Sudah hampir satu minggu Asty memergoki suaminya mandi keramas setiap jam lima pagi sebelum shalat subuh. Biasanya pria berkacamata itu mandi keramas saat jam enam pagi, atau setelah melakukan ibadah halal bersama istrinya. Padahal sudah lima hari istrinya sedang kedatangan tamu bulanan, otomatis mereka puasa selama hampir satu minggu.
"Mas tumben jam segini udah mandi keramas, biasanya juga nanti," ujar Asty saat melihat suaminya keluar dari kamar mandi, dengan keadaan rambut yang basah dan hanya melilitkan handuk di pinggang."Ah, iya. Soalnya gerah, makanya aku langsung mandi." Evan terlihat gugup saat ditanyai oleh istrinya."Gerah kok, hampir satu minggu. Itu namanya bukan gerah, tapi .... " Asty menghentikan ucapannya di batin, saat mendengar pertanyaannya suaminya."Tumben kamu udah bangun, biasanya juga nanti, saat kamu sedang datang bulan." Evan melempar pertanyaan kepada istrinya."Iya, Mas. Soalnya hari ini Vina kan mulai berangkat kuliah, jadi aku harus bangun pagi untuk masak. Ya udah aku ke bawah dulu ya." Asty beranjak keluar dari kamar, tujuan wanita itu adalah dapur.Sementara itu, Evan segera memakai bajunya, pria itu sudah merasakan kecurigaan pada istrinya. Mengubur bangkai serapat apapun, pasti akan tercium bau busuk. Begitu juga dengan manusia, menutupi rahasia serapat apapun pasti lama-lama akan terbongkar juga.Pukul setengah tujuh, mereka bertiga sudah berkumpul di meja makan. Saat ini Asty sedang sibuk untuk meladeni suaminya. Namun, tiba-tiba pandangan Asty tertuju pada leher adiknya yang terdapat tanda merah. Asty menyipitkan matanya, ia juga berusaha untuk berpikir positif. Ia percaya jika adiknya bukan gadis bej*t."Vina, itu leher kamu kenapa?" tanya Asty, penuh selidik.Reflek Vina memegangi lehernya. "Oh ini, anu. Aku alergi krim, Kak. Tapi udah nggak apa-apa kok, nanti juga sembuh."Asty terdiam sejenak, benaknya berpikir keras, ia sering memergoki suaminya setiap pagi mandi keramas, dan sekarang Asty juga menemukan tanda merah di leher adiknya. Dan ini untuk yang ketiga kalinya, apa mungkin Vina dan Evan melakukan ... ah, rasanya tidak mungkin. Asty mencoba untuk membuang pikiran kotornya."Ya sudah, ayo buruan sarapan nanti keburu dingin." Asty berujar sembari menjatuhkan bobotnya di kursi."Kak, nanti aku titip nyuci mau nggak. Soalnya aku belum sempat nyuci," ungkap Vina.Asty tersenyum. "Iya, boleh kok.""Terima kasih ya, Kak." Vina pun ikut tersenyum. Setelah itu ia kembali melanjutkan ritual sarapan paginya.Usai sarapan pagi, Evan segera bersiap untuk berangkat ke kantor, sementara Vina juga bersiap berangkat ke kampus. Hari ini Vina terpaksa diantar oleh Evan, lantaran mobil miliknya sedang ada di bengkel. Setelah suami dan adiknya pergi, Asty bergegas untuk membereskan meja makan, tak lupa piring dan gelas yang kotor, langsung dicuci.Setelah selesai, Asty beranjak menuju kamar adiknya untuk mengambil pakaian yang kotor. Setibanya di kamar, Asty berjalan menuju keranjang kotor yang terletak di sebelah almari. Tanpa pikir panjang, Asty membawa keranjang tersebut keluar dari kamar adiknya. Setelah itu, ia masuk ke dalam kamar miliknya, untuk mengambil pakaian kotor miliknya serta sang suami.Asisten rumah tangga sedang cuti, terpaksa Asty melakukan pekerjaan rumah dengan tangannya sendiri. Bahkan untuk mencuci pun demikian, saat ini Asty sedang memilih baju berwarna dan tidak. Tiba-tiba wanita berambut sebahu itu menemukan celana dalam milik suaminya ditumpuk baju kotor milik adiknya. Detik itu juga Asty membulatkan matanya."Ini kan milik, mas Evan. Kenapa bisa ada di tumpukan baju kotor milik Vina." Pikiran Asty mendadak kacau. Setelah itu ia kembali memilah pakaian tersebut.Saat Asty merogoh saku jas milik suaminya, ia kembali menemukan benda asing. Dengan cepat Asty mengambilnya, seketika matanya kembali membulat saat mendapati alat tes kehamilan yang terdapat dua garis merah pada benda pilih tersebut. Dada Asty bergemuruh hebat, milik siapakah benda itu, kenapa bisa ada di saku jam suaminya."Awas saja ya, mas. Beraninya kamu bermain apa di belakangku, siap-siap saja jadi gembel." Asty meremas benda pipih itu dengan penuh emosi.***Tidak butuh waktu lama, kini mobil milik Evan sudah berhenti di depan kampus. Evan tersenyum saat mengingat kebersamaannya dengan adik iparnya itu. Ia tahu jika perbuatannya memang salah, tapi entah kenapa Evan justru ketagihan. Begitu juga dengan Vina, mungkinkah perempuan itu lupa jika pria yang selalu menghabiskan malam dengannya adalah suami kakaknya sendiri."Mas, aku khawatir kalau nanti, kak Asty mengetahui apa yang kita lakukan." Vina berujar seraya melepas sabuk pengamanannya.Evan menggenggam erat dengan Vina. "Kamu jangan khawatir, Asty tidak akan mengetahuinya. Percaya sama, mas."Vina tersenyum. "Iya, Mas. Ya sudah aku kuliah dulu ya.""Iya belajar yang bener." Evan mengacak rambut panjang Vina."Iya, Mas." Vina segera keluar dari mobil tersebut. Setelah itu Evan segera melajukan mobilnya meninggalkan tempat tersebut."Vina, kamu itu lebih menggoda dibandingkan dengan Asty," batin Evan. Saat ini ia dalam perjalanan menuju ke kantor."Huh, setelah ini tinggal ketemu dan menghabiskan waktu bersama dengan Rena." Evan tersenyum saat mengingat Rena, sekretaris pribadi sekaligus wanita simpanannya.Tidak butuh waktu lama kini Evan tiba di kantor. Pria berjas hitam itu segera melangkahkan kakinya menuju ke lantai dua puluh, di mana ruangannya berada. Evan tak henti-hentinya tersenyum, karena tidak lama lagi ia akan bertemu dengan pujaan hatinya, yaitu Rena.Setibanya di depan ruangan Evan segera membuka pintu ruangannya. Pria itu tersenyum saat melihat pemandangan yang begitu indah, bagaimana Evan tidak merasa bahagia, setiap pagi ia selalu disuguhi oleh aksi Rena yang sangat menggemaskan. Evan berjalan menghampiri Rena yang sedang duduk di sofa dengan pose menggoda."Good morning, Sayang." Rena menyapa Evan dengan suara manjanya."Kamu memang selalu membuatku merasa bahagia." Evan tersenyum lalu berjalan menghampiri Rena.Untuk sesaat keduanya saling pandang dan berakhir pada benda kenyal yang saling bertarung. Setelah cukup puas Evan melepaskannya, pria itu tersenyum saat mengingat kejadian yang baru saja terjadi. Begitu juga dengan Rena, wanita itu juga tersenyum.Tiba-tiba telepon berbunyi, dengan masih bertelanjang dada Evan mengangkat telepon tersebut.[Pagi, Pak. Di bawah ada ibu Asty, katanya ada perlu dengan, Bapak]Evan langsung membulatkan matanya, bagaimana mana istrinya tiba-tiba datang. Karena sebelumnya Asty tidak pernah datang ke kantor.Setelah sambungan telepon terputus tiba-tiba Evan mendengar derap langkah yang menuju ke ruangannya. Dengan cepat ia mengancingi kemejanya, dan juga menyuruh Rena masuk ke dalam kamar mandi. Untuk merapikan penampilannya sekaligus bersembunyi. Selang beberapa menit, pintu ruangannya terbuka, Evan tersenyum saat melihat istrinya datang, meski hatinya masih deg-degan. "Assalamu'alaikum." Asty mengucapkan salam seraya menutup pintu. "Wa'alaikumsalam." Evan mengencangkan dasinya, yang masih terasa kendur. "Sayang, ada apa? Tumben banget kamu datang ke kantor." Evan berjalan menghampiri istrinya, lalu mengecup keningnya. "Cuih, kenapa sekarang aku merasa jijik dengan kecupan ini. Meski aku belum yakin jika mas Evan bermain api di belakang aku, tapi aku merasa laki-laki ini sedang menyembunyikan rahasia dariku," batin Asty. "Ini dompet kamu ketinggalan." Asty menyerahkan dompet milik suaminya. "Makasih ya, Sayang. Tadi aku buru-buru sampai lupa." Evan menerima dompet itu, lalu memasuk
Persendian Asty terasa lemas, bahkan foto itu sempat jatuh, syok, terkejut, dan juga kecewa telah menjadi satu. Bagaimana tidak kecewa, suami yang ia kira setia, rupanya telah mendua. Bisa-bisanya Evan menikah lagi dengan perempuan lain, dan perempuan itu adalah sahabat Asty, bahkan sahabat dekat. "Jadi ini balasan kamu, Luna. Kebaikanku kau balas dengan kecurangan. Teganya kamu menikah dengan suami sahabat sendiri, di mana hati nurani kamu sebagai seorang wanita," desisnya. Asty mengambil foto itu lalu dengan cepat ia memotretnya. Satu bukti kebusukan Evan kembali ia dapat, setelah ini ia akan mencari kebusukan suaminya itu lagi. "Apa mungkin testpack yang kemarin itu testpack Luna." Asty teringat akan testpack yang ia temukan di saku jas suaminya. "Apa gara-gara aku belum bisa memberi mas Evan keturunan. Tapi kita baru saja menikah satu tahun, bahkan untuk orang lain ada yang sampai lima tahun baru diberi momongan," gumam Asty. Setelah itu ia kembali merapikan buku tersebut, tak
"Asty." Evan memandang Luna sesaat, setelah itu ia bangkit seraya memakai pakaiannya. "Ada apa, Mas?" tanya Luna dengan raut wajah bingung. "Asty video call." Evan menjawab seraya mengancingi kemejanya. "Terus kenapa, Mas buru-buru begitu. Udah biarin aja lah, nanti juga capek sendiri." Luna menarik tangan Evan agar pria itu kembali berbaring di sampingnya. "Asty bisa curiga, aku angkat dulu ya," ujar Evan. Berharap wanitanya itu mau mengerti akan posisinya saat ini. "Kenapa nggak kamu ceraikan aja sih, Mas. Jadi kita kan bebas," saran Luna. "Nggak bisa, soalnya uang yang buat hidupin kamu itu milik Asty. Tolong kamu ngertiin aku ya," terangnya. Sementara Luna hanya mengangguk setelah sejenak berpikir. "Kamu tunggu aku di sini ya, aku angkat telepon dulu." Evan keluar dari kamar dan memilih untuk duduk di ruang tamu. Setelah itu ia menggeser tombol berwarna hijau, untuk menerima panggilan dari Asty. [Assalamu'alaikum, Mas sekarang ada di mana? Kenapa lama banget sih angkatnya]
Evan melotot ke arah Rena, iya suara itu adalah suara Rena, sekretaris pribadinya. Sementara itu, Asty semakin tajam menatap suaminya, tanpa ia mencari dan meminta, kebusukan suaminya perlahan terbongkar. Asty yakin, jika Evan memiliki hubungan khusus dengan Rena, sekretaris pribadinya. "Kamu sekretaris suami saya kan?" tanya Asty. Ia berjalan menghampiri Rena. Tangannya terlihat gemetar saat Asty berjalan mengelilinginya. "Kamu tidak perlu gemetar seperti itu, saya nggak bakal gigit kok," ujar Asty, seketika Rena mendongak. "Sayang, kita .... ""Aku ada urusan sama dia, Mas. Udah, Mas duduk aja sama Erik." Asty memotong ucapan suaminya. Evan hanya menghela napas, dan akhirnya ia pasrah. "Nama kamu Rena." Asty kembali melempar pertanyaan untuk Rena. "Iy-iya, Bu." Rena mengangguk. Asty kembali berputar memperhatikan penampilan sekretaris suaminya itu. "Dia bukan sekretaris biasa, dan profesinya juga bukan hanya sebagai sekretaris, tetapi juga ada yang lain," batin Asty."Sudah be
Detik itu juga suasana mendadak hening, Asty menatap dua manusia yang ada di hadapannya secara bergantian. Ternyata tidak sia-sia mengikuti mobil suaminya yang keluar dari kantor. Asty sudah menduga jika suaminya pasti akan pergi ke rumah istri mudanya, dan ternyata dugaannya benar. "Asty kamu .... ""Kenapa? Kaget lihat aku sudah ada di sini." Asty memotong ucapan suaminya. Sejujurnya Evan tidak layak disebut sebagai suami lagi. Evan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, raut wajahnya terlihat panik dan juga gugup. Begitu juga dengan Luna. Mereka pasti tidak pernah menyangka jika Asty akan datang, dan Asty bukan wanita bod*h yang bisa dibohongi oleh suaminya. "Asty aku .... ""Stop, aku sudah tahu semua kebusukan kalian. Aku tidak nyangka, ternyata kalian itu sama saja ya. Dan kamu, Luna aku bahkan sudah menganggap kamu sebagai saudara, tapi ini balasannya. Hah, sahabat macam apa, yang tega menikam sahabatnya sendiri dari belakang." Asty memotong ucapan Luna. "Aku melakukan ini
Asty terdiam cukup lama, ia memandangi dua wanita yang kini berdiri di hadapannya itu. Baru semalam ia mendatangi Luna, dan sekarang dia datang dengan membawa ibu mertuanya. Asty yakin, perempuan itu pasti sudah mengadu kepada ibu mertuanya. "Mungkin tidak ada salahnya jika aku menerima mereka, dengan begitu aku akan lebih mudah untuk membalas perbuatan mereka. Aku akan buat mereka menyesal seumur hidup, terutama kamu, Mas. Kamu yang memulainya, dan kamu yang paling pertama akan merasakan bagaimana tersakiti," batin Asty, ia tersenyum saat membayangkan bagaimana reaksi mereka nanti. "Oh, jadi kalian akan tinggal di sini. Boleh sih, tapi nggak gratis ya, apa lagi di sini tidak ada pembantu. Awalnya aku memang ingin mencari pembantu, tapi karena kalian sudah datang. Nggak ada salahnya kalau .... " Asty sengaja menggantung ucapannya. Ia dapat melihat raut wajah kedua wanita itu yang sudah memerah, karena merasa geram. "Heh, kamu mau menjadikan pembantu iya!" bentak Lidya. Perempuan se
Keesokan harinya, pukul setengah tujuh Evan mulai bisa menggerakkan anggota tubuhnya, semalam Rena tidak bisa tidur lantaran bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin Rena mengubungi istri Evan, karena hal itu akan menimbulkan rasa curiga. Alhasil Rena memilih diam, dan mencoba mencari akal agar Evan bisa pulih kembali seperti sedia kala. "Semalam istri kamu nelpon-nelpon terus, sengaja nggak aku angkat. Soalnya aku bingung harus jawab apa, tidak mungkin kan aku bilang kalau kita ada di hotel." Rena menceritakan jika semalam Asty menghubungi nomor Evan. "Sekarang handphone aku mana." Evan meminta ponselnya. "Ini." Rena menyodorkan benda pipih itu, setelahnya ia beranjak masuk ke dalam kamar mandi. Evan membuka ponselnya, ada puluhan panggilan tak terjawab, serta beberapa pesan. Satu persatu Evan membukanya, pesan lebih banyak Luna yang mengirim. Hanya ada tiga pesan yang Asty kirim. Dengan segera Evan membalas pesan-pesan tersebut. Setelah itu ia kembali meletakkan ponselnya, tenag
Malu, itu yang kini mereka rasakan, bukan hanya Evan dan Rena yang merasa malu, tetapi juga Asty. Beruntung Asty masih memiliki hati, jika tidak mungkin ia akan mengarak pasangan pezina itu. Namun, jika Asty melakukan itu, perusahaan akan ikut terkena imbasnya. Demi menjaga nama baik perusahaan, ia menutupi masalah itu dari orang lain. Asty sengaja memanggil dokter pribadinya untuk memisahkan mereka berdua. Butuh waktu lama, akibatnya Evan yang harus menanggung semua itu. Ada syaraf yang rusak, yang membuat junior milik Evan tidak bisa berfungsi seperti biasanya. Menyesal sudah tidak ada gunanya lagi, dan mungkin ini karma untuknya. Setelah kejadian itu, Asty terpaksa memecat Rena, perbuatannya sudah tidak bisa dimaafkan lagi. Evan juga akan berhenti dari jabatannya, Asty akan mengambil alih perusahaan itu. Dan tentunya perceraian mereka tetap akan berlangsung. Tak peduli Evan yang terus memohon untuk tetap hidup bersama. "Asty." Evan memegang tangan Asty saat wanita itu hendak ban