“Kamu gak pernah cerita ya sama aku tentang keluarga kamu secara keseluruhan gini.” Isak tangisku pecah.
“Claire maaf, aku pun gak kepikiran juga perihal ayam bakar buat mereka semarah itu.”“Tapi harusnya kamu bisa cerita, bisa bilang apa yang gak pernah kamu makan, apa yang gak mereka suka, harusnya kamu bilang!” Teriakku di dalam kamar pengantin yang tanpa ada hiasan apapun.“Oke oke, tenang dulu. Oke, aku salah.” “Gitu aja?” “Kamu makan dulu ya, aku ambilin piringnya sebentar.” Randi berusaha membujukku.“Udah gak perlu. Kamu bisa keluar sebentar gak Di?” Pintaku.“Kenapa? Ini juga kamarku, kan?”“Aku butuh waktu sendiri dulu.” Desakku.“Oke, aku keluar dulu. Claire tolong jangan berpikir terlalu jauh ya.” Ia mengingatkan kembali sebab ia amat paham bagaimana aku bisa berpikir yang berlebihan.Ia keluar dari dalam kamar, diikuti oleh diriku yang mau langsung mengunci kamarnya ini. Setelahnya aku kembali ke atas ranjang yang tanpa hiasan apapun untuk mencirikan adanya pengantin baru.“Apa yang sudah ku lakukan sampai-sampai kedua orang tuanya membenciku?” Batinku, dan diikuti berbagai pertanyaan lainnya yang membuatku nangis kejer.Tak berapa lama kemudian, dering ponselku berbunyi.“Cle, lo dimana? Gak masuk kantor?” Tanya Catherine dari seberang sana.“Gu.. gue di rumah. Ada apa?” Pernikahan ini sangat tersembunyi, bahkan orang kantor pun tidak ada yang tahu bahwa kini statusku bukanlah lagi pacarnya Randi, melainkan saat ini sudah sampai di level menjadi istri CEO di perusahaan terkemuka negeri.“Dokumen legalitas perusahaan lo letakkin dimana deh Cle?”“Buat apa?” Tanyaku balik.“Lo lupa hari ini kan ada presentasi pemegang saham baru.” “Astaga, gue lupa.” Batinku spontak menepuk jidat.“Pak Randi gak datang, terus siapa yang mewakili?”“Nah ini, pihak keuangan juga minta Pak Randi buat datang sekarang, tapi beliau belum respon.” Ujarnya.“Oke sebentar, dokumen legalitas ada di lemari gue, tapi kuncinya gue bawa. Gue segera ke kantor ya.” Buru-buru, aku langsung mencari keberadaan Randi. Ku buka pintu kamar yang sedari ku tutup, menuruni satu per satu anak tangga.“Ma, maaf ada lihat Mas Randi?” Kebetulan Airin masih berada di ruang tengah sehingga tidak mungkin sekali aku langsung melewatinya tanpa berteguran sepatah dua patah kata kepada ibu mertua yang galak ini.“Makanya jangan sok usir suami. Lagian ini rumahnya dia, lo siapa ngusir-ngusir anak gue dari kamarnya?” Ya, berbicara dengan Airin adalah sebuah kesalahan fatal, karena bagaimanapun apa yang ku lakukan pasti selalu salah di matanya.“Maaf Ma. Aku permisi dulu.” Aku persingkat waktu berdebat dengannya, sebab ada urusan penting dan mendesak yang perlu ku sampaikan kepada Randi.“Mas….” Teriakku dari kejauhan yang ternyata Randi masih berada di tepi kolam renang.“Mas, hari ini ada rapat pemegang saham. Ingatkah?” “Astaga Claireee, agenda sepenting itu kamu baru kabarin sekarang?” Sontak saja ia kaget.“Maaf, aku pun lupa karena tersita oleh acara pernikahan kita.” Aku menunduk malu, sebab selama menjadi sekretarisnya aku sangat jarang melakukan kesalahan apalagi kesalahan kali ini bisa dibilang cukup fatal.Randi langsung beranjak pergi meninggalkanku tanpa sepatah katapun menerima permohonan maaf yang telah ku lontarkan.“Cepat kamu bersiap!” Beberapa langkah setelahnya, ia menoleh kembali melihatku dengan suara yang tegas.***“Dokumen legalnya mana Claire?” Baru juga kaki memasuki ruangan kerja, sudah langsung ditagih oleh Catherine yang sepertinya sedari tadi telah menunggu kehadiranku.“Bentar, bentar. Ini gue ambilin dulu.” “Lo sudah buat materi presentasinya kan?” Catherine memastikan lagi.“Bukannya bagian lo yang buat?” Jelas saja kali ini aku melemparkan balik atas pertanyaan yang tengah diajukan oleh Catherine.“Gak ada gue buat. Waduh gimana Claire tinggal tiga puluh menit lagi ini.” Ia terlihat panik.“Sudah-sudah tenang dulu. Lo coba buat dulu sekarang, sementara gue antar dokumen legal ini ke pihak manajemen.” Catherine mengangguk pertanda setuju dengan skenario yang sudah ku buat.Sesampainya di lantai tiga puluh, terlihat sudah cukup ramai beberapa orang manajemen yang tengah diskusi satu sama lain, sebab acara ini pun dilakukan mendadak mengingat akhir tahun sering terjadi audit.“Permisi…” Aku mengetuk ruangan yang berisi beberapa orang pengurus manajemen.“Masuk Claire. Mau serahkan dokumen legal ya?” Mereka memastikan tujuan kehadiranku disini.“Iya Mba. Berikut dokumennya.” Aku menyerahkan dokumen yang dibalut dengan map merah.“Materi presentasinya nanti tolong dikirim ke alamat emailku juga ya. Mau kami review terlebih dahulu kira-kira ada yang bisa disatukan dengan materi kami atau bagaimana.” Pintanya yang justru membuatku semakin tertekan.“Baik Mba Asha, sebentar ya, nanti segera ku kirimkan.” Balasku singkat.“Kalau begitu, aku permisi dulu.” Pamit.Seolah ada yang menarik tanganku dari arah belakang,“Cleee, selamat atas pernikahanmu.” Bisik Asha sembari tersenyum dengan suara yang amat pelan.Jelas saja raut wajahku kaget dan ketakutan. Sebab di dalam surat perjanjian yang telah ku tandatangani, di salah satu poinnya terdapat pernyataan bahwa tidak ada satu pun karyawan perusahaan yang boleh tahu tentang acaraku kemarin. Namun, kini Asha mengetahuinya, lantas darimana pula Asha bisa tahu berita yang sengaja dikubur ini?“Udah kamu gak perlu takut dan panik. Cukup aku aja yang tahu.” Bisiknya lagi seolah bisa membaca pikiranku. Lidahku kaku hingga bahkan mulutku seolah membisu mendengar apa yang diucapkan oleh Asha. Hingga pikiranku penuh dengan semua pertanyaan yang mungkin terjadi asal usul berita pernikahanku ini. Bahkan di sepanjang jalan menuju ruanganku, semua pikiran kusut mampir mendekatiku, menebak semua kemungkinan yang terjadi jika berita ini akhirnya tersebar seantero kantor. Dampak yang mungkin lebih besar mungkin saja di nilai saham perusahaan, sebab sang CEO menikah dengan wanita miskin sepertiku.“Clee, ini materi presentasinya belum siap. Gue harus gimana ya?” Suara Catherine memecahkan lamunanku di sepanjang jalan yang ku lewati.“Serius? Udah sampai mana?” Pikiran kosongku tadi berubah menjadi sebuah kepanikan.“Baru sampai slide lima belas ini.” Ia terlihat menyerah.“Gue bantu slide dua puluh sampai tiga puluhnya. Kita punya waktu sekitar lima belas menit lagi.” “Gak akan keburu Claire…”“Kita coba dulu, cepat jangan nyerah Cath…” Balasku yang mencoba untuk meyakinkan bahwa semuanya pasti baik-baik aja. Ya meskipun Catherine seringkali merudungku, namun kali ini sepertinya aku bisa menyampingkan hal tersebut, sebab profesionalitas dan totalitas untuk perusahaan adalah tanggung jawabku sebagai sekretaris bukan sebagai pacarnya atau kini istrinya Randi.Aku dan Catherine saling sibuk melakukan kerjaan dekat deadline kali ini, walaupun di satu sisi kami berdua sama-sama panik karena sepertinya waktu yang memang tidak akan cukup untuk selesai di waktu yang tepat, tapi gak ada salahnya untuk dicoba terlebih dahulu.“Astaga Cath, tadi Asha minta kita kirim pptnya untuk compiling dan cek kesesuaian dengan acara rapat kali ini.” Lagi dan lagi pikiranku yang ruwet menenggelamkan sesuatu yang amat penting untuk ku lakukan kali ini.“Haduh, gimana Claire, ini aja kita belum kelar.” Celotehnya.“Ya sudah fokus kesini dulu aja. Udah gak punya banyak waktu.” Pada akhirnya aku mengambil keputusan yang ekstrim.Waktu terus berputar hingga sampai di satu menit terakhir…“Claire… Kamu Claire kan?” Tegur seorang pria dari kejauhan."Claire jelas saja menoleh ke arah samping kanan tempat dimana beberapa lift terletak disana."Samar-samar pria itu datang dan menghampiriku. Pria itu tinggi, dengan tubuh proporsional dan kemeja navynya serta sinar matanya yang sangat familiar diingatanku."Lo ngapain disini?" Sekali lagi ia menorehkan senyumannya kepadaku."Eehh... Lo Arsy?" Aku coba mereka ulang ingatanku yang sebenarnya juga gak mungkin aku lupakan, karena ia sempat tertulis dalam catatan harianku dulu."Hahaha iya ini gue Cle. Siapa lagi kalo bukan gue? Gue gak ada kembarannya, tenang aja..." Ia membalasku dengan tertawa."Hahahaa gak nyangka aja bisa ketemu lo disini Ar. Gue pikir lo gak akan balik ke Indonesia lagi setelah betah di Norway sana.." Celetukku sembari memegang laptop tempat semua data yang mau dipresentasikan tersimpan."Panjang ceritanya, entar aja kita agendakan buat ngobrol lagi. Gue ada meeting nih.." Ia pamit dan melangkah pergi tepat dihadapanku dengan meninggalkan senyuman yang masih sama se
"Mas, sudah pulang, Ma?" Aku coba mencairkan suasana dan sangat berusaha untuk akrab dengan mertuaku ini."Ya sudah, kamu darimana aja jam segini kok baru pulang...." Ia masih terus sibuk mengusap vas bunganya dan sesekali menatap sinis ke arahku yang masih berdiri di depan pintu."Maaf Ma, tadi nunggu taksinya lumayan lama. Aku permisi naik ke kamar dulu ya Ma..." Pamitku, memastikan nada bicaraku sudah amat rendah.Ia hanya mendiamkanku, dan aku langsung saja bergegas untuk menaikkan satu per satu anak tangga. Tepat di ujung sana dekat balkon itu adalah kamar suamiku, Randi."Kok lama banget sayang? Macet?" Randi yang baru saja habis mandi, masih dengan handuknya lantas langsung menegurku."Udah selesai mandinya? Pakek baju dulu gih sana.." Aku membalikkan badanku, masih canggung rasanya melihat Randi dengan dada terbuka seperti itu."Aku nanya duluan..." "Macet juga, tapi lebih parahnya karena taksi yang ku order terlambat datangnya." Aku masih dengan membalikkan tubuhku dari waja
"Kamu mau bareng aja gak sama aku, sayang?" Randi tengah mengunyah roti dengan selai nanas membuka obrolan di meja makan pukul 6 pagi. "Ya jangan. Entar kalo ada yang lihat dia gimana..." Celetuk Airin."Iya jangan deh, mending kamu pakai taksi online aja.." Tambah Roger.Aku seolah tidak perlu lagi menjawab atas pertanyaan Randi, karena sudah diwakilkan oleh mertuaku yang sangat ingin menutupi identitasku sebagai menantunya."Are you ok, baby?" Randi mengangkat daguku yang sedari tadi tidak berani menatap wajahnya atau bahkan sekitar.Mataku membalas dengan menatapnya."I.. iya gak apa-apa sayang. Lebih baik gitu aja..." Tambahku. Lalu, aku melanjutkan menu sarapan yang sudah ada di depan mataku."Ingat ya, hari ini ada arisan. Kamu pulangnya jangan lebih dari jam 6 deh. Kalo ternyata lebih dari jam 6, mending kamu nginep di hotel aja. Paham?" Tinggal dengan keluarga Randi yang baru dua hari saja sudah penuh tekanan lahir batin, gak kebayang bagaimana jadinya jika aku harus hidup d
Tepat pukul 17.58 aku sampai di depan gerbang rumah mewah konglomerat yang kini sudah menjadi rumahku juga."Non, cepat masuk ya, daritadi ibu sudah ngomel-ngomel...." Ucap satpam yang masih belum kuketahui juga namanya karena di rumah ini beneran interaksiku sangat dibatasi."I...iya Pak, terima kasih..." Aku langsung bergegas lari agar bisa cepat masuk ke dalam rumah."Assalamualaikum...." Aku perlahan membuka pintu kayu dengan ornamen ukiran kayu sebagai penghiasnya."Mepet banget ya, untung gak sampai terlambat. Sana naik ke atas kamu!" Mama mertuaku sudah mengenakan setelan blouse biru dengan rok setengah lututnya. Sementara Roger mengenakan setelan kemeja batik yang sudah jelas dari kelihatannya saja terlihat mahal."Aku perlu bantu-bantu, Ma?" "Gak perlu. Masuk aja ke dalam kamar, gak usah keluar-keluar. Paham?" Perintahnya.Aku mengangguk pelan, dan berjalan melintasi satu per satu anak tangga hingga sampai di depan kamarku."Huft cukup lega sudah sampai sini...." Batinku yan
"Pokoknya hal begini jangan sampai terulang lagi. Didik tuh istri kamu, dibilang sama orang tua tuh susah banget....." Cela Airin di pagi hari yang masih awal untuk sekedar berinteraksi namun ia telah mengomeliku di depan Roger, Randi, dan asisten rumah tangganya."Memang Claire kenapa Ma?" Randi lantas bingung dengan serangan fajar ini. Aku pun sama sekali tidak menceritakan ke suamiku perihal masalah tadi malam."Tuhkan bahkan hal yang krusial aja, dia bisa gak cerita sama suaminya. Istri seperti apa sih kamu?" Nadanya lebih tinggi lagi.Aku menunduk kala air mataku sudah tidak bisa ku bendung lagi. Dengan sigap, telapak tanganku mengusap pipiku, memastikan Airin tidak melihat jatuhnya air mataku.Randi sontak menarik tanganku, membawaku ke area taman belakang. Duduk di tepi kolam renang mungkin untuk sekedar menanyakan peristiwa apa yang ia lewati kemarin."Kenapa kamu gak cerita apa-apa?" Ia nada bicaranya lebih tinggi daripada bias
"Kenapa sih Claire kelihatannya canggung banget...." Tegur Arsy yang kini sudah berada dihadapanku tengah melihat buku menu."E..enggak kok. Sudah pesan?" Balasku."Udah tau mau pesan apa. Nih, kamu mau pesan apa?" Ia menyodorkan buku menunya kepadaku."Pasti sih vanilla milkshake ya...." Celetuknya dengan tertawa.Ia masih begitu jelas mengingat menu minuman favoritku ketika dinner bersammanya."Bener gak gue, Claire?" Ia memastikan, dan memang pria ini tipikal yang butuh validasi."Iya benar kok. Ya udah aku pesan vanilla milkshake sama spaghetti aja.." Aku mengembalikan buku menu tersebut kepada sang pelayan yang sedari tadi sudah berada di tengah kami."Saya ulangi ya Bu menu pesanannya. Ada milkshake vanilla dua, spaghetti satu, dan nasi goreng satu." Ucap pelayan memastikan apa yang kami order telah sesuai.Setelah aku dan Arsy kompak mengangguk pelan, wanita tersebut pamit untuk menyiapkan pesanan kami.
"Cle tunggu dulu. Kamu tuh ya kebiasaan suka mood swing gak jelas..." Randi mengejar dan menarik tanganku."Apalagi?" Tanpa sadar suaraku memang cukup tinggi kali ini menghadapinya."Ya kamu main pergi gitu aja. Aku kan cuma nanya..." Ia membela dirinya."Randi, untuk apa sih kita nikah kalo ujung-ujungnya kamu gak pernah kasih rasa percaya itu ke aku?""Maksud kamu? Aku gak mau kita masuk ke dalam rumah masih dengan kondisi marahan gini ya Cle..." Ia lagi-lagi coba mengancamku. Aku sadar pertengkaran kami ini disaksikan juga oleh satpam yang sedari tadi sedikit melirik ke arah kami. Cuma memang aku sudah gak sabar untuk meluapkan emosi.Aku diam, menatap tajam mata Randi lalu jalan perlahan ke arahnya."Ran, tolong kasih aku rasa percaya. Aku bukan lagi pacar kamu, aku sudah jadi istri kamu. Aku butuh kamu untuk percaya sama aku, aku sama Arsy ya cuma sebatas teman SMA aja gak lebih. Jadi tolong berhenti untuk berpikir
"Aku mau ngobrol sama kamu malam ini..." Ia melindungi dirinya."Bukan, bukan masalah kamu baru bilangnya sekarang, tapi kok bisa mama duluan yang tau daripada aku?" Aku menegaskan kembali arah obrolanku yang sama sekali merasa tidak dihargai sebagai istri olehnya."Lah kan gak ada masalahnya juga. Udah deh jangan buat buat keributan yaaa...." Ia membantahku lagi dan beranjak pergi...****"Claire sama Cathrine tolong ke ruangan saya sekarang..." Rasanya semalaman suntuk Randi enggan berbicara kepadaku, entah karena dia badmood aku terus-terusan bermasalah dengan Airin atau memang ada yang sedang ia pikirkan, entahlah. Tiba-tiba pagi hari ini, jam delapan tepatnya ia memintaku dan Catherine untuk ke ruangannya jelas saja aku merasa sedikit awkward untuk menatap matanya."Baik Pak..." Ucap Catherine.Perempuan dengan rok diatas lutusnya itu dengan sigap memasuki ruangan Randi tanpa mengajakku. Ya memang santer kabar yang