Eric Fransisco Jenkins, CEO sekaligus pewaris tunggal kerajaan raksasa fashion di London, The Royal, terpaksa menikahi seorang mahasiswi asal Indonesia yang hamil karena perbuatannya dan menyembunyikan pernikahan itu dari publik. 6 bulan setelah melahirkan, Riana harus menghadapi kenyataan pahit diceraikan, dipaksa menyerahkan hak asuh putranya dan diusir. 3 tahun setelah masa kelam itu, keduanya kembali bertemu namun kali ini, mereka bersama dengan pasangannya masing-masing. "Jangan menikah dengannya." "Kau tak berhak mengaturku." "Ingat, kau sudah memiliki seorang putra." "Ingat, kau sendiri yang menyuruhku menjauh dari putraku." "No matter what, you can only be mine!" IG: dkrisnovel
Lihat lebih banyakHari ini, 12 Oktober 2018, Jakarta, Indonesia
Glamorous Haute Couture
14.30 PM
Tak pernah terbersit di pikiran Riana, bahwa ia akan kembali bertemu dengan mantan suaminya. 3 tahun yang lalu, saat surat perceraian itu disodorkan padanya dan lelaki itu memaksanya menandatangani surat penyerahan hak asuh putranya, dunianya hancur berkeping-keping.
Ia melakukan berbagai usaha agar bayangan lelaki itu dan putra semata wayangnya, menghilang dari pikirannya. Namun, semua terasa berat baginya. Siang dan malam yang menjadi pikirannya adalah buah hatinya. Ia menangis dan meratap karena merindukan bayi kecilnya itu.
Jika bukan karena insiden mengerikan yang mengembalikan ingatan yang selama ini hilang darinya, ia pasti masih menjadi Riana yang gagal move on dari Eric dan melupakan tujuannya, mengapa ia harus jauh-jauh berkuliah ke negeri Ratu Elizabeth itu.
Lalu kini, 3 tahun setelah semua kejadian itu, saat ia telah mampu menata kembali hidupnya, takdir seakan mengujinya. Lelaki itu ... mantan suaminya, berada di kantornya. Di hadapannya. Hanya saja ... dia tak sendiri melainkan bersama seorang wanita.
“Hmm, saya rasa cukup. Terima kasih banyak atas waktunya, Nona….” Wanita berambut panjang dengan body spanyol itu berdiri. Ia memicingkan mata bulatnya seraya mengulurkan tangan ke arah Riana yang masih memakai gaun pengantin sederhana namun sangat pas membentuk tubuh designer muda itu.
Riana ikut berdiri. Ia menyambut uluran tangan itu dengan senyum profesional. “Trisha. Trisha Meriana.”
“Trisha … hmm … nice name. Aku Xian Lie, calon istri Eric Jenkins," sahut wanita itu seraya menoleh sebentar ke arah lelaki yang duduk di sebelahnya. "Maaf baru memperkenalkan diri,” ujar wanita bernama Xian Lie itu lagi dengan senyum menawan.
“Okay then, tolong kabari kalau sudah selesai. Maaf sudah mengganggu waktu … pre-wedding Anda,” lanjut Xian Lie.
Riana tersenyum ramah dan mengangguk. “Tidak apa-apa. Sudah tugas saya untuk memberikan waktu bagi klien VIP Haute Couture kami,” sahut Riana.
Xian Lie tak melepas senyumnya. Ia mengangguk lalu mengambil tas kecilnya dan melihat ke arah sang tunangan yang sedari tadi terus menatap Riana.
“Ekhem … Baby, let’s go.” Xian Lie berdehem untuk menarik perhatian Eric.
Lelaki itu tak bergeming di tempatnya, “Kamu duluan. Aku masih ada perlu dengan nona … Trisha,” sahut lelaki berjas mewah itu sambil mengangkat satu alisnya. Ia masih menatap Riana dari posisi duduknya. Eric dengan gayanya yang elegan, memangku satu kakinya lalu menyatukan kedua tangan di atas paha.
Xian Lie melipat bibir dan melirik sejenak ke arah Riana. Ia lantas melihat jam yang melingkar manis di pergelangannya.
“But, Babe … you have to….” Xian Lie tak meneruskan perkataannya. Ia pun segera menutup mulut, saat Eric melirik ke arahnya dengan tajam mengintimidasi. “O-okay. I-I’ll go first.”
“Hmm.”
Deheman dingin Eric meyakinkan Xian Lie untuk segera beranjak dari tempatnya. Ia berjalan enggan, keluar dari ruangan bernuansa putih dengan manekin yang berjajar rapi menghadap ke pintu itu.
Lebih lama ia berada di sana, bisa dipastikan Eric akan marah besar padanya . Mungkin, ia juga akan kehilangan posisinya sebagai tunangan lelaki itu yang selama lebih dari 3 tahun ini ia pertahankan dengan susah payah.
Riana menghela napas. Ia kembali duduk. Wajahnya sangat datar dan sikapnya pun professional. Namun di dalam, ia berusaha dengan keras mengendalikan debaran jantung yang sedari tadi terus berpacu, sejak Eric menginjakkan kaki di kantornya.
Bukan karena ia masih mencintai lelaki itu, tapi karena ia masih ingat bagaimana perlakuan ayah putranya itu padanya saat terakhir kali mereka bertemu.
“Apa yang bisa saya bantu, Tuan? Kalau soal merubah design, saya rasa kita harus—”
“Kamu tahu bukan itu yang ingin kubicarakan,” potong Eric dengan suara baritone-nya yang menawan dan penuh kharisma.
Riana menaikkan alis. “Oh, baiklah. Kalau begitu … apa yang bisa saya bantu? Apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya, Tuan Jenkins?”
Eric memainkan rahangnya. Tangannya terkepal. Sikap dan nada bicara Riana sangatlah berubah. Netra hijaunya terus memandang lurus ke arah wanita itu.
“Selama ini … kau di sini?”
Riana menarik lurus bibirnya. Ia mengangguk untuk memutus tatapan Eric yang menatapnya lekat.
Tak ada jawaban panjang yang biasa Riana lakukan saat dulu mereka masih bersama. Well … kalau berada di satu apartemen selama 20 menit di setiap kunjungan bisa dikatakan bersama.
Dulu, mata Riana selalu memancarkan binar cinta untuk Eric tapi kini, lelaki itu tak lagi mendapatinya. Yang ada hanya tatapan dan ekspresi wajah datar.
Eric menurunkan tatapannya. Ia mengangguk perlahan sambil mengerucutkan bibirnya. Lelaki itu juga menurunkan kakinya. Ia kemudian berdiri dan berjalan ke jendela. Sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana, ia menatap jauh ke luar jendela.
“Evan … dia merindukanmu.”
Deg
Oh ... iya, benar! ia masih belum bisa melupakan nama itu. Sampai akhir hayatpun ia tak akan pernah bisa menyingkirkan nama itu dari kehidupannya.
Ia bisa melupakan lelaki bernama Eric Jenkins. Tapi, tidak nama itu. Nama itu selalu ada di hatinya. Setiap malam, dalam tidurnya ia selalu menyebutnya. Nama yang membuatnya meratap, namun juga yang membuatnya tegar untuk bisa berdiri di atas kakinya sendiri seperti saat ini.
Eric berbalik. Ia kembali menatap Riana. Tatapan lembut yang dulu sangat diharapkan Riana dari seorang Eric Fransisco Jenkins, kini ditunjukkan lelaki itu setelah 3 tahun mereka berpisah.
“Riana … aku tahu kamu masih menyayangi Evan," ujar Eric, dan aku, sambung Eric di dalam hatinya. "Ikutlah denganku. Evan pasti sangat senang melihatmu,” lanjut Eric penuh harap dengan nada suara lembut yang tak pernah Riana dengar sebelumnya.
Selama 33 tahun masa hidupnya, hari ini adalah hari pertama bagi seorang Eric Jenkins, berbicara tanpa nada perintah pada seorang wanita selain ibunya. Eric bisa melihat sekelebat perubahan pada sorot mata Riana saat mendengar nama putra mereka, Evan, disebut.
“Evan selalu bertanya tentangmu dan—”
“Kalau saya tidak salah ingat, setelah Anda memaksa saya menyerahkan hak asuh Evan pada Anda, Anda juga memberi ultimatum agar saya tidak lagi muncul di hadapan Evan selamanya, Tuan Jenkins,” sambar Riana cepat. Wajahnya kembali dingin. Tatapannya pun datar. Otaknya masih jelas mengingat salah satu hari yang paling menyakitkan itu.
Eric terpaku. Ia menelan salivanya dengan berat lalu menunduk beberapa saat. Riana benar dan itu adalah salah satu tindakan yang paling disesalinya.
Eric kembali melihat Riana. Ia berjalan perlahan mendekati meja kerja mantan istrinya itu. Ekspresi wajah laki-laki itu, tak bisa digambarkan. Riana pun menjadi yang pertama menyaksikan ekspresi tak biasa dari salah satu penguasa dunia fashion itu
Eric meletakkan satu tangannya di meja Riana dan satu tangan lagi pada handrest kursi yang diduduki Riana. Ia membungkuk dan menatap wanita yang juga balik menatapnya dengan sorot tenang itu.
Riana duduk tak bergeming, menunggu apa yang akan dilakukan ayah putranya itu. Iya … Ia tak lagi gentar menghadapi lelaki itu.
“Kamu … sungguh tak ingin melihat anak kita?” tanya Eric memastikan
“Seperti yang Anda tahu, saya selalu menepati janji saya,” tegas Riana. Kedua bola mata wanita yang berhasil meraih gelar Best Asian Fashion Young Designers itu, menunjukkan keseriusan dalam ucapannya
Keduanya saling beradu pandang. Eric memicingkan matanya dan menatap lekat mata indah wanita itu. Berusaha membaca isi hati wanita yang dulu tergila-gila padanya itu.
“Kau … berubah.”
Riana tak menjawab. Ia juga tak memutus tatapannya pada Eric yang masih memandangnya begitu intens dan dengan jarak yang sangat dekat.
'Sungguh konyol kalau kau berharap aku masih Riana yang dulu, yang begitu bodohnya menerima semua perlakuanmu,' ejek Riana di dalam hatinya.
“Perlukah saya ingatkan, kalau 3 tahun sudah berlalu, Tuan? Semua pasti berubah. Riana yang dulu … sudah mati, Tuan Jenkins,” sahut Riana. “Dan yang berbicara di hadapan Anda saat ini … adalah Trisha Meriana, designer dari Glamorous.”
Eric mendengkus kecewa. Lelaki itu menegakkan tubuhnya dan memundurkan langkah. Diedarkannya pandangannya ke seluruh ruangan berukuran setengah dari kantornya itu lalu memasukkan satu tangannya ke saku dan satu tangan lainnya mengusap hidung mancungnya.
Ia kemudian menoleh ke arah Riana. Sorot kekecewaan terpancar di mata CEO sekaligus pewaris tunggal perusahaan fashion ternama, The Royal Group London itu.
“Thank you for your time ... Miss Trisha,” ucap Eric kemudian. Ia lantas berbalik dan melangkah keluar dengan langkah lebar, meninggalkan ruangan Riana
Riana menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Ia menatap pintu dan menggelengkan kepala. Sungguh! Ia tak ingin memiliki hubungan apapun dengan lelaki itu.
Bagi Riana, Eric hanyalah masa lalu. Seperti halnya dengan satu-satunya foto Eric yang ia miliki dan ia bakar menjadi abu, demikian pula kenangan Eric telah sirna dari benaknya. Setidaknya, begitulah menurutnya.
Riana tersenyum kecut. 3 tahun ia tak mau lagi peduli kabar mantan suami dan anaknya. Namun sekarang, ia justru harus merancang busana bagi calon istri sang mantan. Sungguh lucu, bukan?
Eric menuruni tangga dengan cepat. Semua sapaan dari karyawan Glamorous Haute Couture yang berpapasan dengannya, tak ia hiraukan. Dalam pikirannya, hanya bayang wajah dan sikap dingin Riana yang bermunculan. Riana yang dulu, yang polos, bertutur kata lembut dan selalu berusaha mencari perhatiannya, telah menghilang.
Sampai di depan lobby gedung 3 lantai itu, sopir Eric sudah menyambutnya dengan membukakan pintu mobil.
Eric menempatkan bokongnya di jok penumpang dengan kasar. Sangat terlihat di wajahnya bahwa lelaki itu sedang dalam mode bad mood.
"Babe, should we--"
Eric mengangkat satu tangannya. Aura dingin yang dipancarkan Eric, memaksa Xian Lie menutup mulut. Rasa kesal, jengkel dan amarah terpaksa harus wanita itu pendam dan samarkan dengan senyum. Merajuk? Ia tak berani melakukannya. Ia tak ingin diturunkan di tengah jalan. Apalagi di kota yang tak ia kenal ini.
Eric mengambil ponselnya. Menekan panggilan cepat dan menaruh benda pipih itu di telinganya.
"Dave? Ke Jakarta sekarang. Aku ada tugas buat kamu."
"What? ... Eric, I'm 15 hours away and there's a meeting tomorrow at--"
Tut
Tak menunggu jawaban dari seberang, Eric menutup panggilannya sepihak dan melempar begitu saja ponselnya ke samping.
'Ana ... you still love me.'
Diana Arabelle Konrad, yang baru saja kembali setelah menjalani perawatan intensif karena trauma kehilangan suami dan calon bayinya, memutuskan untuk berangkat ke Praiano, sebuah kota kecil yang berada di Amalfi Coast, Italia, setelah mendengar bahwa resort yang didirikan almarhum suaminya terancam bangkrut. DD, begitu ia biasa disapa, bertekad untuk mempertahankan resort yang menyimpan kenangannya bersama almarhum sang suami. Hingga pada suatu hari, tanpa sengaja ia membantu seorang pria tak dikenal yang pingsan dengan wajah yang babak belur. Pria itu kemudian mengaku kehilangan ingatannya. Tak ingin sesuatu terjadi pada lelaki itu, DD memutuskan untuk menerimanya tinggal di resort. “Kau ingin aku membantumu?” “Kau bisa?” “Tentu saja. Tapi, aku mau imbalan.” “Imbalan?” Lelaki yang diselamatkannya itu mengangguk. Senyumnya begitu menawan namun menyimpan sejuta misteri. DD berdehem dan membetulkan duduknya.
Taman di belakang mansion Jenkins tampak meriah. Balon berwarna putih berada tepat di sisi flower arc dan meja yang ada di sisi kiri taman. Mengambil tema Rustic , gaya yang menghadirkan kesan alami dan didominasi oleh kayu-kayu, batu, tanaman menjuntai, serta lampu-lampu bolam klasik, membawa suasana terkesan akrab. Suami dari para sahabat Riana, tampak berbincang akrab dengan Eric, Sir Edmund, Boby dan ayah Riana, Iwan, Alex, Andrew, DD (adik Dylan) serta kedua asisten Eric. Tak ketinggalan, kedua orangtua Dylan juga hadir. Canda tawa acap kali terdengar disertai ledekan. Begitu riuh dan menyenangkan. Riana yang berada di jendela kamarnya, tersenyum bahagia melihat keakraban yang terjalin. Tak berhubungan darah, namun mereka lebih karib daripada saudara. Yang lebih menyejukkan hatinya, sikap Eric terhadap orang yang baru pertama kali ia temui, tak sekaku dan sedingin dulu. Senyum sudah mampu suaminya urai walau hanya setipis kain. Putranya j
“Whoahhh … ini rumah apa istana? Gede amat?”Mata dan mulut Ayu terbuka. Kakinya berjalan melambat, seiring memandang ke sekelilingnya. Rumah mewah bergaya klasik Victorian dengan warna emas yang mendominasi, benar-benar membuatnya tak bisa menahan kekaguman.“Hei, sudah ayo jalan. Kita sudah ditunggu Riana,” desak Alex. Sambil menggendong seorang balita, ia menarik tangan wanita yang saat ini terlihat lebih berisi itu untuk semakin masuk ke dalam mansion.“Ih, Mas Alex! Jangan tarik-tarik!”“Kita sudah ditunggu. Lagian jangan kayak orang udik! Ini rumah Eric Jenkins, bangsawan terhormat di negara ini. Tentu saja rumahnya tidak seperti rumah kontrakan kita. Sudah! Ayo, cepat jalan!”Ayu meringis kesal. Ia mengangkat tangan kirinya, ingin memukul lelaki yang menarik tangan kanannya itu.“Emang dasarnya aku udik, Mas! Karena udik makanya Mas Alex seenaknya saja masuk kamarku sampai k
1 tahun kemudian "Hei! Eric! Kami masih mau mengobrol dengan Ana!" seru protes Sita dan Ayu. Wajah mereka mengerut kesal. Sejak tadi, Eric selalu saja mengekori Riana dan tak membiarkan wanita itu bersama mereka walau hanya sejenak. "Sudahlah, Sayang. Kau tahu, Eric sudah terlalu lama berpuasa. Biarkan saja dia menikmati hari bebasnya sekarang," ujar Dylan seraya merangkul istrinya. "Palang merahmu juga ... sudah selesai, 'kan?" Eric menggendong pengantinnya dan menuju mansion. Ia sudah tak sabar lagi menunggu. "Eric, kembalikan aku venue," bisik Riana sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Eric karena malu dengan banyaknya mata yang melihat mereka. Well ... sebuah gerakan yang salah. Karena Eric semakin tak bisa menahan diri. Perlahan, Eric menempatkan istrinya itu di atas ranjang bertabur bunga itu. Matanya yang mendamba menatap wajah cantik Riana. Ia menurunkan wajahnya. Ia melahap bibir itu. Begitu rakus dan menuntut.
Suara ayahnya, mengejutkan Riana. Wanita itu menoleh. Dengan mata yang masih berhias air mata, Riana melihat lelaki paruh baya yang berjalan ke arahnya namun dengan mata memandang ke arah Eric pergi. “Pa,” lirihnya. Iwan menunduk. Ia mendesah dan berjongkok. Dihapusnya jejak bening dari pipi putrinya. “Apa itu … yang diinginkan hatimu juga? Eric bersama wanita lain?’ Riana menunduk. Ia membasahi bibirnya. Lidahnya kelu untuk menjawab. Iwan mengambil tangan putrinya yang memainkan kuku di atas pangkuan. “Sayang, maafkan Papa. Selama ini, Papa yang salah paham pada Eric. Dia … pria dan ayah yang baik. Berkat Eric, Sans Media dan aset mamamu, kembali pada kita. Irawan dan keluarganya juga—” “Pa … apa karena dia membawa keuntungan pada kita karena itu aku harus membalas budinya dengan tubuhku?” ketus Riana. Wanita itu menghapus titik air mata yang masih saja belum berhenti di pipinya, lalu memutar kursi rodanya. “Na
“Ada apa ini, Pa?” Iwan menoleh. Ia melihat putrinya yang didorong mendekat oleh seorang perawat. Lelaki itu kemudian berdiri lalu berjalan menghampiri Riana setelah menghindari Sir Edmund yang bersimpuh di hadapannya. “Kamu sudah selesai, Nak?” Riana yang masih tak memahami apa yang terjadi, mengangguk, “Hmm. Sudah. Tapi … ada apa ini, Pa?” Iwan menggeleng. Ia menarik senyum, lalu berjalan ke belakang kursi roda Riana, mengambil alih putrinya dari perawat. “Tidak ada apa-apa, Nak. Kami—” “Ana!” Riana mengalihkan matanya. Ia memandang wajah Sir Edmund yang terlihat jauh berbeda dari sebelum ia masuk ke ruang ICU. Lelaki yang berwajah sangat mirip Eric itu terlihat sembab dengan hidung memerah. “Ana, lelaki tua ini memohon padamu. Tolong … jangan tinggalkan putraku. Kau mungkin tidak mengingatnya tapi, tapi dia sangat mencintaimu, Nak. Kalau kau ingin membalas segala perbuatannya di masa lalu … lakukan padaku. Lampiaskan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen