Pagi datang dengan pelan, menyeret sisa-sisa malam yang panjang. Aroma kopi memenuhi dapur Reinald, namun bukan itu yang membuat Alya terdiam di meja makan. Tatapan matanya tertuju pada secarik kertas yang terlipat rapi di hadapannya.Surat dari Clarissa.Alya membuka surat itu lagi, membacanya untuk ketiga kalinya. Tulisan tangan Clarissa begitu rapi, tapi kata-katanya menyiratkan kehancuran yang tenang."Aku memilih pergi. Bukan karena kalah, tapi karena aku sadar tidak bisa terus bertarung di medan yang bukan untukku. Aku mencintainya, Alya. Tapi kalian saling memiliki dengan cara yang tidak bisa kupecahkan. Jagalah dia... kalau kau masih sanggup."Alya menutup surat itu pelan. Ada rasa lega, tapi juga ganjalan yang sulit dijelaskan. Kepergian Clarissa membuat segalanya menjadi lebih jelas, namun tidak serta-merta menyembuhkan luka yang telah ada.Reinald masuk ke dapur dengan langkah pelan. Kemeja putihnya tergulung hingga siku, rambutnya masih basah setelah mandi. Ia membawa dua
Langit Jakarta malam itu muram, mendung menggantung seakan menyimpan rahasia besar yang tak pernah tersampaikan. Di dalam kediaman Reinald, sunyi menyelimuti seperti jeda panjang sebelum badai.Alya berdiri di depan jendela kamarnya, menatap ke arah taman belakang yang mulai diliputi kabut tipis. Bayangan pertemuannya dengan Reinald siang tadi masih membekas kuat. Bukan hanya kata-katanya yang menyakitkan, tapi juga tatapan mata pria itu—tajam, penuh kemarahan, namun ada luka yang bersembunyi di balik sorotnya.“Kenapa kau tidak bisa jujur padaku, Reinald…” gumam Alya lirih, suara hatinya nyaris tak terdengar di tengah bunyi hujan yang mulai turun perlahan.Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar dari pintu. Alya menghela napas, menghapus air mata yang tak ia sadari telah membasahi pipinya. Ia membuka pintu, dan di sana berdiri Clarissa."Maaf mengganggu," ucap Clarissa dengan nada tenang namun penuh beban. Ia tampak berbeda malam itu—tidak lagi angkuh dan menantang seperti biasanya. Wajah
Suara detak jarum jam terdengar begitu nyaring di antara keheningan kamar Reza. Langit di luar sudah memudar menjadi semburat jingga, pertanda sore menjelang malam. Tapi waktu terasa tak bergerak bagi Reza. Pandangannya kosong mengarah ke jendela, sementara tangannya meremas kertas foto lama yang ia temukan di dalam laci—foto dirinya dan Nadia, di hari ulang tahun wanita itu, dua tahun lalu.Sudah berapa hari sejak Nadia kembali?Entah. Yang pasti sejak perempuan itu hadir kembali dalam hidupnya, dunia Reza seolah dilempar kembali ke masa lalu. Rasa bersalah, rindu, dan amarah saling berdesakan dalam dadanya. Ia tahu Nadia mencoba bersikap tenang, mencoba menjadi perempuan yang kuat. Tapi ia bisa melihat jelas luka itu di balik sorot mata perempuan yang masih dicintainya sampai sekarang.Reza berdiri. Tubuhnya terasa berat. Tapi ada satu hal yang harus ia lakukan.---Nadia berdiri di balkon kamar penginapan kecil tempatnya tinggal sejak kembali ke Jakarta. Angin malam menyentuh pipin
Malam baru saja menurunkan tirainya ketika Nadia berdiri di balkon apartemennya, memandangi kelap-kelip lampu kota yang tak mampu menyamai gemuruh pikirannya. Hembusan angin menerpa rambut panjangnya, namun tak mampu mendinginkan panas yang membakar dadanya. Di balik segala kepura-puraan dan logika yang terus ia bangun untuk menjauh dari Reza, kini hatinya kembali ditarik—pelan tapi pasti.Pertemuan mereka beberapa hari lalu di kantor pengacara Armand menjadi titik balik yang tak bisa dihindari. Bukan hanya karena Reza membelanya dengan berani di hadapan Dimas dan Armand, tapi karena sorot mata pria itu—sorot yang sama seperti saat dulu ia memeluknya di bawah hujan pertama mereka sebagai pasangan.Tak ada yang bisa membantah bahwa Reza berubah. Tapi apakah perubahan itu cukup untuk mengobati luka masa lalu? Atau semua ini hanya permainan ilusi, kembali mengulang luka yang tak pernah benar-benar sembuh?Pintu apartemennya berbunyi pelan. Nadia menoleh. Ia tak menunggu siapa pun malam i
Senja menyelimuti Jakarta dalam warna jingga yang temaram. Jalanan yang ramai mulai dipenuhi lampu kendaraan, dan suara klakson bersahutan seperti irama tak beraturan dari sebuah kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di salah satu apartemen mewah di kawasan pusat, Nadia berdiri di depan jendela kaca yang membentang dari lantai ke langit-langit. Tangan kirinya menggenggam secangkir teh yang sudah mendingin, sedangkan matanya menerawang jauh, menatap kekosongan yang hanya bisa dirasakan oleh hati yang terluka.Sudah tiga hari sejak pertengkaran hebat itu. Tiga hari sejak Reza menggebrak meja, meninggalkan apartemen dengan wajah penuh amarah—dan mata yang merah karena air mata yang ditahan. Nadia tak menyangka ucapannya waktu itu akan melukai sebesar itu. Ia hanya ingin jujur, hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan boneka dalam cerita cinta Reza.Namun cinta tak pernah sesederhana itu.Telepon genggamnya bergetar di atas meja. Nama “Reza” menyala di layar, membuat dadanya berdesir
Senja belum benar-benar tenggelam saat Reza berdiri di tepi balkon apartemen Nadia. Angin sore mengusik kerah kemejanya, tetapi pikirannya jauh lebih kacau dari udara yang berembus pelan. Di dalam, Nadia sedang menuangkan teh ke dalam dua cangkir, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di antara mereka sejak sore tadi."Aku tahu kamu belum sepenuhnya memaafkan aku," ucap Reza pelan saat Nadia menyusulnya dengan dua cangkir teh hangat.Nadia tak langsung menjawab. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding balkon, menatap langit yang perlahan berubah biru kehitaman. "Maaf bukan soal kata-kata, Reza. Ini tentang rasa yang luka, dan waktu yang belum bisa menyembuhkan segalanya."Reza menunduk, tangannya menggenggam cangkir seolah itu jangkar agar ia tetap kuat berdiri. "Tapi aku ada di sini sekarang, berjuang untuk memperbaiki semuanya. Haruskah masa lalu terus membayangi kita?"Nadia menghela napas. "Bukan tentang masa lalu yang mengejar, Reza. Ini tentang ketakutan masa depan. Aku t