prihatin, ia justru seperti sangat senang. "Ya nggak apa-apa kali, udah kejadian juga. Anggap aja jadi pengalaman yang nggak akan bisa kamu ulangi seumur hidup kamu. Ya anggap aja bonus, kamu jadi punya pengalaman soal ranjang sebelum jadi seorang istri." "Kamu itu aneh. Bukannya tenang, kepala aku malah makin puyeng dengerin kamu ngomong." Evelyn tersenyum kecil. Hari pernikahan semakin dekat. Malam itu keluarga besar kedua pihak berada di sebuah restoran hotel bintang lima untuk makan malam. Karena Evelyn sudah seperti adik kandung bagi Nayra, ia pun ikut hadir di sana bersama dengan ibunya. Tak ada pria di keluarga Nayra, hanya ada empat wanita karena ayah Nayra meninggal dalam kecelakaan sedangkan ayah Evelyn tengah berada di penjara. "Tidak terasa kurang satu bulan lagi kita benar-benar akan menjadi besan," ujar ayah Julian. "Benar, Mas. Saya juga sudah nggak sabar untuk segera menimang cucu," sahut ibu Nayra. Nayra sedikit tersipu ketika Julian memandangnya. Makan malam pun berlangsung dengan obrolan kecil. Tapi ketika Nayra melihat makanan di piringnya, ia refleks menutup hidupnya menggunakan jemarinya. "Kok aku mual lagi sih?" gumam Nayra dalam hati. "Tahan, Nayra... nanti mereka mikir yang macam-macam." "Kenapa, Sayang. Kamu nggak suka?" tegur Julian dengan pelan. Nayra tersenyum tipis seraya menggeleng. "Ya udah, makan." Nayra beranjak berdiri. "Aku permisi ke toilet sebentar." Nayra beranjak dari kursinya. Tapi kala itu seorang pria berjalan sedikit pincang menghampiri meja mereka. Di tangan kirinya terdapat sebuah tongkat berukuran sekitar satu meter yang ia gunakan sebagai alat bantu jalan. Belum sempat Nayra melangkah, tubuhnya langsung mematung ketika ia menemukan pria yang baru saja datang. Batin Nayra tersentak, wajahnya langsung memucat ketika ia bertemu pandang dengan pria yang juga menghentikan langkahnya itu. "Dia... ada di sini?" ujar Nayra gusar dalam hati. Nayra tak sengaja melangkah mundur dan menyentuh bahu Julian. Julian pun bangkit, mengikuti arah pandang Nayra. Ekspresi yang sama dengan Nayra ditunjukkan oleh Julian. "Damian?"Julian menyusuri jalan setapak yang menurun sembari sesekali memeriksa keadaan di belakangnya. Ia berniat menghubungi seseorang, tapi karena tidak berhati-hati ponselnya justru terjatuh di tumpukan dedaunan kering yang kemudian menyembunyikan benda pipih itu."Sial! Ada-ada aja sih!" gerutu Julian. Ia pun bergegas mencari ponselnya.Tak butuh waktu lama bagi Julian untuk mendapatkan kembali ponselnya. Namun, ketika ia bangkit, ia tak sengaja menangkap bayangan seseorang yang berdiri di atas melalui layar ponselnya. Perlahan Julian menoleh. Netranya membulat begitu ia melihat Damian tengah menodongkan senapan ke arahnya."Bajingan," gumam Julian.Dorr!Satu tembakan memekakkan telinga dan langsung menarik perhatian Haedar serta Nayra yang sebelumnya kembali memeriksa rumah."Haedar!" Nayra bergegas menghampiri Haedar."Kita susul Damian sekarang, bayi saya nggak ada di sini."Keduanya segera berlari memasuki hutan. Julian refleks menunduk sembari melindungi kepalanya. Tapi alih-alih l
Dua minggu setelah Julian menghilang. Damian kembali mendatangi rumah Julian yang kini sudah kosong. Damian memasuki paviliun di mana Nayra terkurung selama satu tahun terakhir. Sungguh, ia merasa sangat bodoh. Selama satu tahun ia habiskan untuk mencurigai Julian tanpa berusaha untuk mengungkap kejahatan Julian dengan serius.Kasus penculikan Julian sedang diselidiki pihak kepolisian, mereka juga turut membantu pencarian Julian yang kini membawa bayi Nayra."Damian." Nayra datang dengan langkah terburu-buru."Julian barusan telepon aku," ujar Nayra setengah panik."Dia mengatakan sesuatu?"Nayra mengangguk. "Dia minta kita mencabut laporan. Anak kita ada sama dia sekarang.""Itu tidak akan merubah keadaan," gumam Damian."Julian nggak akan berbuat nekad, kan?"Damian kemudian menggandeng tangan Nayra. "Dia tidak akan melakukan hal yang pada akhirnya akan merugikan dirinya sendiri."Damian lantas membawa Nayra pergi. Setelah pemakaman Veronica, Julian langsung kabur dengan membawa an
Veronica menunggu kedatangan Damian di bandara. Tapi karena hujan, ia berteduh di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. Veronica ingin memastikan jika Damian benar-benar pergi meninggalkan Jakarta hari itu.Setelah menunggu cukup lama pada akhirnya yang ditunggu-tunggu oleh Veronica tiba. Wanita itu baru menyadari keberadaan Damian setelah Damian turun dari mobil."Bajingan itu, seharusnya dia sudah mati sejak dulu," desis Veronica penuh kebencian.Begitu besar kebencian Veronica terhadap Damian hingga ia ingin menyingkirkan Damian saat itu juga. Veronica menyalakan mesin mobil, berniat untuk menabrak Damian. Akan tetapi keberadaan sosok yang berlari menerobos hujan dan melewati mobilnya berhasil menyita perhatian Veronica."Nayra?"Veronica tampak terkejut. Orang yang katanya sudah menghilang tiba-tiba muncul. Sudut bibir wanita itu tersungging."Bagus dia di sini, kalian bisa mati bersama."Tanpa pikir panjang, Veronica langsung menginjak gas. Mengemudi dengan kecepatan ya
Hari itu Julian pulang lebih awal dengan senyum yang membuat wajahnya terlihat lebih bahagia. Seperti hari-hari sebelumnya, ia akan langsung mengunjungi Nayra saat pulang. Dan saat ia tiba di paviliun, Nayra tengah merajut. Menjadi tahanan selama satu tahun bukan berarti Nayra tak pernah berusaha untuk melarikan diri. Nayra kerap mencoba untuk kabur, tapi dari semua usahanya tak membuahkan hasil apapun dan kini ia tak berkutik setelah Julian membawa kelemahannya."Mana bayi aku?" tegur Nayra dengan dingin.Dengan senyumnya, Julian duduk di hadapan Nayra. Memang ada bayi di rumah Julian dan itu adalah bayi Nayra yang lahir beberapa bulan yang lalu dan itulah alasan kenapa Nayra tak bisa melarikan diri. Alih-alih melakukan persalinan di rumah sakit, Julian membiarkan Nayra melakukan persalinan di paviliun sehingga bayi yang dilahirkan Nayra belum terdaftar dan bahkan Nayra sendiri tak bisa memberikan nama untuk bayinya. Julian tak mengizinkan Nayra untuk merawat bayinya. Sesekali Juli
Zizan memasuki sebuah pusat perbelanjaan dengan mengenakan topi untuk menyamarkan wajahnya. Ia mengikuti Julian yang memasuki swalayan. Menuruti perintah Damian, Zizan berusaha memastikan apa saja yang dibeli oleh Julian. Zizan berusaha untuk terlihat sibuk ketika Julian tampak tengah memilah barang. Tapi yang membuat Zizan heran adalah ketika ia melihat barang-barang yang berjajar di rak di hadapan Julian."Susu bayi? Tuh orang ngapain beli susu bayi? Emangnya punya bayi?" batin Zizan bertanya-tanya dalam hati.Dan benar saja Julian hanya membeli susu formula untuk bayi. Dari sana, Julian naik ke lantai atas dan Zizan terus mengikuti Julian hingga pria itu memasuki sebuah restoran yang berada di gedung pusat perbelanjaan itu.Kala itu Julian mendatangi seorang wanita yang tengah duduk sendirian. Zizan pun segera mencari tempat duduk terdekat tapi tetap aman."Mama udah lama?" tegur Julian seraya duduk.Veronica tersenyum tipis, tampak prihatin dengan keadaan putranya saat ini."Mama
Malam itu Julian memasuki sebuah restoran ternama karena undangan dari Suganda. Namun, langkah pincang Julian terhenti ketika ia menemukan bahwa bukan hanya Suganda yang ada di sana, melainkan juga Damian."Julian, kamu sudah datang," tegur Suganda.Julian mendekat dan langsung melayangkan protes. "Papa nggak bilang kalau Papa ngundang orang lain.""Kamu duduk dulu.""Perjalanan dari sini ke area parkir cukup jauh, jangan sia-siakan perjuangan kaki cacat kamu untuk bisa sampai di sini," sarkas Damian dengan tenang.Julian menatap tajam, tapi Suganda segera menengahi."Kalian di sini untuk makan malam, papa tidak ingin ada pertengkaran. Julian, kamu duduk."Dengan wajah terpaksa, Julian pun pada akhirnya duduk berhadapan dengan Damian. Meski Damian terus menatapnya, ia enggan untuk membalas dan lebih memilih untuk berpaling."Papa ngapain ngajak makan malam, aku udah biasa makan sendirian," ujar Julian."Damian yang meminta papa mengundang kamu."Dengan begitu pandangan keduanya kembal