Share

Mama Muda
Mama Muda
Penulis: Hayatie Shabilla

Lulus Sidang Skripsi

"Yeay... Alhamdulillah, aku lulus ."

Naomi tak bisa menahan dirinya untuk tak bersorak girang setelah putusan sidang oleh dosen penguji yang duduk 5 orang berjajar di hadapannya.

Perasaan gugup yang menyelimutinya tadi kini berganti menjadi bungah, seakan ada taman penuh bunga bermekaran di dasar hatinya.

Teman-teman yang menyaksikan sidang pun memberikan ucapan selamat pada Naomi serta empat mahasiswa lain yang melaksanakan sidang hari ini dan Alhamdulillah lulus semuanya.

Bahagia sekali.

Membayangkan bagaimana reaksi ayahnya setelah tahu putri bungsunya berhasil lulus dan bisa mendaftar wisuda tahun ini. Lelah ayahnya selama ini sebentar lagi terbayar, karena Naomi bertekad akan mencari pekerjaan untuk biaya hidup mereka lalu ayah tidak perlu lagi bekerja.

Ya itu janji Naomi pada ayahnya.

"Selamat ya, Naomi sayang." Sahabat paling akrab yang Naomi punya, bernama Desy, sekali lagi memberi ucapan selamat sekaligus pelukan hangat setelah mereka berada di luar ruang sidang.

Naomi yang sedikit kerepotan membawa berkas ujiannya dan sekarung buku yang digunakan sebagai referensi, membuat muka kecut. Begini nih, Desy. Kalau lagi kesenangan sering kelupaan. Masa dia nggak bantuin Naomi bawa buku-buku sama sekali.

"Makasih ya, Des. Aku bisa lulus ini atas bantuan kamu juga loh."

Namun terlepas dari sifat Desy yang sering kelupaan, dia sangat bersyukur memiliki Desy, gadis berhijab dengan gingsul yang manis, sebagai sahabatnya. "Kamu selalu ada saat aku butuh bantuan, nemenin aku waktu nungguin pak Slamet buat bimbingan, kamu rela kelaparan demi nemenin aku di perpustakaan. Semua ini berkat kamu."

"Iya." Desy tersenyum mendengar pujian yang agak berlebihan itu. "Sebagai gantinya, nanti kamu juga harus nemenin aku loh ya mulai dari aku bimbingan sampai aku sidang. Hukumnya wajib. Fardhu Ain." Suara Desy setengah mengancam, namun ditelinga Naomi terdengar seperti rengekan.

"Oke, aku janji." Naomi yang tak bisa menyatukan ibu jarinya dengan telunjuk seperti yang biasa dia lakukan, hanya bisa mengangguk sebagai janjinya.

Ya tentu saja Naomi akan giliran menemani Desy sama seperti yang sahabatnya itu lakukan untuknya. Mereka masuk kuliah bersama, belajar bersama selama hampir empat tahun, walau bisa menyelesaikan sidang lebih dulu, Naomi tidak akan meninggalkan Desy. Dia akan membantu agar Desy juga bisa cepat menyusulnya mendapatkan gelar sarjana.

Keduanya kemudian larut dalam perasaan bahagia, tertawa bersama, hingga akhirnya manik mata Desy lebih dulu menangkap sosok Gema yang berdiri di depan gedung fakultas dengan senyum malu-malu. Pacar Naomi itu memang pemalu anaknya.

"Ekhem, kayaknya ada yang mau ngucapin selamat tuh." Dengan gerakan mulutnya yang dimuncungkan, Desy menunjuk ke arah Gema. "Kalau gitu, aku duluan ya Naomi sayang. Nanti malam kita telponan aja."

"Sip. Hati-hati ya pulangnya." Pesan Naomi setengah berteriak karena Desy melesat pergi dengan sangat cepat.

Ditinggal oleh Desy, Naomi dengan perlahan melangkahkan kakinya menuju tempat Gema berada, hal serupa pun Gema lakukan, memperpendek jarak antara mereka.

Setelah ujung sepatu mereka saling bertemu tanda tak ada lagi jarak antara mereka, Naomi menengadah kepala demi menatap pacarnya yang bertubuh jangkung itu.

Sumpah demi apapun, Naomi merasa lehernya pegal setiap bertemu Gema. Ditambah lagi barang bawaannya sekarang.

Tapi, mau bagaimana lagi, pria itu yang dia suka.

"Bagaimana hasil ujiannya? Lulus?" Gema membuka suara, sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang. Entah hanya perasaan atau harapan Naomi, sepertinya Gema membawakan sesuatu untuknya, semacam hadiah.

"Menurut kamu, kalau dilihat dari ekspresi wajah aku, gimana?" Naomi nyengir, menampilkan barisan giginya kecil dan sedikit bertimpa.

Gema menyungging senyum lebar sebelum akhirnya menjawab, "Kamu pasti lulus."

"Kok kamu kayaknya yakin banget?"

"Yakin lah. Kamu kan pintar, rajin, baik hati."

Naomi mengernyit alis saat kalimat baik hati meluncur dari bibir Gema. Apa hubungannya baik hati dengan lulus sidang skripsi? Kalau begitu, ngapain dia capek-capek nungguin dosen pembimbing hampir tiap hari buat bimbingan terus revisian, ke perpustakaan juga bisa dibilang tiap hari.

Gema kadang ada-ada aja deh.

"Apa hubungannya aku baik hati sama lulus sidang skripsi?" Naomi tetap bertanya.

Giliran Gema yang tampak berpikir. Keningnya berkedut-kedut. "Hmm, ada dong. Karena kamu baik hati, jalan kamu menuju kesuksesan pasti akan dimudahkan. Salah satunya sidang skripsi ini."

"Begitu ya?" Naomi menatap intens Gema, sengaja membuat pacarnya malu hingga mukanya merona seperti kepiting rebus.

Dasar Naomi. Hobi sekali bikin Gema salah tingkah lalu kemudian memerah.

Salah pacarnya itu juga sih, kenapa jadi pria pemalu banget. Padahal tampang ada, postur tubuh juga oke, otak lumayan cemerlang. Bagian mana dari dirinya yang bikin dia malu?

"Jadi, gimana? Kamu mau antar aku pulang atau berdiri terus di sini?" tegur Naomi seraya memperlihatkan barang bawaannya yang berat, hingga Gema tersadar dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Oh ya, ini ada hadiah buat kamu." Gema sepertinya juga kelupaan kalau dia membawakan sebuket bunga coklat, hehe, bermacam jenis makanan coklat yang dibentuk seperti buket bunga. Menggiurkan sekali.

Naomi menerimanya dengan senang hati.

"Hmm..." Gema ber'hmm' panjang seperti tengah memikirkan sesuatu. "Gimana kalau kita makan siang dulu? Habis ujian, pasti perut kamu laper, kan? Sekalian kita rayakan kelulusan kamu." Gema menaikkan alis sembari memandang Naomi, menunggu jawaban pacarnya itu.

"Nggak bisa." Cepat Naomi menjawab.

Gema terheran. Tidak biasanya Naomi menolak ajakannya. "Kenapa?"

"Aku kan baru selesai ujian skripsi dan Alhamdulillah lulus. Tentu aku bersemangat sekali ingin memberitahu langsung sama ayah. Kan kamu tahu sendiri, aku cuma punya ayah sebagai keluargaku. Lagipula, masa aku mampir ke tempat makan dengan bawaan sebanyak ini." Naomi kembali mengingatkan Gema tentang bawaannya.

Berat woy. Mana dari tadi bukannya dibantuin, malah dilihatin doang.

"Oh, iya juga ya. Kalau begitu, aku antar kamu pulang aja." Dengan sedikit rasa bersalah, Gema lalu mengambil alih barang bawaan Naomi, menyisakan berkas yang dibawa di tangan kirinya dan buket pemberiannya tadi.

"Nah, gitu dong. Dari tadi kek," rungut Naomi.

Naomi Diajeng Ayu. Gadis dengan tinggi 160 centimeter itu memiliki mata berbentuk bulan sabit yang merupakan turunan dari sang bunda. Naomi sangat menyayangi bundanya, namun sayang dia tak bisa melihat wajah ayu beliau lagi karena sudah meninggalkannya 5 tahun lalu.

Kalau diingat-ingat waktu 5 tahun lalu itu, hati Naomi terasa seperti diiris-iris. Dia masih di sekolah, sedang ulangan juga, ketika tiba-tiba ayahnya menelpon pihak sekolah memberitahu tentang kecelakaan sang bunda. Dan parahnya, Naomi belum sampai ke rumah sakit saat bundanya menghembuskan nafas terakhir.

Kini, Naomi hanya punya ayah yang sudah menikah lagi dengan seorang wanita yang juga memiliki anak lebih tua darinya. Namun, Naomi tidak terlalu akrab dengan mama dan saudara tirinya itu.

Pasalnya, bukan membantu perekonomian keluarga, mama dan saudara tirinya hanya hidup berhura-hura hinggalah sekarang mereka hidup serba kekurangan. Mungkin juga, tanpa sepengetahuan Naomi, mereka sudah terlilit banyak hutang.

Ckiiit...

Naomi terdorong ke depan sampai dadanya menempel di punggung Gema ketika motor satria Fu itu direm mendadak oleh sang empunya. Sontak Naomi mencubit punggung bidang itu.

"Jangan bilang kamu sengaja?"

"Nggak kok, aku kelewatan aja, makanya ngerem mendadak gini."

"Kelewatan? Maksud kamu kita udah sampai?"

Membuka kaca helmnya, Naomi lalu memandangi area sekitar yang memang mirip dengan area dekat rumahnya. Itu rumah Bu Juminten si tukang gosip, dan yang itu rumah pak Sujiwo, pak RT di lingkungannya.

Oh benar.

Ia pun turun dari motor.

"Mau aku bantuin bawa ke dalam?" Gema yang melihat Naomi kesusahan, menawarkan bantuan. Harusnya nggak perlu nanya juga ya, kalau mau bantu ya bantu aja.

"Nggak usah, aku bisa kok. Ini mah kecil."

Setelah Gema pamit pulang dan motornya hilang di balik tikungan, Naomi bergegas membawa barang-barangnya menuju rumah. Perasaannya bahagia sekali, tak sabar hendak memberitahu ayah yang dia telah lulus sidang skripsi.

Namun, begitu masuk melewati pintu rumah, Naomi merasakan sedikit kejanggalan, ada sepatu pria bermerek tergeletak rapi di sana. Itu jelas bukan sepatu Rendy, Abang tirinya.

Lalu siapa? Apa sedang ada tamu di rumahnya?

"Ayah, ada apa ini?" Bola mata Naomi melebar begitu manik matanya menangkap sosok sang ayah sedang berlutut di hadapan seorang pria.

Siapa dia? Berani-beraninya.

                                   ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status