"Claire jelas saja menoleh ke arah samping kanan tempat dimana beberapa lift terletak disana."
Samar-samar pria itu datang dan menghampiriku. Pria itu tinggi, dengan tubuh proporsional dan kemeja navynya serta sinar matanya yang sangat familiar diingatanku.
"Lo ngapain disini?" Sekali lagi ia menorehkan senyumannya kepadaku.
"Eehh... Lo Arsy?" Aku coba mereka ulang ingatanku yang sebenarnya juga gak mungkin aku lupakan, karena ia sempat tertulis dalam catatan harianku dulu.
"Hahaha iya ini gue Cle. Siapa lagi kalo bukan gue? Gue gak ada kembarannya, tenang aja..." Ia membalasku dengan tertawa.
"Hahahaa gak nyangka aja bisa ketemu lo disini Ar. Gue pikir lo gak akan balik ke Indonesia lagi setelah betah di Norway sana.." Celetukku sembari memegang laptop tempat semua data yang mau dipresentasikan tersimpan.
"Panjang ceritanya, entar aja kita agendakan buat ngobrol lagi. Gue ada meeting nih.." Ia pamit dan melangkah pergi tepat dihadapanku dengan meninggalkan senyuman yang masih sama seperti 3 tahun yang lalu.
Aku mengikutinya dari belakang, kebetulan juga ruangan yang mau aku tuju searah dengan gerakan kaki Arsy. T... tapi... kok Arsy masuk ke ruangan yang mau aku tuju. Disitu aku mulai berpikir,
"Dia gak mungkin jadi investornya kan?" Gejolak batinku.
Tentu saja kehadiranku, membuat matanya melalak, lalu menggoreskan senyumnya lagi dengan terus menatapku. Selang satu menit kemudian, Randi masuk membawa ipad kesayangannya serta buku tulis dan pena untuk mencatat hal-hal yang memang penting baginya. Ya itulah Randi, meskipun ia mempunyai sekretaris, tetap saja ia selalu punya cara sendiri untuk merangkum setiap hasil meeting. Baginya, pemimpin harus punya ciri khas, dan ciri khas Randi adalah mencatat manual hasil meeting.
"Bro, dari tadi?" Randi bersiap duduk disampingku sembari menegur Arsy.
"Iya nih, gue pikir gue yang telat eh ternyata CEOnya malah yang telat hahaha..." Balas Arsy santai.
Aku sangat merasa matanya sesekali masih melirikku, dan aku hanya bisa tertunduk agar tidak menyebabkan huru hara nantinya.
"Ahahaha sorry Bro, tadi gue ada urusan dulu."
"Tapi kok kelihatannya lo seger banget, padahal ini udah siang loh. Abis mandi banget ya lo? Hahaha.." Jelas saja seantero ruangan menahan kikik tawa akibat lontaran candaan Arsy.
"Hahah bisa aja lo.."
"Claire gimana? Semua sudah aman kan?" Randi sedikit berbisik disampingku.
"Aman, aku yang share screen dulu ya." Balasku.
Meeting perdana dengan Arsy jelas saja beberapa kali membuatku berpikir rasanya ini bukan Arsy yang dulu aku kenal. Kenapa? Karena Arsy yang dulu tipikal pria introvert, yang gak pandai komunikasi atau beradu komentar, ia biasa aja, tidak sangat pintar, dan tidak sangat bodoh. Tapi Arsy sekarang sangatlah berubah, ia bak pria cerdas yang berulang kali memberikan argumen dan berani untuk mengajukan diskusi. Meski sesekali mataku enggan berhenti menatapnya karena terkesima dengan apa yang ia sampaikan, tapi aku harus menundukkan pandanganku kepadanya, karena ya kini aku sudah berstatus sebagai istri, meski ditutupi oleh publik.
"Oke, jadi kalo dari saya sih setuju ya untuk investasi disini dengan catatan perlu adanya dedicated manajemen yang fokus mengelola dana yang saya berikan. Ya harapannya sih tidak tercampur dengan investor lainnya." Tutup Arsy memberikan kesimpulan pada pertemuan perdana ini.
"Oke saya setuju Ar. Mungkin nanti sekretaris saya, Claire akan menjadi contact person kamu untuk selanjutnya pengurusan administrasi dan lain-lain. Sama mungkin dalam waktu dekat kita agendakan untuk meeting di Bali kali ya, untuk schedule peresmiannya. Gimana?" Jawab Randi.
"Yes boleh. Nanti hubungi saya aja ya Mba Claire untuk dokumen-dokumen keperluannya..." Ia melirikku dengan senyumannya lagi. Ya aku harus apresiasi Arsy, karena ia mampu profesional sekarang. Kalo dibandingkan dengan Arsy dulu, ah entahlah, sama sekali kekanak-kanakan.
Ternyata, waktu bisa membuat Arsy berubah menjadi sosok yang lebih baik, dan aku bangga kepadanya kini meski ia bukan milikku lagi.
Setelah pertemuan selesai, aku langsung membereskan laptopku, dan mengantarkan Arsy untuk sampai ke lobi, karena ya ia adalah tamu utama dalam pertemuan ini, sementara aku sebagai yang mewakili tuan rumah sudah selayaknya mengantarkan tamuku sampai di depan lobi.
"Claire, boleh minta nomor kamu?" Setelah keluar dari lift, Arsy meminta nomorku.
"Eh, maaf harusnya kan aku yang minta nomor kamu. Haduh maaf ya..." Aku pun baru ingat harus menyimpan nomor Arsy, sebab aku lah yang akan menjadi personal assistant Arsy selama ia menjadi investor di perusahaan ini.
"Gak apa-apa kali. Boleh minta nomor kamu?" Sekali lagi ia menanyakan hal yang sama.
"Nomor kamu berapa?" Aku justru bertanya balik. Ku keluarkan ponsel yang memang fokus untuk pekerjaanku saja, agar tidak menganggu kehidupan pribadiku.
"Eh hape kamu ada dua? Aku mau nomor pribadi kamu bukan nomor kebutuhan bisnis.." Ia mencegahku.
"Yaudah entar aku simpan nomor kamu di dua-duanya. Jadi ada khusus untuk pekerjaan, dan satu lagi karena kamu teman SMA aku.." Responku.
"Oke, nomor gue ini.." Ia menunjukkan 12 digit nomor yang tertera diponselnya.
"Masih pelupa?" Aku meliriknya setelah berhasil menyimpan 12 digit nomor itu ke dalam ponsel bisnisku.
"Hahaha memang orang bisa berubah?" Ia justru melemparkan pertanyaan lagi.
"Oh kamu sekarang jadi suka debat ya, padahal dulu selalu menghindari perdebatan..." Balasku dengan tersenyum tipis melihat perubahan seorang Arsy yang sangat signifikan adanya.
"Hahaha, oh berarti gue cukup berubah ya. Eh itu jangan lupa simpan juga di hape pribadi kamu..." Lagi lagi ia mengingatkan.
"Iya nih udah.."
"Mana chatnya..."
"Chat?" Tanpa sadar aku menaikkan alisku.
"Iya, kan gue mau simpan nomor kamu, gimana bisa aku chat kalo aku gak tau nomor kamu Claire..."
Aku membuka ponsel pribadiku dan ku chat huruf P doang ke nomornya.
"Hahah kebiasaan kamu masih ya, P adalah andalan buat spam orang pasti..." Nostalgia kecil ini lantas juga membuatku tertawa mengingat kala itu kegabutanku yang sedang menemani tante ke dokter gigi, karena Arsy tidak kunjung membalas pesanku, ada sekitar 30 chat yang hanya bertuliskan P kepadanya.
"Hahaha udah jangan dibahas. Gue malu kalo dibahas..." Alihku.
"Ya abisnya udah lama banget gak ngobrol, ternyata kalo diobrolin ulang lucu banget ya hahaha..." Celetuknya Arsy juga lantas menorehkan senyum dipipiku.
"Ya udah, thanks ya Claire. Gue pulang dulu. Terkait dokumen dan lain-lain entar kamu kasih tau aja apa yang harus gue dan tim siapin. See you Claire!" Ia meninggalkan senyumnya dihadapanku, sembari melangkahkan kakinya menuju keluar lobi. Ya dari meja resepsionis ini, terlihat ia telah ditunggu oleh mobil mewah.
"Baru pulang jam segini? Sekalian aja gak usah pulang deh!" Teriak ibu mertuaku, Airin di depan ruang tamu yang tengah mengoles vas bunga kristalnya.
"Mas, sudah pulang, Ma?" Aku coba mencairkan suasana dan sangat berusaha untuk akrab dengan mertuaku ini."Ya sudah, kamu darimana aja jam segini kok baru pulang...." Ia masih terus sibuk mengusap vas bunganya dan sesekali menatap sinis ke arahku yang masih berdiri di depan pintu."Maaf Ma, tadi nunggu taksinya lumayan lama. Aku permisi naik ke kamar dulu ya Ma..." Pamitku, memastikan nada bicaraku sudah amat rendah.Ia hanya mendiamkanku, dan aku langsung saja bergegas untuk menaikkan satu per satu anak tangga. Tepat di ujung sana dekat balkon itu adalah kamar suamiku, Randi."Kok lama banget sayang? Macet?" Randi yang baru saja habis mandi, masih dengan handuknya lantas langsung menegurku."Udah selesai mandinya? Pakek baju dulu gih sana.." Aku membalikkan badanku, masih canggung rasanya melihat Randi dengan dada terbuka seperti itu."Aku nanya duluan..." "Macet juga, tapi lebih parahnya karena taksi yang ku order terlambat datangnya." Aku masih dengan membalikkan tubuhku dari waja
"Kamu mau bareng aja gak sama aku, sayang?" Randi tengah mengunyah roti dengan selai nanas membuka obrolan di meja makan pukul 6 pagi. "Ya jangan. Entar kalo ada yang lihat dia gimana..." Celetuk Airin."Iya jangan deh, mending kamu pakai taksi online aja.." Tambah Roger.Aku seolah tidak perlu lagi menjawab atas pertanyaan Randi, karena sudah diwakilkan oleh mertuaku yang sangat ingin menutupi identitasku sebagai menantunya."Are you ok, baby?" Randi mengangkat daguku yang sedari tadi tidak berani menatap wajahnya atau bahkan sekitar.Mataku membalas dengan menatapnya."I.. iya gak apa-apa sayang. Lebih baik gitu aja..." Tambahku. Lalu, aku melanjutkan menu sarapan yang sudah ada di depan mataku."Ingat ya, hari ini ada arisan. Kamu pulangnya jangan lebih dari jam 6 deh. Kalo ternyata lebih dari jam 6, mending kamu nginep di hotel aja. Paham?" Tinggal dengan keluarga Randi yang baru dua hari saja sudah penuh tekanan lahir batin, gak kebayang bagaimana jadinya jika aku harus hidup d
Tepat pukul 17.58 aku sampai di depan gerbang rumah mewah konglomerat yang kini sudah menjadi rumahku juga."Non, cepat masuk ya, daritadi ibu sudah ngomel-ngomel...." Ucap satpam yang masih belum kuketahui juga namanya karena di rumah ini beneran interaksiku sangat dibatasi."I...iya Pak, terima kasih..." Aku langsung bergegas lari agar bisa cepat masuk ke dalam rumah."Assalamualaikum...." Aku perlahan membuka pintu kayu dengan ornamen ukiran kayu sebagai penghiasnya."Mepet banget ya, untung gak sampai terlambat. Sana naik ke atas kamu!" Mama mertuaku sudah mengenakan setelan blouse biru dengan rok setengah lututnya. Sementara Roger mengenakan setelan kemeja batik yang sudah jelas dari kelihatannya saja terlihat mahal."Aku perlu bantu-bantu, Ma?" "Gak perlu. Masuk aja ke dalam kamar, gak usah keluar-keluar. Paham?" Perintahnya.Aku mengangguk pelan, dan berjalan melintasi satu per satu anak tangga hingga sampai di depan kamarku."Huft cukup lega sudah sampai sini...." Batinku yan
"Pokoknya hal begini jangan sampai terulang lagi. Didik tuh istri kamu, dibilang sama orang tua tuh susah banget....." Cela Airin di pagi hari yang masih awal untuk sekedar berinteraksi namun ia telah mengomeliku di depan Roger, Randi, dan asisten rumah tangganya."Memang Claire kenapa Ma?" Randi lantas bingung dengan serangan fajar ini. Aku pun sama sekali tidak menceritakan ke suamiku perihal masalah tadi malam."Tuhkan bahkan hal yang krusial aja, dia bisa gak cerita sama suaminya. Istri seperti apa sih kamu?" Nadanya lebih tinggi lagi.Aku menunduk kala air mataku sudah tidak bisa ku bendung lagi. Dengan sigap, telapak tanganku mengusap pipiku, memastikan Airin tidak melihat jatuhnya air mataku.Randi sontak menarik tanganku, membawaku ke area taman belakang. Duduk di tepi kolam renang mungkin untuk sekedar menanyakan peristiwa apa yang ia lewati kemarin."Kenapa kamu gak cerita apa-apa?" Ia nada bicaranya lebih tinggi daripada bias
"Kenapa sih Claire kelihatannya canggung banget...." Tegur Arsy yang kini sudah berada dihadapanku tengah melihat buku menu."E..enggak kok. Sudah pesan?" Balasku."Udah tau mau pesan apa. Nih, kamu mau pesan apa?" Ia menyodorkan buku menunya kepadaku."Pasti sih vanilla milkshake ya...." Celetuknya dengan tertawa.Ia masih begitu jelas mengingat menu minuman favoritku ketika dinner bersammanya."Bener gak gue, Claire?" Ia memastikan, dan memang pria ini tipikal yang butuh validasi."Iya benar kok. Ya udah aku pesan vanilla milkshake sama spaghetti aja.." Aku mengembalikan buku menu tersebut kepada sang pelayan yang sedari tadi sudah berada di tengah kami."Saya ulangi ya Bu menu pesanannya. Ada milkshake vanilla dua, spaghetti satu, dan nasi goreng satu." Ucap pelayan memastikan apa yang kami order telah sesuai.Setelah aku dan Arsy kompak mengangguk pelan, wanita tersebut pamit untuk menyiapkan pesanan kami.
"Cle tunggu dulu. Kamu tuh ya kebiasaan suka mood swing gak jelas..." Randi mengejar dan menarik tanganku."Apalagi?" Tanpa sadar suaraku memang cukup tinggi kali ini menghadapinya."Ya kamu main pergi gitu aja. Aku kan cuma nanya..." Ia membela dirinya."Randi, untuk apa sih kita nikah kalo ujung-ujungnya kamu gak pernah kasih rasa percaya itu ke aku?""Maksud kamu? Aku gak mau kita masuk ke dalam rumah masih dengan kondisi marahan gini ya Cle..." Ia lagi-lagi coba mengancamku. Aku sadar pertengkaran kami ini disaksikan juga oleh satpam yang sedari tadi sedikit melirik ke arah kami. Cuma memang aku sudah gak sabar untuk meluapkan emosi.Aku diam, menatap tajam mata Randi lalu jalan perlahan ke arahnya."Ran, tolong kasih aku rasa percaya. Aku bukan lagi pacar kamu, aku sudah jadi istri kamu. Aku butuh kamu untuk percaya sama aku, aku sama Arsy ya cuma sebatas teman SMA aja gak lebih. Jadi tolong berhenti untuk berpikir
"Aku mau ngobrol sama kamu malam ini..." Ia melindungi dirinya."Bukan, bukan masalah kamu baru bilangnya sekarang, tapi kok bisa mama duluan yang tau daripada aku?" Aku menegaskan kembali arah obrolanku yang sama sekali merasa tidak dihargai sebagai istri olehnya."Lah kan gak ada masalahnya juga. Udah deh jangan buat buat keributan yaaa...." Ia membantahku lagi dan beranjak pergi...****"Claire sama Cathrine tolong ke ruangan saya sekarang..." Rasanya semalaman suntuk Randi enggan berbicara kepadaku, entah karena dia badmood aku terus-terusan bermasalah dengan Airin atau memang ada yang sedang ia pikirkan, entahlah. Tiba-tiba pagi hari ini, jam delapan tepatnya ia memintaku dan Catherine untuk ke ruangannya jelas saja aku merasa sedikit awkward untuk menatap matanya."Baik Pak..." Ucap Catherine.Perempuan dengan rok diatas lutusnya itu dengan sigap memasuki ruangan Randi tanpa mengajakku. Ya memang santer kabar yang
"Dengar ya kamu, jangan mentang-memtang suamimu pergi kamu mudah aja keluar masuk kamar seperti ini..."Belum ada 6 jam pasca keberangkatan Randi, ibu mertuaku sudah langsung menyeramahiku perkara aku langsung bergegas masuk kamar."Ada yang bisa aku bantu, Ma?" "Masak sana, bersih-bersih rumah. Pokoknya kamu jangan cuma makan tidur disini!" Ucapnya.Ia membentakku sehingga asisten rumah tangga yang tadi ada di belakang juga turut keluar."Nah ini Bi, coba diajarin cara bersih-bersih rumah." Tunjuk Airin kepadaku pada saat berbicara dengan asisten rumah tangga di sini."Malam ini, biar dia aja yang masak. Mau lihat apa sih yang buat Randi secinta ini sampai melawan orang tuanya..." Sindir Airin."Ma.. Maaaf tapi aku gak bisaa...." Aku menjawab pelan."Gak bisa? Apa? Kata kamu gak bisa?" "E... enggak Ma. Oke Ma, aku izin ke dapur dulu..." Alihku. Jelas saja harga diriku sudah tidak ada di rumah ini. Me