Langit mendung menggantung rendah ketika Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, menggenggam secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Di hadapannya tergeletak laptop yang belum sempat dibuka, padahal ia datang dengan niat menulis kelanjutan dari kisah yang kini mulai menyebar luas.
Namanya mulai diperbincangkan. Bukan sebagai editor atau penulis yang berbakat, tapi sebagai wanita dari masa lalu Reza—perempuan yang “diperebutkan,” “dimanfaatkan,” atau “dibutakan oleh cinta”, tergantung dari siapa yang bicara. Namun hari ini bukan tentang publik. Hari ini tentang satu pesan yang baru saja ia terima. > “Aku ingin bicara. Sendirian. Sore ini. – Rani” Nadia menutup matanya. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari selamanya. — Di tempat lain, Reza duduk di ruang kerjanya, memandangi naskah yang belum ia sentuh sejak kemarin. Wawancara itu telahLangit kota masih menyisakan rona jingga ketika Nadia melangkahkan kakinya keluar dari kantor. Hawa malam yang masih hangat menyentuh kulitnya, memberikan sedikit kelegaan setelah seharian terperangkap dalam ruangan ber-AC. Ia merapikan gaun hitam selutut yang dikenakannya, lalu menghela napas panjang.Seharusnya ia langsung pulang ke apartemennya. Hari ini melelahkan, penuh dengan rapat dan tuntutan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang menolak pulang. Ada perasaan gelisah yang tak bisa ia jelaskan—sebuah keinginan untuk melepaskan diri dari rutinitas yang membosankan.Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan langkah ke sebuah lounge yang sering ia datangi. Velvet Bar—tempat yang cukup eksklusif, di mana orang-orang datang bukan hanya untuk minum, tetapi juga untuk melupakan kenyataan sejenak. Musik jazz lembut mengalun ketika ia memasuki ruangan dengan pencahayaan temaram, dinding-dindingnya dihiasi ornamen emas yang memberikan kesan mewah.Nadia memi
Pagi datang dengan cahaya keemasan yang menyusup melalui tirai jendela, menerpa wajah Nadia yang masih terlelap. Keheningan kamar hanya diisi oleh suara napas yang teratur, sisa-sisa kehangatan malam tadi masih melekat di udara.Kelopak matanya bergerak sedikit sebelum akhirnya terbuka, menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyusup. Ia menarik napas dalam, membiarkan kesadarannya perlahan kembali. Tubuhnya terasa ringan namun juga lelah, efek dari malam yang begitu intens dan mengguncang.Saat Nadia menoleh ke samping, ia melihat sosok Reza yang masih tertidur di ranjangnya. Tubuhnya yang hanya ditutupi selimut memperlihatkan garis-garis maskulin yang semalam begitu dekat dengannya. Seketika, semua yang terjadi kembali berputar di kepalanya—sentuhan, ciuman, desahan, dan bagaimana ia menyerahkan dirinya sepenuhnya dalam dekapan pria itu.Apa yang baru saja kulakukan?Pikiran itu seketika menyelinap di benaknya, menghadirkan perasaan campur aduk. Bukan penyesalan, tapi lebih pada ketid
Malam itu, Reza melangkah masuk ke dalam apartemen Nadia dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Tidak ada urgensi seperti malam pertama mereka bertemu, tidak ada ketergesa-gesaan yang hanya didorong oleh gairah. Kali ini, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih tenang—sebuah keintiman yang perlahan mulai terbentuk.Nadia menutup pintu di belakangnya dan menatap pria itu. Reza hanya berdiri di tengah ruang tamu, seakan menunggu isyarat darinya."Mau minum sesuatu?" Nadia akhirnya bertanya, mencoba mencairkan suasana.Reza tersenyum kecil. "Kalau ada wine, aku tidak akan menolak."Nadia mengangguk, lalu berjalan ke dapur. Sementara ia menuangkan dua gelas wine, pikirannya berkecamuk. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari ini semua? Apakah Reza hanya seseorang yang hadir di saat yang tepat, atau ada sesuatu yang lebih?Saat ia kembali dengan dua gelas di tangan, Reza sudah duduk di sofa, menatap ke luar jendela yang memperlihatkan gemerlap lampu kota."Terima kasih," katanya sambil menerim
Rahasia yang TerbongkarNadia duduk di kantornya, menatap kosong ke layar laptop yang seharusnya ia gunakan untuk bekerja. Tapi pikirannya sama sekali tidak ada di sana. Sejak pertemuannya dengan Faris, kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan yang semakin sulit ia jawab.Siapa yang sebenarnya ia inginkan?Faris adalah cinta pertamanya, seseorang yang dulu ia percaya akan selalu ada untuknya. Tapi ia juga orang yang meninggalkannya ketika ia tidak siap untuk memberikan kepastian.Sedangkan Reza… Reza adalah seseorang yang datang tanpa rencana, namun perlahan masuk ke dalam hidupnya, membuatnya merasa diinginkan tanpa tuntutan yang berlebihan.Tapi apakah itu cukup?Sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuatnya tersadar.Reza: Makan malam nanti? Aku ingin bicara.Nadia menggigit bibirnya. Nada pesan itu terasa berbeda dari biasanya.Nadia: Oke. Dimana?Reza: Di tempat biasa. Jam 7.Nadia merasa ada sesuatu yang tidak beres.Dan ia benar.Konfrontasi Tak TerdugaSaat Nadia tiba di restoran ya
Hampir dua bulan berlalu sejak malam itu. Malam ketika Nadia memilih melepaskan dua cinta dalam hidupnya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tak menyesali keputusan itu. Tapi rasa kehilangan masih seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia pergi—tenang, sunyi, tapi selalu ada.Hari-hari Nadia dipenuhi rutinitas. Kantor, apartemen, kafe langganan, dan sesekali kunjungan ke rumah ibunya. Ia mulai menulis jurnal, mencatat apa pun yang ia rasakan. Itu membantunya mengenali luka-luka lama yang selama ini ia tutupi dengan hubungan. Ia mulai merasa utuh, meski pelan dan tidak sempurna.Namun, satu hal yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya adalah Reza.Kadang ia membuka galeri foto secara tidak sadar dan menemukan potret-potret kebahagiaan mereka. Kadang ia menangis diam-diam sambil membaca ulang pesan-pesan Reza yang dulu. Bukan karena ia menyesal. Tapi karena cinta memang tidak selalu bisa selesai hanya dengan keputusan.Sampai suatu sore, semuanya berubah.---Nadia sedang du
Hujan turun sejak sore. Jakarta yang biasanya gaduh mendadak terasa lebih tenang, seolah turut menyaksikan pertarungan diam-diam antara dua hati yang belum selesai.Nadia duduk di depan kaca besar apartemennya, mengenakan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya masih basah, baru saja mandi setelah seharian bekerja di galeri. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Tapi pikirannya… entah ke mana.Ponselnya bergetar.> Reza: Kamu masih bangun?Nadia menggigit bibir bawahnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar sebelum ia membalas singkat.> Nadia: Masih.Beberapa detik kemudian, balasan datang.> Reza: Aku di bawah. Boleh naik?Jantung Nadia berdebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Lalu berdiri perlahan, berjalan ke pintu tanpa menjawab pesan itu.Dan ketika ia membukanya, Reza sudah di sana. Basah oleh gerimis. Jaket hitamnya licin oleh air, rambutnya sedikit acak-acakan. Tatapan matanya—tajam, gelap, menyimpan sesuatu yang s
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta
Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata
Langit mendung menggantung rendah ketika Nadia duduk di sebuah kafe kecil di sudut Jakarta, menggenggam secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Di hadapannya tergeletak laptop yang belum sempat dibuka, padahal ia datang dengan niat menulis kelanjutan dari kisah yang kini mulai menyebar luas. Namanya mulai diperbincangkan. Bukan sebagai editor atau penulis yang berbakat, tapi sebagai wanita dari masa lalu Reza—perempuan yang “diperebutkan,” “dimanfaatkan,” atau “dibutakan oleh cinta”, tergantung dari siapa yang bicara. Namun hari ini bukan tentang publik. Hari ini tentang satu pesan yang baru saja ia terima. > “Aku ingin bicara. Sendirian. Sore ini. – Rani” Nadia menutup matanya. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari selamanya. — Di tempat lain, Reza duduk di ruang kerjanya, memandangi naskah yang belum ia sentuh sejak kemarin. Wawancara itu telah
Desas-desus mulai beredar di dunia yang pernah mereka hindari—media sosial, forum komunitas sastra, bahkan lingkungan tempat kerja Nadia. Semuanya berawal dari satu unggahan anonim: tangkapan layar pesan suara, beberapa potongan email, dan kutipan dari blog pribadi Rani yang dipelintir menjadi narasi murahan.> “Penulis ternama itu menyimpan masa lalu kelam bersama mantan kekasih yang diduga hamil lalu ditinggalkan. Sekarang, ia kembali menjalin hubungan dengan perempuan yang dulu pernah ia campakkan.”Nama Reza tak disebut langsung. Tapi bagi siapa pun yang cukup mengenal sejarah mereka, pesan itu terang-benderang.Nadia menerima telepon dari kantornya pagi itu."Untuk sementara, kami minta kamu istirahat dulu dari proyek utama," kata atasannya dengan suara datar. "Ini bukan soal kamu secara pribadi, tapi kami nggak bisa menanggung citra negatif dari berita yang sedang beredar."Nadia menggigit bibir. "Padahal belum ada bukti k
Pagi itu, Nadia terbangun lebih dulu. Sinar matahari menyelinap lembut melalui tirai kamarnya, tapi hatinya justru terasa berat. Ia menatap Reza yang masih terlelap di sebelahnya—tenang, nyaris polos. Tapi di balik ketenangan itu, Nadia tahu ada badai yang belum reda.Ia bangkit pelan, mencoba tidak membangunkan Reza, lalu menuju dapur dan mulai membuat kopi. Saat aroma pahit itu memenuhi udara, ponselnya berbunyi. Satu pesan baru masuk, tanpa nama pengirim.> "Kalau kau tahu apa yang pernah dia lakukan padaku, kau pasti tak akan mempercayainya lagi."Jantung Nadia berdetak lebih cepat. Ia menatap layar, menimbang apakah ini hanya ancaman kosong—atau sesuatu yang lebih gelap.Reza muncul di ambang pintu, matanya masih berat. "Kamu bangun pagi.""Ada yang harus aku pikirkan," jawab Nadia pelan, lalu menyodorkan ponselnya.Reza membaca pesan itu. Napasnya tertahan."Dia mulai menyerang kamu juga," katanya perlaha
Pagi itu, sinar matahari masuk lewat celah tirai, memecah kehangatan kamar yang masih diselimuti sisa-sisa malam. Nadia terbangun lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis, menatap ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih hangat oleh pelukan Reza semalam, tapi pikirannya sudah melayang ke dunia luar—tempat masalah tak bisa diabaikan. Reza masih tertidur, napasnya teratur. Wajahnya tenang, seolah malam tadi telah membawa kedamaian yang ia cari selama ini. Nadia memandangi pria itu lama, membiarkan dirinya merasa tenang sejenak sebelum kenyataan mengetuk kembali. Ponsel Nadia bergetar di atas meja. Ia melirik—“Mama”. Hatinya mengecil. Ia ragu beberapa detik, lalu mengangkatnya. “Halo, Ma?” “Di mana kamu?” suara ibunya tajam, tidak menunggu sapaan balik. “Kamu enggak pulang semalam. Ini sudah pagi, Nadia.” Nadia menarik napas dalam. “Aku di tempat teman, M
Malam telah larut. Jam di dinding berdetak pelan, seakan tahu bahwa waktu yang berjalan malam ini bukan sekadar menit dan detik—tapi langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih dalam. Nadia berdiri di depan jendela, memandangi bias lampu kota yang membias di permukaan kaca. Rambutnya tergerai, dan gaun tipis yang ia kenakan hanya sampai lutut. Reza mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Tatapannya tak lepas dari siluet perempuan itu—sosok yang dulu ia miliki, lalu ia kehilangan, dan kini berdiri di hadapannya lagi, dalam damai dan keraguan yang membaur jadi satu. “Kamu masih ingat malam itu?” tanya Nadia pelan, tanpa menoleh. Reza berhenti di belakangnya. “Malam yang mana?” “Malam pertama kamu bilang kamu ingin aku, bukan hanya tubuhku. Tapi hidupku.” Reza mendekat, menempelkan dadanya ke punggung Nadia. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pinggang perempuan itu, memeluknya tanpa kata. Hangat. Teguh.
Hujan turun lagi malam itu. Tidak deras, hanya rintik-rintik yang lembut, seperti nada latar untuk hati yang sedang rapuh. Nadia berdiri di depan jendela, menatap lampu jalan yang berpendar oleh air.Sudah dua hari sejak pertemuannya dengan Reza dan Faris. Dua hari yang tenang di luar, tapi penuh pergolakan di dalam. Ia pikir ia bisa menenangkan pikirannya, menjernihkan segalanya. Tapi hati bukan sekadar logika.Di dalam dadanya, ada dua suara: satu yang terus memanggil nama Reza—dengan rindu, dengan kenangan, dengan luka yang tak bisa ia benci; dan satu lagi yang mulai berbisik tentang kemungkinan baru, tentang seseorang yang hadir tanpa menyentuh masa lalu—Faris.Dan malam ini, tanpa ia rencanakan, Reza datang lagi.Ketukan di pintu apartemennya pelan. Tidak mendesak. Tapi cukup untuk membuat jantungnya berdetak lebih cepat.Nadia membuka pintu. Reza berdiri di sana, dengan jaket kulit basah oleh hujan, rambutnya sedikit acak, dan mata
Pagi datang dengan cahaya lembut yang menyelinap melalui tirai jendela. Nadia terbangun perlahan, matanya masih berat, tapi tubuhnya sadar—ia tidak sendiri.Reza duduk di dekat jendela, masih dengan kaus abu-abu dari malam sebelumnya, menatap keluar dengan secangkir kopi di tangan. Ada ketenangan aneh di raut wajahnya, seperti seseorang yang baru saja mengalami mimpi yang hampir ia lupakan begitu terbangun.Nadia bangkit perlahan, membenarkan rambutnya dan duduk di tepi ranjang.“Pagi,” ucapnya pelan.Reza menoleh dan tersenyum kecil. “Pagi.”Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Tak ada kata yang keluar, tapi semua yang mereka rasakan mengalir bebas di antara sorot mata.“Aku enggak tahu harus bilang apa soal tadi malam,” ujar Nadia, suaranya serak karena tidur.Reza meletakkan cangkirnya di meja. “Enggak usah bilang apa-apa. Aku juga masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.”“Tapi kamu teta
Hujan turun sejak sore. Jakarta yang biasanya gaduh mendadak terasa lebih tenang, seolah turut menyaksikan pertarungan diam-diam antara dua hati yang belum selesai.Nadia duduk di depan kaca besar apartemennya, mengenakan kaus longgar dan celana pendek tipis. Rambutnya masih basah, baru saja mandi setelah seharian bekerja di galeri. Matanya menatap ke luar, ke arah lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Tapi pikirannya… entah ke mana.Ponselnya bergetar.> Reza: Kamu masih bangun?Nadia menggigit bibir bawahnya. Jari-jarinya sempat ragu di atas layar sebelum ia membalas singkat.> Nadia: Masih.Beberapa detik kemudian, balasan datang.> Reza: Aku di bawah. Boleh naik?Jantung Nadia berdebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca. Lalu berdiri perlahan, berjalan ke pintu tanpa menjawab pesan itu.Dan ketika ia membukanya, Reza sudah di sana. Basah oleh gerimis. Jaket hitamnya licin oleh air, rambutnya sedikit acak-acakan. Tatapan matanya—tajam, gelap, menyimpan sesuatu yang s
Hampir dua bulan berlalu sejak malam itu. Malam ketika Nadia memilih melepaskan dua cinta dalam hidupnya demi menyelamatkan dirinya sendiri. Ia tak menyesali keputusan itu. Tapi rasa kehilangan masih seperti bayangan yang mengikuti ke mana pun ia pergi—tenang, sunyi, tapi selalu ada.Hari-hari Nadia dipenuhi rutinitas. Kantor, apartemen, kafe langganan, dan sesekali kunjungan ke rumah ibunya. Ia mulai menulis jurnal, mencatat apa pun yang ia rasakan. Itu membantunya mengenali luka-luka lama yang selama ini ia tutupi dengan hubungan. Ia mulai merasa utuh, meski pelan dan tidak sempurna.Namun, satu hal yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya adalah Reza.Kadang ia membuka galeri foto secara tidak sadar dan menemukan potret-potret kebahagiaan mereka. Kadang ia menangis diam-diam sambil membaca ulang pesan-pesan Reza yang dulu. Bukan karena ia menyesal. Tapi karena cinta memang tidak selalu bisa selesai hanya dengan keputusan.Sampai suatu sore, semuanya berubah.---Nadia sedang du