Share

Part 5 Kesalahan Claire

“Kamu gak pernah cerita ya sama aku tentang keluarga kamu secara keseluruhan gini.” Isak tangisku pecah.

“Claire maaf, aku pun gak kepikiran juga perihal ayam bakar buat mereka semarah itu.”

“Tapi harusnya kamu bisa cerita, bisa bilang apa yang gak pernah kamu makan, apa yang gak mereka suka, harusnya kamu bilang!” Teriakku di dalam kamar pengantin yang tanpa ada hiasan apapun.

“Oke oke, tenang dulu. Oke, aku salah.” 

“Gitu aja?” 

“Kamu makan dulu ya, aku ambilin piringnya sebentar.” Randi berusaha membujukku.

“Udah gak perlu. Kamu bisa keluar sebentar gak Di?” Pintaku.

“Kenapa? Ini juga kamarku, kan?”

“Aku butuh waktu sendiri dulu.” Desakku.

“Oke, aku keluar dulu. Claire tolong jangan berpikir terlalu jauh ya.” Ia mengingatkan kembali sebab ia amat paham bagaimana aku bisa berpikir yang berlebihan.

Ia keluar dari dalam kamar, diikuti oleh diriku yang mau langsung mengunci kamarnya ini. Setelahnya aku kembali ke atas ranjang yang tanpa hiasan apapun untuk mencirikan adanya pengantin baru.

“Apa yang sudah ku lakukan sampai-sampai kedua orang tuanya membenciku?” Batinku, dan diikuti berbagai pertanyaan lainnya yang membuatku nangis kejer.

Tak berapa lama kemudian, dering ponselku berbunyi.

“Cle, lo dimana? Gak masuk kantor?” Tanya Catherine dari seberang sana.

“Gu.. gue di rumah. Ada apa?” Pernikahan ini sangat tersembunyi, bahkan orang kantor pun tidak ada yang tahu bahwa kini statusku bukanlah lagi pacarnya Randi, melainkan saat ini sudah sampai di level menjadi istri CEO di perusahaan terkemuka negeri.

“Dokumen legalitas perusahaan lo letakkin dimana deh Cle?”

“Buat apa?” Tanyaku balik.

“Lo lupa hari ini kan ada presentasi pemegang saham baru.” 

“Astaga, gue lupa.” Batinku spontak menepuk jidat.

“Pak Randi gak datang, terus siapa yang mewakili?”

“Nah ini, pihak keuangan juga minta Pak Randi buat datang sekarang, tapi beliau belum respon.” Ujarnya.

“Oke sebentar, dokumen legalitas ada di lemari gue, tapi kuncinya gue bawa. Gue segera ke kantor ya.” 

Buru-buru, aku langsung mencari keberadaan Randi. Ku buka pintu kamar yang sedari ku tutup, menuruni satu per satu anak tangga.

“Ma, maaf ada lihat Mas Randi?” Kebetulan Airin masih berada di ruang tengah sehingga tidak mungkin sekali aku langsung melewatinya tanpa berteguran sepatah dua patah kata kepada ibu mertua yang galak ini.

“Makanya jangan sok usir suami. Lagian ini rumahnya dia, lo siapa ngusir-ngusir anak gue dari kamarnya?” Ya, berbicara dengan Airin adalah sebuah kesalahan fatal, karena bagaimanapun apa yang ku lakukan pasti selalu salah di matanya.

“Maaf Ma. Aku permisi dulu.” Aku persingkat waktu berdebat dengannya, sebab ada urusan penting dan mendesak yang perlu ku sampaikan kepada Randi.

“Mas….” Teriakku dari kejauhan yang ternyata Randi masih berada di tepi kolam renang.

“Mas, hari ini ada rapat pemegang saham. Ingatkah?” 

“Astaga Claireee, agenda sepenting itu kamu baru kabarin sekarang?” Sontak saja ia kaget.

“Maaf, aku pun lupa karena tersita oleh acara pernikahan kita.” Aku menunduk malu, sebab selama menjadi sekretarisnya aku sangat jarang melakukan kesalahan apalagi kesalahan kali ini bisa dibilang cukup fatal.

Randi langsung beranjak pergi meninggalkanku tanpa sepatah katapun menerima permohonan maaf yang telah ku lontarkan.

“Cepat kamu bersiap!” Beberapa langkah setelahnya, ia menoleh kembali melihatku dengan suara yang tegas.

***

“Dokumen legalnya mana Claire?” Baru juga kaki memasuki ruangan kerja, sudah langsung ditagih oleh Catherine yang sepertinya sedari tadi telah menunggu kehadiranku.

“Bentar, bentar. Ini gue ambilin dulu.” 

“Lo sudah buat materi presentasinya kan?” Catherine memastikan lagi.

“Bukannya bagian lo yang buat?” Jelas saja kali ini aku melemparkan balik atas pertanyaan yang tengah diajukan oleh Catherine.

“Gak ada gue buat. Waduh gimana Claire tinggal tiga puluh menit lagi ini.” Ia terlihat panik.

“Sudah-sudah tenang dulu. Lo coba buat dulu sekarang, sementara gue antar dokumen legal ini ke pihak manajemen.” 

Catherine mengangguk pertanda setuju dengan skenario yang sudah ku buat.

Sesampainya di lantai tiga puluh, terlihat sudah cukup ramai beberapa orang manajemen yang tengah diskusi satu sama lain, sebab acara ini pun dilakukan mendadak mengingat akhir tahun sering terjadi audit.

“Permisi…” Aku mengetuk ruangan yang berisi beberapa orang pengurus manajemen.

“Masuk Claire. Mau serahkan dokumen legal ya?” Mereka memastikan tujuan kehadiranku disini.

“Iya Mba. Berikut dokumennya.” Aku menyerahkan dokumen yang dibalut dengan map merah.

“Materi presentasinya nanti tolong dikirim ke alamat emailku juga ya. Mau kami review terlebih dahulu kira-kira ada yang bisa disatukan dengan materi kami atau bagaimana.” Pintanya yang justru membuatku semakin tertekan.

“Baik Mba Asha, sebentar ya, nanti segera ku kirimkan.” Balasku singkat.

“Kalau begitu, aku permisi dulu.” Pamit.

Seolah ada yang menarik tanganku dari arah belakang,

“Cleee, selamat atas pernikahanmu.” Bisik Asha sembari tersenyum dengan suara yang amat pelan.

Jelas saja raut wajahku kaget dan ketakutan. Sebab di dalam surat perjanjian yang telah ku tandatangani, di salah satu poinnya terdapat pernyataan bahwa tidak ada satu pun karyawan perusahaan yang boleh tahu tentang acaraku kemarin. Namun, kini Asha mengetahuinya, lantas darimana pula Asha bisa tahu berita yang sengaja dikubur ini?

“Udah kamu gak perlu takut dan panik. Cukup aku aja yang tahu.” Bisiknya lagi seolah bisa membaca pikiranku. 

Lidahku kaku hingga bahkan mulutku seolah membisu mendengar apa yang diucapkan oleh Asha. Hingga pikiranku penuh dengan semua pertanyaan yang mungkin terjadi asal usul berita pernikahanku ini. Bahkan di sepanjang jalan menuju ruanganku, semua pikiran kusut mampir mendekatiku, menebak semua kemungkinan yang terjadi jika berita ini akhirnya tersebar seantero kantor. Dampak yang mungkin lebih besar mungkin saja di nilai saham perusahaan, sebab sang CEO menikah dengan wanita miskin sepertiku.

“Clee, ini materi presentasinya belum siap. Gue harus gimana ya?” Suara Catherine memecahkan lamunanku di sepanjang jalan yang ku lewati.

“Serius? Udah sampai mana?” Pikiran kosongku tadi berubah menjadi sebuah kepanikan.

“Baru sampai slide lima belas ini.” Ia terlihat menyerah.

“Gue bantu slide dua puluh sampai tiga puluhnya. Kita punya waktu sekitar lima belas menit lagi.” 

“Gak akan keburu Claire…”

“Kita coba dulu, cepat jangan nyerah Cath…” Balasku yang mencoba untuk meyakinkan bahwa semuanya pasti baik-baik aja. Ya meskipun Catherine seringkali merudungku, namun kali ini sepertinya aku bisa menyampingkan hal tersebut, sebab profesionalitas dan totalitas untuk perusahaan adalah tanggung jawabku sebagai sekretaris bukan sebagai pacarnya atau kini istrinya Randi.

Aku dan Catherine saling sibuk melakukan kerjaan dekat deadline kali ini, walaupun di satu sisi kami berdua sama-sama panik karena sepertinya waktu yang memang tidak akan cukup untuk selesai di waktu yang tepat, tapi gak ada salahnya untuk dicoba terlebih dahulu.

“Astaga Cath, tadi Asha minta kita kirim pptnya untuk compiling dan cek kesesuaian dengan acara rapat kali ini.” Lagi dan lagi pikiranku yang ruwet menenggelamkan sesuatu yang amat penting untuk ku lakukan kali ini.

“Haduh, gimana Claire, ini aja kita belum kelar.” Celotehnya.

“Ya sudah fokus kesini dulu aja. Udah gak punya banyak waktu.” Pada akhirnya aku mengambil keputusan yang ekstrim.

Waktu terus berputar hingga sampai di satu menit terakhir…

“Claire… Kamu Claire kan?” Tegur seorang pria dari kejauhan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status