Isabella, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga pamannya setelah kematian kedua orang tuanya, menjalani hidup yang penuh tekanan. Meski diberikan tempat tinggal, ia selalu dituntut untuk menjadi gadis yang patuh dan tunduk pada aturan keluarga pamannya. Dibandingkan dengan sepupunya Hilda yang lebih bebas, Isabella justru berada di bawah pengawasan ketat pamannya, Dion, yang begitu protektif terhadapnya dengan alasan yang menurutnya gila. Siapa sangka, di balik sikap tenang dan kepatuhan yang selalu ditunjukkannya, Isabella menyimpan banyak rahasia. Ia bertekat untuk membalaskan dendam orang tuanya kepada keluarga pamannya.
Lihat lebih banyak"Mamaaaaaa... papaaaaa, jangan tinggalin Isabella!"
Suara jeritan gadis kecil menggema di sepanjang jalanan perbatasan kota Tenra dan Kota Lithen. Matanya membelalak, tubuhnya membeku di tempat, dan ice cream ditangannya seketika jatuh ke tanah, mencair perlahan. Jari-jarinya terangkat seolah ingin meraih sesuatu yang tak bisa disentuh. Tubuh Isabella kecil dengan paksa, ditarik ketika dia ingin bergegas mendekat. Tapi mata Isabella, tak bisa berpaling dari pemandangan mengerikan di depannya—mobil yang hancur, dan pecahan kaca mobil dimana-mana. Belum lagi kondisi kedua orang tuanya yang sangat menghawatirkan. Sebuah truk besar telah menghantam mobil sedan mereka yang menepi di pinggir jalan. Hanya beberapa menit lalu, orang tuanya masih tersenyum, menunggu Isabella yang sedang membeli es krim. Namun sekarang, senyuman itu telah sirna selamanya. "Nak, ayo menjauh dari sini!" suara seorang laki-laki dewasa tiba-tiba terdengar, tapi Isabella tetap berjuang untuk mendekati mobil yang sudah hancur. Tangannya meronta, dan air mata mengalir deras di pipinya. Orang-orang mulai berdatangan, beberapa berusaha menghubungi ambulans, sementara yang lain melihat dengan tatapan ngeri. Ketika tim penyelamat tiba, proses evakuasi dimulai, namun harapan Isabella pupus sepenuhnya. Kedua tubuh yang dulu selalu memeluknya dengan hangat kini tergeletak tak bernyawa. Darah mengalir dari luka-luka mereka, dan Isabella bisa melihat dengan jelas wajah ibunya yang masih tampak lembut meski diliputi kegelapan maut. "Mama... Papa..." bisiknya lirih. *** Tok...tok...tok. Suara ketukan pintu membangunkan Isabella yang sedang tidur. Isabella mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Dadanya naik turun, napasnya tersengal-sengal. Mimpi itu datang lagi—mimpi yang sama, mimpi yang selalu menghantuinya sejak malam tragis itu. Tok... tok... tok. Ketukan di pintu masih terdengar. Dengan malas, Isabella bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu. Begitu dibuka, seorang wanita setengah baya dengan seragam pelayan berdiri di depannya. "Nona Bella, sarapan sudah siap, acara pernikahan Nona Hilda akan dimulai jam 10 pagi. Setelah anda siap sarapan, saya akan membantu anda bersiap-siap" kata wanita itu dengan sopan. Isabella hanya mengangguk, masih sedikit linglung akibat mimpi buruknya. "Aku mau mandi dulu" ucapnya sambil menutup pintu perlahan dan menghela napas panjang. Dengan langkah berat, dia menuju kamar mandi dan menatap pantulan dirinya di cermin. Seorang gadis berusia sembilan belas tahun dengan mata cokelat dan rambut hitam panjang yang terurai. Wajahnya begitu cantik, dengan kulit yang bersih dan bercahaya. Siapa pun yang melihatnya pasti akan terpana oleh pesonanya—sebuah kecantikan yang memancarkan kesan polos dan lembut. Perlahan senyum tipis muncul dibibirnya. Ia ingat hari ini adalah pernikahan Hilda, sepupunya yang jahat. Sejujurnya selama 7 tahun Isabella tinggal di Mansion keluarga Sinclair, tidak ada yang menyukainya di rumah ini kecuali- Dion Sinclair. Dion Sinclair, adik dari ayah Isabella , adalah orang yang membawanya tinggal di rumah ini semenjak kecelakaan malam itu. Meskipun Dion telah mengangkatnya sebagai putri kedua, Isabella merasa seolah-olah ia terkurung dalam penjara. Dion menerapkan aturan yang sangat ketat sehingga setiap langkah Isabella terasa terpantau dan dikendalikan. Tentu saja bukan tanpa alasan. Isabella mengerti dengan jelas maksud Om Dion yang sengaja membesarkannya menjadi gadis yang patuh. 20 menit kemudian, Isabella selesai mandi. Setelah turun sarapan, seorang pelayan mendekatinya. "Nona Bella, ini dari Tuan Sinclair, dia meminta Nona memakainya di acara nanti" pelayan itu menunjukan sebuah kotak berwarna hitam. Isabella hanya meliriknya singkat dan mengangguk. "Tolong letakan di kamarku saja, setelah sarapan aku akan langsung bersiap-siap" "Baik, nona" kemudian pelayan itu pergi. Isabella menikmati sarapan pagi dengan santai. Setelah menyelesaikan sarapannya, Isabella bergegas ke kamar dan membuka kotak hitam yang diberikan oleh pelayan. Di dalamnya terdapat gaun berwarna lavender dengan sulaman putih yang begitu anggun. Gaun itu jelas pilihan Om Dion, namun sedikit tidak cocok dengan acara pernikahan, yang mewah ini. Namun, Isabella tidak peduli dengan semua itu. Hari ini dia akan sedikit bermain-main. *** Suasana ballroom hotel, tempat pernikahan Hilda Sinclair berlangsung begitu megah. Para tamu dengan pakaian mewah bercengkerama sambil menikmati hidangan. Di atas pelaminan, Hilda berdiri anggun, dengan gaun pengantin putih berhiaskan permata. Senyumannya memancarkan kebahagiaan—atau lebih tepatnya kepalsuan. Isabella melangkah masuk dengan anggun, membawa sebuah bingkisan besar yang telah dibungkus kain beludru merah. Beberapa tamu mulai memperhatikannya, bisik-bisik terdengar di antara mereka. Sejak kecil, Isabella memang lebih banyak menghindari sorotan di keluarga ini, sehingga kehadiran nona kedua Sinclair ini membawa rasa penasaran tersendiri. Namun, dia selalu patuh, dan dia tidak pernah menyebabkan kekacauan bagi keluarga Sinclair. Siapapun akan senang melihat gadis cantik yang patuh dan berbudi luhur. Pengantin pria, putra pertama keluarga Oriza, Marcel Oriza juga menatap Isabella yang datang. Jika bukan pengaturan keluarga, dia tidak ingin menikaho Hilda Sinclair, tapi Isabella Sinclair. Melihat kedatangan Isabella, mata Hilda memicing, dia melirik ke semua orang termasuk suaminga yang sedang menjadikan Isabella sebagai pusat perhatian. Ini adalah hari pernikahannya, dia yang seharusnya menjadi pusat perhatian, tapi kenapa Isabella lagi?. Disebelah kanan, ada orang suruhannya sedang berdiri, yang siapuntuk bertindak. Melihat kode dari Hilda, pelayan wanita itu segera mengangguk dan pergi ke arah Isabella. "Nona Isabella, tolong ikuti saya" Isabella yang sedang minum wine, memandang pelayan wanita itu dengan tajam. Melihat tatapannya, pelayan wanita itu merasa takut. Bukankah nona kedua keluarga Sinclair ini sangat polos dan patuh?, tapi tatapannya terlihat seperti seorang ratu yang tidak bisa diganggu gugat. Tatapan itu begitu menusuk, hingga pelayan wanita itu merasakan bulu kuduknya berdiri. Namun, dia tetap menundukkan kepala dan mengulangi ucapannya dengan suara lebih pelan. “Nona Isabella, mohon ikut dengan saya.” Isabella tidak segera menjawab. Tatapannya beralih ke arah Hilda yang masih berdiri angkuh di tempatnya. Sudut bibirnya terangkat tipis. “Tolong tunjukan jalannya” ucap Isabella, kemudian melangkah mengikuti pelayan wanita itu dengan langkah yang tetap anggun dan tegap. *** Di lantai dua, dua orang pria berdiri menyaksikan suasana pernikahan di lantai satu. "Berani-beraninya kamu melarang aku untuk turun" Ucap Regan Foster dengan tidak senang. Leo Hayes di sebelahnya, menjawab "Kak Regan, bagaimana mungkin kamu akan pergi ke pernikahan orang, hanya dengan bathrobe ini?" "Memangnya kenapa?" Tanya Regan Foster acuh tak acuh sambil mengangkat gelas anggur di tangannya. Leo Hayes mengusap wajahnya, merasa frustrasi dengan sikap santai sahabatnya. "Kak, ini pernikahan keluarga Sinclair. Kalau kamu turun seperti itu, kamu hanya akan menarik perhatian yang tidak perlu." Regan Foster mengangkat bahu. "Bukankah itu lebih baik? Aku tidak suka acara yang membosankan. Kalau aku membuat sedikit keributan, setidaknya ada hiburan. Lagipula aku tampan, siapa yang akan memarahiku?" Leo "..." memangnya orang tampan tidak akan dimarahi? Tapi Leo tetap menggelengkan kepala. "Sebaiknya kita tidak menarik perhatian di kota Lithen" Lalu, matanya melirik ke arah ballroom di bawah. "Tapi ada sesuatu yang lebih menarik daripada pernikahan ini." Regan mengikuti arah pandangannya dan melihat Isabella berjalan dengan anggun, mengikuti seorang pelayan wanita. "Kak Regan, gadis itu sangat cantik dan kalem, tapi gaunnya kurang cocok" Regan tak merespon, tatapannya masih jatuh kepada Isabella. Detik berikutnya, sebuah panggilan masuk ke telepon Leo "Kak Regan, aku angkat telepon dulu, sepertinya ada sesuatu yang penting" Setelah mengatakan itu, Leo langsung pergi. *** Pelayan wanita itu membawa Isabella melewati koridor panjang menuju sebuah ruangan di lantai dua. "Nona, di dalam ada peralatan melukis, nona Hilda ingin hadiah lukisan di hari pernikahannya" "Tapi aku sudah membawa hadiah besar, dan tanganku sedang sakit" Jawab Isabella pura-pura bingung. Dia tahu ini rencana Hilda yang tidak ingin dia menghadiri pesta pernikahannya. Dia berani melakukannya karena om Dion sedang sibuk dengan para tamu. "Nona, anda sangat berbakat dalam melukis, Nona Hilda secara khusus meminta anda melakukannya, tolong Nona Isabella bersedia." Ucap pelayan itu sedikit ada nada mendesak. Isabella terlihat keberatan pada awalnya tapi kemudian dia tersenyum "Baiklah, ini hari special buat dia, aku akan melakukannya" Mendengar persetujuannya pelayan itu sangat senang karena ia berhasil, memang benar Nona kedua Sinclair ini sangat patuh. Tidak peduli tangannya sakit dia akan tetap melakukannya. Jika itu gadis lain mungkin sudah membrontak. Tanpa diduga Regan Foster mendengar semua percakapan itu "Sangat patuh, membosankan" ucapnya pelan.Hilda menggertakkan giginya, matanya penuh dengan kemarahan. Darahnya terasa mendidih saat membayangkan bagaimana Isabella dengan sengaja berlari dekat vas kesayangan Tuan Sinclair tadi. Dulu, Isabella selalu patuh, dan keluarga mereka Hilda menggertakkan giginya, matanya penuh dengan kemarahan. Darahnya terasa mendidih saat membayangkan bagaimana Isabella dengan sengaja berlari dekat vas kesayangan Tuan Sinclair tadi. Dulu, Isabella selalu patuh, dan keluarga mereka tampak baik-baik saja. Namun, seiring beranjaknya usia mereka, perhatian ayahnya selalu tercurah lebih banyak pada Isabella daripada padanya. Sebagai satu-satunya anak perempuan, siapa yang tidak merasa marah dan cemburu? Di luar juga reputasinya tidak terlalu baik. Semenjak Isabella hadir di pesta sosialita kelas atas kota Lithen. Banyak grup-grup yang membicarakannya. Jelas dia hampir terlupakan. Perhatian. yang dulu ia dapatkan, sekarang harusnia bagi dua dengan Isabella. Ia benar-benar harus mengusir Isabella sec
Keesokan harinya, Isabella kembali menghabiskan waktunya di kamar, larut dalam lukisan yang belum rampung. Jemarinya yang memegang kuas bergerak pelan, membaurkan warna dengan penuh perasaan. Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka dengan keras. Hilda masuk dengan wajah murka, menggenggam cambuk di tangannya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia langsung mencambuk Isabella. "Aku ingin kau jujur, Isabella," seru Hilda. Isabella menahan rasa sakit sambil menatap Hilda dengan tajam. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan rekaman CCTV itu? Karena sepanjang pesta, aku berada di ruangan itu dan tak sekalipun melihat kehadiranmu." Jelas Hilda. “Kemarin kau dipukuli, dan sekarang begitu bersemangat membawa cambuk dan menyerangku. Sudah pulih rupanya?” tanya Isabella dengan nada sinis, senyum mengejek terukir di wajahnya. “Kau masih berani tanya?, itu bukan urusanmu!” bentak Hilda tajam. “Kau pasti yang merekayasa rekaman CCTV itu! Sebelum Papa pulang, aku akan menghabisimu!” Begitu tubuhnya mulai
Di ruang kerja keluarga Sinclair... Hilda masih meringkuk di sudut ruangan. Tangisannya tak kunjung reda, tubuhnya bergetar, dan matanya merah membengkak. Nyonya Sinclair berdiri tak jauh dari putrinya. Di belakangnya, Theo berdiri kaku, rahangnya mengeras, mencoba menyembunyikan amarah yang membara. "Dion, Hilda sudah tau salah. Berhenti mencambuknya" Teriak Nyonya Sinclair. Suara cambuk berhenti seketika. Seorang pria paruh baya dengan wajah keras dan mata tajam berdiri beberapa langkah dari Hilda. Di tangannya masih tergenggam cambuk kulit yang kini menggantung lemas di sisi tubuhnya. Nafas Tuan Sinclair masih berat, dadanya naik-turun, menahan amarah yang belum sepenuhnya padam. “Anak ini perlu pelajaran” serunya pada Nyonya Sinclair. “Kau selalu membelanya, dan lihat apa akibatnya? Dia tidak pernah benar-benar belajar bertanggung jawab!” "Tidak ada hal buruk yang menimpa Isabella, dan dirimu sudah memberi pelajaran kepada Hilda. Sekarang sudah cukup Dion" Hilda men
"Theo, ayo ke ruang kerja. Lihat keadaan adikmu," kata Nyonya Sinclair sambil melangkah pergi. Isabella tetap berdiri di tempat, memperhatikan dua sosok itu menghilang di balik lorong. Jeritan Hilda dari ruang kerja terdengar jelas ke seluruh penjuru rumah. Tapi kali ini, Isabella tak lagi menunjukkan ketakutan. Bibirnya justru membentuk senyum tipis, penuh kepuasan. “Merdu sekali... teruslah berteriak, Hilda. Ini baru permulaannya saja,” gumamnya. “Selama ini, setiap kau berbuat salah, Theodore selalu jadi tamengmu dan aku yang dikorbankan.” Tiba-tiba, ia merasakan getaran halus dari ponsel di saku bajunya. Tanpa banyak bicara, Isabella masuk ke kamarnya dan mengambil ponsel pemberian Regan dan mendapat pesan darinya Regan: “Kamu masih bangun?” Isabella menatap pesan singkat itu sejenak sebelum mulai mengetik balasan. Isabella: “Masih. Ada apa?” Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Regan: “CCTV-nya sudah kuubah sesuai dengan yang kamu minta.” Isabella
Tanpa berkata apa-apa, Isabella masuk ke dalam mobil. Regan pun segera menyusul ke kursi pengemudi, menekan pedal gas perlahan dan mobil itu meluncur keluar dari parkiran bawah tanah menuju jalanan malam kota. Setengah jam kemudian, keduanya sampai di depan rumah keluarga Sinclair. Isabella segera meraij handle pintu untuk keluar, namun gerakannya dengan cepat dihentikan oleh Regan dengan cepat. Regan menahan tangan Isabella yang hendak membuka pintu "Tunggu sebentar" ujarnya. Isabella menoleh, sedikit bingung " Apa lagi?" "Kamu tidak mau bilang terima kasih dulu?" Tanya Regan sambil menatapnya. "Baiklah terimakasih. Aku harus masuk sekarang. Tadi Hilda tidak menemukanku, mungkin dia akan menelpon orang rumah" Ijawab Isabella dengan nada terburu-buru, berusaha membuka pintu lagi, namun sekali lagi, Regan menahan tangannya. "Tentang ponsel, kamu kan sudah dewasa. Kenapa mereka masih menyita ponselmu?" Tanya Regan penasaran. Isabella memilih diam dan tak menjawab pertany
Di dalam penthouse, Isabella berdiri memandangi jendela besar, menatap kerlip lampu kota yang menyerupai bintang-bintang yang jatuh ke bumi. Dari belakang, Regan mendekat dan menyelimuti bahunya dengan satin hangat. “Mau lanjut lagi?” bisiknya lembut. Isabella menggeleng pelan. “Tidak. Aku harus kembali. Sudah terlalu lama meninggalkan pesta.” Regan menatapnya dengan ekspresi kecewa. “Kenapa terburu-buru?” “Aku punya batasan. Aturan keluarga kami sangat ketat. Aku harus tiba di rumah dalam waktu satu jam,” jawab Isabella datar. Regan menyipitkan mata. “Aturan ketat? Tapi nyatanya, Nona Kedua Sinclair bisa tidur dengan pria?” Isabella berbalik cepat, menatapnya tajam. “Apa salahnya? Diriku adalah milikku sendiri,” katanya sambil mendorong Regan menjauh. Saat ia berbalik hendak pergi, Regan dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya. “Tunggu dulu. Kenapa kamu tidak pernah bertanya siapa aku? Sedikit pun tidak penasaran? Kita sudah dua kali tidur bersama.” Sebenarnya Isabella
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen