“Gila kamu, Put!” Aurel sontak memukul lengan sepupunya itu. Cukup keras, buktinya Putri mengaduh kesakitan lantas memegangi bagian yang sakit.“Sakit, Lia!” Putri ingin memukul balik sepupunya, seperti yang selalu mereka lakukan. Tapi, melihat dress pink salem yang membalut tubuhnya itu, membuat Putri mengurungkan niatnya. Aurel itu adalah ratu untuk satu hari ini, dia tidak boleh merusak moment itu.“Biarin! Karena kamu udah keterlaluan, Put!” sergah Aurel marah.Putri melihat ke arah pintu ruang ganti. Fathan sedang mengganti pakaiannya di ruangan yang lain. Dia ngeri-ngeri sedap juga kalau tiba-tiba suami baru Aurel itu muncul dan mendengar percakapan mereka. Wah, bisa kacau beneran, nih.“Rafa sudah setuju dengan pilihannya. Lebih baik aku yang menjadi mantan pacarnya daripada istrinya itu tahu kalau kamu mantan istrinya Rafa!” sergah Putri agak berbisik. Jemarinya sampai menunjuk-nunjuk Aurel.Aurel mencondongkan tubuhnya ke arah Putri. “Ngga ada yang lebih baik, Put!”“Ada! Kal
Fathan tidak pernah seperti ini, padahal sudah hampir satu tahun tidak bersetubuh dengan wanita. Biasanya dia tidak akan pernah tahan.Hanya satu alasannya, Aurel. Wanita itu yang merubahnya seperti ini. Rasa cinta yang begitu besar pada wanita itu. Hanya menyentuh dengan bergandengan saja sudah berhasil membuat desiran di dadanya. Sesuatu yang belum pernah Fathan alami sebelumnya. Mungkin pernah, tapi dia sudah lupa.Fathan selalu menahan diri setiap kali matanya berhenti di bibir Aurel. Mungkin segan akan hijab anggun yang selalu menutupi aurat Aurel, dia tidak berani hanya untuk sekedar mengecup bibir manis kekasihnya itu. Apakah alasan itu yang membuat Fathan tidak sabar menikahi Aurel? Tidak. Dia memang serasa mau mati setiap kali tidak bertemu Aurel. Mati karena menahan rindu yang menyesakkan dada. Bahkan, dia tidak bisa berkonsentrasi dalam pekerjaan. Selalu terbayang wajah Aurel.Fathan yakin, dengan meminang Aurel menjadi istrinya, segala gejala rindu itu akan usai. “Senyu
Jemari Aurel menepuk-nepuk area kasur yang ada di sebelahnya. Matanya yang semula terpejam, menyipit sebentar, sebelum terbuka lebar. Dia langsung terduduk. Sosok yang semalam menyediakan lengannya untuk kepala Aurel, pagi ini, sudah tidak ada di sana. Aurel menoleh ke sekeliling ruangan itu. Tapi, tidak juga dia menemukan sosok yang dicari.Sambil merentangkan kedua tangan ke atas, Aurel pun bangkit dari tempat tidur.Tanpa malu akan terlihat jelek, dia menguap selebar mungkin. Rasa kantuk masih sedikit tersisa. Dia mendekati kamar mandi, menempelkan telinganya di pintu, tapi mau selengket apapun tetap saja tak terdengar suara dari dalam sana.“Fathan?” panggil Aurel diikuti dengan pukulan pelan di pintu. Tidak ada juga yang menyahut.Aurel menggigit bibir bawahnya. ‘Kemana, sih kamu, Fathan?’Dia beralih ke arah televisi. Mengambil ponselnya dari atas nakas. Baru saja mau mencari kontak suaminya itu, tiba-t
“Aurel! Aurel!” Panggil Fathan. Dia berusaha mengejar istrinya, yang berjalan cepat. Hentakan kaki Aurel menyiratkan perasaan marahnya.Aurel tetap berjalan tergopoh-gopoh. Dia tidak menyahut panggilan Fathan itu, apalagi menoleh.Fathan mempercepat langkahnya. Namun ketika berhasil meraih pergelangan Aurel, malah ditepis dengan kasar. Satu-satunya cara adalah dengan menghalangi jalan wanita itu.“Aurel, Aurel!” Fathan berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Aurel, tapi wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskannya.Saat sadar kalau kekuatan Fathan lebih besar darinya, Aurel pun menyerah untuk memberontak. Dia menatap tajam mata suaminya itu. “Honey~”“Stop panggil aku dengan sebutan itu! Geli aku karena malah teringat wajah wanita tadi.”“Okay. Okay.” Fathan juga melepaskan genggaman tangannya. Dia tidak mau menyakiti Aurel.“Aku perjelas lagi biar semuanya lebih bisa membuka mataku, ya. Jadi, kamu
“Memang, Fathan itu punya masa lalu yang lebih ke arah negatif. Dia suka ke club, sering pergi sama perempuan yang entah siapa aku sendiri juga ngga kenal. Tapi, satu yang aku pastikan ke kamu, Rel. Dia benar-benar berubah belakangan ini, mungkin sejak ketemu kamu. Dia sering di rumah, nemenin si kembar main.” Davina berusaha sekuat mungkin agar nilai Fathan kembali naik di mata Aurel.Sambil memanyunkan bibirnya, Aurel duduk di sofa depan Davina. Ditopangnya dagu dengan berpangku di pinggir sofa. “Aku terlihat childish, kan? Bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah dibawa sampai ke sini.”Davina mengelus paha Aurel. “Aku bisa paham.”“Yang bikin aku kesel sampai sekarang itu, kenapa dia ngga pernah cerita tentang itu.”“Kamu gila, Rel?! Ngga mungkin dia cerita sama kamu. Pasti takut kalau kamu ngga bakalan mau sama dia.”“Justru itu. Seharusnya dia cerita semuanya. Sama aja dia ngga percaya sama aku. Aku bakal terima dia apa adanya, ko
“Mau makan apa?” tanya Rafa seraya memalingkan wajah dari deretan etalase makanan. Di dekatnya juga ada beberapa siswa yang kebingungan harus memilih apa. Sedangkan di bangku-bangku kantin sudah hampir terisi penuh. Dia harus buru-buru kalau mau dapat tempat duduk.Di sebelahnya, Aurel masih memandangi etalase penjual makanan satu-persatu. “Yang di ujung itu apa, ya? Agak rame dari tadi. Belum pernah lihat juga.”Rafa memanjangkan leher supaya bisa melihat spanduk di bagian atas. “Siomay. Baru jualan kayaknya. Mau coba yang itu?”Aurel mengangguk. “Aku cari tempat duduk. Kamu yang pesen, ya?” cetusnya sambil berbalik dan menyisir bangku-bangku dengan matanya.Aurel langsung menemukan tempat duduk. Di sudut, dekat pintu masuk. Ketika duduk, dia bisa melihat Rafa tengah mengambil es teh kemasan dari dalam lemari pendingin. “Rel, kamu sama, Rafa?” Seorang siswa dengan rambut keriting mengembang sebatas leher datang sambil membawa
Tumpukan map di depan Rafa menjadi prioritas utama lelaki itu pagi ini. Absen kantor serta laporan kinerja dari pegawai honorer yang harus dicek dan ditandatangani. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Rafa sengaja mematikan nada deringnya yang menurutnya mengganggu. Getaran sudah cukup memberitahunya kalau ada yang menelepon. Tanpa melihat, di raihnya ponsel itu.“Ya?”“Pa.” Suara Davina. Ketegasan nadanya sangat khas sekali. “Ya, Ma.”“Kayaknya aku ngga bisa jemput Aurel di rumah sakit,” ucapnya. Sebuah pernyataan.Rafa meletakkan penanya. Pandangannya langsung tegak. “Kenapa?” Keningnya berkerut. Otaknya berusaha menebak apa maksud Davina memberitahukan hal itu.“Mau nganter si kembar playgroup. Papa lupa? Wajar, Mama juga lupa, kok.” Davina memerhatikan kedua anaknya yang bermain di kursi belakang, mengenakan seragam putih krem. Lalu, ke
Fathan terus melihat jam tangannya. Entah apa yang dia harapkan. Jarum jamnya berhenti atau berputar lebih cepat? Yang pasti dia terlihat sangat gusar. Kaki kirinya terus bergerak dan benaknya diselimuti sensasi tidak nyaman.Pintu terbuka. Seorang lelaki yang mengenakan jas hitam rapi masuk, lantas mendekati meja Fathan. Tubuhnya tegap. Wajahnya kaku dan tampak serius. “Lima belas menit lagi rapat mau dimulai, Pak,” lapornya.Fathan menghela napas sesaat setelah lelaki itu pergi. Dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya untuk yang kesekian kali. Jam sepuluh tepat itu masih lima belas menit lagi. Waktu yang sama dengan kepulangan Aurel dari rumah sakit.“Maaf, Pak, Ibu. Saya tidak bisa menjaga Aurel dengan baik.” Fathan hanya bisa menunduk, malam itu. Kedua tangannya bertumpu di paha. Malu rasanya mengangkat pandangan dan harus melihat wajah orang tua Aurel yang tampak bersedih.Mereka ber