"Vina, Vina, Vina!" teriak Erik. Entah kenapa emosinya tiba-tiba memuncak. Dengan tergesa-gesa Vina berlari menuju ke kamarnya yang ada di lantai atas. Setibanya di kamar terlihat Erik sedang berdiri dengan sorot mata yang tajam. Vina tidak tahu apa kesalahannya, sehingga membuat suaminya itu marah. "Ada apa, Mas." Pelan Vina bertanya. "Katakan yang sejujurnya, apa ada pria lain yang menyentuhmu selain aku, setelah kita menikah." jawaban yang Erik berikan mampu membuat Vina terkejut. Deg, jantung Vina seakan ingin loncat, ia tidak tahu harus menjawab apa. Sementara bayangan saat Evan menjamahnya kembali menari-nari di otaknya. Tubuh Vina mendadak gemetar, bahkan keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Bukan niat hati ingin merahasiakan hal itu, tapi Vina terlalu takut untuk berkata jujur. "Kenapa diam." Suara Erik mampu membuat Vina terlonjak kaget, wanita itu menoleh sekilas. Bibir Vina bergerak, entah apa yang akan ia sampaikan, tetapi lidahnya terasa kelu. Lagi-lagi ketakut
Satu minggu telah berlalu, selama seminggu Evan menghabiskan waktunya bersama dengan Rena. Kandungan Rena yang mulai membesar membuat wanita itu lebih manja dan selalu ingin berada di dekat Evan. Setelah membujuknya, akhirnya Rena mengijinkannya untuk pulang terlebih dahulu. "Aku pulang dulu ya, nanti malam aku ke sini lagi." Evan mencium kening Rena, tak lupa mengelus perut buncit wanita itu. "Jangan lama-lama loh. Iya, sekalian cariin mangga muda ya," ujar Rena. "Iya, Sayang. Apa sih yang nggak buat kamu." Evan kembali mencium kening Rena. "Ya udah aku pulang dulu ya." Evan melangkah keluar rumah. Rena mengantarkannya sampai teras. "Evan, Evan, dasar laki-laki bod*h, mudah banget ditaklukan. Bisa-bisanya langsung percaya kalau ini anaknya." Rena tersenyum sinis seraya mengusap perutnya. Setelah mobil yang Evan kendarai hilang dari pandangan mata, Rena berniat untuk masuk ke dalam. Namun, ia urungkan niatnya saat melihat ada sebuah mobil yang sangat dikenalnya masuk dan berhent
Buk, sebuah pukulan yang cukup keras mampu membuat Evan jatuh tersungkur. Entah kebetulan atau apa, Erik dan Vina datang, mendengar teriak Asty, sontak keduanya bergegas naik ke lantai atas. Kini perkelahian Erik serta Evan tidak dapat dihindari lagi. Erik yang memang geram dengan kelakuan sepupunya itu, tanpa rasa ampun memukuli Evan. "Dasar bajing*n, dulu kamu menodai Vina. Sekarang kamu juga berniat untuk menilai mantan istrimu sendiri." Erik memukul wajah Evan yang mulai babak belur. "Erik sudah, biarkan dia pergi." Asty menyuruh adik iparnya itu untuk membiarkan mantan suaminya pergi. Jujur, meski Evan sudah berbuat senonoh, tetapi di hati kecil Asty masih menyimpan rasa kasihan. "Pergi kamu." Erik mendorong tubuh Evan keluar dari kamar Asty. "Kamu akan merasakan akibatnya nanti." Sebelum pergi, Evan menyempatkan diri untuk mengancam Erik. Sementara itu, Erik hanya tersenyum sinis. "Kakak nggak apa-apa kan?" tanya Vina dengan raut wajah khawatir. "Aku nggak apa-apa, terima
"Untung rumah mama masih ada, coba kalau enggak. Bisa-bisa kita jadi gelandangan," ujar Lidya seraya membuka pintu rumahnya. Kini Evan dan Lidya terpaksa meninggalkan rumah mewah itu, lantaran telah disita. Evan baru teringat jika dirinya mempunyai hutang di perusahaan milik Asty. Dulu sering menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dengan Rena ataupun Luna. "Kamu jadi ke rumah Luna?" tanya Lidya. "Jadi, Ma." Evan mengangguk. "Aku pergi sekarang, Ma." Setelah berpamitan, Evan bergegas masuk ke dalam mobil dan melaju meluncur ke rumah Rena. Dalam perjalanan ke rumah Rena, Evan masih saja memikirkan rumah yang telah disita. Ia yakin jika itu ulah Asty, mantan istrinya itu pasti dendam karena dirinya pernah berniat untuk menyentuhnya, dalam arti ingin melakukan hubungan suami istri seperti dulu. "Asty, aku masih mencintai kamu, aku nggak rela jika kamu menikah dengan pria lain," gumamnya. Evan mengusap wajahnya, setelah itu kembali fokus untuk menyetir. Tidak butuh waktu lama,
"Mas Evan." Rena hendak bangkit, tetapi dengan cepat pria itu melarangnya. Pria itu bangkit serta meraih kemejanya yang tergeletak di lantai, lantas segera memakainya. Usai berpakaian pria berkemeja biru itu berjalan mendekati Evan yang sedari tadi sudah menahan emosinya. Rasanya ia sudah tidak sabar ingin memberi pelajaran untuk pria yang telah menyentuh Rena. "Ada apa, kamu tidak perlu kaget seperti itu. Memang ini yang biasa Rena lakukan," ucap pria itu. "Maksud kamu apa bicara seperti itu," sahut Evan. Dadanya sudah naik turun menahan amarahnya. "Biar Rena saja yang menjelaskannya nanti, Sayang aku pulang dulu ya, kalau urusanmu sudah selesai. Kita main lagi seperti tadi." Pria itu bergegas keluar dari kamar Rena. Evan hendak mengejarnya, tetapi dengan cepat Rena mencegahnya. "Berhenti, Mas." Rena meraih lingerie miliknya dan bergegas memakainya. Setelah itu ia berjalan mendekati Evan, pria yang berhasil Rena tipu mentah-mentah. "Kita bicara di sini saja." Rena menuntun Evan
Dua minggu telah berlalu, Asty dan Vanno berencana untuk segera melangsungkan pernikahan. Jika sudah sah, mau ngapain aja sudah halal, Asty berharap semoga Vanno bisa menjadi imam yang baik. Pernah gagal dalam menjalin pernikahan, membuat Asty merasa sedikit trauma. "Wah, Kakak cantik banget." Vina memuji kecantikan kakaknya yang telah selesai dimake-up. Asty tersenyum. "Kamu juga cantik.""Kita turun sekarang ya, Kak. Kak Vanno dan tamu undangan sudah menunggu," ujar Vina. Asty hanya mengangguk, setelah itu dengan dibantu Vina dan dua orang yang ikut merias. Asty turun ke bawah, jangan ditanya jika jantungnya deg-degan seperti mau copot. Dengan pelan Asty berjalan menuruni anak tangga, para tamu undangan mengalihkan pandangannya pada Asty. Begitu juga dengan Vanno, matanya seperti tidak mau berkedip melihat kecantikan wanita yang sebentar lagi akan ia halalkan. Setibanya di bawah, Vina mengantarkan kakaknya untuk duduk di sebelah Vanno. Tanpa menunggu lama, ijab kabul akan segera
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok?" tanya Luna. "Untuk saat ini kondisi suami, Ibu masih kritis. Dan satu lagi, setelah kami periksa lebih lanjut, saraf dalam tubuhnya mati, hal itu membuat suami, Ibu tidak bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Bahkan untuk berbicara pun tidak bisa," jelas Dokter Ari yang menangani Evan. Persendian Luna terasa lemas saat mendengar kenyataan itu. Begitu juga dengan Lidya, ia tidak menyangka jika nasib putranya akan seperti ini, mungkinkah ini karma untuk Evan. Setelah mendengar penjelasan dari dokter, Lidya dan Luna beranjak masuk ke dalam ruang rawat Evan. Luna berjalan menghampiri brangkar di mana suaminya terbaring lemah di sana. Berbagai alat medis menempel di tubuhnya, rasanya Luna tidak sanggup melihat kondisi Evan yang seperti sekarang. Luna kembali menyeka air matanya, begitu juga dengan Lidya, perempuan setengah abad itu merasa hancur melihat keadaan putranya. "Mas, aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua. Kamu harus bertahan untuk aku
Seminggu telah berlalu, pagi ini pukul enam Asty baru mengerjapkan matanya. Perlahan kelopak matanya terbuka sempurna, ia melirik suaminya yang masih terlelap. Asty tersenyum, semoga kebahagiaan selalu menyertainya, beruntung bisa memiliki suami seperti Vanno. Walaupun awalnya tidak menyangka jika mereka akan menjadi pasangan suami istri. "Mas, bangun udah siang." Asty mengguncang tubuh kekar suaminya. "Hem." Vanno berdeham dengan mata yang masih terpejam. "Bangun udah siang." Asty kembali mengguncang tubuh suaminya itu. "Jam berapa?" tanya Vanno. "Jam enam, buruan bangun udah siang," jawab Asty. Vanno hanya tersenyum lalu kembali memeluk tubuh istrinya itu. "Aku masih capek, Sayang. Enakan kayak gini.""Salah sendiri tadi malam .... ""Tapi kamu suka, kan." Vanno memotong ucapan istrinya itu."Ish apaan sih, udah ah ayo bangun." Asty memaksa untuk bangkit, tapi Vanno semakin erat memeluk tubuh istrinya itu. "Mandi bareng," ujar Vanno. Seketika Asty membulatkan matanya. "Engga