Share

Manis di Bibir, Pahit di Takdir
Manis di Bibir, Pahit di Takdir
Author: Nora

Bab 1

Author: Nora
“Devan…”

Suara teriakan panik Keira terdengar dari belakang. Dia menekan perutnya, wajahnya meringis menahan kesakitan.

Tubuh Devan menegang. Tanpa pikir panjang, dia refleks mendorongku menjauh, lalu berbalik menggendong Keira.

Aku yang lengah seketika terdorong hingga terhuyung, bahuku membentur dinding. Rasa nyerinya membuat air mataku langsung mengalir.

“Viona, keadaan Keira mendesak. Aku harus segera membawanya ke dokter. Kamu pulang dulu, nanti aku akan jelaskan semuanya,” ucap Devan tergesa, bahkan tanpa menoleh.

Dia berlari masuk ke ruang medis sambil memanggil dokter, mendekap Keira erat.

Aku bersandar di dinding, air mata mengalir semakin deras.

Hutang nyawa, status sebagai nyonya besar yang sudah diumumkan ke publik, ditambah anak yang akan menjadi milik mereka… Devan, kamu takkan pernah bisa melepaskan Keira seumur hidupmu.

Masih mungkinkah kita memiliki masa depan?

Menahan sakit di bahu, aku melangkah keluar rumah sakit dan naik ke mobil.

“Nyonya, apa kita kembali ke vila Keluarga Atmadja?” tanya sopir hati-hati.

Aku bersandar lemah di kursi.

“Nggak… antar aku ke Kantor Imigrasi lebih dulu.”

Dua jam kemudian, paspor dan berkas aplikasi visa Negara Nusavara sudah di tanganku.

“Permohonan visanya butuh antrean, tujuh hari lagi baru bisa diambil,” kata petugas.

“Tujuh hari lagi… tujuh hari lagi, aku takkan punya hubungan apa pun lagi dengan Devan,” gumamku lirih.

Sesampainya di vila Keluarga Atmadja, aku langsung mulai mengemas barang.

Benda-benda milikku tak terhitung banyaknya.

Karena pekerjaannya, Devan sering bepergian ke berbagai tempat, dan ke mana pun dia pergi, selalu membelikanku tas mewah, perhiasan, serta barang-barang mahal lainnya.

Di vila ini ada tiga ruangan penuh—semuanya untuk menyimpan hadiah darinya.

Setiap sudut rumah menyimpan kenangan kami.

Setiap bulan kami selalu berfoto di bilik stiker dan menempelkannya hingga memenuhi dinding.

Setiap hari anniversary di tiap tahunnya, dia selalu memberiku cincin berlian—kotak-kotak penyimpannya kini sudah penuh sampai tiga lapis.

Ada juga boneka edisi terbatas dan figur langka yang sudah tak diproduksi lagi.

Semua itu menjadi bukti betapa dia memanjakanku tanpa batas.

Sebelum Keira muncul, aku sungguh percaya kami akan menua bersama.

Aku mengusap air mata. Foto-foto di dinding kucabut satu per satu, lalu kuhempaskan ke tempat sampah.

Semua hadiah darinya kubungkus ke dalam kardus.

Sebelum pergi, aku akan mengembalikan semuanya.

Saat tengah mengemas barang, tiba-tiba terdengar suara ramai dari lantai bawah.

Dari koridor lantai dua, aku mengintip ke ruang tamu. Para pelayan mengangkut kotak-kotak perhiasan yang tampak berat.

Keira berdiri di sana, menggeleng lembut pada Devan.

“Ini terlalu banyak. Aku cuma bilang suka, tapi kamu hampir memborong semua barang di tempat lelang,” ujarnya manja.

“Aku hanya ingin kamu senang. Kalau kamu senang, proses persalinan juga akan lancar,” balas Devan dengan tatapan lembut.

Lalu dia mendongak dan melihatku berdiri di lantai dua, di balik pegangan balkon. Wajahnya langsung menegang.

“Maaf, Viona… barusan setelah periksa dokter, Keira mood-nya buruk, jadi aku membawanya ke tempat lelang. Ada sesuatu yang kamu suka? Nanti aku belikan untukmu.”

Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata pelan.

“Hadiah darimu sudah terlalu banyak. Belikan saja untuk Keira.”

Devan tampak hendak bicara, tapi Keira lebih dulu menarik lengannya.

“Aku ngantuk… mungkin bayi ini ingin tidur. Bisa antarkan aku ke kamar?”

Devan langsung panik, lalu menopangnya dengan hati-hati.

“Pelan-pelan, jangan sampai jatuh! Kalau ngantuk kenapa nggak bilang dari tadi? Kalau sampai tertidur tiba-tiba dan terjatuh, gimana?”

Dia tak lagi sempat bicara padaku, merangkul Keira dan membawanya menuju kamar utama.

Hatiku seperti tertusuk—nyerinya samar, tapi terasa begitu menusuk jiwa.

Kamar itu dulunya adalah kamar pengantin kami. Devan menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk menatanya, bahkan dengan sungguh-sungguh pernah berkata, “Tak seorang pun boleh masuk sebelum hari pernikahan. Aku ingin jadi orang pertama yang menuntunmu masuk ke sini.”

Namun nyatanya… kamar pengantin yang dulu dia siapkan dengan sepenuh hati, kini telah diberikan pada wanita lain.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 11

    “Devan, cinta itu seperti cermin. Sekali pecah, dia akan tetap pecah. Tak peduli sekeras apa pun kamu mencoba merekatkannya, atau seberapa banyak kompensasi yang kamu berikan, bekasnya akan selalu ada.”Aku menatapnya tajam, dingin, penuh tekad.“Pergilah. Aku dan Bima akan menikah. Jadi, kumohon… jangan lagi mengganggu kami.”“Menikah?”Tatapannya membeku seketika. Seperti seseorang yang terperosok ke dasar jurang es.“Kalian… akan menikah?”Dia melangkah maju, mencengkeram pergelangan tanganku begitu kuat, seolah ingin mematahkannya. Aku meringis menahan sakit.“Ya. Kami akan menikah. Jangan ganggu kami lagi.”“Nggak! Aku nggak mengizinkannya! Viona, aku tahu aku salah di masa lalu. Beri aku satu kesempatan lagi. Aku bersumpah nggak akan pernah menyakitimu lagi. Aku akan kembali menjadi Devan yang dulu… yang hanya mencintaimu, seutuhnya…”Tangannya mencoba menarikku ke pelukannya, tapi tiba-tiba Bima muncul dari arah luar.Dengan gerakan cepat, dia mencengkeram pergelangan tangan Dev

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 10

    Aku pindah dari kafe dan menempati rumah Bima.Jaraknya tak jauh, hanya sepuluh menit dari kafe. Setiap pagi aku pergi kerja dengan langkah santai, dan malamnya Bima selalu menjemputku. Kami berjalan pulang berdua, kadang singgah di supermarket membeli bahan makanan atau keperluan rumah. Hidup kami sederhana… tapi hangat.Dulu, saat bersama Devan, semuanya berbeda. Devan adalah kepala keluarga mafia Atmadja, memikul beban besar yang membuat hidupku selalu tertekan. Padahal impianku sederhana—membuka sebuah kafe kecil dan hidup dengan seseorang yang mencintaiku dengan tulus, menikmati kebebasan dan romansa sederhana.Namun, demi dia, aku rela mengubah segalanya. Menjadi wanita sabar, pengertian, diam-diam berdiri di belakangnya… meski hatiku kadang terluka.Malam itu, setelah menutup kafe, aku dan Bima berjalan berdampingan di lorong supermarket, membicarakan menu makan malam.Tangannya menggenggamku erat, kadang menunduk untuk menggesekkan pipinya ke keningku.Momen manis ini… tak kusa

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 9

    Dua minggu sudah sejak aku menjejakkan kaki di Negara Nusavara.Kini aku menetap di sebuah kota kecil yang tenang. Udara di sini segar, ritme hidupnya slow living, semuanya terasa begitu nyaman.Aku menyewa sebuah toko mungil dan membuka kafe kecil milikku sendiri.Setiap hari kulalui dengan bekerja, sehingga nama Devan nyaris tak lagi muncul di pikiranku.Mungkin sekarang Devan, Keira, dan anak mereka hidup bahagia.Namun, setiap kali bayangan itu muncul, hatiku—yang kukira sudah mati rasa—kembali terasa perih.Suatu siang, pintu kafe terbuka perlahan.Seorang pria muncul, menggendong seekor kucing mungil berbulu halus dipelukannya.“Maaf,” katanya sambil tersenyum tipis, “Ini kucingmu? Dia hampir saja keluar ke jalan di depan.”Kucing itu mengeong lembut, bulunya lembut bagai kapas. Aku tak kuasa menahan diri, menyentuh telinganya yang berbulu halus.“Bukan. Ini bukan kucingku,” jawabku.“Kalau begitu, mungkin dia tersesat… atau kucing liar.”Pria itu menghela napas panjang, menatapk

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 8

    Begitu pintu ruang private terbuka, wajah kelam Devan muncul. Seketika, satu pikiran membekap Keira——tamat sudah riwayatku!Leo bahkan terkejut sampai jatuh terduduk di sofa. Meski keluarganya termasuk mafia, mereka hanyalah keluarga kecil yang bergantung pada Keluarga Atmadja. Tak mungkin menandingi kekuatan Devan.Devan melangkah perlahan memasuki ruangan. Leo buru-buru berdiri, menunduk sopan, mempersilakan duduk.“Katakan. Apa yang sebenarnya terjadi?” Suara Devan dingin, penuh tekanan.“Pak… Pak Devan, minum teh dulu, redakan amarah Bapak,” ucap Leo sembari tersenyum paksa, menyodorkan cangkir berisi teh.“Ini semua bukan salahku. Memang benar, Keira pernah dekat denganku, tapi Bapak nggak tahu seberapa liciknya wanita itu! Dia bahkan hamil saat itu, dan aku sudah memberinya empat miliar sebagai biaya aborsi. Tapi dia tetap nggak menyerah, menipu dua sisi sekaligus… Aku juga korban!”“Maksudmu… saat dia sudah menikah resmi denganku, dia masih sering tidur dengan kalian? Lalu hamil

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 7

    Keira tak bisa menahan diri lagi, dia berteriak sekuat tenaga.Dia muak karena semua orang selalu mengaitkannya dengan Dion, padahal dulunya Dion bukan satu-satunya pacarnya.Devan melepaskan tangannya dari Keira, menatap dengan tegas, kata demi kata tersusun penuh ketegasan.“Kebahagiaanmu… bukan padaku. Dari awal sampai akhir, yang kucintai hanya Viona. Aku menikahimu hanya demi Dion. Anakmu akan diakui Keluarga Atmadja, tapi posisi istri untukku… akan selalu menjadi milik Viona!”Tanpa menoleh lagi, dia berbalik dan meninggalkan ruang rawat, langkahnya tergesa-gesa hendak mengendarai mobilnya.Devan begitu fokus hingga tak menyadari cahaya dingin yang terpancar dari mata Keira, dan bisikan dendam yang menusuk.“Lucu sekali… kamu sendiri yang membuat Viona pergi, tapi masih saja berpura-pura!”Keira mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.“Pak Dimas, sudah lama nggak menghubungimu. Aku baru saja transfer uang, sudah diterima, ‘kan? Bagus. Tolong beritahu jadwal terbaru Leo, aku a

  • Manis di Bibir, Pahit di Takdir   Bab 6

    Devan menerobos lima lampu merah, melaju secepat mungkin menuju vila.Dia tak ingin percaya pada kata-kata kepala pelayan.Kemarin semuanya masih baik-baik saja… bagaimana mungkin aku tiba-tiba pergi?Tidak mungkin!Begitu pintu kamarku terbuka, dunia Devan seakan runtuh.Kamar itu kosong. Tak ada seorang pun. Semua barang pribadiku… lenyap tanpa jejak.“Viona! Viona!”Dia mulai panik, memanggil namaku berulang kali. Dia menggeledah seluruh vila, membuka setiap lemari, setiap laci, berusaha mencari tanda bahwa aku belum benar-benar pergi.Namun hasilnya hanya mengecewakan.Yang membuatnya semakin putus asa adalah kenyataan bahwa semua hadiah yang pernah dia berikan padaku, tak satu pun kubawa, semuanya tersimpan rapi di kotak seperti semula.“Viona, apa kamu sudah nggak menginginkanku lagi?”Pandangan Devan beralih pada dinding yang dulu penuh dengan foto-foto kami. Kini, dinding itu kosong, seakan kenangan itu tak pernah ada.Dia berlutut, tatapannya kosong, mengobrak-abrik setiap sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status