Share

BAB 3 Bantu Aku Mencarinya

last update Dernière mise à jour: 2025-02-28 02:32:59

Regan bersiap untuk mandi dan membuka pintu kamar mandi. Sementara itu, Isabell pergi diam-diam untuk pulang tanpa memberi tahu siapa pun.

30 menit kemudian, Regan keluar dan berkata "Ayo kita makan malam... mau di resto apa..." belum siap Regan bicara, ia mengernyit saat menyadari ruangan itu kosong. Wanita itu tidak ada di sana. Awalnya, dia berpikir mungkin wanita itu hanya keluar sebentar, tapi firasatnya berkata lain.

Regan mendengus, "Setelah pakai, langsung di tinggal? Berani-beraninya"

Dengan cepat, ia meraih ponselnya dan menghubungi Leo “Leo, bantu aku mencari seseorang. Ya, seorang wanita”.

***

Keesokan harinya, di rumah keluarga Sinclair.

Hilda terisak di ruang tamu keluarga Sinclair, wajahnya basah oleh air mata. Hari ini ia pulang ke rumah orang tuanya untuk mengadu.

"Ma, sepertinya Marcel sangat marah. Dia memandangku dengan tatapan jijik" Hilda menangis disertai segugukan.

"Ma, Marcel sangat marah. Dia melihatku seolah aku menjijikan" tangisnya pecah, bahunya bergetar hebat.

Sonia Raharjo, sang nyonya rumah, menatap putrinya dengan penuh kemarahan. “Anak bodoh! Kamu sudah mendapatkan pewaris keluarga Oriza, tapi kamu masih berani bermain api dengan asistennya? Apa yang kamu pikirkan Hilda? Kamu telah mempermalukan keluarga Sinclair kita!”

“Ma, aku tahu aku salah… Tolong bantu aku bicara dengan keluarga Oriza. Aku tidak mau diceraikan!” Hilda memohon pada mamanya, berharap wanita itu bisa membantunya.

Melihat mamanya hanya menghembuskan nafas kasar, dia menatap papanya. "Pa..." panggilnya.

Namun Tuan Sinclair hanya duduk diam di sofa sambil memasang ekspresi jelek. Belum sempat Tuan Sinclair bicara, detik berikutnya, telepon rumah tiba-tiba berdering, memecah ketegangan di ruangan itu. Sonia segera berdiri dan mengangkat gagang telepon.

“Halo, ini rumah keluarga Sinclair.”

“Halo, saya Sebastian Santoso, pengacara keluarga Oriza. Klien saya telah menandatangani perjanjian perceraian dengan Nona Sinclair.”

"Apa?! Bagaimana bisa?!" Nyonya Sinclair terkejut, tubuhnya menegang.

“Perceraian ini akan diproses secepatnya. Saya akan mengirimkan dokumennya hari ini. Mohon kerja samanya.” Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut, panggilan itu langsung terputus.

Nyonya Sinclair menatap gagang telepon dengan wajah pucat, sebelum akhirnya berbalik ke arah keluarganya.

"Ma, ada apa?" Tanya Theodore, tuan muda Sinclair. Ia adalah putra pertama keluarga Sinclair.

“Mereka ingin menceraikan Hilda,” ucapnya dengan suara gemetar.

“Apa? Tidak mungkin!” Theodore, putra sulung keluarga Sinclair, langsung berdiri. “Papa, kita harus melakukan sesuatu.”

“Tolong, Hilda pa! Kak Theo! Bagaimana bisa aku diceraikan di hari pertama setelah menikah?” Hilda menangis semakin keras.

Hilda menggigit bibirnya dengan gemetar. Amarah dan kepanikan bercampur menjadi satu dalam dadanya. Pikirannya masih kacau setelah ditinggalkan begitu saja oleh Marcel, tetapi ada satu hal yang kini menyita perhatiannya—senyum tipis yang melintas di wajah Isabella.

Mata Hilda menyipit, hatinya bergejolak. 'Dia… Apakah mungkin dia penyebabnya?'. Kemarin dia memang menyuruhnya melukis, daripada berada dipernikahannya. Karena dia tidak ingin Isabella mengambil perhatisn di hari specialnya.

Langkahnya refleks mendekati Isabella, tanpa memedulikan tatapan keluarganya yang masih dipenuhi keterkejutan atas keputusan Marcel.

“Kamu…” Hilda berbisik tajam. “Jangan bilang… Kau ada hubungannya dengan semua ini?”

Isabella mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang seolah tak terganggu. “Apa maksudmu, Kak Hilda?” tanyanya dengan nada polos, namun sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lain.

“Kamu melukis kemarin kan? Kamu yang melukis itu kan?” Isabella mendesis. “Mengapa aku malakukan itu. Apa untungnya?”

"Jangan berpura-pura cewek sok polos, kamu pasti yang menhancurkan pernikahanku, kamu membalas dendam karena aku yang menyuruhmu melukis disepanjang acara" Seru Hilda dengan tatapan penuh amarah.

"Kak Hilda, kemarin aku pulang duluan, aku meninggalkan lukisanku di ruangan itu. Ruangan itu tidak dikunci, siapa yang tau jika akan ada yang menyalahgunakan?" Respon Isabella dengan suara tenang.

"Biar aku tunjukkan sesuatu," lanjutnya. "Aku sempat mengambil gambar lukisanku sebelum pulang kemarin."

Isabella mengangkat ponselnya, memperlihatkan foto sebuah lukisan dua ekor burung merpati yang bertengger berdampingan. Lukisan yang melambangkan kesetiaan dan cinta abadi.

Hilda terdiam, wajahnya menegang. Namun sebelum ia sempat membuka mulut, suara dentuman keras terdengar.

TOK!

Tuan Sinclair memukul lantai dengan tongkatnya, membuat suasana seketika hening.

"Cukup, Hilda. Papa akan bicara dengan Marcel nanti. Sekarang semuanya bubar," katanya dengan suara berwibawa. Tatapannya tajam saat mengarah pada Isabella. "Isabella, ikut aku ke ruang kerja."

Dengan langkah tenang, ia mengikuti Tuan Sinclair menuju ruang kerja.

Di dalam ruangan itu, Isabella berdiri di depan meja besar yang dipenuhi dokumen. Tuan Sinclair duduk di kursi kerja, menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara.

"Aku dengar dari pengawal belakang, kamu mencoba untuk mengunjungi nenek di halaman belakang?" Tanya Tuan Sinclair.

"Om Dion, aku juga anggota keluarga Sinclair, apa aku bahkan tidak bisa bebas di rumah sendiri?" Tanya Isabella.

Tuan Sinclair tersenyum miring, lalu bangkit dari kursinya. Dengan langkah santai, ia berjalan mendekati Isabella, kemudian berhenti di belakangnya. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik di telinga gadis itu, "Apa itu artinya, kamu sudah mempertimbangkan untuk bersamaku?"

Isabella merasakan hawa dingin menjalar di tengkuknya. Ia meremas kedua telapak tangannya, menahan perasaan jijik yang muncul di hatinya. Lalu, dengan suara dingin dan penuh ketegasan, ia menjawab, "Mimpi saja."

Mata Tuan Sinclair menyipit, senyumnya memudar. Dalam satu gerakan, ia melangkah ke depan dan menatap Isabella dengan tajam.

"Kamu dikurung," ucapnya singkat.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 17

    Hilda menggertakkan giginya, matanya penuh dengan kemarahan. Darahnya terasa mendidih saat membayangkan bagaimana Isabella dengan sengaja berlari dekat vas kesayangan Tuan Sinclair tadi. Dulu, Isabella selalu patuh, dan keluarga mereka Hilda menggertakkan giginya, matanya penuh dengan kemarahan. Darahnya terasa mendidih saat membayangkan bagaimana Isabella dengan sengaja berlari dekat vas kesayangan Tuan Sinclair tadi. Dulu, Isabella selalu patuh, dan keluarga mereka tampak baik-baik saja. Namun, seiring beranjaknya usia mereka, perhatian ayahnya selalu tercurah lebih banyak pada Isabella daripada padanya. Sebagai satu-satunya anak perempuan, siapa yang tidak merasa marah dan cemburu? Di luar juga reputasinya tidak terlalu baik. Semenjak Isabella hadir di pesta sosialita kelas atas kota Lithen. Banyak grup-grup yang membicarakannya. Jelas dia hampir terlupakan. Perhatian. yang dulu ia dapatkan, sekarang harusnia bagi dua dengan Isabella. Ia benar-benar harus mengusir Isabella sec

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 16 Vas Pecah

    Keesokan harinya, Isabella kembali menghabiskan waktunya di kamar, larut dalam lukisan yang belum rampung. Jemarinya yang memegang kuas bergerak pelan, membaurkan warna dengan penuh perasaan. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dengan keras. Hilda masuk dengan wajah murka, menggenggam cambuk di tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung mencambuk Isabella. "Aku ingin kau jujur, Isabella," seru Hilda. Isabella menahan rasa sakit sambil menatap Hilda dengan tajam. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan rekaman CCTV itu? Karena sepanjang pesta, aku berada di ruangan itu dan tak sekalipun melihat kehadiranmu." Jelas Hilda. “Kemarin kau dipukuli, dan sekarang begitu bersemangat membawa cambuk dan menyerangku. Sudah pulih rupanya?” tanya Isabella dengan nada sinis, senyum mengejek terukir di wajahnya. “Kau masih berani tanya?, itu bukan urusanmu!” bentak Hilda tajam. “Kau pasti yang merekayasa rekaman CCTV itu! Sebelum Papa pulang, aku akan menghabisimu!” Begitu tubuhnya mulai

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 15

    Di ruang kerja keluarga Sinclair... Hilda masih meringkuk di sudut ruangan. Tangisannya tak kunjung reda, tubuhnya bergetar, dan matanya merah membengkak. Nyonya Sinclair berdiri tak jauh dari putrinya. Di belakangnya, Theo berdiri kaku, rahangnya mengeras, mencoba menyembunyikan amarah yang membara. "Dion, Hilda sudah tau salah. Berhenti mencambuknya" Teriak Nyonya Sinclair. Suara cambuk berhenti seketika. Seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan mata tajam berdiri beberapa langkah dari Hilda. Di tangannya masih tergenggam cambuk kulit yang kini menggantung lemas di sisi tubuhnya. Nafas Tuan Sinclair masih berat, dadanya naik-turun, menahan amarah yang belum sepenuhnya padam. “Anak ini perlu pelajaran” serunya pada Nyonya Sinclair. “Kau selalu membelanya, dan lihat apa akibatnya? Dia tidak pernah benar-benar belajar bertanggung jawab!” "Tidak ada hal buruk yang menimpa Isabella, dan dirimu sudah memberi pelajaran kepada Hilda. Sekarang sudah cukup Dion" Hilda men

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 14

    "Theo, ayo ke ruang kerja. Lihat keadaan adikmu," kata Nyonya Sinclair sambil melangkah pergi. Isabella tetap berdiri di tempat, memperhatikan dua sosok itu menghilang di balik lorong. Jeritan Hilda dari ruang kerja terdengar jelas ke seluruh penjuru rumah. Tapi kali ini, Isabella tak lagi menunjukkan ketakutan. Bibirnya justru membentuk senyum tipis, penuh kepuasan. “Merdu sekali... teruslah berteriak, Hilda. Ini baru permulaannya saja,” gumamnya. “Selama ini, setiap kau berbuat salah, Theodore selalu jadi tamengmu dan aku yang dikorbankan.” Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus dari ponsel di saku bajunya. Tanpa banyak bicara, Isabella masuk ke kamarnya dan mengambil ponsel pemberian Regan dan mendapat pesan darinya Regan: “Kamu masih bangun?” Isabella menatap pesan singkat itu sejenak sebelum mulai mengetik balasan. Isabella: “Masih. Ada apa?” Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Regan: “CCTV-nya sudah kuubah sesuai dengan yang kamu minta.” Isabella

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 13 Hukuman Hilda

    Tanpa berkata apa-apa, Isabella masuk ke dalam mobil. Regan pun segera menyusul ke kursi pengemudi, menekan pedal gas perlahan dan mobil itu meluncur keluar dari parkiran bawah tanah menuju jalanan malam kota. Setengah jam kemudian, keduanya sampai di depan rumah keluarga Sinclair. Isabella segera meraij handle pintu untuk keluar, namun gerakannya dengan cepat dihentikan oleh Regan dengan cepat. Regan menahan tangan Isabella yang hendak membuka pintu "Tunggu sebentar" ujarnya. Isabella menoleh, sedikit bingung " Apa lagi?" "Kamu tidak mau bilang terima kasih dulu?" Tanya Regan sambil menatapnya. "Baiklah terimakasih. Aku harus masuk sekarang. Tadi Hilda tidak menemukanku, mungkin dia akan menelpon orang rumah" Ijawab Isabella dengan nada terburu-buru, berusaha membuka pintu lagi, namun sekali lagi, Regan menahan tangannya. "Tentang ponsel, kamu kan sudah dewasa. Kenapa mereka masih menyita ponselmu?" Tanya Regan penasaran. Isabella memilih diam dan tak menjawab pertany

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 12 Hampir Ketahuan

    Di dalam penthouse, Isabella berdiri memandangi jendela besar, menatap kerlip lampu kota yang menyerupai bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Dari belakang, Regan mendekat dan menyelimuti bahunya dengan satin hangat. “Mau lanjut lagi?” bisiknya lembut. Isabella menggeleng pelan. “Tidak. Aku harus kembali. Sudah terlalu lama meninggalkan pesta.” Regan menatapnya dengan ekspresi kecewa. “Kenapa terburu-buru?” “Aku punya batasan. Aturan keluarga kami sangat ketat. Aku harus tiba di rumah dalam waktu satu jam,” jawab Isabella datar. Regan menyipitkan mata. “Aturan ketat? Tapi nyatanya, Nona Kedua Sinclair bisa tidur dengan pria?” Isabella berbalik cepat, menatapnya tajam. “Apa salahnya? Diriku adalah milikku sendiri,” katanya sambil mendorong Regan menjauh. Saat ia berbalik hendak pergi, Regan dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya. “Tunggu dulu. Kenapa kamu tidak pernah bertanya siapa aku? Sedikit pun tidak penasaran? Kita sudah dua kali tidur bersama.” Sebenarnya Isabella

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 11 Mau Sekali Lagi?

    Isabella tertegun sesaat, mengenali sosok yang duduk santai di kursi beludru itu. Pria ini lagi?. Namun, keterkejutan itu tidak lantas membuatnya gentar. Alih-alih mundur, sebuah seringai tipis bermain di bibirnya. "Memang," jawab Isabella dengan nada tenang. "Sudah lama sekali" Ia melangkah maju, anggun namun penuh perhitungan, mendekati kursi tempat Regan duduk. Cahaya lampu yang terang kini menerangi ekspresi wajahnya yang dingin dan penuh intrik, jauh berbeda dari kepolosan yang ia tunjukkan di pesta tadi. "Jadi, katakan padaku," ucap Isabella, sambil mengambil gelas di meja kecil di samping Regan. "Apa tujuanmu melakukan semua ini? Membawaku kesini di tengah pesta sosialita kelas atas" "Sepertinya kamu tidak menikmati pesta itu" Ujar Regan. Isabella tersenyum balik, lalu meletakkan gelas winenya ke meja dengan anggun. Ia berdiri perlahan, melangkah mendekati Regan, lalu menunduk sedikit dan menyentuh dagunya dengan jemari halus. "Memang tidak," bisiknya, menatap dalam

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 10 Bertemu Lagi

    "Semuanya, aku ingin memperkenalkan seseorang. Dia adalah adikku, Isabella Sinclair. Dia tidak pernah bertemu dengan orang luar, dia sangat patuh. Ini kali pertamanya datang ke pesta seperti ini, tolong jangan ada yang mengganggunya ya" ucap Hiilda kepada semua orang. "Nona kedua Sinclair? Aku baru tahu" "Benar, kalian benar-benar menyembunyikannya dengan sangat baik" "Gadis yang sangat cantik" ucap orang-orang setelah melihat Isabella. Banyak para tuan Muda kota Lithen yang berusaha mengajak Isabella berbicara. "Semuanya minggir" terdengar suara pria yang mendominasi. Melihat siapa pria itu, pria-pria yang ada di sekeliling Isabella menyingkir dengan cepat. “Nona kedua Sinclair,” sapa Sean dengan suara yang berat, namun dibuat seolah-olah ramah. “Akhirnya kita bertemu.” Isabella menoleh pelan, menatap pria itu dari atas hingga ke bawah. Isabella kemudian hanya mengangguk pelan. 'Apa gadis ini selalu kalem seperti ini?' ucap Sean dalam hatinya sambil mengangkat gelas w

  • Manipulasi Manis : Wajah Patuh Hati Licik   BAB 9 Pesta Solialita Kelas Atas Kota Lithen

    Dua Hari Kemudian – Sore Hari di Villa Regan Regan duduk di Daybed samping kolam renang,, menatap layar ponselnya yang gelap. Tangannya sudah puluhan kali mengecheck ponselnya untuk memeriksa pesan yang tak kunjung datang. Ya, pesan dari gadis itu. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, lalu membuka ponsrlnya dan tidak ada apa-apa, dengan kesal Regan menutupnya lagi. Flashback – Tiga Hari Lalu, di hotel. "Apa kamu puas denganku?" tanya Regan dengan suara yang bisa membuat wanita mana pun meremang. Isabella tidak langsung menjawab. Ia masih terbaring di tempat tidur, selimut putih membungkus tubuhnya sampai bahu. Matanya menatap langit-langit sejenak, lalu beralih pada Regan yang duduk di tepi ranjang, menggulung lengan bajunya perlahan. Isabella mengangguk pelan. “Kau tahu jawabannya,” gumamnya. Regan tersenyum simpul, lalu meraih ponselnya dari atas meja dan menyerahkannya pada Isabella. “Simpan nomorku. Kalau kamu butuh seseorang, aku ada. Jadi jangan cari orang lain”

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status