29 Oktober 2014, Top Floor, Royal Tower, Croydon (Wilayah paling selatan London, Inggris)
17. 05 PM
Tok … tok….
Eric dengan eskpresi datar yang menjadi ciri khasnya, mengangkat wajah dan melihat pintu mahogany ber-cat putih yang berdiri megah beberapa meter di depannya.
Tanpa melepas gagang pulpen yang ada di antara jari telunjuk dan jari tengahnya, ia mengulurkan tangan pada sebuah alat yang mirip interkom lalu menekan salah satu tombol
“Come in!”
Ceklek
Wanita muda dengan balutan blazer hitam dan rok span yang memperlihatkan setengah pahanya, masuk ke dalam ruangan luas dengan minim furniture itu. Ia membungkuk hormat pada lelaki yang duduk di balik meja besar dan yang tampak sibuk menulis sesuatu
“Ada apa?” tanya Eric tanpa mengangkat wajahnya
“Tuan Jenkins, Sir Jenkins ingin—”
“Apa sekarang aku harus minta izin untuk bertemu denganmu, Son?” Sebuah suara dari belakang sang sekretaris mengeinterupsi
Eric mendesah. Ia memberi kode sekretarisnya untuk pergi dan diangguki wanita itu.
“Ada apa lagi, Yah?” tanya Eric santai dan kembali membolak-balik berkas di hadapannya
Plokk….
Sebuah surat kabar mendarat di meja Eric dengan keras. Tajuk berita yang ditulis dengan huruf kapital dan tercetak tebal, membuatnya mengerti maksud kedatangan sang ayah.
“Apa kamu lupa kalau kamu sudah menghamili gadis muda, Eric?! Lalu apa-apaan ini, hah?! Mana tanggung jawabmu sebagai laki-laki?! Ini yang Ayah ajarkan sama kamu, iya?! Kamu sepertinya memang sudah tak mau jadi bagian dari keluarga Jenkins!” berang Sir Edmund Jenkins, ayah kandung Eric
Eric memainkan rahang, memutar pulpennya lalu melemparkannya ke meja dan bersandar. Ia menaikkan matanya, menatap balik lelaki dengan fitur wajah versi tua dirinya itu, yang berdiri berkacak pinggang di hadapannya dan terlihat sangat marah
"Maaf ... aku sudah lupa. Karena ... seingatku, aku hanya tumbuh bersama Ibu dan Alicia," jawab Eric enteng namun penuh makna
Sir Edmund terdiam. Ia menatap putranya tanpa berkata sepatah pun. Benar. Ia sudah tak lagi berada di kehidupan anak sulungnya, sejak anaknya itu berusia 12 tahun.
Tak ingin mengingat kejadian lampau, Eric kembali meraih berkas yang harus ia kerjakan dan tak lagi peduli keberadaan sang ayah.
“Aku sudah menikahi wanita itu. Seperti yang Ayah minta. Apa aku kurang tanggung jawab?” ungkap Eric tak lama kemudian namun masih dengan mata pada berkas di tangannya.
Netra Sir Edmund melebar. “Kau ... sudah menikahinya? Kapan? Kenapa Ayah tidak—”
“Pernikahan itu privasi. Aku memang tidak memberitahu atau mengundang siapapun yang tak ada hubungannya dengan pernikahanku dan wanita itu,” potong Eric
Brakk….
Kemarahan Sir Edmund kembali memuncak. Tangan tua itu menggebrak meja Eric dengan keras. Sekretaris Eric yang hendak mengantar teh, berjingkat kaget. Ini pertama kalinya ia melihat lelaki pendiam yang mendapat gelar "Sir" (gelar bangsawan Inggris) langsung dari penguasa Britania Raya itu, marah besar.
Wajah Sir Edmund memerah. Sorot matanya tajam terarah ke putra sulungnya itu. “You rascal! Biar bagaimanapun, aku tetap Ayahmu!!!”
“Kau memang Ayahku … tapi pernikahan ini … hanyalah antara aku dan wanita itu. Pernikahan juga sudah terjadi. Anak yang dia kandung, akan menyandang namaku. Tidak perlu lagi ribut soal itu.”
Ucapan Eric membuat darah Sir Edmund semakin mendidih. “ERIC JENKINS!!! APA INI YANG KAMU NAMAKAN TANGGUNG JAWAB, HAH?! THAT’S NOT A MARRIAGE!” Suara keras Sir Edmund menggelegar seisi ruangan tapi tak ada rasa takut sedikitpun yang menghampiri Eric.
“DON’T SHOUT!!! I'M NOT DEAF!!!” sentak balik Eric.
Ketegangan di ruangan serba abu-abu putih itu meningkat. Putra sulung Sir Edmund dari istri pertamanya itu bangkit dari tahtanya. Bola mata hijau yang diwarisi dari sang ibu, balik menatap tajam sang ayah. Dua sorot mata yang sama.
Sang sekretaris yang berdiri di belakang keduanya, bergetar ketakutan. Ia segera menaruh nampan berisi cangkir ke meja tamu lalu berlari kecil keluar ruangan.
Eric membalikkan badan menghadap dinding kaca, membelakangi ayahnya. Ia malas bertengkar. Sir Edmund mengeraskan rahang. Sorot matanya semakin tajam bak laser yang mencoba melubangi punggung Eric.
“Suatu saat nanti … kamu akan menyesal, Eric,” ucap Sir Edmund lalu berbalik cepat dan melangkah pergi
“Ayah tahu sendiri….” Eric kembali berbalik saat mendengar langkah Sir Edmund mulai menjauh.
Sir Edmund menghentikan langkahnya, menghela napas lalu memutar tubuh. Matanya kembali beradu dengan Eric. Tak ada yang mengalah. Keduanya saling menajamkan tatapan mereka. Pria paruh baya itu menunggu kelanjutan ucapan putranya
“Aku, Eric Jenkins … tidak pernah menyesali setiap keputusan yang sudah aku ambil,” lanjut Eric dengan tenang dan tegas
Sir Edmund menipiskan bibir. Dadanya turun naik penuh amarah. Ia kembali berbalik dan melangkah pergi dengan perasaan yang bercampur aduk. Antara menyesal karena merasa gagal mendidik putranya dan marah lantaran arogansi sang putra.
Eric berjalan mendekati dinding kantornya yang terbuat dari kaca. Ia melemparkan pandangannya jauh ke depan, menatap gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh dengan kerlip lampunya yang berwarna warni, menambah keindahan malam di kota bersejarah, Croydon.
Tringgg….
Tanpa mengalihkan pandangannya, Eric merogoh saku jas dan mengambil benda pipih miliknya. Ibu jarinya menggeser cepat bulatan hijau di layar ponselnya dan menempatkan benda canggih itu ke telinganya
“Hmm.”
“Eric, sepertinya ayahmu memang gak ada hubungannya dengan kejadian malam itu. Ayahmu datang ke hotel karena memang ditelepon seseorang tapi pakai ponsel sekali pakai, jadi aku sulit melacak tapi bisa dipastikan, sinyal panggilan itu dari tower dekat Club Infinite.”
“Kau yakin?”
“Ya. Aku yakin. Selama 7 bulan ini ayahmu juga gak pernah berhubungan sama tuan Irawan. Kegiatan beliau juga masih sama. Ke bar, main bilyard, ke pondok, mancing … seputar itu aja. Gak ada kegiatan lain. Riana juga cuma diam di penthouse. Dia keluar hanya saat periksa kandungan. Selain itu gak ada. Dia juga cuma telepon teman sekamarnya dulu, temannya yang di Jerman dan ibunya. Itu aja. Gak ada catatan telepon ke nomor lain.”
“Hmm, ok … tapi … soal laki-laki tua itu, aku masih belum yakin. Dia pintar main kucing-kucingan. Kamu selidiki terus.”
“Ok. Aku mengerti. Oh … wait!”
Eric tak jadi menurunkan tangan untuk menutup telepon. Ia kembali meletakkan smartphone canggihnya ke telinga saat mendengar teriakan di seberang telepon
“Ada apa lagi?” tanya Eric
“Xian Lie mau kamu nemenin dia ke acara amal besok lusa. Katanya sih, dia sudah nyiapin kostum buat kamu. Kamu bisa datang?”
Eric mendesah. Ia tak tertarik dengan acara-acara seperti itu. “Dave, kamu yang pergi.”
Tut….
Eric menutup panggilannya. Ia memandang ponselnya beberapa saat lalu kembali melihat ke luar jendela dan menarik napas dalam-dalam.
“Apa selama ini … aku sudah salah duga?” gumamnya.
Mata yang tajam itu menatap lurus ke luar jendela. Alisnya bertaut, tanda berpikir. Kedua tangan ia masukkan di kedua saku celananya. Ia berdiri tak bergeming. Kebiasaan Eric yang tak pernah hilang jika ia sedang memikirkan sesuatu yang penting. Seolah dengan posisi seperti itu, ia pasti mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di otaknya.
31 Oktober 2014, South Bank Tower Penthouse.
22.35 PM
“Ahhh … Sayang, ini sudah larut malam. Kita harus tidur, Nak,” desah Riana sambil mengelus perutnya.
Wanita itu meringis. Gerakan bayi di dalam perutnya semakin kuat. Ia tidak bisa memejamkan mata bahkan tak bisa berbaring dengan tenang.
“Ohh … Sayang, masa’ kamu mau keluar sekarang? Ini belum waktunya, Sayang.”
Riana mengigit bibirnya. Ia memegangi perutnya yang semakin terasa nyeri. Sakit di pinggang serta perutnya bagian bawah, secara bertahap menyerang. Keringat dingin juga mulai keluar membasahi dahi dan punggungnya
“Oh, mama … sa-kit … ba-nget … okhh!!” keluh Riana. Ringisan kembali terbentuk di bibir merahnya
Perlahan, wanita itu duduk dan mencoba turun dari ranjang. Tak payah memakai sandal, ia berjalan pelan keluar kamar setelah menyambar ponselnya dari atas nakas
“Di-ane … help … me…,” seru Riana sambil berpegangan pada kusen pintu kamarnya. Namun sayang, suaranya terlalu pelan untuk didengar Diane yang pulas tertidur di kamarnya di lantai bawah.
“Oh, God! … Sayang, tolong … Mama … Mama gak … kuat, Nak,” ucap lirih Riana dan mengelus perutnya. Berharap si jabang bayi menurut padanya dan tak lagi berulah.
"Eric ... aku harus ... telepon Eric."
tut tut tut....
Riana menekan nomor Dave. Ia tak tahu nomor ponsel Eric. Lelaki itu tak pernah memberikannya walau ia sudah meminta
Tuuuttt ... tuttt....
Nada tersambung tapi tak diangkat. Riana menutup panggilannya. 'Aku coba lagi nanti,' batin Riana
"Akhh!!!" pekik Riana.
Kontraksi di perutnya kian menjadi. Riana menguatkan diri. Selangkah demi selangkah, ia menyusuri koridor dengan bantuan dinding. Seperti de javu. Hanya saja, saat ini ia tak di club malam ataupun terpengaruh obat dan sedang berbadan dua. Beberapa kali, ia berhenti dan bersandar pada dinding, saat rasa sakit dan lelah menderanya.
Hoshh ... hoshh….
Wanita 21 tahun itu ngos-ngosan. Dadanya turun naik seiring oksigen yang hampir habis di paru-parunya.
Saat rasa sakit itu mereda, ia kembali berjalan. Sampai di anak tangga, langkahnya berhenti. Ada sesuatu yang mengalir di paha dalamnya.
”OH, NO!” pekik Riana dengan mata membulat. Air ketubannya merembes!
“Aku harus ... ke rumah sakit,” ucapnya dan mulai berjalan menuruni tangga, “Sayang, Ba-baby ... Mama mohon, jangan keluar dulu ya, Nak.”
Satu langkah … dua langkah … pelan dan pasti, Riana memberanikan diri menuruni tangga.
Ugff!!!
Rasa sakit kembali menyerang. Untunglah ia sudah sampai di tangga terakhir. Tak lagi mampu berjalan, Riana mendorong vas yang ada di sisi tangga, lalu....
Pyaarr….
Pecahan vas itu berserakan di mana-mana. Berhasil! Ruang tengah yang sepi dan remang, tak lama menjadi terang. Langkah cepat beberapa orang mulai didengar Riana.
“Diane … tolong aku,” lirih Riana saat ia melihat malaikat penjaganya itu berjalan ke arahnya
“An! Oh, my goodness!” pekik Diane dan segera menghampiri calon ibu muda itu.
“Ben! Prepare the car! Hurry!” teriak Diane pada seorang pelayan yang juga ikut tinggal di penthouse bersamanya dan Riana, sebagai sopir
Tak menunggu lama, Ben, pelayan itu mengangguk dan segera berlari pergi
“Di-ane … it’s hu-rt…,” rintih Riana
“I know, dear. Please, hang on. Let’s go to—” Perkataan Diane terpotong. Matanya mendelik.
“ANNN!!!”
“MISS!!”
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Tak mengerti dengan wajah bingung Riana, bocah itu menaikkan kakinya ke paha wanita itu dan berusaha untuk duduk di pangkuannya.Reflek, Riana segera memegangi Evan. Ia membantu bocah itu duduk di pangkuannya.“Mommy, Mommy sekarang sedikit gemuk. Hehehe….”Senyum Riana terukir. Tanpa sadar, cairan bening tiba-tiba menetas keluar dari kedua sudut matanya saat memandang wajah imut bocah itu.Ia terhenyak kala menyadarinya. Ia pun menyentuh dan mengusap cairan yang mengalir di pipinya tanpa permisi dengan telunjuk dan melihatnya bingung.“Mommy? What's the matter? Why are you crying (Ma? Ada apa? Kenapa Mama nangis)?”Riana mengangkat wajahnya dan melihat Evan. Sebuah senyuman manis kembali ia ulas di wajah cantiknya.“Ah, ini ….” Riana melihat ayahnya. Ia bingung mau berkata apa.“Itu artinya, mommy terlalu senang bertemu Evan,” sambar Alicia. Ia lantas melihat
“Ana?” panggil lirih Dave. Melangkah berat, sahabat Eric itu mendekati kursi roda Riana yang juga sudah menuju ke arahnya. “Ana?” Iwan berhenti di depan Dave. Riana mengangkat wajahnya dan mengulurkan tangan sembari mengurai senyum. “Hallo, selamat siang. Apa Anda yang ingin bertemu denganku?” Mata Dave melebar. Ia melihat Iwan sejenak, lalu menyambut uluran tangan Riana. “H-hallo. Apa kabarmu, An?” Riana menarik lurus bibirnya. Ia melihat kakinya yang ditutup dengan syal tebal lalu berkata, “Seperti yang Anda lihat. Saya … tidak bisa berjalan.” Dave menelan ludah. Ia melihat kaki Riana dan membasahi bibirnya. Ia lantas berbalik dan memanggil Aaron. “Eh, k-kenalkan. Ini adik ipar Eric. Suaminya Alicia,” ucap Dave. “Eric? Alicia?” Dave melihat Riana dan mengangguk pelan sebelum akhirnya memandang ayah kandung Riana yang memegangi kursi roda wanita itu. “Kita masuk dulu,” kata Iwan. Lelaki
Suara heel sepatu fantofel yang bersinggungan dengan keramik, menggema di lorong rumah sakit area ICU VIP itu.“Alicia, Aaron! Dave!”Alicia dan suaminya serta Dave segera berpaling. Mereka menyambut ayah kandung Eric itu dengan wajah sembab dan untaian air mata.“Dad,” panggil Alicia sembari melepas pelukan suaminya dan melebarkan kedua tangannya ke arah sang ayah.“Kenapa? Apa yang terjadi, hah?” tanya Sir Edmund. Ia berjongkok menatap wajah putrinya dan memeluknya sembari mengedarkan tatapannya pada semua yang ada di sana.“Eric … kata dokter dia … hiks … hiks….”Sir Edmund membasahi bibirnya. Ia mengusap wajah putrinya yang penuh air mata tapi juga melihat bingung ke arah Dave dan menantunya, Aaron.“Aaron! Dave! Katakan apa yang terjadi?!”Sir Edmund tak bisa lagi menahan gundah hatinya. Ia berdiri dan bertanya pada menantu dan sahabat