Hutan lebat menyambut langkah mereka saat fajar mulai merayap dari balik pegunungan. Langkah kaki Reza dan Nadia terbenam dalam tanah basah, sementara kabut menari di antara batang pohon pinus yang menjulang tinggi. Di belakang mereka, suara kendaraan di kejauhan perlahan menghilang—tanda bahwa pengejaran belum sepenuhnya berhenti.
Mereka belum tidur semalaman."Sedikit lagi, Nad," ujar Reza, menggenggam tangan Nadia yang mulai dingin. "Ada pondok pemburu di peta, kita bisa istirahat sebentar di sana."Nadia hanya mengangguk, lelahnya tak bisa disembunyikan. Namun matanya tetap menatap Reza penuh keyakinan. Lelaki itu bukan sekadar kekasih—ia adalah satu-satunya alasan Nadia bertahan di dunia yang terus mengejar dan menghukum mereka atas masa lalu.**Pondok kayu itu sederhana. Dindingnya dari papan tua, atapnya miring dan berlumut. Tapi setidaknya kering dan tersembunyi. Saat mereka masuk, bau tanah dan kayu tua menyambut, namun terasa hAluna tumbuh cepat. Seperti waktu yang tak pernah menunggu. Baru kemarin mereka belajar mengganti popok, kini Aluna sudah bisa berjalan tertatih-tatih sambil tertawa, mengejar bayangannya sendiri di teras rumah."Jangan terlalu cepat besar, sayang," bisik Nadia suatu pagi sambil menyuapi bubur ke mulut kecil itu.Reza datang dari belakang, mengecup bahu Nadia, lalu mengelus kepala Aluna. "Tapi setiap langkah kecilnya, Nad, adalah bukti bahwa kita berhasil sejauh ini."Hari-hari berlalu, tapi tak semuanya mudah. Tantangan datang dalam bentuk yang berbeda. Reza mulai sibuk lagi dengan proyek seni, persiapannya untuk pameran di luar negeri membuatnya sering pulang malam. Nadia mulai merasa ada jarak yang perlahan tumbuh—bukan karena cinta berkurang, tapi karena fokus mereka terbagi.Malam itu, saat Aluna tertidur, Nadia duduk sendirian di ruang keluarga. Reza baru pulang, membawa laptop dan setumpuk berkas."Kamu belum makan?" tanya Reza sambil duduk di sampingnya.Nadia hanya menggeleng
Musim hujan datang. Hujan deras turun hampir setiap sore, membawa aroma tanah basah dan nostalgia masa-masa awal Reza dan Nadia saling mengenal. Di dalam rumah mereka yang hangat, suasana dipenuhi suara-suara kecil Aluna yang mulai berceloteh. Ia belum bisa berkata-kata jelas, tapi gumamannya seperti musik bagi telinga Reza dan Nadia.Pagi itu, Nadia duduk di ruang kerja Reza sambil menggendong Aluna. Di hadapannya, terbuka sebuah buku kosong."Aku mau nulis surat buat Aluna. Untuk dibaca dia nanti saat usianya tujuh belas," kata Nadia.Reza yang sedang menyusun koleksi foto untuk pameran baru menghentikan pekerjaannya. "Itu ide bagus. Aku juga mau nulis. Kita bikin satu kotak waktu. Kita isi surat, foto, potongan baju bayi, semuanya. Buka bareng nanti."Nadia tersenyum. Ia mulai menulis.Untuk Aluna, saat kamu beranjak menjadi perempuan dewasa,Kamu mungkin sedang jatuh cinta, atau baru saja patah hati. Mungkin kamu sedang berjuang mencari tahu siapa dirimu. Apapun kondisimu, satu ha
Hari-hari berlalu dengan ritme baru. Tangisan bayi, aroma susu, suara alat sterilisasi, dan malam-malam panjang tanpa tidur menjadi bagian dari keseharian Reza dan Nadia. Tapi di balik semua kelelahan, mereka menemukan jenis kebahagiaan yang belum pernah mereka kenal sebelumnya—kebahagiaan yang datang dari memberi, merawat, dan mencintai tanpa syarat.Pagi hari dimulai lebih awal dari biasanya. Nadia bangun sekitar pukul lima, lalu menyusui Aluna yang mulai merengek. Reza biasanya menyusul beberapa menit kemudian dengan secangkir teh hangat dan handuk kecil di tangan."Kita kayak kru sirkus," kata Nadia suatu pagi sambil tertawa kecil. Rambutnya berantakan, mata sembab, tapi senyumnya tak pernah hilang."Iya. Tapi kita sirkus yang cuma punya satu pemain bintang: Aluna," jawab Reza sambil menggendong putri mereka, lalu mengayunkannya pelan.Aluna mulai menanggapi suara dan wajah orang tuanya. Setiap kali Nadia menyanyi, ia menoleh. Setiap kali Reza
Pagi itu mendung menggantung di atas Jakarta. Reza baru saja menyeduh teh hangat ketika mendengar panggilan dari kamar. "Reza... kayaknya air ketubanku pecah." Jantung Reza nyaris berhenti berdetak. Ia berlari menuju kamar, menemukan Nadia berdiri sambil memegangi perutnya. Ada tetesan bening di lantai. "Kita harus ke rumah sakit sekarang," katanya cepat sambil meraih jaket dan kunci mobil. Semuanya terasa begitu nyata. Perjalanan ke rumah sakit terasa seperti mimpi. Nadia menggenggam tangan Reza erat di sepanjang jalan, berusaha tenang di tengah kontraksi yang mulai terasa. "Kita udah sampai di hari ini," bisik Nadia, napasnya terengah. "Iya. Hari di mana cinta kita lahir dalam wujud yang baru." Di ruang bersalin, waktu berjalan lambat dan cepat sekaligus. Para perawat dan dokter datang silih berganti. Kontraksi makin kuat. Reza tak pernah meninggalkan sisi Nadia, menggenggam ta
Memasuki trimester ketiga, Nadia mulai merasakan perubahan besar pada tubuhnya. Ia lebih cepat lelah, emosi mudah bergelombang, dan malam-malamnya sering kali diwarnai gelisah. Namun, dalam setiap peluh dan keletihan itu, ada Reza yang tak pernah beranjak jauh.Suatu malam, ketika angin berdesir lebih dingin dari biasanya, Reza memeluk Nadia dari belakang di tempat tidur. Ia bisa merasakan tubuh Nadia bergetar."Kamu mimpi buruk lagi?" bisiknya.Nadia mengangguk pelan. "Aku mimpi... kamu pergi. Aku panggil-panggil, tapi kamu nggak dengar. Rasanya sesak banget."Reza mengelus pelan perutnya, lalu menarik selimut lebih rapat. "Aku di sini. Dan aku nggak ke mana-mana. Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku ada buat kamu."Nadia membalas pelukannya, air mata mengalir tanpa suara. Di balik rasa lelah dan nyeri, hatinya tetap berdebar karena cinta yang tak berubah.Hari-hari berikutnya mereka habiskan dengan lebih pelan. Reza mengambil c
Empat bulan berlalu sejak kabar kehamilan itu datang seperti kejutan yang manis. Kini, di usia kandungan yang memasuki bulan kelima, Nadia mulai bisa merasakan gerakan kecil dari dalam rahimnya. Sentuhan halus, seolah ada getar-getar kehidupan yang sedang menyapa."Dia nendang... barusan banget," ujar Nadia dengan wajah ceria, menatap Reza yang baru pulang dari galeri.Reza dengan cepat berlutut di depan perut Nadia, meletakkan tangannya dengan hati-hati. "Nendang lagi dong, Nak. Biar Ayah juga bisa ngerasain."Beberapa detik kemudian, gerakan kecil itu datang lagi. Reza tersentak pelan dan tertawa kecil. "Aku nggak tahu gimana cara ngejelasinnya, tapi... rasanya kayak semesta nyapa langsung."Nadia membelai rambut Reza. "Itu adalah hidup baru yang kita buat. Kita jaga. Kita cintai, bahkan sebelum dia lahir."Malam-malam mereka kini dipenuhi dengan rencana-rencana kecil. Desain kamar bayi, pilihan nama, hingga impian tentang masa depan si