Share

Bab 2

Author: Nora
Aku kembali ke kamar dengan hati muram. Kamarku hanyalah ruangan kecil di ujung lantai dua, tepat di sebelah kamar Devan.

Dulu dia prnah berkata, “Ukuran kamar nggak penting, yang penting kamu dekat sama aku! Ini cuma sementara. Setelah renovasi selesai, kita akan menikah!”

Namun, delapan tahun berlalu…

Kamar pengantin yang dulu disiapkannya dengan sepenuh hati, kini bukan lagi milikku.

Aku membuka koper, bersiap membereskan pakaian, ketika tiba-tiba pintu kamarku dibuka dengan kasar.

Keira masuk dengan perut buncit dan langkah congkak. Tatapannya menyapu kamarku dari atas ke bawah.

“Ternyata sekecil ini? Bahkan nggak lebih besar dari kamar mandi di kamarku. Astaga, kasihan sekali… Delapan tahun temani suamiku, tapi nggak dapat status. Kamar pengantin pun dia kasih ke aku. Apa lagi yang kamu harapkan? Tetap bertahan di sini tanpa malu?”

Nada suaranya penuh kepuasan melihatku terluka.

Aku menutup koper dan menatapnya dingin.

“Di sini nggak menyambutmu. Silakan keluar!”

Keira mengangkat alis, lalu menyeringai.

“Kamu lupa, ya? Aku pemilik sah vila ini. Apa hakmu mengusirku? Kelak anakku akan jadi pewaris Keluarga Atmadja. Sedangkan kamu, pelakor nggak tahu malu, nggak akan dapat apa-apa!”

Genggamanku mengencang, air mata menggenang di pelupuk mata.

Setiap kata yang terlontar bagai tamparan panas yang membakar hatiku.

Aku baru hendak membalas, tapi tubuhnya tiba-tiba miring lalu jatuh terduduk di lantai. Tangannya memegangi perut dengan wajah kesakitan.

“Tolong… anakku…” Suaranya lirih penuh kepanikan.

Devan bergegas masuk, wajahnya tampak cemas. Dia langsung mengangkat Keira ke dalam pelukannya.

Dengan tangis tersedu, Keira melingkarkan lengannya di leher Devan dan berkata, “Aku cuma mau ngobrol bentar sama Kak Viona, entah ucapan mana yang salah, sampai dia marah… Maaf, semua salahku.”

Tatapan Devan beralih padaku, penuh dengan amarah dan kekecewaan.

“Viona, apa pun yang Keira lakukan, kamu nggak seharusnya menyakitinya. Dia hamil! Bagaimana kamu setega itu? Dulu kamu baik hati… kenapa sekarang berubah?”

Darahku membeku mendengar suaranya yang dingin.

“Bukan aku! Aku nggak mendorongnya!”

“Kamu masih membantah?” bentaknya tajam.

“Di sini cuma ada kamu dan dia. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Menurutmu dia sengaja jatuh? Dia bahkan lebih menghargai anaknya daripada nyawanya sendiri!”

Aku terduduk di tepi ranjang, bibirku bergetar hebat.

“Jadi… kamu nggak percaya sama aku?”

“Gimana aku bisa percaya?”

Dia menarikku turun dari ranjang dan membaringkan Keira di atasnya, lalu buru-buru menghubungi dokter keluarga.

“Berdoalah dia dan anaknya selamat!”

Tak lama, dokter datang dan memeriksa Keira.

“Nggak terlalu serius. Hanya perlu istirahat total dua hari,” jelasnya.

Devan menyimak setiap penjelasan dokter, mulai dari pantangan makanan, cara merawat tubuh, hingga jenis olahraga yang aman untuk ibu hamil. Semua dicatat rapi di buku kecilnya, seolah takut melewatkan satu detail pun.

Bahkan setelah dokter selesai, Devan sendiri yang mengantarnya keluar.

“Devan pasti akan jadi ayah yang baik, ‘kan?”

Keira bersandar santai di ranjang, lalu menatapku dengan tatapan penuh kemenangan.

“Nggak sia-sia aku memberinya obat, sampai dia jadi ayah dari anakku.”

Aku sontak menatapnya tajam, jariku terarah ke perutnya.

“Maksudmu… anak itu bukan anak Devan? Dan kamu memberinya obat? Keira, kamu gila! Berani-beraninya kamu lakukan itu!”

Keira refleks menutup mulut, sadar telah keceplosan. Namun senyum angkuhnya segera kembali.

“Lalu kenapa kalau kamu tahu? Itu nggak akan mengubah apa pun. Lebih baik kamu tahu diri… dan pergi dari sini.”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 11

    “Devan, cinta itu seperti cermin. Sekali pecah, dia akan tetap pecah. Tak peduli sekeras apa pun kamu mencoba merekatkannya, atau seberapa banyak kompensasi yang kamu berikan, bekasnya akan selalu ada.”Aku menatapnya tajam, dingin, penuh tekad.“Pergilah. Aku dan Bima akan menikah. Jadi, kumohon… jangan lagi mengganggu kami.”“Menikah?”Tatapannya membeku seketika. Seperti seseorang yang terperosok ke dasar jurang es.“Kalian… akan menikah?”Dia melangkah maju, mencengkeram pergelangan tanganku begitu kuat, seolah ingin mematahkannya. Aku meringis menahan sakit.“Ya. Kami akan menikah. Jangan ganggu kami lagi.”“Nggak! Aku nggak mengizinkannya! Viona, aku tahu aku salah di masa lalu. Beri aku satu kesempatan lagi. Aku bersumpah nggak akan pernah menyakitimu lagi. Aku akan kembali menjadi Devan yang dulu… yang hanya mencintaimu, seutuhnya…”Tangannya mencoba menarikku ke pelukannya, tapi tiba-tiba Bima muncul dari arah luar.Dengan gerakan cepat, dia mencengkeram pergelangan tangan Dev

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 10

    Aku pindah dari kafe dan menempati rumah Bima.Jaraknya tak jauh, hanya sepuluh menit dari kafe. Setiap pagi aku pergi kerja dengan langkah santai, dan malamnya Bima selalu menjemputku. Kami berjalan pulang berdua, kadang singgah di supermarket membeli bahan makanan atau keperluan rumah. Hidup kami sederhana… tapi hangat.Dulu, saat bersama Devan, semuanya berbeda. Devan adalah kepala keluarga mafia Atmadja, memikul beban besar yang membuat hidupku selalu tertekan. Padahal impianku sederhana—membuka sebuah kafe kecil dan hidup dengan seseorang yang mencintaiku dengan tulus, menikmati kebebasan dan romansa sederhana.Namun, demi dia, aku rela mengubah segalanya. Menjadi wanita sabar, pengertian, diam-diam berdiri di belakangnya… meski hatiku kadang terluka.Malam itu, setelah menutup kafe, aku dan Bima berjalan berdampingan di lorong supermarket, membicarakan menu makan malam.Tangannya menggenggamku erat, kadang menunduk untuk menggesekkan pipinya ke keningku.Momen manis ini… tak kusa

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 9

    Dua minggu sudah sejak aku menjejakkan kaki di Negara Nusavara.Kini aku menetap di sebuah kota kecil yang tenang. Udara di sini segar, ritme hidupnya slow living, semuanya terasa begitu nyaman.Aku menyewa sebuah toko mungil dan membuka kafe kecil milikku sendiri.Setiap hari kulalui dengan bekerja, sehingga nama Devan nyaris tak lagi muncul di pikiranku.Mungkin sekarang Devan, Keira, dan anak mereka hidup bahagia.Namun, setiap kali bayangan itu muncul, hatiku—yang kukira sudah mati rasa—kembali terasa perih.Suatu siang, pintu kafe terbuka perlahan.Seorang pria muncul, menggendong seekor kucing mungil berbulu halus dipelukannya.“Maaf,” katanya sambil tersenyum tipis, “Ini kucingmu? Dia hampir saja keluar ke jalan di depan.”Kucing itu mengeong lembut, bulunya lembut bagai kapas. Aku tak kuasa menahan diri, menyentuh telinganya yang berbulu halus.“Bukan. Ini bukan kucingku,” jawabku.“Kalau begitu, mungkin dia tersesat… atau kucing liar.”Pria itu menghela napas panjang, menatapk

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 8

    Begitu pintu ruang private terbuka, wajah kelam Devan muncul. Seketika, satu pikiran membekap Keira——tamat sudah riwayatku!Leo bahkan terkejut sampai jatuh terduduk di sofa. Meski keluarganya termasuk mafia, mereka hanyalah keluarga kecil yang bergantung pada Keluarga Atmadja. Tak mungkin menandingi kekuatan Devan.Devan melangkah perlahan memasuki ruangan. Leo buru-buru berdiri, menunduk sopan, mempersilakan duduk.“Katakan. Apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Devan dingin, penuh tekanan.“Pak… Pak Devan, minum teh dulu, redakan amarah Bapak,” ucap Leo sembari tersenyum paksa, menyodorkan cangkir berisi teh.“Ini semua bukan salahku. Memang benar, Keira pernah dekat denganku, tapi Bapak nggak tahu seberapa liciknya wanita itu! Dia bahkan hamil saat itu, dan aku sudah memberinya empat miliar sebagai biaya aborsi. Tapi dia tetap nggak menyerah, menipu dua sisi sekaligus… Aku juga korban!”“Maksudmu… saat dia sudah menikah resmi denganku, dia masih sering tidur dengan kalian? Lalu hamil

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 7

    Keira tak bisa menahan diri lagi, dia berteriak sekuat tenaga.Dia muak karena semua orang selalu mengaitkannya dengan Dion, padahal dulunya Dion bukan satu-satunya pacarnya.Devan melepaskan tangannya dari Keira, menatap dengan tegas, kata demi kata tersusun penuh ketegasan.“Kebahagiaanmu… bukan padaku. Dari awal sampai akhir, yang kucintai hanya Viona. Aku menikahimu hanya demi Dion. Anakmu akan diakui Keluarga Atmadja, tapi posisi istri untukku… akan selalu menjadi milik Viona!”Tanpa menoleh lagi, dia berbalik dan meninggalkan ruang rawat, langkahnya tergesa-gesa hendak mengendarai mobilnya.Devan begitu fokus hingga tak menyadari cahaya dingin yang terpancar dari mata Keira, dan bisikan dendam yang menusuk.“Lucu sekali… kamu sendiri yang membuat Viona pergi, tapi masih saja berpura-pura!”Keira mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.“Pak Dimas, sudah lama nggak menghubungimu. Aku baru saja transfer uang, sudah diterima, ‘kan? Bagus. Tolong beritahu jadwal terbaru Leo, aku a

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 6

    Devan menerobos lima lampu merah, melaju secepat mungkin menuju vila.Dia tak ingin percaya pada kata-kata kepala pelayan.Kemarin semuanya masih baik-baik saja… bagaimana mungkin aku tiba-tiba pergi?Tidak mungkin!Begitu pintu kamarku terbuka, dunia Devan seakan runtuh.Kamar itu kosong. Tak ada seorang pun. Semua barang pribadiku… lenyap tanpa jejak.“Viona! Viona!”Dia mulai panik, memanggil namaku berulang kali. Dia menggeledah seluruh vila, membuka setiap lemari, setiap laci, berusaha mencari tanda bahwa aku belum benar-benar pergi.Namun hasilnya hanya mengecewakan.Yang membuatnya semakin putus asa adalah kenyataan bahwa semua hadiah yang pernah dia berikan padaku, tak satu pun kubawa, semuanya tersimpan rapi di kotak seperti semula.“Viona, apa kamu sudah nggak menginginkanku lagi?”Pandangan Devan beralih pada dinding yang dulu penuh dengan foto-foto kami. Kini, dinding itu kosong, seakan kenangan itu tak pernah ada.Dia berlutut, tatapannya kosong, mengobrak-abrik setiap sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status